Vera berjalan lebih cepat. Dia terus mengusap air matanya yang jatuh di pipi. Rekaman video tadi tak bisa dilupakan oleh kepalanya.Bingung. Bimbang. Marah.Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang pasti, dia tak ingin melihat wajah sang suami dulu untuk sekarang.Ada deretan taksi sedang berhenti di tepian trotoar— di seberang jalan ada hotel yang cukup megah.Tanpa menunggu lagi, Vera berbicara dengan sopir salah satu taksi, lalu segera masuk ke dalam."VERA!" Panggil Danno yang menghentikan pintu belakang taksi saat akan ditutup. Dia menarik tangan Vera. "Kamu mau ke mana? Ayo kita pulang!""Pulang? Sama kamu? Enggak." Vera hanya sekilas melihat wajah suaminya yang begitu cemas, tegang dan bingung. Dia menarik tangannya lagi lalu berusaha menutup pintu. "Jangan cari aku, aku lagi nggak pengen ngeliat kamu.""Kamu jangan bercanda!" Nada bicara Danno naik. Dia tidak rela wanita itu pergi. "Aku nggak ngijinin kamu pergi! Ayo pulang!"Vera mendorong dada Danno, berusaha keras agar
Danno pulang ke rumah dengan kondisi marah, bingung, dan juga cemas. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu anak buahnya mencari keberadaan Vera.Selama berjam-jam kemudian, dia hanya duduk di sofa ruang tengah sambil menunggu telepon. Dia masih menggunakan kemeja putih yang sudah agak kusut, lengan pun tergulung hingga siku.Dia mengambil cangkir di atas meja, masih ada setengah sisa kopi yang tadi dibuat. Malam ini— dia takkan bisa tidur. Selama istrinya belum jelas keberadaannya, maka dia tidak bisa tenang.Tepat ketika jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, barulah terdapat sambungan telepon dari Dino. Dia memberitahu, "Pak, mohon maaf karena agak lama mencarinya, tapi nggak salah lagi, Nyonya ada di hotel Willow. Kami juga sudah ngecek CCTV di sekitar bangunan di sana. Nyonya masuk hotel sekitar pukul sembilan malam tadi.“”Kirim satu orang buat mantau ke sana, jangan berbuat apapun, cuma awasi aja.“"Baik, Pak.”"Kabari kalau dia pergi.""Iya, Pak."Danno menutup sa
Baru kali ini, Danno dan Vera makan bersama tapi saling diam. selama berpacaran, mereka hampir tak pernah bertengkar. Sekalipun ada perselisihan atau salah paham, tapi tak sampai saling diam begini.Vera menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Tanpa mengatakan apapun, dia berdiri, ingin segera pergi dari situ. Namun, Danno menghentikannya dengan bertanya, "mau ke mana kamu?""Balik ke kamar hotel," jawab Vera dingin. Dia masih enggan menatap wajah sang suami."Aku masih ingin denganmu."Vera tak mempedulikannya. Dia berjalan keluar dari rumah makan dengan langkah cepat, meninggalkan Danno yang kembali muram.Danno tidak bisa diam saja. Dia ikut berdiri, lalu mengejar Vera. Akan tetapi, ternyata wanita itu ditarik masuk oleh seseorang dalam kursi penumpang mobil hitam. "Vera?"Panik, dia segera berlari keluar, hendak menyelamatkan istrinya itu. "VERA! VERRAA! TUNGGU!"Usahanya gagal. Wanita itu sudah keburu masuk, dan mobil pun tancap gas. Jika memang ini penculikan, kenapa Vera tidak
