Satu minggu setelah kembali ke Kediri. Fafa berkirim e-mail kepada Dokter Thomas dan tim. Dia meminta informasi detail tentang penyakit yang diderita oleh suaminya. Fafa seolah-olah dihempaskan ke lantai membaca rekam medis itu. Begitu banyak operasi dan obat yang dikonsumsi oleh Ian sejak kecelakaan hingga sekarang. Setelah membaca report kejiwaan Ian, Fafa semakin tidak mau mempercayainya, suaminya menderita gangguan kecemasan dan PTSD. Bahkan Ian sudah berusaha melenyapkan dirinya sendiri.
Kenyataan demi kenyataan menampar Fafa. Suaminya tidak hanya lemah fisik, tetapi juga psikisnya. Dokter Thomas juga menginformasikan nama Dokter Gere. Hal yang membuat Fafa terbelalak tidak percaya adalah kenyataan bahwa Andrian mengalami beberaa gangguan mental. Sejak pertama bertemu pun, sudah menebak jika suaminya ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Mana ada, orang normal yang sikapnya berubah sangat cepat tanpa adanya alasan. Apalagi di masa kecil, Andrian terkenal dengan sosok
"Fa, udah malam. Tutup ya!" ajak Ian. Fafa langsung melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 21:00 WIB. "Iya, By. Bentar, panggil San dulu," jawab Fafa. Ian segera masuk ke rumah induk. Dia hari ini harusnya ada di cafe, tetapi Fafa merengek minta ditunggui. Ian sedikit memyesal terburu-buru mengatakan jika ada sedikit perubahan dengan kakinya. Ian memutuskan dikemudian hari untuk sedikit saja berbagi hal menyenangkan dengan Fafa. Malam ini, Ian ada transaksi senjata dengan mafia dari Norwegia dan menyuruh Rahman untuk meng-handle. Dia cukup menunggu hasil akhir saja. Setibanya di dekat ranjang, Ian berusaha pindah dari kursi roda ke ranjang. Sebuah keuntungan buat Ian, model ranjang mereka yang ada tiang penyanggah untuk kelambu. Fafa yang baru masuk kamar terkejut dan hendak lari menolong Ian. Namun langkahnya terhenti setelah mendengar perintah Ian. Dia berdoa dan hanya berdoa di dalam hati sembari tetap mengawasi yang Ian lakukan dengan tatapan khawatir
"Kak, bolehkah San ajak Kak Ian liat parade skateboard nanti malam?" Fafa menghentikan pekerjaannya."Sudah tanya By?""Udah Kak, sama Kak Ian disuruh tanya ke Kak Fa," jelas Ikhsan."Iya, nggak papa.""Yee!" pekik Ikhsan senang. Dengan tidak sabar, Ikhsan menuju ke ruang tamu."Kak Ian, sama Kak Fa boleh.""Hhmm."Ikhsan dan kawan-kawannya berencana mengajak Ian taman tengah kota untuk melihat parade skateboard nanti malam, dengan naik sepeda motor. Keraguan Ikhsan terbayar sudah. Ternyata Fafa mengijinkan.Setelah sholat isya Ikhsan dan Hisyam membantu Ian naik sepeda motor. Fafa mengikat sabuk penahan pinggang dan punggung Ian ke badan Ikhsan."Sudah Dik! Kurang longgar nggak?""Pas.""Fii Amanillah." Ian mengangguk lalu mengecup punca
"Hhmm. Fa, apa kamu keberatan jika terapinya dipercepat?" "Tidak, By!" sahut Fafa cepat. "Bagus!" "Kenapa? Fa nanti tetap boleh kuliah meskipun hamil, bukan? Ingat janjimu, By!" "Hhmm." Ian meletakkan tab di atas nakas kemudian naik ke atas ranjang. Fafa langsung mendekat dan masuk dalam dekapan Ian seperti biasanya. "By!" "Hhmm." "Popoknya dilepas ya?" "Terserah kamu!" Fafa langsung bangun kemudian mengambil sarung yang dia letakkan di pojok ranjang. Fafa melepaskan celana pendek dan popok Ian. Setelah itu di angin-anginkan sebentar, kemudian mengoleskan salep di seluruh permukaan kulit yang rusak, baru dipakaikan sarung. Setelah Fafa selesai mengganti baju, dia langsung mendekati Ian dan masuk dalam dekapannya lagi. "Tidur
"Dik San yang nutup toko, ya!" "Iya, Kak." Fafa langsung masuk ke rumah induk menyusul Ian. Fafa merasa Ian sedikit gundah sejak sore, sepertinya memang ada masalah urgen di Jakarta. Fafa masih enggan untuk bertanya, dia ingin Ian yang mengajaknya bicara terlebih dahulu, terlebih jika menyangkut bisnis Ian. Fafa sedikit mulai tahu bisnis yang digeluti Ian selain AA Corp. Ternyata, bisnis suaminya itu ada beberapa yang secara tidak sengaja Fafa ketahui, ada bisnis produsen peralatan medis AA Manufacture-seperti punya Victor di Rusia. Ada lagi bisnis security service The Hunter di London. Sejak kapan? Fafa juga sudah lupa. Dia hanya tahu jika Ian punya perusahaan. Penasaran sebenarnya, tetapi setelah tahu juga buat apa? Dia hanya semakin mengagumi suaminya itu. Ian adalah sosok pekerja keras yang dia jadikan panutan sekarang. Kondisi fisik bukanlah halangan untuk berprestasi. Dengan perusahaan dijalankan
