Kota Kediri
Dr. Arnold tiba-tiba menghubungi dan meminta Fafa untuk datang ke rumah sakit nanti sore. Ditemani oleh Silvi, Fafa segera berangkat ke rumah sakit. Dia terkejut saat mendapat penjelasan jika nanti malam, suaminya akan melaksanakan treatment fertilitas. Dr. Arnold meminta Fafa untuk bersiap-siap karena beberapa hari ke depan proses inseminasi buatan akan segera dilaksanakan. Dia cukup menjaga kondisi dan mengkonsumsi vitamin yang telah diresepkan oleh dr. Arnold. Sebagaimana perintah Andrian, proses penanaman akan dilakukan di R.S Medika Surabaya.
Sepanjang hari Fafa gelisah, tidak ada satu pun yang bisa dia hubungi sekarang. Keluarga di Jakarta benar-benar menutup akses darinya. Sebenarnya apa yang sedang mereka sembunyikan.
Malam menjelang, selepas sholat isya, Fafa semakin tidak tenang. Dia sudah bisa menghubungi Rusdi, tetapi jawaban yang diterima tidak memuaskan. Fafa menghubungi nomor ponsel Andrian, dalam posisi off. Dia juga menghubungi Ra
Dr. Thomas bersiaga di samping Andrian. Begitu pula anggota tim dokter yang lain. Bagaimanapun efek pasca treatment ini yang wajib diwaspadai. Kondisi fisik Andrian bisa saja menyebabkan terjadinya anomali. Selama 20 tahun, tubuh ringkih itu terus menerus mendapatkan berbagai injeksi baik vitamin maupun obat untuk menopang kehidupannya. Hanya saja, selama satu tahun terakhir sudah jarang, bahkan pemilik R.S. Medika itu hampir tidak pernah lagi melakukannya. Semua ini tidak lepas dari campur tangan sang istri. Siapa lagi jika bukan Fafa. Gadis itu benar-benar membuat dr. Thomas salut, tidak hanya berhasil membantu Andrian perlahan lepas dari ketergantungan obat penenang, tetapi juga berhasil menidurkan monster dalam diri pria itu. Dr. Thomas memusatkan perhatiannya pada Andrian. Dia sebenarnya kurang setuju dengan rencana pria itu untuk memukul mundur Sander, sementara dia berusaha keras membuat istrinya hamil. Akan tetapi bagaimanapun dr. Thomas juga berada dalam kuasa
Becker bangkit dari duduknya dan langsung mengekor Sander keluar dari VVIP Room. Becker sudah bisa menebak kemana sahabatnya itu akan pergi. Saat ini, Sander hanya butuh pelampiasan. Dua pria dewasa itu langsung masuk ke dalam lift yang tak jauh dari room yang mereka tempati selama hampir sepekan ini dan menuju club yang ada di lantai tiga. Begitulah cara Sander melepaskan kekesalan di hatinya. Dia akan minum hingga mabuk dan melepaskan insting purba terlarangnya pada wanita yang dia temui di club. Sebenarnya, apa yang dilakukan Sander tidak jauh beda dengan Andrian. Hanya saja, Andrian akan mengusir kekesalan hatinya dengan merokok puluhan batang rokok dan menghabiskan bergelas-gelas kopi hitam. Tidak hanya itu, cara Sander dan Andrian menyelesaikan masalah juga sangat berbeda. Jika Sander lebih mengandalkan anak buahnya dan muncul saat terakhir, maka Andrian akan menjadi m
"Mbak Fafa, nggak papa?" "Nggak papa. Hhmm ... Mbak Silvi, Pak eh ... Mas Rahman sudah ngasih kabar belum? Mas Ian bagaimana?" tanya Fafa pelan. "Tadi malam, Kak Rahman memberitahu jika tuan muda baik." Fafa mengangguk. Perjalanan ke Surabaya, sedikit lebih lama dari biasanya. Butuh waktu hingga tiga jam untuk sampai di R.S. Medika Surabaya. Beberapa kali Fafa meminta berhenti di tengah-tengah perjalanan. Setibanya di R.S. Medika, Silvi langsung ke arah resepsionis untuk mengurus segala sesuatunya. Fafa mengikuti arahan Silvi untuk mengikutinya. Ternyata, mereka masuk ke VVIP Room. Untuk istirahat sejenak, menunggu konsultasi dengan dr. Chris, yang sudah di jadwalkan pukul satu siang. Setelah sholat dhuhur, Fafa rebahan. Dia melihat galeri di ponsel, yang berisi foto-foto Andrian. Suaminya itu, memang susah difoto kalau dalam keadaan sadar. Akhirnya, kebanyakan foto dalam keadaan Andrian tidur. Ada satu foto yang membuat perasaan Fafa ca
