Ian mengulas senyum tipis saat melihat dari pantulan cermin, istrinya memejamkan mata. Dia mengelus rambut Fafa, kemudian menoleh ke kanan dan membisikkan kalimat singkat.
"My Love, Wifey!" bisik Ian bersamaan dengan mendaratkan bibirnya di pipi Fafa.
"Sudah!" putus Fafa agar tidak semakin terbuai oleh suaminya. Dia beranjak menjauhi Ian, menuju sisi ranjang. Fafa mempersiapkan ponsel dan tab Ian, lalu memasukkan jadi satu di wallet.
Terdengar ketukan daun pintu sebanyak tiga kali. Fafa dan Ian bertukar pandang kala mendengar suara pintu diketuk. Ian segera mengayuh kursi roda menuju ruang tamu. Sesuai dugaannya, Rahman yang datang. Fafa bergabung tidak lama kemudian.
"Nyonya," sapa Rahman sopan. Fafa merengut, sudah satu tahun panggilan Rahman tidak berubah. Padahal Fafa sudah berulang kali meminta Rahman mengubah panggilan itu. Ian menatap istrinya dengan senyum terkulum. 'Bagaimana j
"Man, gimana hasil pengintaianmu!" suara Ian memecah keheningan. "Sejauh ini, belum ada pergerakan yang patut diwaspadai, Mas Ian." Ian mengangguk. "Terus awasi!" "Siap. Mas Ian kita istirahat dahulu atau langsung?" Ian melihat jam yang melingkar ditangannya. "Iya, Man. Masjid di depan," jawab Ian tanpa melihat lawan bicaranya. Setelah melaksanakan Sholat dhuhur, mereka beristirahat restoran yang ada di sekitaran Masjid Agung Kota Klaten. Rahman terus menahan diri untuk tidak bertanya. Satu jam sudah berlalu, tetapi Ian masih saja nyaman dengan posisi sekarang. Ian menangkap kegelisahan yang ditunjukkan dari gesture Rahman. "Ada apa, Man?" "Kapan berangkat Mas Ian?" "Nanti saja, aku masih ingin bersantai di sini." Rahman mengangguk. Ian menatap lekat layar tab. Dia memang sudah menugaskan Silvi untuk mengawasi Fafa. Selama Ian di Kediri, ada sembilan agen yang bersamanya. Tentu saja semua agen terbai
"Halo Sayang! Eh, Assalamualaikum, Sayang!" sapa Ian ramah. "Wa alaikumsalam, By sudah sampai mana?" "Masih di jalan." "By, Mbak Silvi tadi kesini. Kat- ...," "Iya, aku yang menyuruhnya!" "Ya udah kalo git- ..." ucapan Fafa terputus karena Ian memutuskan panggilannya. Beberapa saat kemudian Ian mengirim chat yang isinya alasan dia tiba-tiba memutuskan panggilannya, karena ada panggilan masuk dari London. "Segenting itukah masalahnya!" gumam Fafa dan setelahnya mendoakan agar masalah segera selesai, dia dan Ian bisa berkumpul kembali. Fafa mengulas senyum membayangkan hal itu terjadi. "Fa ... Fafa ... Fathimah binti Ruslan!" teriak Arni. Fafa terkejut dan tersadar dari lamunannya. "Op-opo Ar?" jawab Fafa dengan tergagap. "Ck! Ngga hanya Pak Aldric Andrian yang bucin akut. Te
"Istrimu sudah tau?" tanya Kyai Mansyur lebih lanjut. "Belum, tau hanya sebatas dua tahun saja." Lagi-lagi Kyai Mansyur mengangguk. Dia paham tidak mudah bagi seorang Milosevic mengatakan siapa jati diri mereka sebenarnya. "Abah senang jika istrimu bisa tinggal di sini. Bawa ke sini, kapanpun kamu mau!" Ian mengangguk. Ruang keluarga kembali hening. Andrian terus memperhatikan gerak gerik Ikan Arwana di akuarium, yang berada tepat di depannya. Sesekali terdengar hembusan napas dalam-yang Andrian lakukan. Kyai Mansyur memandang lekat cucu kesayangan sahabatnya. Dia salut dengan anak muda di hadapannya ini, laki-laki tangguh. Dia tau, saat ini Andrian dilanda kebimbangan terkait istrinya. Andrian menghela napas dalam lagi, sebelum mulai berbicara. Dia menoleh ke arah Kyai Mansyur dan bertanya "Bagaimana jika aku menceraikannya?" Kyai Mansyur terkejut mendapat pertanyaan ini, tetapi
"Assalamualaikum, Mas Ian," sapa Rusdi. "Hhmm." Andrian langsung melajukan kursi rodanya dan berhenti sejenak di depan pintu. Dia memejamkan mata untuk sesaat, sebelum memasuki mansion. Satu tahun sudah, dia meninggalkan mansion ini. Andrian mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruang keluarga. Tempat yang sama dan tidak ada yang berubah sejak dia tinggalkan. Entah kenapa Andrian tiba-tiba merasa sepi. Di depan pintu kamar, dia berhenti lagi untuk sejenak. Dengan enggan, Andrian memasuki kamar utama miliknya. Rusdi hendak membantu Andrian. Akan tetapi, dia menolak. Andrian hanya mau dibantu Rusdi saat mengganti popok dan celana saja. Awalnya Rusdi sangat terkejut, tetapi setelah itu dia mengangguk paham. Setelah Rusdi merapikan pakaian dan beberapa barang bawaan Andrian, dia segera pamit undur diri. Saat Rusdi hendak membuka pintu kamar, Andrian menginterupsinya. "Paman, temani aku minum kopi!"
