"Memang ayah meninggal? Siapa yang mengatakan itu? Bualan siapa yang kamu dengarkan!" tanya Victor berang dengan sifat keras kepala Sander.
Victor menekan batang rokok di tangannya ke dalam asbak, kemudian meniup kasar asap dari dalam paru-parunya. Dia mendekati Sander yang masih terduduk santai di sofa. Pergerakan yang tidak pernah diduga oleh Sander sebelumnya, Victor mencengkeram erat leher Sander dan memaksa Sander berdiri, kemudian dia berbisik.
"Seyakin itu ayahku sudah mampus! Hhmm. Aku bahkan meyakini dia sekarang masih hidup nyaman di suatu tempat!" Sander berusaha melepaskan cengkraman Victor dari lehernya dan usaha itu sia-sia. Victor melepaskan cengkramannya dan menghempaskan tubuh besar Sander ke sofa. Victor meninggalkan Sander yang masih termangu. "Benarkan kakek masih hidup!" gumamnya. Sander geleng-geleng, dia langsung men-dial nomor ponsel dan menyuruh Becker untuk datang, tetapi Becker menolak. Akhirnya, Sander menghabiskan malam di Club, melepaskan
"Stop, By. Geli!" ujar Fafa terus memberontak."Ini hukumannya karena sudah menikmati tubuh seksiku!" ujar Ian terus menghujani Fafa dengan kecupan di seluruh wajahnya. Fafa merinding mendengar perkataan Ian, dia langsung diam dan tidak berontak lagi. Ian menghentikan kejahilannya dan menatap Fafa keheranan, dia mengedutkan dahinya. Entah siapa yang memulai lebih dahulu, keduanya sekarang hanyut dalam lautan rasa yang menghentak dalam dada, berontak mengharapkan pelepasan. Ian menempel bibirnya yang berwarna sedikit kecoklatan. Dia melihat Fafa memejamkan mata, Ian mulai bergerilya dan memagut, bibir yang saling menempel mulai bergerak menyesap, merasai dan mencoba mengalirkan asa dan rasa yang membuncah di dada kepada Sang Pemilik Hati. Gayung bersambut, dalam mata tertutup Fafa begitu menikmati buaian bibir suaminya, hingga sebuah suara mengagetkan mereka. Sontak, keduanya melepaskan diri dengan napas sedikit terengah. Ian memeluk Fafa dan mengusap puncak kepala yang tertut
Ian mengulas senyum tipis saat melihat dari pantulan cermin, istrinya memejamkan mata. Dia mengelus rambut Fafa, kemudian menoleh ke kanan dan membisikkan kalimat singkat. "My Love, Wifey!" bisik Ian bersamaan dengan mendaratkan bibirnya di pipi Fafa. "Sudah!" putus Fafa agar tidak semakin terbuai oleh suaminya. Dia beranjak menjauhi Ian, menuju sisi ranjang. Fafa mempersiapkan ponsel dan tab Ian, lalu memasukkan jadi satu di wallet. Terdengar ketukan daun pintu sebanyak tiga kali. Fafa dan Ian bertukar pandang kala mendengar suara pintu diketuk. Ian segera mengayuh kursi roda menuju ruang tamu. Sesuai dugaannya, Rahman yang datang. Fafa bergabung tidak lama kemudian. "Nyonya," sapa Rahman sopan. Fafa merengut, sudah satu tahun panggilan Rahman tidak berubah. Padahal Fafa sudah berulang kali meminta Rahman mengubah panggilan itu. Ian menatap istrinya dengan senyum terkulum. 'Bagaimana j
"Man, gimana hasil pengintaianmu!" suara Ian memecah keheningan. "Sejauh ini, belum ada pergerakan yang patut diwaspadai, Mas Ian." Ian mengangguk. "Terus awasi!" "Siap. Mas Ian kita istirahat dahulu atau langsung?" Ian melihat jam yang melingkar ditangannya. "Iya, Man. Masjid di depan," jawab Ian tanpa melihat lawan bicaranya. Setelah melaksanakan Sholat dhuhur, mereka beristirahat restoran yang ada di sekitaran Masjid Agung Kota Klaten. Rahman terus menahan diri untuk tidak bertanya. Satu jam sudah berlalu, tetapi Ian masih saja nyaman dengan posisi sekarang. Ian menangkap kegelisahan yang ditunjukkan dari gesture Rahman. "Ada apa, Man?" "Kapan berangkat Mas Ian?" "Nanti saja, aku masih ingin bersantai di sini." Rahman mengangguk. Ian menatap lekat layar tab. Dia memang sudah menugaskan Silvi untuk mengawasi Fafa. Selama Ian di Kediri, ada sembilan agen yang bersamanya. Tentu saja semua agen terbai
