"Assalamualaikum, Mas Ian," sapa Rusdi.
"Hhmm."
Andrian langsung melajukan kursi rodanya dan berhenti sejenak di depan pintu. Dia memejamkan mata untuk sesaat, sebelum memasuki mansion. Satu tahun sudah, dia meninggalkan mansion ini. Andrian mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruang keluarga. Tempat yang sama dan tidak ada yang berubah sejak dia tinggalkan. Entah kenapa Andrian tiba-tiba merasa sepi. Di depan pintu kamar, dia berhenti lagi untuk sejenak. Dengan enggan, Andrian memasuki kamar utama miliknya.
Rusdi hendak membantu Andrian. Akan tetapi, dia menolak. Andrian hanya mau dibantu Rusdi saat mengganti popok dan celana saja. Awalnya Rusdi sangat terkejut, tetapi setelah itu dia mengangguk paham. Setelah Rusdi merapikan pakaian dan beberapa barang bawaan Andrian, dia segera pamit undur diri. Saat Rusdi hendak membuka pintu kamar, Andrian menginterupsinya. "Paman, temani aku minum kopi!"
Dering ponsel Ian membuat ruangan Reynan yang semula riuh mendadak hening. Ian langsung meraih ponsel di saku kursi rodanya. 'Jul!' batinnya. Ian langsung menekan icon berwarna hijau. "Hhmm." "Kak, ada yang mau Jul bicar-," perkataan Julian langsung dipotong Andrian. "Aku ke sana!" ujar Andrian cepat dan langsung mematikan ponselnya. Dia langsung melajukan kursi rodanya secara otomatis keluar ruangan Reynan. "Hei, Ian tunggu!" cegah David. "Ada urusan!" jawab singkat Ian. Reynan dan Frans geleng-gelang melihat interaksi David dan Andrian. David mengembuskan napas kasar, dia kesal sekali, baru saja bertemu sudah ngeloyor pergi. "Sudahlah Dav, kayak ngga tau aja si Ian!" ujar Reynan. "Baru juga ketemu, lu pada ngga kangen?" tanya David. "Kangenlah!" jawab Reynan. Frans diam saja. S
Ian menatap tajam gadis di depannya ini, tanpa bicara sepatah kata pun. Rahang mengeras, bibir mengatup rapat, tanda Aldric Andrian benar-benar menahan amarah. Sayang sekali, hal itu tidak berlaku bagi Rinda. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Ian. Meeting room mencekam. Itulah keadaan yang bisa digambarkan sekarang. Julian sudah tidak tahu harus bagaimana lagi mengendalikan Rinda. Sejak kecil, Rinda memang selalu mengganggu Ian. Suatu ketika kemarahan Ian memuncak dan mengakibatkan Rinda langsung dikirim Aldric Andrian remaja ke sekolah asrama di Jerman dan Inggris. Bagaimana reaksi ayah dan ibu Julian? Kedua orang tuanya pun tidak bisa mencegah kemarahan Andrian muda, bahkan saat mereka bersujud di kaki Andrian, dia bergeming. "Hei, Kak Ian. Rinrin bukan anak umur lima tahun lagi! 24 tahun. Ingat! Dasar orang tua jelek!" ejek Rinda. "Ternyata 19 tahun ini, kamu semakin
"Bagaimana dengan istriku?" "Clear, Sir." "Pastikan, mereka tidak menyentuh istriku, Man!" perintah Ian dengan tatapan tajam penuh intimidasi. Rahman yang hampir sepuluh tahun bekerja pada Andrian masih saja tetap merasakan betapa aura itu pekat sekali. Andrian mendesah. Masalah Sander benar-benar mengurasi energinya. Dia hanya berharap tidak mati dengan mudah. Sejak kapan Lead The Leon akan mati dengan mudah? "Man, handle semua seperti biasa!" "Yes, Sir." "Pergilah!" Rahman membungkuk sedikit lalu keluar dari ruangan itu. Andrian mengayuh kursi rodanya ke dekat jendela, yang berada di sebelah taman. Berdiam diri di dekat taman adalah kebiasaan Andrian sejak kecil. 'Semoga kamu sampai kapan pun tidak akan bangun lagi, tetaplah tidur untuk selamanya dan jangan sampai istriku tau kehadiranmu! Aku harus bisa mengendalikanmu, jika tidak berapa banyak darah yang akan kau tumpahkan hingga terpuaskan hasratmu,' tekad
Kota Kediri Dr. Arnold tiba-tiba menghubungi dan meminta Fafa untuk datang ke rumah sakit nanti sore. Ditemani oleh Silvi, Fafa segera berangkat ke rumah sakit. Dia terkejut saat mendapat penjelasan jika nanti malam, suaminya akan melaksanakan treatment fertilitas. Dr. Arnold meminta Fafa untuk bersiap-siap karena beberapa hari ke depan proses inseminasi buatan akan segera dilaksanakan. Dia cukup menjaga kondisi dan mengkonsumsi vitamin yang telah diresepkan oleh dr. Arnold. Sebagaimana perintah Andrian, proses penanaman akan dilakukan di R.S Medika Surabaya. Sepanjang hari Fafa gelisah, tidak ada satu pun yang bisa dia hubungi sekarang. Keluarga di Jakarta benar-benar menutup akses darinya. Sebenarnya apa yang sedang mereka sembunyikan. Malam menjelang, selepas sholat isya, Fafa semakin tidak tenang. Dia sudah bisa menghubungi Rusdi, tetapi jawaban yang diterima tidak memuaskan. Fafa menghubungi nomor ponsel Andrian, dalam posisi off. Dia juga menghubungi Ra
