Danno tidak mengatakan apapun sewaktu Vera sudah datang. Ini membuat sang istri makin bingung, dan ikutan diam.Sementara itu, Nino berpamitan, lalu pergi untuk mengambil makanan di meja prasmanan bersama Sheila. Dia tidak terburu-buru dalam menjalankan rencananya. Jika ada kesempatan memberitahu Vera, maka akan diambil, jika tidak— maka tidak ada masalah.Setelah mereka pergi, Vera menatap sang suami. Dia bertanya, "Sayang, kamu kenapa dingin gitu?""Mood-ku jadi jelek.""Kamu kenal sama wanita tadi?""Wanita mana?""Sheila itu, pacarnya Nino."Danno menoleh meja prasmanan, pandangannya menajam ke wanita itu. Dia dengan tegas menjawab, "kenal, kan barusan kenalan.""Enggak, maksudku apa kamu kenal dekat gitu loh, jangan bohong kamu, aku bisa tahu kalau kamu nyembunyiin sesuatu.""Nggak kenal, Sayang, mood-ku jelek soalnya ketemu Nino, itu aja sih.""Kenapa? Perasaan kalian baik-baik aja?""Sejak ngomongin bisnis, kami agak berdebat masalah pembagian keuntungan. Itu aja." Danno menimb
Tidak mungkin.Vera berusaha untuk tidak percaya semua ucapan Sheila, tapi hatinya sakit. Menghirup oksigen saja terasa begitu menyakitkan. Apa ini rahasia yang disembunyikan sang suami? Tega sekali dia melakukan ini?Sheila tersenyum melihat Vera yang syok. Memang inilah yang menjadi tugasnya, membuat wanita itu menjadi sakit hati.Dia menambahkan, "kalau misalnya aku hamil, kamu harus bolehin suami kamu nikah sama aku pokoknya!"Vera menatapnya dengan kebencian luar biasa. Dia tak bisa mempertahankan ketenangan. Selain itu, tubuh juga perlahan menjadi lemas."Apa?" Sheila menantang, "kenapa melihatku seperti itu? Lagian ini bukan salahku, aku nggak tahu Danno punya suami, dia nggak pakai cincin waktu aku ketemu dia."Pernyataan itu semakin menyakiti hati Vera. Dia berkata, "teganya kamu seperti ini? Kamu juga sudah punya Nino! Kamu mengkhianatinya!""Enggak, dong, kan sebelumnya aku masih PDKT sama Mas Nino, waktu aku pengen ketemu dia di kamar hotelnya ... eh yang ada malah Mas Dan
Vera berjalan lebih cepat. Dia terus mengusap air matanya yang jatuh di pipi. Rekaman video tadi tak bisa dilupakan oleh kepalanya.Bingung. Bimbang. Marah.Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang pasti, dia tak ingin melihat wajah sang suami dulu untuk sekarang.Ada deretan taksi sedang berhenti di tepian trotoar— di seberang jalan ada hotel yang cukup megah.Tanpa menunggu lagi, Vera berbicara dengan sopir salah satu taksi, lalu segera masuk ke dalam."VERA!" Panggil Danno yang menghentikan pintu belakang taksi saat akan ditutup. Dia menarik tangan Vera. "Kamu mau ke mana? Ayo kita pulang!""Pulang? Sama kamu? Enggak." Vera hanya sekilas melihat wajah suaminya yang begitu cemas, tegang dan bingung. Dia menarik tangannya lagi lalu berusaha menutup pintu. "Jangan cari aku, aku lagi nggak pengen ngeliat kamu.""Kamu jangan bercanda!" Nada bicara Danno naik. Dia tidak rela wanita itu pergi. "Aku nggak ngijinin kamu pergi! Ayo pulang!"Vera mendorong dada Danno, berusaha keras agar
Danno pulang ke rumah dengan kondisi marah, bingung, dan juga cemas. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu anak buahnya mencari keberadaan Vera.Selama berjam-jam kemudian, dia hanya duduk di sofa ruang tengah sambil menunggu telepon. Dia masih menggunakan kemeja putih yang sudah agak kusut, lengan pun tergulung hingga siku.Dia mengambil cangkir di atas meja, masih ada setengah sisa kopi yang tadi dibuat. Malam ini— dia takkan bisa tidur. Selama istrinya belum jelas keberadaannya, maka dia tidak bisa tenang.Tepat ketika jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, barulah terdapat sambungan telepon dari Dino. Dia memberitahu, "Pak, mohon maaf karena agak lama mencarinya, tapi nggak salah lagi, Nyonya ada di hotel Willow. Kami juga sudah ngecek CCTV di sekitar bangunan di sana. Nyonya masuk hotel sekitar pukul sembilan malam tadi.“”Kirim satu orang buat mantau ke sana, jangan berbuat apapun, cuma awasi aja.“"Baik, Pak.”"Kabari kalau dia pergi.""Iya, Pak."Danno menutup sa
