"Bos, sebenarnya apa yang mau Anda perbuat? Apa kita hanya akan menyekapnya begitu saja?" tanya anak buahnya berani."Dasar bodoh. Tentu saja tidak!" Sergey Stephen."Lalu, kenapa belum juga minta bayaran kepada mereka. Harusnya kita memanfaatkan kesempatan ini supaya mendapatkan uang yang lebih banyak!" Namun, pendapat itu ditentang Stephen. Sebab, bukan itu yang ia mau. "Jangan sok tahu soal rencanaku! Ini sudah menjadi urusanku! Kalian cukup diam dan menyaksikan saja apa yang akan terjadi selanjutnya!"Pada dini hari, Stephen terus duduk di kursi sembari sesekali melihat ke arah ponselnya yang mana di dalamnya ada sebuah foto Amilie yang ia tatap. Dirinya pun bangkit dari duduknya, lalu perlahan berjalan memasuki kamar yang ditempati Amilie di sana.Ceklek.Amilie yang mendengar suara pintu terbuka pun langsung mengangkat kepalanya. Ia melihat Stephen yang berjalan masuk ke dalam kamar itu."Mau apa lagi sekarang? Apa belum puas menyakitiku sampai seperti ini?!" ujar Amilie deng
Diam tanpa kata. Berpikir dengan trauma. Itulah yang Amilie rasa. Hingga keheningan pun usai dan Amilie pun membalasnya dengan kalimat lain."Jangan bahas ini lagi. Omonganmu hanya seputar ini saja!"Amilie merenggangkan tubuhnya dari Stephen. Tetapi pandangannya berusaha begitu melihat ponsel miliknya yang terlihat setengah keluar di celana mantannya."Bukankah itu ponselku? Ternyata benar, dia yang menyimpannya. Tapi dia tidak mau mengembalikannya. Baiklah, aku yang akan mengambilnya sendiri," batin Amilie penuh ambisi.Segala sifat sombong dan berkuasa penuh atas dirinya ingin ia musnahkan. Tetapi, hal itu tidak akan mudah. Akan ada prose yang harus ia lalui sebelum tujuannya tercapai."Steph! Tunggu sebentar, aku ingin tanyakan sesuatu lagi padamu.""Tanya soal apa lagi? Apa ini hanya alasan saja karena sebenarnya kamu tidak ingin aku tinggalkan?"Amilie terdiam. "Tidak mungkin. Aku malah senang kalau kau pergi dari hidupku dan tidak mengganggu kehidupan baruku," batin Amilie."Ke
Dengan perasaan cemas, Amilie terus berusaha menyalakan kembali ponselnya. Walaupun ia sedikit kesulitan saat melakukannya.Kepalanya berkali-kali menoleh ke arah pintu, terlebih lagi saat melihat gagang pintu yang bergerak perlahan. "Tidak. Dia tidak boleh tahu aku sedang memegang ponsel. Aku harus segera menyembunyikannya kembali," batin Amilie panik.Ceklek.Satu kaki mulai masuk diikuti dengan kaki yang lainnya. Amilie mendongak, tetapi pada saat yang sama ia berusaha menenangkan dirinya agar tidak terlihat mencurigakan bagi Stephen."Ternyata dia penurut. Dia masih berada di tempat yang sama dan tidak pergi. Bahkan, tidak terlihat perpindahan sedikitpun sama sekali," batin Stephen seraya memicingkan kedua matanya.Dengan bibir mengatup rapat dan pandangan fokus mengarah pada Stephen. Dalam hatinya ia pun berkata, "Dia terus mengarahkan pandangannya padaku. Aku harap dia tidak curiga denganku."Lantas, Stephen pun langsung memangku Amilie dan membawanya pergi keluar dari kamar it
"Menyebalkan sekali. Kenapa dia menutup teleponku sembarangan. Pokoknya, aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa mengatakannya," gerutu Amanda kesal.Dirinya mencoba untuk menghubungi Theo kembali. Tetapi, pada saat yang bersamaan. Secara tiba-tiba ... Tok Tok Tok!"Mama masuk, ya?" tanya Dania dengan nada lembut sembari memegang gagang pintu yang siap ia dorong kapan saja.Amanda langsung menghentikan tangannya yang sedang memegang ponsel. Ia menyembunyikannya dibalik selimut tebal dengan wajah tegang. Untungnya bagi Amanda, Dania tidak langsung membuka pintu kamar. "Masuk saja, Ma. Tidak dikunci, kok!" sahutnya dari dalam kamar.Tetapi, saat Amanda melihat pintu yang nyaris terbuka semua. Ia pun langsung membaringkan tubuhnya dan pura-pura baru bangun dari tidurnya itu.Krieettt! Sampai suara nyaring itu terdengar. Ia menoleh ke arah pintu. Dania tersenyum dan menghentikan langkah kakinya sebentar. Lalu, setelah itu ia melanjutkannya kembali."Nak, kamu baru bangun rupanya," ka
