Diam tanpa kata. Berpikir dengan trauma. Itulah yang Amilie rasa. Hingga keheningan pun usai dan Amilie pun membalasnya dengan kalimat lain."Jangan bahas ini lagi. Omonganmu hanya seputar ini saja!"Amilie merenggangkan tubuhnya dari Stephen. Tetapi pandangannya berusaha begitu melihat ponsel miliknya yang terlihat setengah keluar di celana mantannya."Bukankah itu ponselku? Ternyata benar, dia yang menyimpannya. Tapi dia tidak mau mengembalikannya. Baiklah, aku yang akan mengambilnya sendiri," batin Amilie penuh ambisi.Segala sifat sombong dan berkuasa penuh atas dirinya ingin ia musnahkan. Tetapi, hal itu tidak akan mudah. Akan ada prose yang harus ia lalui sebelum tujuannya tercapai."Steph! Tunggu sebentar, aku ingin tanyakan sesuatu lagi padamu.""Tanya soal apa lagi? Apa ini hanya alasan saja karena sebenarnya kamu tidak ingin aku tinggalkan?"Amilie terdiam. "Tidak mungkin. Aku malah senang kalau kau pergi dari hidupku dan tidak mengganggu kehidupan baruku," batin Amilie."Ke
Dengan perasaan cemas, Amilie terus berusaha menyalakan kembali ponselnya. Walaupun ia sedikit kesulitan saat melakukannya.Kepalanya berkali-kali menoleh ke arah pintu, terlebih lagi saat melihat gagang pintu yang bergerak perlahan. "Tidak. Dia tidak boleh tahu aku sedang memegang ponsel. Aku harus segera menyembunyikannya kembali," batin Amilie panik.Ceklek.Satu kaki mulai masuk diikuti dengan kaki yang lainnya. Amilie mendongak, tetapi pada saat yang sama ia berusaha menenangkan dirinya agar tidak terlihat mencurigakan bagi Stephen."Ternyata dia penurut. Dia masih berada di tempat yang sama dan tidak pergi. Bahkan, tidak terlihat perpindahan sedikitpun sama sekali," batin Stephen seraya memicingkan kedua matanya.Dengan bibir mengatup rapat dan pandangan fokus mengarah pada Stephen. Dalam hatinya ia pun berkata, "Dia terus mengarahkan pandangannya padaku. Aku harap dia tidak curiga denganku."Lantas, Stephen pun langsung memangku Amilie dan membawanya pergi keluar dari kamar it
"Menyebalkan sekali. Kenapa dia menutup teleponku sembarangan. Pokoknya, aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa mengatakannya," gerutu Amanda kesal.Dirinya mencoba untuk menghubungi Theo kembali. Tetapi, pada saat yang bersamaan. Secara tiba-tiba ... Tok Tok Tok!"Mama masuk, ya?" tanya Dania dengan nada lembut sembari memegang gagang pintu yang siap ia dorong kapan saja.Amanda langsung menghentikan tangannya yang sedang memegang ponsel. Ia menyembunyikannya dibalik selimut tebal dengan wajah tegang. Untungnya bagi Amanda, Dania tidak langsung membuka pintu kamar. "Masuk saja, Ma. Tidak dikunci, kok!" sahutnya dari dalam kamar.Tetapi, saat Amanda melihat pintu yang nyaris terbuka semua. Ia pun langsung membaringkan tubuhnya dan pura-pura baru bangun dari tidurnya itu.Krieettt! Sampai suara nyaring itu terdengar. Ia menoleh ke arah pintu. Dania tersenyum dan menghentikan langkah kakinya sebentar. Lalu, setelah itu ia melanjutkannya kembali."Nak, kamu baru bangun rupanya," ka
Waktu terus berjalan, dokter pun sudah datang ke tempat itu sesuai permintaan dari Stephen. Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu terdengar, terbawa angin sampai ke jendela lalu ke telinga Amilie."Siapa yang datang? Apa itu dokternya? Bagaimana ini, bagaimana kalau Stephen tahu kalau dialah Ayah dari bayi dalam kandunganku ini," batin Amilie bingung.Keadaannya yang buruk membuatnya kesulitan untuk pergi, apalagi ketika dirinya tidak dapat melakukan sesuatu dengan bebas. Kedua kaki tangan Stephen masih di sana dan selalu mengawasinya. Mata mereka kali ini seolah tak mau lepas dari targetnya. Layaknya elang yang selalu mengawasi mangsanya. "Aku harus bisa menyamarkan semuanya. Tapi, sekarang bagaimana caranya?" batin Amilie.Kepalanya bekerja keras memikirkan cara, walau dirinya merasa buntu dan tidak menemukan cara apapun untuk lepas hari ini.Stephen yang sudah tahu bahwa itu dokter yang dipanggilnya untuk memeriksa Amilie. Membuatnya begitu antusias untuk membuka pintu.Klek, Kriieett