Dering ponsel Ian membuat ruangan Reynan yang semula riuh mendadak hening. Ian langsung meraih ponsel di saku kursi rodanya. 'Jul!' batinnya. Ian langsung menekan icon berwarna hijau. "Hhmm." "Kak, ada yang mau Jul bicar-," perkataan Julian langsung dipotong Andrian. "Aku ke sana!" ujar Andrian cepat dan langsung mematikan ponselnya. Dia langsung melajukan kursi rodanya secara otomatis keluar ruangan Reynan. "Hei, Ian tunggu!" cegah David. "Ada urusan!" jawab singkat Ian. Reynan dan Frans geleng-gelang melihat interaksi David dan Andrian. David mengembuskan napas kasar, dia kesal sekali, baru saja bertemu sudah ngeloyor pergi. "Sudahlah Dav, kayak ngga tau aja si Ian!" ujar Reynan. "Baru juga ketemu, lu pada ngga kangen?" tanya David. "Kangenlah!" jawab Reynan. Frans diam saja. S
Ian menatap tajam gadis di depannya ini, tanpa bicara sepatah kata pun. Rahang mengeras, bibir mengatup rapat, tanda Aldric Andrian benar-benar menahan amarah. Sayang sekali, hal itu tidak berlaku bagi Rinda. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Ian. Meeting room mencekam. Itulah keadaan yang bisa digambarkan sekarang. Julian sudah tidak tahu harus bagaimana lagi mengendalikan Rinda. Sejak kecil, Rinda memang selalu mengganggu Ian. Suatu ketika kemarahan Ian memuncak dan mengakibatkan Rinda langsung dikirim Aldric Andrian remaja ke sekolah asrama di Jerman dan Inggris. Bagaimana reaksi ayah dan ibu Julian? Kedua orang tuanya pun tidak bisa mencegah kemarahan Andrian muda, bahkan saat mereka bersujud di kaki Andrian, dia bergeming. "Hei, Kak Ian. Rinrin bukan anak umur lima tahun lagi! 24 tahun. Ingat! Dasar orang tua jelek!" ejek Rinda. "Ternyata 19 tahun ini, kamu semakin
"Bagaimana dengan istriku?" "Clear, Sir." "Pastikan, mereka tidak menyentuh istriku, Man!" perintah Ian dengan tatapan tajam penuh intimidasi. Rahman yang hampir sepuluh tahun bekerja pada Andrian masih saja tetap merasakan betapa aura itu pekat sekali. Andrian mendesah. Masalah Sander benar-benar mengurasi energinya. Dia hanya berharap tidak mati dengan mudah. Sejak kapan Lead The Leon akan mati dengan mudah? "Man, handle semua seperti biasa!" "Yes, Sir." "Pergilah!" Rahman membungkuk sedikit lalu keluar dari ruangan itu. Andrian mengayuh kursi rodanya ke dekat jendela, yang berada di sebelah taman. Berdiam diri di dekat taman adalah kebiasaan Andrian sejak kecil. 'Semoga kamu sampai kapan pun tidak akan bangun lagi, tetaplah tidur untuk selamanya dan jangan sampai istriku tau kehadiranmu! Aku harus bisa mengendalikanmu, jika tidak berapa banyak darah yang akan kau tumpahkan hingga terpuaskan hasratmu,' tekad
Kota Kediri Dr. Arnold tiba-tiba menghubungi dan meminta Fafa untuk datang ke rumah sakit nanti sore. Ditemani oleh Silvi, Fafa segera berangkat ke rumah sakit. Dia terkejut saat mendapat penjelasan jika nanti malam, suaminya akan melaksanakan treatment fertilitas. Dr. Arnold meminta Fafa untuk bersiap-siap karena beberapa hari ke depan proses inseminasi buatan akan segera dilaksanakan. Dia cukup menjaga kondisi dan mengkonsumsi vitamin yang telah diresepkan oleh dr. Arnold. Sebagaimana perintah Andrian, proses penanaman akan dilakukan di R.S Medika Surabaya. Sepanjang hari Fafa gelisah, tidak ada satu pun yang bisa dia hubungi sekarang. Keluarga di Jakarta benar-benar menutup akses darinya. Sebenarnya apa yang sedang mereka sembunyikan. Malam menjelang, selepas sholat isya, Fafa semakin tidak tenang. Dia sudah bisa menghubungi Rusdi, tetapi jawaban yang diterima tidak memuaskan. Fafa menghubungi nomor ponsel Andrian, dalam posisi off. Dia juga menghubungi Ra