Dr. Thomas bersiaga di samping Andrian. Begitu pula anggota tim dokter yang lain. Bagaimanapun efek pasca treatment ini yang wajib diwaspadai. Kondisi fisik Andrian bisa saja menyebabkan terjadinya anomali. Selama 20 tahun, tubuh ringkih itu terus menerus mendapatkan berbagai injeksi baik vitamin maupun obat untuk menopang kehidupannya. Hanya saja, selama satu tahun terakhir sudah jarang, bahkan pemilik R.S. Medika itu hampir tidak pernah lagi melakukannya. Semua ini tidak lepas dari campur tangan sang istri. Siapa lagi jika bukan Fafa. Gadis itu benar-benar membuat dr. Thomas salut, tidak hanya berhasil membantu Andrian perlahan lepas dari ketergantungan obat penenang, tetapi juga berhasil menidurkan monster dalam diri pria itu. Dr. Thomas memusatkan perhatiannya pada Andrian. Dia sebenarnya kurang setuju dengan rencana pria itu untuk memukul mundur Sander, sementara dia berusaha keras membuat istrinya hamil. Akan tetapi bagaimanapun dr. Thomas juga berada dalam kuasa
Becker bangkit dari duduknya dan langsung mengekor Sander keluar dari VVIP Room. Becker sudah bisa menebak kemana sahabatnya itu akan pergi. Saat ini, Sander hanya butuh pelampiasan. Dua pria dewasa itu langsung masuk ke dalam lift yang tak jauh dari room yang mereka tempati selama hampir sepekan ini dan menuju club yang ada di lantai tiga. Begitulah cara Sander melepaskan kekesalan di hatinya. Dia akan minum hingga mabuk dan melepaskan insting purba terlarangnya pada wanita yang dia temui di club. Sebenarnya, apa yang dilakukan Sander tidak jauh beda dengan Andrian. Hanya saja, Andrian akan mengusir kekesalan hatinya dengan merokok puluhan batang rokok dan menghabiskan bergelas-gelas kopi hitam. Tidak hanya itu, cara Sander dan Andrian menyelesaikan masalah juga sangat berbeda. Jika Sander lebih mengandalkan anak buahnya dan muncul saat terakhir, maka Andrian akan menjadi m
"Mbak Fafa, nggak papa?" "Nggak papa. Hhmm ... Mbak Silvi, Pak eh ... Mas Rahman sudah ngasih kabar belum? Mas Ian bagaimana?" tanya Fafa pelan. "Tadi malam, Kak Rahman memberitahu jika tuan muda baik." Fafa mengangguk. Perjalanan ke Surabaya, sedikit lebih lama dari biasanya. Butuh waktu hingga tiga jam untuk sampai di R.S. Medika Surabaya. Beberapa kali Fafa meminta berhenti di tengah-tengah perjalanan. Setibanya di R.S. Medika, Silvi langsung ke arah resepsionis untuk mengurus segala sesuatunya. Fafa mengikuti arahan Silvi untuk mengikutinya. Ternyata, mereka masuk ke VVIP Room. Untuk istirahat sejenak, menunggu konsultasi dengan dr. Chris, yang sudah di jadwalkan pukul satu siang. Setelah sholat dhuhur, Fafa rebahan. Dia melihat galeri di ponsel, yang berisi foto-foto Andrian. Suaminya itu, memang susah difoto kalau dalam keadaan sadar. Akhirnya, kebanyakan foto dalam keadaan Andrian tidur. Ada satu foto yang membuat perasaan Fafa ca
Dr. Julian mengeluarkan mini flash disk, kemudian menyerahkan pada Fafa. "Ini, amanat dari Kak Ian." Fafa mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Fafa melihat jam tangannya. Ternyata dua jam penuh dia konsultasi. Dia segera berpamitan dan meninggalkan Poli Obygyn dengan penasaran. 'Apa isi flash disk ini!' batinnya. Di depan poli, Fafa disambut oleh oleh Silvi. Tanpa sepatah kata, keduanya berjalan berdampingan menuju VVIP room. Mereka sibuk dengan pikirannya sendiri, jika Fafa penasaran dengan isi mini flash disk yang diberikan dr. Julian, sedangkan Silvi penasaran kenapa Fafa keluar dari poli memasang wajah sendu. "Mb Silvi, saya mau sendiri dulu. Maaf!" ujar Fafa pelan. "Iya, Mbak Fa. Saya di depan ya," jawab Silvi langsung menutup daun pintu. Fafa langsung naik ke atas ranjang dan meraih notebook. Dengan sedikit terburu-buru dia langsun
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny