Baru kali ini, Danno dan Vera makan bersama tapi saling diam. selama berpacaran, mereka hampir tak pernah bertengkar. Sekalipun ada perselisihan atau salah paham, tapi tak sampai saling diam begini.Vera menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Tanpa mengatakan apapun, dia berdiri, ingin segera pergi dari situ. Namun, Danno menghentikannya dengan bertanya, "mau ke mana kamu?""Balik ke kamar hotel," jawab Vera dingin. Dia masih enggan menatap wajah sang suami."Aku masih ingin denganmu."Vera tak mempedulikannya. Dia berjalan keluar dari rumah makan dengan langkah cepat, meninggalkan Danno yang kembali muram.Danno tidak bisa diam saja. Dia ikut berdiri, lalu mengejar Vera. Akan tetapi, ternyata wanita itu ditarik masuk oleh seseorang dalam kursi penumpang mobil hitam. "Vera?"Panik, dia segera berlari keluar, hendak menyelamatkan istrinya itu. "VERA! VERRAA! TUNGGU!"Usahanya gagal. Wanita itu sudah keburu masuk, dan mobil pun tancap gas. Jika memang ini penculikan, kenapa Vera tidak
Mama?Papa?Vera sangat ingin tahu apa yang terjadi barusan di teras rumah. Selama beberapa menit, dia hanya duduk manis di sofa ruang tengah kediaman Nino ini, menanti penjelasan.Nino datang ke situ sambil membawakan dua gelas teh. Dia menyajikan salah satunya ke atas meja, tepat di hadapan Vera. "Ini teh kesukaanku, Earl Grey, aku harap kamu juga suka.""Aku suka segala jenis teh," sahut Vera basa-basi sejenak, "tapi yang paling enak menurutku Teh Kamomil."Nino duduk di sofa yang ada di dekat Vera. Dia berkata, "Oh, bunga Kamomil— sangat kebetulan, itu kesukaan mendiang istriku. Bagus untuk membantu tidur lebih nyenyak.""Mendiang istri? Tapi bukannya kamu belum menikah?""Aku sebenarnya udah nikah, cuma dulu nggak ngundang siapa-siapa, Danno juga nggak tahu.""Kenapa?""Soalnya dulu istriku sibuk menjalani kemoterapi, nggak ada waktu buat perayaan atau semacamnya. Kami bisa menikah secara sah saja udah bersyukur banget.""Kemo? Kanker?""Kanker darah dan komplikasi lain.""Kalian
"Apa-apaan ini?"Hanya pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Danno. Dia duduk sendirian di sofa ruang tengah, masih tidak percaya melihat foto di dalam layar ponselnya. Ini tidak mungkin.Dino masuk ke dalam bersama seorang wanita dua puluh tahunan dan seorang pria tiga puluh tahunan. Mereka bertiga menghadap Danno."Pak, saya sudah menjemput mereka," kata Dino saat sudah berada di hadapan sang boss.Danno mengangkat kepala. Dia menatap kedua orang itu, mengenali mereka. "Maaf kalian sampai datang ke sini. Aku takut Alarik lebih dulu menemukan kalian, terutama kamu Teresa."Wanita bernama Teresa mengangguk paham. Dia tersenyum ramah. "Nggak apa-apa. Tapi, sekarang bagaimana? Aku harus sembunyi dulu?""Sebenarnya aku mau bahas sesuatu sama kamu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Pikiranku lagi kacau, tolong kamu pergi ke penginapan yang udah aku siapin sama Dino. Nanti aku kabari lagi, nggak usah hubungin siapapun dulu.""Yaudah nggak masalah.""Maaf kalau aku sampai minta seper
Nino datang sambil membawakan sekotak tisu, lalu diserahkan ke Vera yang masih menangis tersedu-sedu.Tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia hanya duduk di samping Vera, memanfaatkan kondisinya yang sedang bersedih.Vera sebenarnya tidak nyaman dengan Nino yang duduk di sebelah, rasanya sangat aneh. Akan tetapi, dia meyakinkan diri kalau sekarang mereka adalah keluarga bukan orang asing.Nino memberanikan diri untuk meraih telapak tangan Vera, lalu berkata dengan lembut, "kamu nggak apa? Jangan sedih lagi hanya karena pria itu berselingkuh darimu, kamu harus tunjukin kalau kamu kuat."Vera sudah menyeka air matanya. Dia menatap tangannya yang dipegang, lalu ke wajah Nino yang sedih. "Nino ...""Kamu punya rencana 'kan? Setelah ini, kamu mau apa? Menceraikan Danno?""Eh ..." Vera menarik tangannya hingga lepas dari pegangan Nino. "Maaf. Anu ...""Aku yang harus minta maaf, maaf pegang tangan kamu."Vera merasa canggung. Meski pria itu iparnya sekarang, tapi kalau terlalu la