Dr. Julian mengeluarkan mini flash disk, kemudian menyerahkan pada Fafa. "Ini, amanat dari Kak Ian." Fafa mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Fafa melihat jam tangannya. Ternyata dua jam penuh dia konsultasi. Dia segera berpamitan dan meninggalkan Poli Obygyn dengan penasaran. 'Apa isi flash disk ini!' batinnya. Di depan poli, Fafa disambut oleh oleh Silvi. Tanpa sepatah kata, keduanya berjalan berdampingan menuju VVIP room. Mereka sibuk dengan pikirannya sendiri, jika Fafa penasaran dengan isi mini flash disk yang diberikan dr. Julian, sedangkan Silvi penasaran kenapa Fafa keluar dari poli memasang wajah sendu. "Mb Silvi, saya mau sendiri dulu. Maaf!" ujar Fafa pelan. "Iya, Mbak Fa. Saya di depan ya," jawab Silvi langsung menutup daun pintu. Fafa langsung naik ke atas ranjang dan meraih notebook. Dengan sedikit terburu-buru dia langsun
"Eemm, jadi gin-," ujar Julian terjeda karena terdengar nada dering panggilan masuk pada ponselnya. Setelah meminta izin untuk menerima panggilan, dr. Julian menjauh dari tempat Fafa. Panggilan dari dr. Thomas terlalu riskan jika sampai isinya didengar oleh Fafa. Bagaimanapun kondisi Andrian saat ini tidak baik-baik saja. Lantas, apa yang bisa dia katakan pada istrinya. Selesai menerima panggilan dr. Julian segera kembali menemui Fafa kembali. " Maaf, Kak. Mau menanyakan apa? Oh iya Kak Ian. Dia baik-baik saja Kak. Sempat kolaps karena obat fertilitas itu, tapi sekarang udah baikan kok. Kak Fa tenang saja, yang penting Kakak konsen sama proses besok pagi!" jelas Julian. "Bukannya seperti jam kemarin ya?" tanya Fafa gugup. "Oh, Chris belum memberi tahu Kak Fa ya! Dimajukan Kak, besok siang dr. Arnold ada jadwal seminar karena akan bertolak ke London!" jelas Julian. 'Andai Kak Fa tau, untuk siapa dr. Arnold ke London,' lanjut Julian
Setelah mendapat persetujuan Fafa, dr Arnold memulai prosesnya. Fafa memilih memalingkan wajah dari kedua dokter itu. Rasa malu tetaplah mendominasi. Dr. Arnold pelan-pelan melakukan prosesnya, mengingat Fafa sendiri juga masih virgin. Rasa tidak nyaman terlihat jelas dari raut wajah Fafa. Seketika suasana hening, hanya helaan napas tertahan dan pelan sesekali terdengar, serta sesekali bunyi peralatan yang digunakan oleh kedua dokter itu. "Finish!" ucap dr. Arnold, setelah hampir dua jam melakukan tindakan medisnya. Fafa mengembuskan napas lega dan mengucap syukur. Setelah semua peralatan dirapikan kembali oleh perawat yang bertugas saat itu, keadaan kembali hening. "Nyonya Andrian, tetap rebahan dahulu ya, paling tidak 20 menit, lebih juga boleh," lanjut dr. Arnold mengingatkan Fafa. "Iya, Dok. Terima kasih." "Nyonya, nanti setelah berdiri dan berjalan ada rasa tidak nyaman, bahk
Dr. Chris datang, menyapa Silvi dan bodyguard Fafa seperti biasanya. Dia langsung masuk ke ruang maternity dan segera saja mengunci pintu dari dalam. Dengan tersenyum miring dan hanya di salah satu sudut bibir, dia mulai menjalankan aksinya. Dr. Chris mulai memasang alat perekam di samping brankar yang di tempati Fafa dan memastikan sekali lagi alat itu berfungsi.Dr. Chris melepaskan seluruh pakaian yang melekat pada tubuhnya kecuali dalaman. Dia juga melepaskan pakaian pasien yang dikenakan Fafa. Dr. Chris harus bergerak cepat dan juga senatural mungkin. "Cih! Badan kerempeng gini, mana bisa bikin orang horny!" gumamnya penuh nada mencemooh. Dr. Chris benar-benar seperti seorang aktor ulung. Awalnya dia hanya ingin menunjukkan, jika mereka sedang melakukan hubungan terlarang dan mengirimkan pada Aldric. Akan tetapi niatan itu lama-lama menguap. Dia harus mencabut ucapannya tadi. Melihat tubuh perawan tergolek bak boneka yang pasrah dan siap kapan saja dia main
"Sudah, Kakak bisa lihat di e-mail." "Apakah, Tuan Muda sudah siuman?" "Belum! Apa kamu mau dia langsung melenyapkanmu!" hardik Rahman. Silvi bungkam, sejurus kemudian panggilan dimatikan sepihak oleh Rahman. Tubuh Silvi merosot, tamat sudah riwayatnya. Tugas perdana menjadi agent The Hunter, gagal. Apalagi yang bisa dia lakukan sekarang? Haruskan dia menerima takdir begitu saja? Selama napas masih dihela, tidak ada kata menyerah. Dia harus mencari cara agar lepas dari hukuman. Silvi yakin sebentar lagi Sony akan datang menjemput. Statusnya pun sebagai agent The Hunter sudah dibekukan. Ke mana dia akan bersembunyi? Sebagai seorang terduga di The Hunter adalah nasib buruk. Kabar yang beredar jika Sang Monster Tuan Muda lebih mengerikan dari pada langsung dilenyapkan, bukanlah bualan semata. "Fafa," gumamnya tanpa sadar. Silvi tersenyum penuh arti. Jika dia tidak bisa bertemu Fafa secara langsung, maka akan meminta kakaknya untuk menemui ist