"Mas, cerita saja tidak apa-apa."Lantas, Theo pun menceritakannya perlahan. Walau sebenarnya ia tidak ingin bersinggung paham dengan Amilie. Tetapi, di sisi lain dirinya pun merasa harus terbuka."Tapi, sebenarnya ini tidak terlalu penting untuk dibahas.""Memangnya apa, Mas? Ayolah, aku sudah tidak sabar ingin mendengarnya langsung!""Aku akan cerita kalau setelah ini kamu juga cerita soal tadi bersama dokter itu!" balas Theo. Ia malah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang ia ingin ketahui sejak tadi. Tetapi, saat itu Amilie belum menceritakannya.Amilie terdiam sejenak, lalu ...."Baiklah, nanti aku cerita. Tapi, sekarang kamu dulu cerita sama aku apa yang sedang kamu pikirkan itu. Supaya kamu tidak mati penasaran.""Ya sudah, jadi ... Sebenarnya tadi Papa kirim pesan teks. Dia mau ngajak bertemu minggu ini, tapi ....""Kalau begitu, kenapa kamu terlihat bingung? Kamu bisa langsung datang saja menemui Papa mertua."Theo menatap kedua mata Amilie
Sore ini, Amilie menyaksikan betul-betul pembicaraan mereka. Ia tahu sedikit demi sedikit dibalik semua sikap Theo kepada Santoso.Theo terdiam sembari terus bernafas dengan cepat. Dadanya tampak sesak dan seakan ada sesuatu yang menghalangi."Mas, ini minumlah!" kata Amilie seraya menyodorkan air minum.Theo menoleh ke arah air itu dan menerimanya. Ia meneguknya perlahan, lalu kembali menaruh gelas itu di atas meja."Tenangkan dulu, lalu setelah itu Mas boleh cerita sama aku. Atau ... Mas mending istirahat saja, ini sudah memasuki waktu malam juga, kan?" Theo terdiam. Ia masih belum bicara dengan baik, matanya seolah memperlihatkan isi kepalanya yang terus berpikir memikirkan sesuatu.Sementara itu, di kantor tersebut, Santoso ikut merasa kesal. Ia kesal sekaligus kecewa dengan keadaannya saat ini. "Harusnya dulu aku mempertimbangkan apa yang seharusnya aku lakukan. Sekarang, rasanya sudah terlambat. Dia mungkin kecewa dan belum menerima semuanya."Santoso memandang lurus ke depan
"Kenapa Papa selalu memikirkan anak itu, padahal sudah jelas sekali kalau dia sangat tidak bertanggung jawab dengan Ayahnya dan juga perusahaan!"Sanjaya menoleh ke arah Rosalina. Ia membantah tuduhan yang merujuk pada anak pertamanya itu."Tidak, Ma! Itu tidak benar! Justru anakmu yang membuat semuanya berantakan! Dia tidak bertanggung jawab dan malah pergi berkeliaran pada saat jam kerja, padahal saat itu pekerjaan masih numpuk!" balasnya."Anak itu membuatku pusing, sekarang aku tidak punya kata-kata untuk membelanya lagi! Membuatku harus berpura-pura dan berbohong demi keamanan dirinya dalam posisi itu!" umpat Rosalina di dalam hatinya.Rosalina hanya bisa menunduk sembari sesekali melirik ke arah Sanjaya. Lalu, ia pun kemudian mendekat kembali setelah memikirkan sesuatu."Bukankah dia juga anakmu, Pa? Kenapa kamu tidak mau mengakuinya sama sekali?!""Bukan karena tidak mau mengakui, hanya saja dia itu sangat memalukan!" umpatnya. Kemudian, Sanjaya bergegas pergi menuju kamar man
"Mas, seharian kamu menemani aku di sini. Seharusnya, sekarang kamu istirahat saja, Mas," kata Amilie.Matanya sudah agak menyipit, bahkan beberapa kali Amilie melihat suaminya yang menguap."Aku belum mengantuk, Amilie. Nanti saja kalau sudah benar-benar mau tidur," jawabnya.Namun, Amilie tidak percaya dengan perkataan Theo. Sebab, ia tahu jika suaminya pasti menunggu dirinya tidur terlebih dahulu baru bisa tidur."Mas, kamu tidur saja. Jangan menunggu aku tertidur.""Sebenarnya aku memang mengantuk, tapi tapi entah kenapa tidak bisa tidur," ucapnya, jujur.Amilie mengangguk samar. "Oh, jadi karena itu."Ting! Ponsel berdenting. Ia mengambil ponselnya untuk melihat sebuah pesan yang masuk tersebut.[Nak, tolong kamu jangan abai begini. Apa kamu tidak bisa memikirkannya lagi?]Kalimat itu Theo baca dalam hati. Ia hendak mengabaikan pesan tersebut dan tidak terlalu mempedulikannya lagi.Sanjaya terus memandangi ponsel itu, tetapi kemudian ia menaruhnya. Namun, meskipun begitu ia tet
