"Apa-apaan ini?"Hanya pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Danno. Dia duduk sendirian di sofa ruang tengah, masih tidak percaya melihat foto di dalam layar ponselnya. Ini tidak mungkin.Dino masuk ke dalam bersama seorang wanita dua puluh tahunan dan seorang pria tiga puluh tahunan. Mereka bertiga menghadap Danno."Pak, saya sudah menjemput mereka," kata Dino saat sudah berada di hadapan sang boss.Danno mengangkat kepala. Dia menatap kedua orang itu, mengenali mereka. "Maaf kalian sampai datang ke sini. Aku takut Alarik lebih dulu menemukan kalian, terutama kamu Teresa."Wanita bernama Teresa mengangguk paham. Dia tersenyum ramah. "Nggak apa-apa. Tapi, sekarang bagaimana? Aku harus sembunyi dulu?""Sebenarnya aku mau bahas sesuatu sama kamu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Pikiranku lagi kacau, tolong kamu pergi ke penginapan yang udah aku siapin sama Dino. Nanti aku kabari lagi, nggak usah hubungin siapapun dulu.""Yaudah nggak masalah.""Maaf kalau aku sampai minta seper
Nino datang sambil membawakan sekotak tisu, lalu diserahkan ke Vera yang masih menangis tersedu-sedu.Tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia hanya duduk di samping Vera, memanfaatkan kondisinya yang sedang bersedih.Vera sebenarnya tidak nyaman dengan Nino yang duduk di sebelah, rasanya sangat aneh. Akan tetapi, dia meyakinkan diri kalau sekarang mereka adalah keluarga bukan orang asing.Nino memberanikan diri untuk meraih telapak tangan Vera, lalu berkata dengan lembut, "kamu nggak apa? Jangan sedih lagi hanya karena pria itu berselingkuh darimu, kamu harus tunjukin kalau kamu kuat."Vera sudah menyeka air matanya. Dia menatap tangannya yang dipegang, lalu ke wajah Nino yang sedih. "Nino ...""Kamu punya rencana 'kan? Setelah ini, kamu mau apa? Menceraikan Danno?""Eh ..." Vera menarik tangannya hingga lepas dari pegangan Nino. "Maaf. Anu ...""Aku yang harus minta maaf, maaf pegang tangan kamu."Vera merasa canggung. Meski pria itu iparnya sekarang, tapi kalau terlalu la
Selama perjalanan pulang, Vera hanya diam saja, tak mengatakan apapun. Danno pun tak berbicara sama sekali. Biasanya, dia menghindari perdebatan dengan sang istri, tapi sikapnya membuat dia ikutan emosi.Ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah, Danno mengunci pintu, dan kuncinya masuk kantong celana.Vera meliriknya. "Nggak usah lebay gitu sampai ngunciin aku di rumah, aku nggak bakalan pergi juga sampai kamu ngasih tahu di mana mamaku berada.""Aku nggak percaya sama kamu. Kamu baru dibiarin sendiri sebentar aja udah dideketin pria lain. Kamu emang mudah dipengaruhi," sindir Danno sembari berjalan melewatinya, masuk ke dalam rumah."Iya, aku emang mudah dipengaruhi, apalagi sama kamu yang jago banget bohong," balas Vera ikut menyindir."Oh." Danno tak tertarik adu mulut.Sikap angkuh itu, nada dingin bicaranya— membuat diri Vera kian kesal. Dia merasa aneh. Kenapa dia yang seperti sudah mengkhianati pria itu? Padahal disini dialah yang dikhianati?Vera berjalan mengikutinya, lalu be
Vera diam saja di dalam kamar hingga malam hari. Danno sudah berusaha untuk tidak mengganggunya, tapi wanita itu terang-terangan menolak untuk keluar.Karena sudah jam tujuh, mau tidak mau, Danno mengetuk pintu kamar, lalu berkata, "Vera, ayo makan malam, mau sampai kapan kamu menyendiri di kamar?""Aku nggak mau makan." Vera menjawab dari dalam.Danno kesal. Dia memutar kenop pintu, ternyata dikunci. "Buka pintunya atau aku dobrak sekarang."Tidak ada jawaban.Tanpa basa-basi lagi, Danno sungguh mendobrak pintu itu beberapa kali. Suara gebrakannya membuat Vera terkejut dan takut.Dia turun dari ranjang sembari berteriak, "Danno, stop! Apa-apaan, sih kamu!" Tapi, Danno tak mau berhenti mendobrak, malah semakin menjadi-jadi. Dengan dobrakan terakhir, dia berhasil merusak lubang kunci sehingga pintu pun terbuka.Danno berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin. Dia bertanya, "sekarang mau makan atau nggak? Atau perlu aku seret sekarang?“Vera takut dengannya. "Apa-apaan sih kamu? Se
