Menghabiskan waktu bersama Danno untuk terakhir kalinya. Itulah yang dipikirkan oleh Vera. Dia terus meneguhkan hati kalau ini yang terakhir.Setelah semuanya berakhir, maka berakhir pula rumah tangganya. Meski hati hancur, pikiran kacau, tapi setiap sentuhan yang diberikan Danno menghapus semua keresahan itu.Menyedihkan memang, Vera harusnya marah, muak, benci dan jijik dengan pria yang sudah berselingkuh itu, tapi— kenapa ada setitik kepercayaan yang masih tersimpan dalam benaknya? Kepercayaan bahwa sang suami tidak mungkin berselingkuh. Sebenarnya apa yang terjadi?Sesuai kesepakatan, Vera melayani suaminya dari pagi, siang, sore, malam— hingga pagi datang kembali. Mereka hanya berhenti ketika makan atau membersihkan diri di kamar mandi. Selebihnya, hanya ada persetubuhan dan persetubuhan.Keesokan harinya, Vera membuka mata. Sendi-sendi tubuh seakan remuk. Dia kelelahan, hampir tak bisa bangkit.Karena dia banyak gerak, Danno terbangun juga. Dia melihat wanita itu sudah mau tur
Vera mampir sejenak di rumah makan untuk sarapan sebentar. Di sana, dia duduk sendirian di meja tepi jendela, jauh dari kerumunan pengunjung lain. Sekalipun sudah berusaha menahan diri, tapi air mata tetap keluar.Kenapa ini terjadi?Tapi, bukankah ini memang dia inginkan? Berpisah dari Danno? Pria itu sudah berselingkuh 'kan?Hatinya hancur. Dia tidak mau ini terjadi, tapi juga ingin ini terjadi. Sebenarnya apa suaminya selingkuh? Atau malah Sheila yang berbohong dan memanipulasi ini semua? Apa perkataan Danno benar— ini semua fitnah kejam dari Nino?Kenapa? Apa hanya karena ingin dia berpisah lalu menjadi ibu dari Venny? Hanya karena alasan seperti itu?Tidak. Tidak mungkin.Vera bimbang. Sekarang sudah terbukti kalau dia memiliki seorang saudari kembar, dan Nino adalah iparnya.Dia membaca tulisan tangan Danno dia selembar kertas yang diambil dari meja ruang tengah. Itu alamat yang diinginkan saat ini.“Mama, apa Mama beneran ada di sini? Satu kota? Di Surabaya ini? Mama begitu de
Vera menghadiri pesta ulang tahun Venny, keponakannya, sesuai jadwal. Dia datang dengan mengenakan dress kasual polos berwarna biru tua. Akan tetapi, dia masih kepikiran dengan omongan Danno. Pria itu benar— tidak seharusnya dia membohongi Venny meskipun dia masih kecil.Dia tidak mau berpura-pura menjadi ibunya. Hal itu malah membuatnya semakin terluka ketika mengetahui kenyataannya. Apapun yang dialami oleh anak pasti berdampak ketika dewasa.Pesta itu dilakukan di halaman depan sebuah rumah yang merupakan salah satu milik Nino. Tema ulang tahun itu adalah Cinderella dari Disney. Alhasil, hampir seluruh dekorasi berwarna biru— mirip dengan gaun yang biasa dipakai oleh Cinderella.Sudah banyak sekali anak yang telah datang, banyak juga orangtua mereka. Di atas panggung, ada wanita muda yang merupakan pembawa acara bersama seorang badut. Mereka menghibur anak-anak yang sudah datang.Nino menyambut Vera yang baru datang. Pria itu mengenakan kemeja biru lengan panjang dipadu dengan c
Pesta ulang tahun Venny diakhiri sejam kemudian. Selama itu pula, Vera berperan sebagai Viola. Dia dihantui perasaan bersalah. Tetapi, dia tak sanggup untuk mengaku.Vera terdiam di dekat panggung, melihat Venny yang riang gembira bersama temannya.Nino mendekati wanita itu sambil menyerahkan segelas jus jeruk. "Ini minum dulu, sampai kapan aku bawain minuman yang kamu mau?""Oh. Maaf.“ Vera tersenyum sembari menerima segelas jus jeruk tersebut.”Ayo minum.“Saat hendak minum, Vera dikejutkan dengan pak satpam yang berlari menghampiri mereka. Pria itu melapor ke Nino, "Pak, di luar ada wanita yang pengen ketemu bapak, namanya—”"Oke, oke,“ sela Nino cepat. Dia menoleh ke Vera dan berkata, ”bentar ya, mungkin itu sekretarisku.“”Iya.“ Nino pergi bersama satpamnya menuju ke luar gerbang, menemui orang yang dimaksud.Vera curiga. Kenapa Nino seolah menghalangi pak satpam bicara barusan? Apa iya yang mencarinya itu sekretaris? Mencurigakan.Atau jangan-jangan adalah Sheila?Penasaran,
Begitu sampai di kantor pelita, Tamara dikejutkan dengan kondisi kantor yang ternyata kosong. Tidak ada siapapun di dalam— hanya ada meja-meja para pengacara yang berantakan. Tidak ada tanda-tanda perampokan atau semacamnya. Iya, seperti ditinggalkan sementara.“Apa-apaan ini?” Tamara masih diam di dalam gedung itu, mencari orang lain. "Halo? Siapapun?“Tidak ada jawaban.Dia menoleh ke pintu kaca depan. Aneh. Jika semua orang pergi, lantas kenapa pintunya tak dikunci? Bahkan, petugas keamanan pun tidak ada? Ke mana semua orang?Dia mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu menelpon seseorang. "Halo, Pak Alarik?”“Gimana? Udah ketemu sama si pengkhianat itu?” suara Alarik terdengar di balik sambungan telepon."Maaf, Pak— tapi nggak ada orang di kantor ini. Kayaknya lagi ditinggal, tapi beneran nggak ada orang, satpam aja nggak ada.“”Udah tanya ruko sebelah?“"Katanya nggak tahu, Pak."”Ke mana
Langit mulai mendung. Vera beruntung tiba di rumah sebelum hujan turun.Dia melihat pagar rumah sudah tak terkunci, mobil Danno terparkir di halaman depan."Seenaknya dia datang ke sini," gerutunya sambil masuk ke dalam rumah. Bertepatan dengan itu, ada suara gemuruh di langit disertai oleh kilat yang menyambar-nyambar.Dia menemukan Danno dan Darrel ada di ruang tengah, sibuk dengan banyaknya berkas di atas meja."Lama banget kamu? Aku ngira kamu mampir ke mana-mana dulu, lupa kalau harus pulang," sindir Danno sama sekali tak menoleh ke Vera, masih membaca salah satu berkas tentang Henry."Aku mampir ke mana pun juga bukan urusan kamu," balas Vera tak kalah dingin.Danno mendehem. Dia tidak mau berdebat, jadi langsung saja berkata, "aku sama Mas Darrel udah ngumpulin beberapa bukti, coba sini lihat— ini daftar kasus yang pernah menjerat Henry, sebagian besar kasusnya ditutup gitu aja."Vera mendekat. Dia mengacuhkan Danno, memusatkan perhatian ke Darrel, lalu mengulurkan tangan padan
Selama setengah jam berlalu, tak ada yang bicara antara Vera dan Danno. Di atas meja, ada dua nasi kotak yang sudah habis, begitu pula dengan dua gelas air putih."Malam ini kamu bakalan di rumah?" tanya Vera yang menghentikan keheningan di antara mereka.Danno menjawab, "iya. Aku di rumah, kenapa?""Nggak apa.""Kamu mau aku nginap di sini?""Enggaklah. Mana sudi aku serumah sama kamu? Aku cuma khawatir sama Mas Darrel kalau di rumah sendirian.""Di rumah itu 'kan ada satpam. Lagian di sana itu aman. Justru yang bahaya itu kamu. Kamu sendirian di sini.""Terus kenapa? Kamu mau bilang kalau mau ngelindungi aku? Sok overprotektif lagi?""Aku cuma mau nasehatin kamu buat hati-hati. Siapa juga yang mau ngelindungin kamu? Jangan ke-PD-an. Sekarang kita proses cerai. Aku udah ngomong sama pengacaraku."Vera kesal mendengar itu. Di sisi lain, ada perasaan sesak salam hati. Kenapa rasanya menyakitkan sekali akan berpisah debgan Danno?Tanpa diduga, rintik hujan pun datang.Vera tidak nyaman
Danno dan Vera duduk di sofa ruang tamu. Dengan kondisi pintu depan yang terbuka, cahaya langit masih bisa menerangi mereka. Iya, walau cahaya kebanyakan berasal dari kilat yang menyambar-nyambar.Senter HP Danno telah mati. Dia tak mau membebani ponselnya.Vera tidak nyaman dalam penerangan remang-remang itu. Semua ini mengingatkannya akan film horor yang banyak ditonton. Kebanyakan di film tersebut menampilkan adegan hujan, mati lampu, juga langit penuh kilat.Saking takutnya, dia duduk di sebelah Danno. Dia tetap mengingatkan pria itu, "tolong jangan salah paham, aku cuma ketakutan. Aku beneran nggak suka gelap-gelap sama hujan deres."Tanpa mengatakan apapun, Danno melepaskan jaket yang dipakai. Lalu, dia menyampirkannya ke pundak Vera.Vera terkejut. Dia bertanya, "ngapain kamu ngasih jaket kamu?""Karena pintunya dibuka, jadi udaranya dingin. Kalau nggak gini, kamu nanti masuk angin.""Enggak bakalan.""Udah. Pakai aja. Nggak usah debat masalah beginian."Vera diam saja, membiar