"Halo Sayang! Eh, Assalamualaikum, Sayang!" sapa Ian ramah. "Wa alaikumsalam, By sudah sampai mana?" "Masih di jalan." "By, Mbak Silvi tadi kesini. Kat- ...," "Iya, aku yang menyuruhnya!" "Ya udah kalo git- ..." ucapan Fafa terputus karena Ian memutuskan panggilannya. Beberapa saat kemudian Ian mengirim chat yang isinya alasan dia tiba-tiba memutuskan panggilannya, karena ada panggilan masuk dari London. "Segenting itukah masalahnya!" gumam Fafa dan setelahnya mendoakan agar masalah segera selesai, dia dan Ian bisa berkumpul kembali. Fafa mengulas senyum membayangkan hal itu terjadi. "Fa ... Fafa ... Fathimah binti Ruslan!" teriak Arni. Fafa terkejut dan tersadar dari lamunannya. "Op-opo Ar?" jawab Fafa dengan tergagap. "Ck! Ngga hanya Pak Aldric Andrian yang bucin akut. Te
"Istrimu sudah tau?" tanya Kyai Mansyur lebih lanjut. "Belum, tau hanya sebatas dua tahun saja." Lagi-lagi Kyai Mansyur mengangguk. Dia paham tidak mudah bagi seorang Milosevic mengatakan siapa jati diri mereka sebenarnya. "Abah senang jika istrimu bisa tinggal di sini. Bawa ke sini, kapanpun kamu mau!" Ian mengangguk. Ruang keluarga kembali hening. Andrian terus memperhatikan gerak gerik Ikan Arwana di akuarium, yang berada tepat di depannya. Sesekali terdengar hembusan napas dalam-yang Andrian lakukan. Kyai Mansyur memandang lekat cucu kesayangan sahabatnya. Dia salut dengan anak muda di hadapannya ini, laki-laki tangguh. Dia tau, saat ini Andrian dilanda kebimbangan terkait istrinya. Andrian menghela napas dalam lagi, sebelum mulai berbicara. Dia menoleh ke arah Kyai Mansyur dan bertanya "Bagaimana jika aku menceraikannya?" Kyai Mansyur terkejut mendapat pertanyaan ini, tetapi
"Assalamualaikum, Mas Ian," sapa Rusdi. "Hhmm." Andrian langsung melajukan kursi rodanya dan berhenti sejenak di depan pintu. Dia memejamkan mata untuk sesaat, sebelum memasuki mansion. Satu tahun sudah, dia meninggalkan mansion ini. Andrian mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruang keluarga. Tempat yang sama dan tidak ada yang berubah sejak dia tinggalkan. Entah kenapa Andrian tiba-tiba merasa sepi. Di depan pintu kamar, dia berhenti lagi untuk sejenak. Dengan enggan, Andrian memasuki kamar utama miliknya. Rusdi hendak membantu Andrian. Akan tetapi, dia menolak. Andrian hanya mau dibantu Rusdi saat mengganti popok dan celana saja. Awalnya Rusdi sangat terkejut, tetapi setelah itu dia mengangguk paham. Setelah Rusdi merapikan pakaian dan beberapa barang bawaan Andrian, dia segera pamit undur diri. Saat Rusdi hendak membuka pintu kamar, Andrian menginterupsinya. "Paman, temani aku minum kopi!"
Dering ponsel Ian membuat ruangan Reynan yang semula riuh mendadak hening. Ian langsung meraih ponsel di saku kursi rodanya. 'Jul!' batinnya. Ian langsung menekan icon berwarna hijau. "Hhmm." "Kak, ada yang mau Jul bicar-," perkataan Julian langsung dipotong Andrian. "Aku ke sana!" ujar Andrian cepat dan langsung mematikan ponselnya. Dia langsung melajukan kursi rodanya secara otomatis keluar ruangan Reynan. "Hei, Ian tunggu!" cegah David. "Ada urusan!" jawab singkat Ian. Reynan dan Frans geleng-gelang melihat interaksi David dan Andrian. David mengembuskan napas kasar, dia kesal sekali, baru saja bertemu sudah ngeloyor pergi. "Sudahlah Dav, kayak ngga tau aja si Ian!" ujar Reynan. "Baru juga ketemu, lu pada ngga kangen?" tanya David. "Kangenlah!" jawab Reynan. Frans diam saja. S
Ian menatap tajam gadis di depannya ini, tanpa bicara sepatah kata pun. Rahang mengeras, bibir mengatup rapat, tanda Aldric Andrian benar-benar menahan amarah. Sayang sekali, hal itu tidak berlaku bagi Rinda. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Ian. Meeting room mencekam. Itulah keadaan yang bisa digambarkan sekarang. Julian sudah tidak tahu harus bagaimana lagi mengendalikan Rinda. Sejak kecil, Rinda memang selalu mengganggu Ian. Suatu ketika kemarahan Ian memuncak dan mengakibatkan Rinda langsung dikirim Aldric Andrian remaja ke sekolah asrama di Jerman dan Inggris. Bagaimana reaksi ayah dan ibu Julian? Kedua orang tuanya pun tidak bisa mencegah kemarahan Andrian muda, bahkan saat mereka bersujud di kaki Andrian, dia bergeming. "Hei, Kak Ian. Rinrin bukan anak umur lima tahun lagi! 24 tahun. Ingat! Dasar orang tua jelek!" ejek Rinda. "Ternyata 19 tahun ini, kamu semakin