Baru kali ini, Danno dan Vera makan bersama tapi saling diam. selama berpacaran, mereka hampir tak pernah bertengkar. Sekalipun ada perselisihan atau salah paham, tapi tak sampai saling diam begini.Vera menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Tanpa mengatakan apapun, dia berdiri, ingin segera pergi dari situ. Namun, Danno menghentikannya dengan bertanya, "mau ke mana kamu?""Balik ke kamar hotel," jawab Vera dingin. Dia masih enggan menatap wajah sang suami."Aku masih ingin denganmu."Vera tak mempedulikannya. Dia berjalan keluar dari rumah makan dengan langkah cepat, meninggalkan Danno yang kembali muram.Danno tidak bisa diam saja. Dia ikut berdiri, lalu mengejar Vera. Akan tetapi, ternyata wanita itu ditarik masuk oleh seseorang dalam kursi penumpang mobil hitam. "Vera?"Panik, dia segera berlari keluar, hendak menyelamatkan istrinya itu. "VERA! VERRAA! TUNGGU!"Usahanya gagal. Wanita itu sudah keburu masuk, dan mobil pun tancap gas. Jika memang ini penculikan, kenapa Vera tidak
Mama?Papa?Vera sangat ingin tahu apa yang terjadi barusan di teras rumah. Selama beberapa menit, dia hanya duduk manis di sofa ruang tengah kediaman Nino ini, menanti penjelasan.Nino datang ke situ sambil membawakan dua gelas teh. Dia menyajikan salah satunya ke atas meja, tepat di hadapan Vera. "Ini teh kesukaanku, Earl Grey, aku harap kamu juga suka.""Aku suka segala jenis teh," sahut Vera basa-basi sejenak, "tapi yang paling enak menurutku Teh Kamomil."Nino duduk di sofa yang ada di dekat Vera. Dia berkata, "Oh, bunga Kamomil— sangat kebetulan, itu kesukaan mendiang istriku. Bagus untuk membantu tidur lebih nyenyak.""Mendiang istri? Tapi bukannya kamu belum menikah?""Aku sebenarnya udah nikah, cuma dulu nggak ngundang siapa-siapa, Danno juga nggak tahu.""Kenapa?""Soalnya dulu istriku sibuk menjalani kemoterapi, nggak ada waktu buat perayaan atau semacamnya. Kami bisa menikah secara sah saja udah bersyukur banget.""Kemo? Kanker?""Kanker darah dan komplikasi lain.""Kalian
"Apa-apaan ini?"Hanya pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Danno. Dia duduk sendirian di sofa ruang tengah, masih tidak percaya melihat foto di dalam layar ponselnya. Ini tidak mungkin.Dino masuk ke dalam bersama seorang wanita dua puluh tahunan dan seorang pria tiga puluh tahunan. Mereka bertiga menghadap Danno."Pak, saya sudah menjemput mereka," kata Dino saat sudah berada di hadapan sang boss.Danno mengangkat kepala. Dia menatap kedua orang itu, mengenali mereka. "Maaf kalian sampai datang ke sini. Aku takut Alarik lebih dulu menemukan kalian, terutama kamu Teresa."Wanita bernama Teresa mengangguk paham. Dia tersenyum ramah. "Nggak apa-apa. Tapi, sekarang bagaimana? Aku harus sembunyi dulu?""Sebenarnya aku mau bahas sesuatu sama kamu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Pikiranku lagi kacau, tolong kamu pergi ke penginapan yang udah aku siapin sama Dino. Nanti aku kabari lagi, nggak usah hubungin siapapun dulu.""Yaudah nggak masalah.""Maaf kalau aku sampai minta seper
Nino datang sambil membawakan sekotak tisu, lalu diserahkan ke Vera yang masih menangis tersedu-sedu.Tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia hanya duduk di samping Vera, memanfaatkan kondisinya yang sedang bersedih.Vera sebenarnya tidak nyaman dengan Nino yang duduk di sebelah, rasanya sangat aneh. Akan tetapi, dia meyakinkan diri kalau sekarang mereka adalah keluarga bukan orang asing.Nino memberanikan diri untuk meraih telapak tangan Vera, lalu berkata dengan lembut, "kamu nggak apa? Jangan sedih lagi hanya karena pria itu berselingkuh darimu, kamu harus tunjukin kalau kamu kuat."Vera sudah menyeka air matanya. Dia menatap tangannya yang dipegang, lalu ke wajah Nino yang sedih. "Nino ...""Kamu punya rencana 'kan? Setelah ini, kamu mau apa? Menceraikan Danno?""Eh ..." Vera menarik tangannya hingga lepas dari pegangan Nino. "Maaf. Anu ...""Aku yang harus minta maaf, maaf pegang tangan kamu."Vera merasa canggung. Meski pria itu iparnya sekarang, tapi kalau terlalu la