Keesokan harinya ...Karena pintu kamar yang rusak, tidur Vera sedikit tidak nyenyak. Dia takut kalau tiba-tiba Danno masuk kamar, lalu melakukan hal aneh-aneh kepadanya.Saat mendengar kegaduhan di luar, dia terpaksa bangun. Ternyata, Jarum jam sudah menunjuk ke pukul lima pagi."Danno? Berisik banget ... jangan-jangan mau jogging?" Vera penasaran dengan suara gaduh di luar. Ia turun dari ranjang, lalu berjalan keluar dari kamar, menuju ke ruang tengah di mana sumber gaduh berasal.Di situ, Danno merapikan piring-piring dan gelas dari atas meja. Pria itu sudah menggunakan kaos, celana, dan sepatu olah raga."Danno? Kamu mau jogging?" tanya Vera.Tetapi, pria itu tidak mendengar, masih fokus merapikan meja. Vera paham kalau telinganya telah disumpal oleh earbud. Mau tidak mau, dia mendekat lalu menunjukkan dirinya. "Danno?" Vera memanggil tepat di depan wajah pria itu. Dia memperagakan agar melepaskan earbud-nya dulu. "Lepas dulu."Tanpa melepas earbud, Danno menjawab, "ada apa? Aku
Ada banyak bangku-bangku yang tersebar di samping trotoar. Semua tempat duduk itu diperuntukkan bagi pejalan kaki yang lelah.Vera duduk di salah satu bangkunya. Ekspresi yang terlukis di wajah wanita itu masih tampak cemberut.Danno berhenti di hadapannya. Dia tersenyum, lalu menggoda, "mau sampai kapan ngambek? Aku udah minta maaf 'kan?""Aku nggak ngambek.""Aku janji nggak bakalan bully kamu lagi. Kamu itu pengacara paling pintar se-Bumi, Vera.""Aku udah bilang nggak usah ngungkit profesi lagi!""Yaudah." Danno menyerahkan botol minumannya, lalu ditawarkan, "mau minum, nggak? Kamu tadi lupa bawa minum sendiri 'kan?""Nggak usah.""Ayo minum." Danno menyambar tangan Vera, lalu dipaksa untuk menerima botol minumannya. "Aku belum minum, jadi kamu nggak usah jijik minum bekasku."Vera minum air dalam botol tersebut. Usai dahaganya terpuaskan, dia kembalikan botolnya Danno. Semua dilakukan dengan sikap angkuh.Danno bertanya, "aku boleh duduk di samping kamu, nggak?" "Nggak boleh." V
Syarat? Apa syarat yang dimaksud oleh Danno? Vera sangat ingin tahu. Namun, pria itu malah memaksanya untuk mandi terlebih dahulu, baru membahasnya di meja makan.Jam setengah delapan, Vera keluar dari kamar tidur sudah mengenakan dress kasual bermotif bunga-bunga. Dia berjalan menghampiri ruang makan.Di sana, Danno masih menggunakan celemek, dan menyiapkan sarapan untuk di atas meja. "Maaf kalau cuma buatin nasi goreng sama telur ceplok."Entah mengapa ini membuat Vera sedikit merasa bersalah. Sekalipun mereka bertengkar, sekalipun dia kecewa berat— tapi dia tak seharusnya mengabaikan tugas istri yang satu ini. Sejak kemarin, Danno yang mengurus rumah serta makan mereka.Dia menarik salah satu kursi, lalu diduduki. “Nggak apa. Nasi goreng buatan kamu selalu enak. Udah lama nggak makan.”Danno melepaskan celemek, disampirkan ke tempatnya. Baru setelah itu, dia duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengan Vera."Kita udah mandi, udah segar, kita makan dulu,“ katanya."Cepat katakan apa
Menghabiskan waktu bersama Danno untuk terakhir kalinya. Itulah yang dipikirkan oleh Vera. Dia terus meneguhkan hati kalau ini yang terakhir.Setelah semuanya berakhir, maka berakhir pula rumah tangganya. Meski hati hancur, pikiran kacau, tapi setiap sentuhan yang diberikan Danno menghapus semua keresahan itu.Menyedihkan memang, Vera harusnya marah, muak, benci dan jijik dengan pria yang sudah berselingkuh itu, tapi— kenapa ada setitik kepercayaan yang masih tersimpan dalam benaknya? Kepercayaan bahwa sang suami tidak mungkin berselingkuh. Sebenarnya apa yang terjadi?Sesuai kesepakatan, Vera melayani suaminya dari pagi, siang, sore, malam— hingga pagi datang kembali. Mereka hanya berhenti ketika makan atau membersihkan diri di kamar mandi. Selebihnya, hanya ada persetubuhan dan persetubuhan.Keesokan harinya, Vera membuka mata. Sendi-sendi tubuh seakan remuk. Dia kelelahan, hampir tak bisa bangkit.Karena dia banyak gerak, Danno terbangun juga. Dia melihat wanita itu sudah mau tur