Suara mesin yang dihasilkan oleh sebuah mobil sport keluaran terbaru berwarna merah maroon yang mengkilap membuat semua pasang mata tertuju. Mobil seksi itu berjalan mulus di jalan beraspal dengan kecepatan yang tidak bisa dibilang biasa. Banyak dari mereka yang mendecap kagum apalagi ketika mereka bisa membaca ada nama “CHAYTON” di plakat mobil.
Siapa yang tidak tahu Chayton? Sebuah keluarga yang sangat terkenal karena kekayaannya. Setiap tahun nama mereka pasti berada di urutan pertama dengan pemilik harta terbanyak sedunia. Tentu ini adalah hal yang cukup mengejutkan karena salah satu dari keluarga Chayton menginjakkan kaki di balapan liar yang diadakan tiap pergantian musim.
Di kursi kemudi sudah duduk seorang pria bermata cokelat tajam. Kakinya tak segan-segan menginjak gas yang ada di bawah. Dengan sekali putaran mobil itu berhasil mendarat dengan gerakan drift yang membuat mobil itu berputar setengah dengan sangat cantik.
Tak menunggu waktu lama, pria itu segera keluar. Sepatu hitam bertabur beberapa berlian lebih dulu terlihat, disusul dengan yang lain. Tubuh kekarnya dibalut oleh kaus hitam stretch yang mengikuti bentuk tubuh. Matanya menyapu dengan gerakan cepat ke semua orang yang memperhatikan dirinya.
Aiden Mike Chayton, sang pemilik manik cokelat terang. Sang penerus tunggal nama Chayton. Ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di tempat balapan.
“Aku tidak menyangka kalau kau akan datang,” kata seorang pria yang berjalan mendekat ke arahnya.
Wajah Aiden sangat menyeramkan apalagi dibantu dengan alis hitam berbentuk rapi, seakan mempertegas bagaimana sifatnya. Dia menghela napas. “Apa kau tidak bisa menyingkirkan mereka semua? Pemandangan yang sangat menggangguku!”
“Ck. Turunkan sedikit kesombonganmu, Kawan. Ini tempat umum, siapa saja bisa datang kemari,” sahut pria itu.
“Cepatlah,” kata Aiden. Dia tidak mau berlama-lama di tempat ini. Semakin lama, semakin banyak orang yang mengerumuni tempat ini. “Aku ingin segera masuk ke dalam.”
“Sabar sedikit. Apa kau lupa dengan bodyguard keluarga Chayton, heh?” tanya pria yang memiliki nama Marvin Adams.
Hampir saja Aiden lupa dengan mereka. Biasanya Aiden tidak membawa mereka, tapi mengingat ini adalah tempat umum membuatnya harus berjaga-jaga. Banyak sekali musuh yang mengintai keluarga Chayton. Kalau satu dua orang Aiden bisa menghalaunya, tapi kalau lebih, jelas dia butuh bantuan.
Di sisi lain ...
“Ada apa ini? Kenapa mereka berkumpul seperti ini?” tanya seorang perempuan dengan nada kecil.
“Aku juga tidak tahu. Yang jelas kita harus sampai ke rumah secepatnya. Aku belum bersiap-siap sama sekali, Nancy,” kata perempuan itu gusar. Harusnya mereka menikmati waktu lebih lama di dalam sana, tapi karena telepon dari rumah membuatnya terpaksa untuk pulang cepat.
“Baiklah kalau begitu.” Nancy memegang tangan perempuan itu, menariknya mendekat ke tubuhnya. Lalu, dengan sekali gerakan, dia menerobos sekumpulan manusia. Tak jarang apa yang Nancy lakukan membuat beberapa orang marah. Senggolan demi senggolan mereka dapatkan begitu juga dengan umpatan-umpatan. Maafkan mereka kali ini.
“Huhhhh ....”
Mereka berdua menghela napas panjang sesudah bebas dari mereka. Rasanya sangat menyesakkan sekali. Belum lagi aroma tak sedap di dalam sana. Menjijikkan.
“Ayo, cepat,” kata perempuan itu yang lalu berjalan duluan meninggalkan Nancy.
Bukk
“Awkkkkhhh.” Perempuan itu meringis kesakitan. Dahinya membentur sesuatu yang sangat keras sekali.
“Apa kau tidak punya mata?”
Suara berat basah dengan penuh penekanan membawa perempuan itu membuka matanya. Deg. Dia langsung bertemu dengan pria yang rahangnya sudah terlihat mengeras. Ternyata benda keras itu adalah dada bidang pria yang sedang menatapnya dengan tajam.
“M-maafkan aku,” kata perempuan itu lemah. Rasanya dia kesulitan untuk menarik oksigen dikarenakan pria di hadapannya. Pra ini seakan bisa membuat oksigen merasa minder dengan aura tampan yang dimiliki.
“Kau tidak bisa kabur begitu saja,” jelas pria itu, Aiden, yang mencekal tangan perempuan itu sesaat dia ingin pergi. Semuanya mendadak membisu. Temannya, Marvin, bahkan tidak bisa melakukan apapun. Inilah Aiden. Ketika dia marah, maka pelakunya harus menerima segala konsekuensi yang dibuat.
“K-kau mau apa?” tanyanya dengan penuh ketakutan.