Mama?Papa?Vera sangat ingin tahu apa yang terjadi barusan di teras rumah. Selama beberapa menit, dia hanya duduk manis di sofa ruang tengah kediaman Nino ini, menanti penjelasan.Nino datang ke situ sambil membawakan dua gelas teh. Dia menyajikan salah satunya ke atas meja, tepat di hadapan Vera. "Ini teh kesukaanku, Earl Grey, aku harap kamu juga suka.""Aku suka segala jenis teh," sahut Vera basa-basi sejenak, "tapi yang paling enak menurutku Teh Kamomil."Nino duduk di sofa yang ada di dekat Vera. Dia berkata, "Oh, bunga Kamomil— sangat kebetulan, itu kesukaan mendiang istriku. Bagus untuk membantu tidur lebih nyenyak.""Mendiang istri? Tapi bukannya kamu belum menikah?""Aku sebenarnya udah nikah, cuma dulu nggak ngundang siapa-siapa, Danno juga nggak tahu.""Kenapa?""Soalnya dulu istriku sibuk menjalani kemoterapi, nggak ada waktu buat perayaan atau semacamnya. Kami bisa menikah secara sah saja udah bersyukur banget.""Kemo? Kanker?""Kanker darah dan komplikasi lain.""Kalian
"Apa-apaan ini?"Hanya pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Danno. Dia duduk sendirian di sofa ruang tengah, masih tidak percaya melihat foto di dalam layar ponselnya. Ini tidak mungkin.Dino masuk ke dalam bersama seorang wanita dua puluh tahunan dan seorang pria tiga puluh tahunan. Mereka bertiga menghadap Danno."Pak, saya sudah menjemput mereka," kata Dino saat sudah berada di hadapan sang boss.Danno mengangkat kepala. Dia menatap kedua orang itu, mengenali mereka. "Maaf kalian sampai datang ke sini. Aku takut Alarik lebih dulu menemukan kalian, terutama kamu Teresa."Wanita bernama Teresa mengangguk paham. Dia tersenyum ramah. "Nggak apa-apa. Tapi, sekarang bagaimana? Aku harus sembunyi dulu?""Sebenarnya aku mau bahas sesuatu sama kamu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Pikiranku lagi kacau, tolong kamu pergi ke penginapan yang udah aku siapin sama Dino. Nanti aku kabari lagi, nggak usah hubungin siapapun dulu.""Yaudah nggak masalah.""Maaf kalau aku sampai minta seper
Nino datang sambil membawakan sekotak tisu, lalu diserahkan ke Vera yang masih menangis tersedu-sedu.Tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia hanya duduk di samping Vera, memanfaatkan kondisinya yang sedang bersedih.Vera sebenarnya tidak nyaman dengan Nino yang duduk di sebelah, rasanya sangat aneh. Akan tetapi, dia meyakinkan diri kalau sekarang mereka adalah keluarga bukan orang asing.Nino memberanikan diri untuk meraih telapak tangan Vera, lalu berkata dengan lembut, "kamu nggak apa? Jangan sedih lagi hanya karena pria itu berselingkuh darimu, kamu harus tunjukin kalau kamu kuat."Vera sudah menyeka air matanya. Dia menatap tangannya yang dipegang, lalu ke wajah Nino yang sedih. "Nino ...""Kamu punya rencana 'kan? Setelah ini, kamu mau apa? Menceraikan Danno?""Eh ..." Vera menarik tangannya hingga lepas dari pegangan Nino. "Maaf. Anu ...""Aku yang harus minta maaf, maaf pegang tangan kamu."Vera merasa canggung. Meski pria itu iparnya sekarang, tapi kalau terlalu la
Selama perjalanan pulang, Vera hanya diam saja, tak mengatakan apapun. Danno pun tak berbicara sama sekali. Biasanya, dia menghindari perdebatan dengan sang istri, tapi sikapnya membuat dia ikutan emosi.Ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah, Danno mengunci pintu, dan kuncinya masuk kantong celana.Vera meliriknya. "Nggak usah lebay gitu sampai ngunciin aku di rumah, aku nggak bakalan pergi juga sampai kamu ngasih tahu di mana mamaku berada.""Aku nggak percaya sama kamu. Kamu baru dibiarin sendiri sebentar aja udah dideketin pria lain. Kamu emang mudah dipengaruhi," sindir Danno sembari berjalan melewatinya, masuk ke dalam rumah."Iya, aku emang mudah dipengaruhi, apalagi sama kamu yang jago banget bohong," balas Vera ikut menyindir."Oh." Danno tak tertarik adu mulut.Sikap angkuh itu, nada dingin bicaranya— membuat diri Vera kian kesal. Dia merasa aneh. Kenapa dia yang seperti sudah mengkhianati pria itu? Padahal disini dialah yang dikhianati?Vera berjalan mengikutinya, lalu be
Vera diam saja di dalam kamar hingga malam hari. Danno sudah berusaha untuk tidak mengganggunya, tapi wanita itu terang-terangan menolak untuk keluar.Karena sudah jam tujuh, mau tidak mau, Danno mengetuk pintu kamar, lalu berkata, "Vera, ayo makan malam, mau sampai kapan kamu menyendiri di kamar?""Aku nggak mau makan." Vera menjawab dari dalam.Danno kesal. Dia memutar kenop pintu, ternyata dikunci. "Buka pintunya atau aku dobrak sekarang."Tidak ada jawaban.Tanpa basa-basi lagi, Danno sungguh mendobrak pintu itu beberapa kali. Suara gebrakannya membuat Vera terkejut dan takut.Dia turun dari ranjang sembari berteriak, "Danno, stop! Apa-apaan, sih kamu!" Tapi, Danno tak mau berhenti mendobrak, malah semakin menjadi-jadi. Dengan dobrakan terakhir, dia berhasil merusak lubang kunci sehingga pintu pun terbuka.Danno berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin. Dia bertanya, "sekarang mau makan atau nggak? Atau perlu aku seret sekarang?“Vera takut dengannya. "Apa-apaan sih kamu? Se
Danno dan istrinya, Vera, sudah lama menantikan liburan ini.Mereka menjalani hari-hari yang sibuk, penuh dengan komitmen pekerjaan dan keluarga, dan mereka menantikan waktu untuk bersantai dan menikmati liburan ke Bali.Mereka memutuskan untuk membawa serta bayi laki-laki mereka yang kini sudah berusia enam bulan, Daniel, dan anak perempuan mereka, Venny.Pada hari pertama liburan mereka, mereka pergi ke kedai es krim lokal. Hari itu adalah hari yang hangat, dan mereka semua ingin menikmati makanan dingin.Danno dan Vera mengantri bersama Baby Daniel di kereta dorongnya, sementara Venny berdiri di samping mereka.Saat mereka menunggu, Vera mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut Venny."Kamu udah nggak sabar ya pengen makan es krim?" tanya Vera kepada putrinya."Iya, Mama." Venny menjawab dengan penuh semangat. "Venny nggak sabar makan es krim!"Saat mereka menunggu, Baby Daniel mulai rewel di kereta dorongnya, dan Danno menariknya keluar dan menggendongnya."Kamu mau es krim, J
Satu tahun kemudian ...Vera telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Dia, sang suami, dan Venny, keponakan yang sudah jadi anak adopsi mereka, memutuskan untuk kembali ke kota Jakarta.Danno menghentikan mobilnya tepat di depan teras rumah besar bertingkat dua. Usai mematikan mobil, dia keluar dan beranjak ke belakang untuk membuka bagasi.Di saat bersamaan, Vera keluar dari mobil dengan menggendong bayi laki-lakinya.Dia membuka pintu belakang, dan membiarkan Venny keluar. Anak perempuan itu terlihat sangat riang gembira."Hore! Udah sampe!" Katanya yang langsung melongo melihat betapa besar rumah yang ada di hadapannya. "ini rumah Papa?"Dengan bangga, Vera mengatakan, "iya dong, ini rumah kita yang sebenarnya. Kalau rumah di Surabaya itu rumah nyewa sebentar, Sayang. Mulai sekarang kita tinggal di rumah kita yang sebenarnya, rumahnya Papa."Danno masih mengeluarkan beberapa koper dari dalam bagasi. Dia menarik semuanya keluar, lalu menggeretnya mendekat ke dekat sang is