Waktu terus berjalan, dokter pun sudah datang ke tempat itu sesuai permintaan dari Stephen. Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu terdengar, terbawa angin sampai ke jendela lalu ke telinga Amilie."Siapa yang datang? Apa itu dokternya? Bagaimana ini, bagaimana kalau Stephen tahu kalau dialah Ayah dari bayi dalam kandunganku ini," batin Amilie bingung.Keadaannya yang buruk membuatnya kesulitan untuk pergi, apalagi ketika dirinya tidak dapat melakukan sesuatu dengan bebas. Kedua kaki tangan Stephen masih di sana dan selalu mengawasinya. Mata mereka kali ini seolah tak mau lepas dari targetnya. Layaknya elang yang selalu mengawasi mangsanya. "Aku harus bisa menyamarkan semuanya. Tapi, sekarang bagaimana caranya?" batin Amilie.Kepalanya bekerja keras memikirkan cara, walau dirinya merasa buntu dan tidak menemukan cara apapun untuk lepas hari ini.Stephen yang sudah tahu bahwa itu dokter yang dipanggilnya untuk memeriksa Amilie. Membuatnya begitu antusias untuk membuka pintu.Klek, Kriieett
Setelah mendengar pendapat dari salah satu anak buahnya, ia pun kemudian memutuskan sesuatu."Ya sudah, kalau begitu kamu boleh ke sana. Tapi, aku juga akan ikut untuk menemanimu di sana."Mendengar jawaban itu, Amilie pun refleks menyahut perkataan Stephen. "Loh kenapa?"Stephen mengernyitkan dahi, Amilie pun melihat bahwa mantan kekasihnya itu seolah tengah curiga kepadanya. "Maksudnya, aku tidak mungkin buang air ditemani sama kamu. Memangnya kamu mau mencium bau toilet?" Stephen pun menyeringai. "Kesempatanmu cuma satu kali. Jadi, mau atau tidak?"Amilie memalingkan wajahnya ke arah lain. Wajahnya begitu cemas dan tidak nyaman dengan keadaan sekarang. Itu membuatnya tertegun sejenak."Kalau dia ikut ke sana, pasti aku akan kesulitan untuk keluar dari sini. Tapi ... Mungkin saja di sana ada jendela yang bisa aku lewati," batin Amilie."Kenapa malah bengong? Ayo kita pergi ke toilet!" ajak Stephen.Untuk kali ini, dirinya tidak mau sampai kecolongan lagi yang membuat dirinya harus
Pikiran berkecamuk, Amilie terus dalam keadaan panik. Bahkan, jantungnya seolah berdetak dengan tidak normal. Lebih cepat dari biasanya. Mungkin, ini karena perasaannya yang dalam keadaan gelisah.Meskipun dirinya belum mendapat jawaban. Teleponnya belum terjawab oleh Theo. Tetapi, Amilie tak menyerah dengan itu."Ayo, Mas. Kalau kamu memang peduli padaku, harusnya kamu langsung menjawab telepon ini," gumamnya sembari terus mondar-mandir tanpa henti.Theo masih terdiam sembari memandangi ponselnya yang berkali-kali berdering. David yang melihat hal itu pun semakin greget. Ia pun meneguk air putih yang ada di hadapannya, lalu langsung merebut ponsel itu dari tangan Theo."Sini, biar aku saja yang menjawab!"Begitu ponsel itu sudah ada di tangannya, David pun langsung menjawabnya."Halo?"Amilie langsung terdiam. Dirinya yang tidak mengenal suara ini pun langsung bingung. "Maaf kamu siapa? Bisa tolong berikan ponsel ini pada pemiliknya!" pinta Amilie dengan nada tergesa-gesa. Lanta
"Kamu yang keluar sendiri atau aku yang akan mendobrak pintu ini, memaksamu untuk keluar!" kecam Stephen.Semenjak Amilie lama di toilet, Stephen sudah mulai curiga. Terlihat dari wajahnya yang tampak tidak nyaman saat Amilie tak kunjung keluar. Ia juga terlihat ketakutan. Dirinya tidak mau jika wanita itu berhasil kabur dan melaporkan perubahannya ini."Tidak boleh. Dia tidak boleh berhasil kabur dari sini!"Stephen pun kemudian berteriak."Seno! Tirta! Kemari kalian!" serunya dengan begitu jelas.Keduanya pun langsung bergegas pergi menghadap Stephen. "Ya, Bos. Kami di sini. Apa ada yang bisa kami lakukan untuk Anda?" tanya Seno dengan kepala menunduk dan kedua tangan di depan.Stephen pun menoleh kepada kedua anak buahnya tersebut. "Kalian cepat dobrak pintu ini!" "Baik, Bos!" jawab mereka serentak.Lantas, keduanya pun berjalan ke depan pintu toilet. Keduanya saling menatap satu sama lain, lalu mengangguk. Seolah isyarat untuk melakukan hal itu secara bersamaan.Namun, saat kedu
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,