Ian menatap tajam gadis di depannya ini, tanpa bicara sepatah kata pun. Rahang mengeras, bibir mengatup rapat, tanda Aldric Andrian benar-benar menahan amarah. Sayang sekali, hal itu tidak berlaku bagi Rinda. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Ian.
Meeting room mencekam. Itulah keadaan yang bisa digambarkan sekarang. Julian sudah tidak tahu harus bagaimana lagi mengendalikan Rinda.
Sejak kecil, Rinda memang selalu mengganggu Ian. Suatu ketika kemarahan Ian memuncak dan mengakibatkan Rinda langsung dikirim Aldric Andrian remaja ke sekolah asrama di Jerman dan Inggris. Bagaimana reaksi ayah dan ibu Julian? Kedua orang tuanya pun tidak bisa mencegah kemarahan Andrian muda, bahkan saat mereka bersujud di kaki Andrian, dia bergeming.
"Hei, Kak Ian. Rinrin bukan anak umur lima tahun lagi! 24 tahun. Ingat! Dasar orang tua jelek!" ejek Rinda.
"Ternyata 19 tahun ini, kamu semakin
"Bagaimana dengan istriku?" "Clear, Sir." "Pastikan, mereka tidak menyentuh istriku, Man!" perintah Ian dengan tatapan tajam penuh intimidasi. Rahman yang hampir sepuluh tahun bekerja pada Andrian masih saja tetap merasakan betapa aura itu pekat sekali. Andrian mendesah. Masalah Sander benar-benar mengurasi energinya. Dia hanya berharap tidak mati dengan mudah. Sejak kapan Lead The Leon akan mati dengan mudah? "Man, handle semua seperti biasa!" "Yes, Sir." "Pergilah!" Rahman membungkuk sedikit lalu keluar dari ruangan itu. Andrian mengayuh kursi rodanya ke dekat jendela, yang berada di sebelah taman. Berdiam diri di dekat taman adalah kebiasaan Andrian sejak kecil. 'Semoga kamu sampai kapan pun tidak akan bangun lagi, tetaplah tidur untuk selamanya dan jangan sampai istriku tau kehadiranmu! Aku harus bisa mengendalikanmu, jika tidak berapa banyak darah yang akan kau tumpahkan hingga terpuaskan hasratmu,' tekad
Kota Kediri Dr. Arnold tiba-tiba menghubungi dan meminta Fafa untuk datang ke rumah sakit nanti sore. Ditemani oleh Silvi, Fafa segera berangkat ke rumah sakit. Dia terkejut saat mendapat penjelasan jika nanti malam, suaminya akan melaksanakan treatment fertilitas. Dr. Arnold meminta Fafa untuk bersiap-siap karena beberapa hari ke depan proses inseminasi buatan akan segera dilaksanakan. Dia cukup menjaga kondisi dan mengkonsumsi vitamin yang telah diresepkan oleh dr. Arnold. Sebagaimana perintah Andrian, proses penanaman akan dilakukan di R.S Medika Surabaya. Sepanjang hari Fafa gelisah, tidak ada satu pun yang bisa dia hubungi sekarang. Keluarga di Jakarta benar-benar menutup akses darinya. Sebenarnya apa yang sedang mereka sembunyikan. Malam menjelang, selepas sholat isya, Fafa semakin tidak tenang. Dia sudah bisa menghubungi Rusdi, tetapi jawaban yang diterima tidak memuaskan. Fafa menghubungi nomor ponsel Andrian, dalam posisi off. Dia juga menghubungi Ra
Dr. Thomas bersiaga di samping Andrian. Begitu pula anggota tim dokter yang lain. Bagaimanapun efek pasca treatment ini yang wajib diwaspadai. Kondisi fisik Andrian bisa saja menyebabkan terjadinya anomali. Selama 20 tahun, tubuh ringkih itu terus menerus mendapatkan berbagai injeksi baik vitamin maupun obat untuk menopang kehidupannya. Hanya saja, selama satu tahun terakhir sudah jarang, bahkan pemilik R.S. Medika itu hampir tidak pernah lagi melakukannya. Semua ini tidak lepas dari campur tangan sang istri. Siapa lagi jika bukan Fafa. Gadis itu benar-benar membuat dr. Thomas salut, tidak hanya berhasil membantu Andrian perlahan lepas dari ketergantungan obat penenang, tetapi juga berhasil menidurkan monster dalam diri pria itu. Dr. Thomas memusatkan perhatiannya pada Andrian. Dia sebenarnya kurang setuju dengan rencana pria itu untuk memukul mundur Sander, sementara dia berusaha keras membuat istrinya hamil. Akan tetapi bagaimanapun dr. Thomas juga berada dalam kuasa