Keesokan harinya ...Ibu Vida bertamu di rumah sewaan keluarga pendonor mata yang dia sewa untuk melakukan akting di depan Danno. Dia kesal karena waktu sudah berlalu, tapi tak mendapatkan kabar tentang yang yang diminta.Dia duduk di sofa panjang ruang tamu bersama Delia juga. Di situ, ada wanita yang sebelumnya memotret kemesraan Delia, lalu seorang pria paruh baya, ayah dari anggota keluarga pendonor yang telah meninggal dunia.Delia resah. Dia masih kepikiran sejak melihat kemesraan Danno dan Vera. Saking resahnya, dia sudah tak peduli dengan dirinya yang tak menggunakan kontak lensa. Alhasil, dia tidak kelihatan seperti buta."Ini maksudnya apa? Kok Danno nggak ngirim-ngirim uangnya?" Ibu Vida meminta kejelasan.Delia cemberut. "Nggak tahu, Tante. Padahal pas terakhir pulang dari sini, dia udah bilang kalau bakalan transfer uangnya. Tapi, pas aku ke rumahnya— eh dia malah mesra sama istrinya. Aneh banget. Sebenarnya mereka itu lagi bertengkar atau enggak, sih?“Ibu Vida melihat l
Alarik terdiam pasrah.Dia bahkan tak punya kekuatan untuk bangkit. Ini adalah salahnya, salahnya karena buang-buang waktu. Seharusnya dia langsung membakar rumah ini beserta Vera di dalam selagi ada waktu.Selain itu, seharusnya dia juga membawa anak buahnya yang masih setia. Sekarang?Semua akan sia-sia. Dia melihat Sean yang menyeringai melihatnya tersungkur di trotoar. Orang yang menjadi kepercayaan Danno. Selain itu, ada pria lain yang datang di belakangnya— orang yang menghasutnya tentang Johan alias Rey, saudara kandung Sean.Rey tertawa melihat Alarik yang sudah tak berdaya, tak punya kekuatan dan keberanian untuk bangkit lagi. Dia sengaja menendang tongkat bisbol dari dari tangannya.Alhasil, sekarang— Alarik tak punya kuasa lagi. Meski begitu, dia bangkit, masih menguatkan diri untuk bisa kabur.Rey memperingatkan dengan nada sarkas, “ Bos Alarik— jangan coba-coba kabur. Polisi udah datang, loh.""Brengsek, kalian emang sekumpulan pengkhianat brengsek.” Alarik melihat Sean
Saat hendak membakar sofa, tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dari belakang. Sontak saja Alarik menoleh— "Siapa ..." Dia waspada, takut kalau polisi yang datang. Tapi, dia sangat yakin kalau keberadaannya di sini sangat rahasia.Lalu, dalam sejekap, seorang datang berlari menuju ke arahnya. Iya, tanpa diduga itu adalah Danno.Vera membuka mata, melihatnya datang. Dia berusaha berteriak, "MMM!"Danno tampak seperti singa yang sudah siap menerkam musuh. Raut wajahnya menjadi gelap dan mengerikan, terlebih saat melihat istrinya diperlakukan seperti itu."Kamu—" Alarik panik, hendak melempar korek yang sudah dinyalakan ke arah Vera.Akan tetapi, ketika koreknya hampir jatuh— tubuhnya keburu ditendang oleh Danno sehingga korek tersebut jatuh ke tempat lain, lalu padam.Sangat menegangkan. Detak jantung Vera sampai menjadi tidak karuhan. Dia ketakutan bukan main."Brengsek!" bentak Alarik yang tubuhnya terhuyung-huyung, nyaris terjungkal ke lantai. Tapi, dia berhasil mempertahankan kesei
Usai mendapatkan telepon singkat yang mengkhawatirkan dari salah satu satpam, Danno langsung berdiri. Raut wajahnya berubah panik dan gelisah. Meski belum tahu siapa 'orang mencurigakan' yang didengar barusan, tapi dia sudah bisa menduga.Iya, siapa lagi yang yang akan menyakiti satpamnya seperti itu. Berita tentangnya sudah menyebar di mana-mana— Alarik."Si brengsek itu ... Pasti di brengsek itu ..." Ucap Danno sembari menyambar kunci mobil dari atas meja. Dia memberi pesan ke Dino. "Tolong kamu telpon polisi, minta datang langsung ke rumahku. Aku mau balik dulu sekarang.""Ada apa, Pak?“ Dino ikutan panik sehingga berdiri pula. Dia bingung dengan reaksi wajah Danno yang berubah setelah menerima panggilan sebentar itu. "Terus ini gimana?”"Udah nggak usah ngurusin Delia dulu— telpon atau langsung pergi aja ke kantor polisi, minta ke rumahku. Ada penjahat yang datang.“ Danno mengatakan itu, dan tak ingin berkata apapun lagi. Dia segera meninggalkan tempat itu, keluar dari sana dengan