Selama perjalanan pulang, Vera hanya diam saja, tak mengatakan apapun. Danno pun tak berbicara sama sekali. Biasanya, dia menghindari perdebatan dengan sang istri, tapi sikapnya membuat dia ikutan emosi.Ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah, Danno mengunci pintu, dan kuncinya masuk kantong celana.Vera meliriknya. "Nggak usah lebay gitu sampai ngunciin aku di rumah, aku nggak bakalan pergi juga sampai kamu ngasih tahu di mana mamaku berada.""Aku nggak percaya sama kamu. Kamu baru dibiarin sendiri sebentar aja udah dideketin pria lain. Kamu emang mudah dipengaruhi," sindir Danno sembari berjalan melewatinya, masuk ke dalam rumah."Iya, aku emang mudah dipengaruhi, apalagi sama kamu yang jago banget bohong," balas Vera ikut menyindir."Oh." Danno tak tertarik adu mulut.Sikap angkuh itu, nada dingin bicaranya— membuat diri Vera kian kesal. Dia merasa aneh. Kenapa dia yang seperti sudah mengkhianati pria itu? Padahal disini dialah yang dikhianati?Vera berjalan mengikutinya, lalu be
Vera diam saja di dalam kamar hingga malam hari. Danno sudah berusaha untuk tidak mengganggunya, tapi wanita itu terang-terangan menolak untuk keluar.Karena sudah jam tujuh, mau tidak mau, Danno mengetuk pintu kamar, lalu berkata, "Vera, ayo makan malam, mau sampai kapan kamu menyendiri di kamar?""Aku nggak mau makan." Vera menjawab dari dalam.Danno kesal. Dia memutar kenop pintu, ternyata dikunci. "Buka pintunya atau aku dobrak sekarang."Tidak ada jawaban.Tanpa basa-basi lagi, Danno sungguh mendobrak pintu itu beberapa kali. Suara gebrakannya membuat Vera terkejut dan takut.Dia turun dari ranjang sembari berteriak, "Danno, stop! Apa-apaan, sih kamu!" Tapi, Danno tak mau berhenti mendobrak, malah semakin menjadi-jadi. Dengan dobrakan terakhir, dia berhasil merusak lubang kunci sehingga pintu pun terbuka.Danno berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin. Dia bertanya, "sekarang mau makan atau nggak? Atau perlu aku seret sekarang?“Vera takut dengannya. "Apa-apaan sih kamu? Se
Keesokan harinya ...Karena pintu kamar yang rusak, tidur Vera sedikit tidak nyenyak. Dia takut kalau tiba-tiba Danno masuk kamar, lalu melakukan hal aneh-aneh kepadanya.Saat mendengar kegaduhan di luar, dia terpaksa bangun. Ternyata, Jarum jam sudah menunjuk ke pukul lima pagi."Danno? Berisik banget ... jangan-jangan mau jogging?" Vera penasaran dengan suara gaduh di luar. Ia turun dari ranjang, lalu berjalan keluar dari kamar, menuju ke ruang tengah di mana sumber gaduh berasal.Di situ, Danno merapikan piring-piring dan gelas dari atas meja. Pria itu sudah menggunakan kaos, celana, dan sepatu olah raga."Danno? Kamu mau jogging?" tanya Vera.Tetapi, pria itu tidak mendengar, masih fokus merapikan meja. Vera paham kalau telinganya telah disumpal oleh earbud. Mau tidak mau, dia mendekat lalu menunjukkan dirinya. "Danno?" Vera memanggil tepat di depan wajah pria itu. Dia memperagakan agar melepaskan earbud-nya dulu. "Lepas dulu."Tanpa melepas earbud, Danno menjawab, "ada apa? Aku
Ada banyak bangku-bangku yang tersebar di samping trotoar. Semua tempat duduk itu diperuntukkan bagi pejalan kaki yang lelah.Vera duduk di salah satu bangkunya. Ekspresi yang terlukis di wajah wanita itu masih tampak cemberut.Danno berhenti di hadapannya. Dia tersenyum, lalu menggoda, "mau sampai kapan ngambek? Aku udah minta maaf 'kan?""Aku nggak ngambek.""Aku janji nggak bakalan bully kamu lagi. Kamu itu pengacara paling pintar se-Bumi, Vera.""Aku udah bilang nggak usah ngungkit profesi lagi!""Yaudah." Danno menyerahkan botol minumannya, lalu ditawarkan, "mau minum, nggak? Kamu tadi lupa bawa minum sendiri 'kan?""Nggak usah.""Ayo minum." Danno menyambar tangan Vera, lalu dipaksa untuk menerima botol minumannya. "Aku belum minum, jadi kamu nggak usah jijik minum bekasku."Vera minum air dalam botol tersebut. Usai dahaganya terpuaskan, dia kembalikan botolnya Danno. Semua dilakukan dengan sikap angkuh.Danno bertanya, "aku boleh duduk di samping kamu, nggak?" "Nggak boleh." V