Becker bangkit dari duduknya dan langsung mengekor Sander keluar dari VVIP Room. Becker sudah bisa menebak kemana sahabatnya itu akan pergi. Saat ini, Sander hanya butuh pelampiasan. Dua pria dewasa itu langsung masuk ke dalam lift yang tak jauh dari room yang mereka tempati selama hampir sepekan ini dan menuju club yang ada di lantai tiga. Begitulah cara Sander melepaskan kekesalan di hatinya. Dia akan minum hingga mabuk dan melepaskan insting purba terlarangnya pada wanita yang dia temui di club. Sebenarnya, apa yang dilakukan Sander tidak jauh beda dengan Andrian. Hanya saja, Andrian akan mengusir kekesalan hatinya dengan merokok puluhan batang rokok dan menghabiskan bergelas-gelas kopi hitam. Tidak hanya itu, cara Sander dan Andrian menyelesaikan masalah juga sangat berbeda. Jika Sander lebih mengandalkan anak buahnya dan muncul saat terakhir, maka Andrian akan menjadi m
"Mbak Fafa, nggak papa?" "Nggak papa. Hhmm ... Mbak Silvi, Pak eh ... Mas Rahman sudah ngasih kabar belum? Mas Ian bagaimana?" tanya Fafa pelan. "Tadi malam, Kak Rahman memberitahu jika tuan muda baik." Fafa mengangguk. Perjalanan ke Surabaya, sedikit lebih lama dari biasanya. Butuh waktu hingga tiga jam untuk sampai di R.S. Medika Surabaya. Beberapa kali Fafa meminta berhenti di tengah-tengah perjalanan. Setibanya di R.S. Medika, Silvi langsung ke arah resepsionis untuk mengurus segala sesuatunya. Fafa mengikuti arahan Silvi untuk mengikutinya. Ternyata, mereka masuk ke VVIP Room. Untuk istirahat sejenak, menunggu konsultasi dengan dr. Chris, yang sudah di jadwalkan pukul satu siang. Setelah sholat dhuhur, Fafa rebahan. Dia melihat galeri di ponsel, yang berisi foto-foto Andrian. Suaminya itu, memang susah difoto kalau dalam keadaan sadar. Akhirnya, kebanyakan foto dalam keadaan Andrian tidur. Ada satu foto yang membuat perasaan Fafa ca
Dr. Julian mengeluarkan mini flash disk, kemudian menyerahkan pada Fafa. "Ini, amanat dari Kak Ian." Fafa mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Fafa melihat jam tangannya. Ternyata dua jam penuh dia konsultasi. Dia segera berpamitan dan meninggalkan Poli Obygyn dengan penasaran. 'Apa isi flash disk ini!' batinnya. Di depan poli, Fafa disambut oleh oleh Silvi. Tanpa sepatah kata, keduanya berjalan berdampingan menuju VVIP room. Mereka sibuk dengan pikirannya sendiri, jika Fafa penasaran dengan isi mini flash disk yang diberikan dr. Julian, sedangkan Silvi penasaran kenapa Fafa keluar dari poli memasang wajah sendu. "Mb Silvi, saya mau sendiri dulu. Maaf!" ujar Fafa pelan. "Iya, Mbak Fa. Saya di depan ya," jawab Silvi langsung menutup daun pintu. Fafa langsung naik ke atas ranjang dan meraih notebook. Dengan sedikit terburu-buru dia langsun
"Eemm, jadi gin-," ujar Julian terjeda karena terdengar nada dering panggilan masuk pada ponselnya. Setelah meminta izin untuk menerima panggilan, dr. Julian menjauh dari tempat Fafa. Panggilan dari dr. Thomas terlalu riskan jika sampai isinya didengar oleh Fafa. Bagaimanapun kondisi Andrian saat ini tidak baik-baik saja. Lantas, apa yang bisa dia katakan pada istrinya. Selesai menerima panggilan dr. Julian segera kembali menemui Fafa kembali. " Maaf, Kak. Mau menanyakan apa? Oh iya Kak Ian. Dia baik-baik saja Kak. Sempat kolaps karena obat fertilitas itu, tapi sekarang udah baikan kok. Kak Fa tenang saja, yang penting Kakak konsen sama proses besok pagi!" jelas Julian. "Bukannya seperti jam kemarin ya?" tanya Fafa gugup. "Oh, Chris belum memberi tahu Kak Fa ya! Dimajukan Kak, besok siang dr. Arnold ada jadwal seminar karena akan bertolak ke London!" jelas Julian. 'Andai Kak Fa tau, untuk siapa dr. Arnold ke London,' lanjut Julian
Setelah mendapat persetujuan Fafa, dr Arnold memulai prosesnya. Fafa memilih memalingkan wajah dari kedua dokter itu. Rasa malu tetaplah mendominasi. Dr. Arnold pelan-pelan melakukan prosesnya, mengingat Fafa sendiri juga masih virgin. Rasa tidak nyaman terlihat jelas dari raut wajah Fafa. Seketika suasana hening, hanya helaan napas tertahan dan pelan sesekali terdengar, serta sesekali bunyi peralatan yang digunakan oleh kedua dokter itu. "Finish!" ucap dr. Arnold, setelah hampir dua jam melakukan tindakan medisnya. Fafa mengembuskan napas lega dan mengucap syukur. Setelah semua peralatan dirapikan kembali oleh perawat yang bertugas saat itu, keadaan kembali hening. "Nyonya Andrian, tetap rebahan dahulu ya, paling tidak 20 menit, lebih juga boleh," lanjut dr. Arnold mengingatkan Fafa. "Iya, Dok. Terima kasih." "Nyonya, nanti setelah berdiri dan berjalan ada rasa tidak nyaman, bahk