Setelah mendengar pendapat dari salah satu anak buahnya, ia pun kemudian memutuskan sesuatu."Ya sudah, kalau begitu kamu boleh ke sana. Tapi, aku juga akan ikut untuk menemanimu di sana."Mendengar jawaban itu, Amilie pun refleks menyahut perkataan Stephen. "Loh kenapa?"Stephen mengernyitkan dahi, Amilie pun melihat bahwa mantan kekasihnya itu seolah tengah curiga kepadanya. "Maksudnya, aku tidak mungkin buang air ditemani sama kamu. Memangnya kamu mau mencium bau toilet?" Stephen pun menyeringai. "Kesempatanmu cuma satu kali. Jadi, mau atau tidak?"Amilie memalingkan wajahnya ke arah lain. Wajahnya begitu cemas dan tidak nyaman dengan keadaan sekarang. Itu membuatnya tertegun sejenak."Kalau dia ikut ke sana, pasti aku akan kesulitan untuk keluar dari sini. Tapi ... Mungkin saja di sana ada jendela yang bisa aku lewati," batin Amilie."Kenapa malah bengong? Ayo kita pergi ke toilet!" ajak Stephen.Untuk kali ini, dirinya tidak mau sampai kecolongan lagi yang membuat dirinya harus
Pikiran berkecamuk, Amilie terus dalam keadaan panik. Bahkan, jantungnya seolah berdetak dengan tidak normal. Lebih cepat dari biasanya. Mungkin, ini karena perasaannya yang dalam keadaan gelisah.Meskipun dirinya belum mendapat jawaban. Teleponnya belum terjawab oleh Theo. Tetapi, Amilie tak menyerah dengan itu."Ayo, Mas. Kalau kamu memang peduli padaku, harusnya kamu langsung menjawab telepon ini," gumamnya sembari terus mondar-mandir tanpa henti.Theo masih terdiam sembari memandangi ponselnya yang berkali-kali berdering. David yang melihat hal itu pun semakin greget. Ia pun meneguk air putih yang ada di hadapannya, lalu langsung merebut ponsel itu dari tangan Theo."Sini, biar aku saja yang menjawab!"Begitu ponsel itu sudah ada di tangannya, David pun langsung menjawabnya."Halo?"Amilie langsung terdiam. Dirinya yang tidak mengenal suara ini pun langsung bingung. "Maaf kamu siapa? Bisa tolong berikan ponsel ini pada pemiliknya!" pinta Amilie dengan nada tergesa-gesa. Lanta
"Kamu yang keluar sendiri atau aku yang akan mendobrak pintu ini, memaksamu untuk keluar!" kecam Stephen.Semenjak Amilie lama di toilet, Stephen sudah mulai curiga. Terlihat dari wajahnya yang tampak tidak nyaman saat Amilie tak kunjung keluar. Ia juga terlihat ketakutan. Dirinya tidak mau jika wanita itu berhasil kabur dan melaporkan perubahannya ini."Tidak boleh. Dia tidak boleh berhasil kabur dari sini!"Stephen pun kemudian berteriak."Seno! Tirta! Kemari kalian!" serunya dengan begitu jelas.Keduanya pun langsung bergegas pergi menghadap Stephen. "Ya, Bos. Kami di sini. Apa ada yang bisa kami lakukan untuk Anda?" tanya Seno dengan kepala menunduk dan kedua tangan di depan.Stephen pun menoleh kepada kedua anak buahnya tersebut. "Kalian cepat dobrak pintu ini!" "Baik, Bos!" jawab mereka serentak.Lantas, keduanya pun berjalan ke depan pintu toilet. Keduanya saling menatap satu sama lain, lalu mengangguk. Seolah isyarat untuk melakukan hal itu secara bersamaan.Namun, saat kedu
Theo yang dalam perjalanan itu pun terus menelusuri jalan mencari keberadaan Amilie saat ini. Hingga, kemudian ia menghentikan mobil. Ia menepi sejenak di depan sebuah salon. "Aku harus mencari ke mana lagi? Sudah pergi sejauh ini, tapi aku belum menemukan ciri-ciri tempat seperti yang disebutkan Amilie," gerutu Theo sembari melihat ke sekeliling.Namun, pada saat yang sama ia ponselnya berdering. Tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang menghubunginya. Ia pun langsung menjawab begitu saja, karena ia sudah menduga bahwa itu David."Ada apa lagi? Amilie belum ditemukan, sekarang aku harus bagaimana?" celetuk Theo.Dirinya tidak memastikan terlebih dahulu bahwa itu bukan David. Dugaannya kali ini salah."Apa? Amilie tidak ada? Maksudnya bagaimana?" ujar Amanda.Theo yang mendengar suara wanita pun langsung terkaget-kaget. Ia melihat ke ponselnya dan ..."Amanda?" batin Theo.Dirinya pun kemudian semakin pusing karena tidak tahu bagaimana dirinya menjelaskan hal itu kepada mertuanya ji