Danno sedang duduk berhadapan dengan Dino di dalam sebuah kafe. Posisi meja mereka dekat dengan jendela. Dari situ— mereka bisa mengawasi kondisi di seberang jalan, tepat di mana rumah dari keluarga pendonor palsu sedang bersama Delia.Danno melihat jam tangannya, sudah tepat menunjukkan pukul delapan malam. Dia berkata, "aku belum nelpon Vera ..."Selepas menyeruput kopi, Dino berkomentar, "sebenarnya bapak pulang aja nggak masalah sih, Pak. Saya bisa jaga semalaman di sini.""Nggak ..." Danno melihat ke arah rumah seberang jalan lagi. Meski suasana jalanan di depan ramai, tapi dia bisa mengamati sekitar rumah itu. "Nggak bisa, kata Sean kemungkinan ibu mertuaku bakalan datang ke situ sebentar lagi. Kalau itu terjadi, aku bisa langsung menangkap basah permainan mereka yang mau meras aku.""Oh iya, Pak— kata Mas Sean, Ibu mertua bapak punya foto waktu bapak pelukan sama Mbak Delia.""Nggak masalah, aku udah tahu kalau pasti bakalan difoto waktu Delia peluk aku. Kan tujuannya emang me
Usai menjemput Venny dan makan bersama, keluarga kecil ini pulang ke rumah. Vera sedikit bisa bernapas lega karena di rumah sudah tidak ada Delia.Di saat suaminya pergi untuk mengurus kebohongan Delia, Vera bersama Venny di ruang tengah. Vera duduk di sofa sembari menonton berita sore, sementara itu— keponakannya tampak nyaman duduk di atas karpet sembari menggambar.Vera tersenyum melihat hampir seluruh berita nasional sedang fokus kasus menghebohkan di Surabaya. Iya, usahanya bersama Darrel dan Sean membuahkan hasil karena sekarang tempat hiburan milik Alarik dan ayahnya diekspos.Di samping bisnis ilegalnya yang memperkerjakan gadis di bawah umur sebagai penghibur serta menjual obat-obatan terlarang, tempat hiburan itu ternyata juga menunggak pajak, melanggar banyak sekali larangan. Akan tetapi, sialnya— yang tertangkap hanyalah orang-orang yng menjadi suruhan saja, Pak Henry juga tertangkap, tapi Alarik berhasil melarikan diri. Pria itu sudah kabur sejak berita tentang klub mala
Vera masih diam.Dia menunggu sang suami menjelaskan apa maksudnya sang ibu memiliki hubungan salah satu balas dendam mereka yaitu ayah dari Alarik.Danno bisa melihat raut wajah Vera yang menjadi tegang. Dia menjelaskan, "aku udah pernah bilang sama kamu kalau mama kamu itu bukan orang yang baik 'kan? Aku sebenarnya nggak pengen ngomong ini sama kamu dulu ... mengingat kamu kemarin kayaknya nyaman banget waktu ketemu mama kamu."Vera tertegun sejenak. Dia mengaku, "jujur, aku sebenarnya udah nggak enak waktu ketemu dia, Danno. Tapi, ... dia ngomongnya lembut banget, sama kayak kamu, manipulatif."Danno cemberut. "Sayang, aku mungkin manipulatif, tapi aku begini juga gara-gara kamu 'kan? Mulutku manis supaya kamu bahagia."Vera menatap sang suami. Dia menahan tawa. "Untung aku aku cinta sama kamu , jadi aku maafin tingkah ngeselin kamu yang overprotektif sama posesif itu ..."Wajah Danno tak lagi kelihatan cemberut. Dia ikutan tersenyum, tapi tak mengatakan apapun lagi.Vera kembali s