Hari Sabtu pun datang.Vera baru selesai merias dirinya. Dia buru-buru mengambil tas, kemudian pergi keluar kamar, dan mendatangi garasi.Di situ, dia melihat sang suami yang sedang bersandar di samping mobil sambil melihat jam tangan. Pria itu sudah mengenakan setelan jas formal rapi. Dia menatap Vera yang baru tiba. Dia berkata, "lama banget kamu, pengen masuk aja aku terus gendong kamu."”Maaf. Kan wanita butuh waktu merias diri dulu— gimana aku penampilanku?“ Vera memamerkan dress malam warna hitam yang melekat di tubuhnya. Dress itu berpotongan dada rendah sehingga belahan dada kelihatan. Rok dress panjang hingga mata kaki. Kalau saja tak menggunakan hak tinggi pasti akan terjuntai sampi lantai.”Cantik banget, tapi ketat amat?“ komentar Danno mengkhawatirkan pikiran pria lain nanti. Dia heran. ”Tumben banget kamu pakai baju yang seksi ke kondangan? Biasanya tertutup mulu atau palingan pakai batik?""Ini 'kan acaranya di gedung mewah, acaranya temen kuliah kamu dulu, aku pengen
Danno tidak terlalu betah kalau menghadiri acara-acara formal. Dia memang terbiasa dengan semua ini, tapi tetap saja— dia mudah bosan.Dia dan Vera berdiri di samping vas bunga besar berisi mawar merah. Mereka telah menikmati hidangan prasmanan yang enak-enak. Sekarang, para tamu undangan sedang memandangi dua pengantin yang sedang berdansa diiringi oleh musik romantis.Vera senyum-senyum sejak awal. Dia teringat dengan pernikahannya dengan Danno. Iya, mereka juga berdansa seperti itu.Danno menatapnya. Dia bertanya, "Senyum mulu, Sayang, nggak capek kamu?“"Nggak apa, aku cuma ingat sama resepsi kita. Kita juga dansa kayak gitu.""Untung kamu nggak nginjek kakiku dulu, jadi nggak malu-maluin.""Aku belajar tiga bulan," ucap Vera meliriknya. "Tiga bulan demi lancar gerakan dansa dasar.""Kamu dulu cantik banget di gaun pengantin itu. Jadi pengen nikah lagi biar bisa ngeliat kamu pakai bajunya.”"Kita aja baru nikah.“Danno menahan tawa. Dia mengenang masa pernikahan mereka yang masih
Danno tidak mengatakan apapun sewaktu Vera sudah datang. Ini membuat sang istri makin bingung, dan ikutan diam.Sementara itu, Nino berpamitan, lalu pergi untuk mengambil makanan di meja prasmanan bersama Sheila. Dia tidak terburu-buru dalam menjalankan rencananya. Jika ada kesempatan memberitahu Vera, maka akan diambil, jika tidak— maka tidak ada masalah.Setelah mereka pergi, Vera menatap sang suami. Dia bertanya, "Sayang, kamu kenapa dingin gitu?""Mood-ku jadi jelek.""Kamu kenal sama wanita tadi?""Wanita mana?""Sheila itu, pacarnya Nino."Danno menoleh meja prasmanan, pandangannya menajam ke wanita itu. Dia dengan tegas menjawab, "kenal, kan barusan kenalan.""Enggak, maksudku apa kamu kenal dekat gitu loh, jangan bohong kamu, aku bisa tahu kalau kamu nyembunyiin sesuatu.""Nggak kenal, Sayang, mood-ku jelek soalnya ketemu Nino, itu aja sih.""Kenapa? Perasaan kalian baik-baik aja?""Sejak ngomongin bisnis, kami agak berdebat masalah pembagian keuntungan. Itu aja." Danno menimb
Tidak mungkin.Vera berusaha untuk tidak percaya semua ucapan Sheila, tapi hatinya sakit. Menghirup oksigen saja terasa begitu menyakitkan. Apa ini rahasia yang disembunyikan sang suami? Tega sekali dia melakukan ini?Sheila tersenyum melihat Vera yang syok. Memang inilah yang menjadi tugasnya, membuat wanita itu menjadi sakit hati.Dia menambahkan, "kalau misalnya aku hamil, kamu harus bolehin suami kamu nikah sama aku pokoknya!"Vera menatapnya dengan kebencian luar biasa. Dia tak bisa mempertahankan ketenangan. Selain itu, tubuh juga perlahan menjadi lemas."Apa?" Sheila menantang, "kenapa melihatku seperti itu? Lagian ini bukan salahku, aku nggak tahu Danno punya suami, dia nggak pakai cincin waktu aku ketemu dia."Pernyataan itu semakin menyakiti hati Vera. Dia berkata, "teganya kamu seperti ini? Kamu juga sudah punya Nino! Kamu mengkhianatinya!""Enggak, dong, kan sebelumnya aku masih PDKT sama Mas Nino, waktu aku pengen ketemu dia di kamar hotelnya ... eh yang ada malah Mas Dan