Keesokan harinya, Theo langsung mendapat telepon. Kala itu, ia masih tidur dengan Amilie.Tetapi suara bising ponsel itu membangunkannya. Ia mengucek matanya, melihat ke jam di rumah sakit itu yang sudah menunjukkan pukul 06.30."Sudah pagi rupanya," gumam Theo.Tidur terlalu malam, membuatnya bangun agak siang. Untungnya tidak terlalu siang. Hanya saja ..."Siapa pagi-pagi yang meneleponku?" Pertanyaan itu muncul di kepala begitu mendengar dering ponsel yang terus berbunyi tanpa henti.Lantas, ia pun menjawabnya begitu salah satu manajer restorannya menghubungi dirinya."Halo, Pa? Saya punya kabar baik untuk Anda," ucapnya dengan antusias. Matanya berbinar seolah tengah melihat sesuatu hal yang indah dan yang membuatnya bersemangat.Theo pun terkesiap. "Kabar baik apa? Katakan saja!" jawabnya dengan santai."Anda datang saja ke restoran sekarang, nanti saya akan memperlihatkan laporannya.""Istriku sedang sakit, jadi ... Tolong katakan saja sekarang!""Baiklah, Pak."Sedikit kecewa
"Amilie, sekarang aku bantu ka--...."Langkah kakinya terhenti begitu melihat perawat itu ada di sana. Pesawat itu menoleh begitu mendengar suara orang berbicara."Kenapa berhenti di sana, Pak. Saya sudah membantu Bu Amilie sarapan pagi, jadi setelah ini dia bisa istirahat," begitulah katanya.Theo melihat ke arah Amilie, lalu berlanjut ke mangkuk yang ada di telapak tangan istrinya tersebut."Dia makan itu? Bukannya dia tidak suka makanan yang disediakan oleh rumah sakit?" batinnya."Mas, kenapa masih berdiam diri di sana?" ujar Amilie. Praak! Amilie menaruh mangkuk itu di meja.Lantas, Theo pun melanjutkan langkah kakinya menuju Amilie."Bu Amilie, kalau sudah selesai sarapannya. Ini obatnya sudah boleh diminum," katanya seraya menyodorkan obat itu kepada Amilie.Amilie menerimanya. "Apa saya tiap hari harus minum obat ini, Sus?" tanyanya.Perawat itu mengangguk sembari tersenyum. "Iya~"Perlahan, Amilie mengambil air putih yang ada di dalam gelas tinggi. Lalu, ia memasukkan obat
"Mana dia? Kenapa belum juga datang?" gumamnya kesal.Rosalina terus memandangi jam tangannya. Ia menunggu kedatangan anaknya, tetapi sampai kini belum juga datang. "Anak itu, selalu cari masalah saja," umpatnya.Stephen datang ke restoran itu. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut di restoran itu. Hingga, ia melihat Rosalina -- Ibunya yang mengenakan baju merah tengah menunggu.Lantas, dirinya pun bergegas ke meja nomor 10. Rosalina pun melihat anaknya yang menuju ke meja itu."Dia baru datang setelah terlambat lima belas menit.""Maaf, Ma. Tadi--....""Ah, sudah, lebih baik sekarang kamu duduk. Mama mau bicarakan sesuatu sama kamu!" katanya."Bicarakan soal apa, sih, Ma? Jangan lama-lama, nanti Papa marah lagi sama aku karena terlambat datang ke kantor.""Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai membuat Papamu itu marah? Cepat bilang sama Mama!" bisik Rosalina dengan mata yang sesekali melihat ke sekitar. "Tidak ada, Ma. Aku tidak melakukan hal aneh apapun. Memangnya Papa m
Rosalina menghela nafas dalam-dalam sembari mengangkat kedua alisnya secara bersamaan."Mau pesan apa, Bu?" tanya seorang pramusaji sembari memegang pulpen dan buku catatan kecil."Ayam pedas dan jus jeruk.""Dessert-nya mau apa, Bu?" tanya pramusaji itu lagi."Sudah, itu saja.""Baik, ditunggu ya, pesanannya," sahutnya sembari tersenyum ramah.Rosalina mengambil ponselnya. "Sepertinya aku harus minta ditemani."Amanda yang sedang duduk santai di tempat tidur itu pun kemudian langsung membuka ponselnya begitu melihat panggilan masuk."Tante Rosa, mau apa dia menghubungiku pagi-pagi?" Ia pun kemudian menjawabnya."Halo, Tante? Tante apa kabar?" ujar Amanda berushaa bersikap seramah mungkin kepada Rosalina.Ceklek! Pintu terbuka. Amanda menoleh ke arah pintu."Siapa itu, Nak?" tanya Dania.Tetapi, Amanda melambaikan tangannya. Ia seolah meminta Dania untuk mendekat ke arahnya.Dania pun mendekat, ia melihat ke arah ponsel Amanda."Ingat kata Mama, kamu jangan terlalu dekat berhubunga