Apa sebenarnya tujuan Ian ke Jakarta, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Rahman, Rusdi, dan Ian sendiri. "Di rumah baik-baik ya Sayang!" ucap Ian sembari menggesek-gesekkan hidung mancungnya di tengkuk Fafa. "By, geli." Ian langsung menghentikan ulahnya. "Sudah, tidur!" putus Ian. Dia semakin mengeratkan pelukannya dan Fafa mengecup lengan Ian beberapa kali. Satu tahun terakhir adalah hari-hari terbaik bagi Ian. Dia seringkali tidak percaya apa yang telah dia jalani hingga detik ini. Sikap spontan dan memaksa Ian saat itu, membuat dia memiliki istri sehangat Fafa. Dengan kedok bantuan, dia memaksa Fafa menjadi istrinya dan siapa yang menyangka berbuah kebahagiaan seperti sekarang. Ian lagi-lagi mengecup tengkuk Fafa dengan gemas. "Istri mudaku, gadis kesayanganku!" gumamnya. Ian tersenyum kemudian memejamkan mata. *** Berlin Jerman Di sebua
"Memang ayah meninggal? Siapa yang mengatakan itu? Bualan siapa yang kamu dengarkan!" tanya Victor berang dengan sifat keras kepala Sander.Victor menekan batang rokok di tangannya ke dalam asbak, kemudian meniup kasar asap dari dalam paru-parunya. Dia mendekati Sander yang masih terduduk santai di sofa. Pergerakan yang tidak pernah diduga oleh Sander sebelumnya, Victor mencengkeram erat leher Sander dan memaksa Sander berdiri, kemudian dia berbisik."Seyakin itu ayahku sudah mampus! Hhmm. Aku bahkan meyakini dia sekarang masih hidup nyaman di suatu tempat!" Sander berusaha melepaskan cengkraman Victor dari lehernya dan usaha itu sia-sia. Victor melepaskan cengkramannya dan menghempaskan tubuh besar Sander ke sofa. Victor meninggalkan Sander yang masih termangu. "Benarkan kakek masih hidup!" gumamnya. Sander geleng-geleng, dia langsung men-dial nomor ponsel dan menyuruh Becker untuk datang, tetapi Becker menolak. Akhirnya, Sander menghabiskan malam di Club, melepaskan
"Stop, By. Geli!" ujar Fafa terus memberontak."Ini hukumannya karena sudah menikmati tubuh seksiku!" ujar Ian terus menghujani Fafa dengan kecupan di seluruh wajahnya. Fafa merinding mendengar perkataan Ian, dia langsung diam dan tidak berontak lagi. Ian menghentikan kejahilannya dan menatap Fafa keheranan, dia mengedutkan dahinya. Entah siapa yang memulai lebih dahulu, keduanya sekarang hanyut dalam lautan rasa yang menghentak dalam dada, berontak mengharapkan pelepasan. Ian menempel bibirnya yang berwarna sedikit kecoklatan. Dia melihat Fafa memejamkan mata, Ian mulai bergerilya dan memagut, bibir yang saling menempel mulai bergerak menyesap, merasai dan mencoba mengalirkan asa dan rasa yang membuncah di dada kepada Sang Pemilik Hati. Gayung bersambut, dalam mata tertutup Fafa begitu menikmati buaian bibir suaminya, hingga sebuah suara mengagetkan mereka. Sontak, keduanya melepaskan diri dengan napas sedikit terengah. Ian memeluk Fafa dan mengusap puncak kepala yang tertut
Ian mengulas senyum tipis saat melihat dari pantulan cermin, istrinya memejamkan mata. Dia mengelus rambut Fafa, kemudian menoleh ke kanan dan membisikkan kalimat singkat. "My Love, Wifey!" bisik Ian bersamaan dengan mendaratkan bibirnya di pipi Fafa. "Sudah!" putus Fafa agar tidak semakin terbuai oleh suaminya. Dia beranjak menjauhi Ian, menuju sisi ranjang. Fafa mempersiapkan ponsel dan tab Ian, lalu memasukkan jadi satu di wallet. Terdengar ketukan daun pintu sebanyak tiga kali. Fafa dan Ian bertukar pandang kala mendengar suara pintu diketuk. Ian segera mengayuh kursi roda menuju ruang tamu. Sesuai dugaannya, Rahman yang datang. Fafa bergabung tidak lama kemudian. "Nyonya," sapa Rahman sopan. Fafa merengut, sudah satu tahun panggilan Rahman tidak berubah. Padahal Fafa sudah berulang kali meminta Rahman mengubah panggilan itu. Ian menatap istrinya dengan senyum terkulum. 'Bagaimana j