Vera berjalan lebih cepat. Dia terus mengusap air matanya yang jatuh di pipi. Rekaman video tadi tak bisa dilupakan oleh kepalanya.Bingung. Bimbang. Marah.Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang pasti, dia tak ingin melihat wajah sang suami dulu untuk sekarang.Ada deretan taksi sedang berhenti di tepian trotoar— di seberang jalan ada hotel yang cukup megah.Tanpa menunggu lagi, Vera berbicara dengan sopir salah satu taksi, lalu segera masuk ke dalam."VERA!" Panggil Danno yang menghentikan pintu belakang taksi saat akan ditutup. Dia menarik tangan Vera. "Kamu mau ke mana? Ayo kita pulang!""Pulang? Sama kamu? Enggak." Vera hanya sekilas melihat wajah suaminya yang begitu cemas, tegang dan bingung. Dia menarik tangannya lagi lalu berusaha menutup pintu. "Jangan cari aku, aku lagi nggak pengen ngeliat kamu.""Kamu jangan bercanda!" Nada bicara Danno naik. Dia tidak rela wanita itu pergi. "Aku nggak ngijinin kamu pergi! Ayo pulang!"Vera mendorong dada Danno, berusaha keras agar
Danno pulang ke rumah dengan kondisi marah, bingung, dan juga cemas. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu anak buahnya mencari keberadaan Vera.Selama berjam-jam kemudian, dia hanya duduk di sofa ruang tengah sambil menunggu telepon. Dia masih menggunakan kemeja putih yang sudah agak kusut, lengan pun tergulung hingga siku.Dia mengambil cangkir di atas meja, masih ada setengah sisa kopi yang tadi dibuat. Malam ini— dia takkan bisa tidur. Selama istrinya belum jelas keberadaannya, maka dia tidak bisa tenang.Tepat ketika jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, barulah terdapat sambungan telepon dari Dino. Dia memberitahu, "Pak, mohon maaf karena agak lama mencarinya, tapi nggak salah lagi, Nyonya ada di hotel Willow. Kami juga sudah ngecek CCTV di sekitar bangunan di sana. Nyonya masuk hotel sekitar pukul sembilan malam tadi.“”Kirim satu orang buat mantau ke sana, jangan berbuat apapun, cuma awasi aja.“"Baik, Pak.”"Kabari kalau dia pergi.""Iya, Pak."Danno menutup sa
Baru kali ini, Danno dan Vera makan bersama tapi saling diam. selama berpacaran, mereka hampir tak pernah bertengkar. Sekalipun ada perselisihan atau salah paham, tapi tak sampai saling diam begini.Vera menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Tanpa mengatakan apapun, dia berdiri, ingin segera pergi dari situ. Namun, Danno menghentikannya dengan bertanya, "mau ke mana kamu?""Balik ke kamar hotel," jawab Vera dingin. Dia masih enggan menatap wajah sang suami."Aku masih ingin denganmu."Vera tak mempedulikannya. Dia berjalan keluar dari rumah makan dengan langkah cepat, meninggalkan Danno yang kembali muram.Danno tidak bisa diam saja. Dia ikut berdiri, lalu mengejar Vera. Akan tetapi, ternyata wanita itu ditarik masuk oleh seseorang dalam kursi penumpang mobil hitam. "Vera?"Panik, dia segera berlari keluar, hendak menyelamatkan istrinya itu. "VERA! VERRAA! TUNGGU!"Usahanya gagal. Wanita itu sudah keburu masuk, dan mobil pun tancap gas. Jika memang ini penculikan, kenapa Vera tidak
Mama?Papa?Vera sangat ingin tahu apa yang terjadi barusan di teras rumah. Selama beberapa menit, dia hanya duduk manis di sofa ruang tengah kediaman Nino ini, menanti penjelasan.Nino datang ke situ sambil membawakan dua gelas teh. Dia menyajikan salah satunya ke atas meja, tepat di hadapan Vera. "Ini teh kesukaanku, Earl Grey, aku harap kamu juga suka.""Aku suka segala jenis teh," sahut Vera basa-basi sejenak, "tapi yang paling enak menurutku Teh Kamomil."Nino duduk di sofa yang ada di dekat Vera. Dia berkata, "Oh, bunga Kamomil— sangat kebetulan, itu kesukaan mendiang istriku. Bagus untuk membantu tidur lebih nyenyak.""Mendiang istri? Tapi bukannya kamu belum menikah?""Aku sebenarnya udah nikah, cuma dulu nggak ngundang siapa-siapa, Danno juga nggak tahu.""Kenapa?""Soalnya dulu istriku sibuk menjalani kemoterapi, nggak ada waktu buat perayaan atau semacamnya. Kami bisa menikah secara sah saja udah bersyukur banget.""Kemo? Kanker?""Kanker darah dan komplikasi lain.""Kalian