“Maafkan kami.” Suara itu membuat mereka berdua menoleh bersamaan. Nancy sudah berada di samping temannya. Jelas Nancy tahu siapa itu Aiden. Dia sangat kenal sekali bagaimana pengaruh dia dan keluarganya di negara ini. “Ini adalah sebuah kesalahan. Tolong maafkan kami.”
“Alex,” panggil Aiden.
Alex yang dipanggil pun segera berjalan mendekat dari arah belakang. Pria yang menggunakan jas hitam itu menunduk hormat ke arah Aiden.
“Bawa wanita ini. Beri dia pelajaran.”
Pelajaran? Sontak saja dua pasang mata itu membola, merasa terkejut akan apa yang didengar. Karena Nancy tahu kalau mereka akan mendapatkan hal buruk jika berlama-lama di sini, segera saja dia menginjak dengan keras kaki Aiden.
“Akhhh.”
Aiden meringis kesakitan disaat heels tajam itu menekan keras sepatunya, membuat kakinya merasakan sakit. Karena tidak siaga, akhirnya cekalan di tangan perempuan itu dilepas.
“Sekali lagi maafkan kami,” kata Nancy yang lalu pergi sambil menggenggam pergelangan tangan temannya. Mereka berlari dengan sangat cepat. Syukurlah dua perempuan itu dibekali dengan teknik berlari yang cepat.
“Tidak perlu mengejar mereka,” usul Marvin sesaat Aiden ingin membuka suara. Dia tahu apa jalan pikiran Aiden. Lagi pula, ini hanya ketidak sengajaan. Untuk apa dipermasalahkan, bukan? “Lebih baik kita masuk. Kau tidak mau melewatkan kesempatan ini, bukan?”
***
“Astaga, Stephanie, untung saja kita bisa melarikan diri. Aku rasa hidup kita tidak akan tenang jika kita tidak bisa pergi dari sana.” Nancy berbicara panjang lebar.
Stephanie yang sedang berada di depan kaca hanya bisa menanggapinya dengan gumaman. Rasanya sangat malas sekali. Berada di mansion ini seperti penjara baginya. Sekarang malah dua kali lipat dikarenakan para pelayan sedang mendandani dirinya.
Stephanie menyukai make up, tapi tidak seperti ini caranya. Mengingat apa tujuan mereka mendandani dirinya bahkan membuat moodnya semakin berantakan.
“Lebih baik kita tinggal saja di sana, Nancy. Aku menyesal pulang dengan cepat,” sahut Stephanie. Para pelayan yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Mereka tidak punya kuasa untuk menjawab Stephanie.
“Apa kau tidak tahu siapa pria itu?” tanya Nancy tak menyangka.
“Aku tidak tahu dan tidak ingin mengetahuinya,” sahut Stephanie malas.
Nancy menunduk sedih. “Maafkan aku yang tidak bisa membantumu. Posisiku di sini hanyalah anak dari seorang pelayan ... aku tidak bisa berbuat apapun,” tutur Nancy yang tersenyum masam. Beberapa pelayan tak jarang menatapnya dengan rasa tidak suka dikarenakan hanya dialah yang bisa bersikap seperti seorang teman kepada Stephanie.
Stephanie menyukai Nancy. Sejak kecil, mereka sudah selalu bersama. Karena Stephanie jugalah akhirnya Nancy bersekolah di sekolah elite bersama dengan Stephanie. Hanya saja mereka terpisah di perguruan tinggi.
“Nancy?” Stephanie menatap Nancy dengan tatapan penuh memohon. Tersirat juga disana apa yang Stephanie maksud.
Nancy jelas mengerti. Dia memberikan gelengan. “Aku tidak bisa. Itu terlalu berisiko,” tolak Nancy. Bayangkan saja Stephanie menyuruh untuk membawa kabur dirinya. Kalau ini rumah kecil itu bisa dibicarakan, tapi masalahnya ini mansion dengan luas tanah berhektar-hektar. Belum lagi dengan ketatnya keamanan. Sungguh berisiko. “Tolong minta hal yang memang bisa kulakukan. Ehm ... bagaimana kalau aku akan membuatkan brownies cokelat untukmu setelah pulang makan malam biasa nanti?”
Stephanie mendesah. “Makan malam biasa? Tentu bukan. Ini adalah makan malam yang juga membahas perjodohan memuakkan. Sungguh aku tidak menyukainya. Ini bukan zaman kerajaan.”
Nancy menepuk bahu Stephanie. “Kalau aku bisa, aku pasti sudah membantumu. Aku rasa aku harus pergi. Mungkin Ibuku sedang membutuhkan bantuanku untuk membuat makan malam. Satu hal, jangan buat kesalahan, Stephanie. Bukan hanya namamu saja yang jelek, tapi nama belakangmu juga ... aku pergi dulu.”
***
“Kau sangat cantik, Sweetie.”
Apa yang pria katakan itu memang benar. Kali ini Stephanie terlihat jauh lebih cantik. Gaun hitam itu membalut tubuh seksinya. Terlihat sangat mewah, dibantu juga dengan berlian yang melingkar sempurna di leher. Lipstik merah gelap membuat Stephanie jauh lebih dewasa. Sekarang, dia tidak terlihat seperti gadis sekolahan. Gaya pakaian yang Stephanie gunakan membuatnya sesuai dengan umurnya sekarang, 23 tahun.
“Daddy, aku rasa ini tidak perlu dilakukan. Aku tidak membutuhkan seorang pria. This queen doesn’t need a king, Dad,” jelas Stephanie.
Sang Daddy tersenyum. Dia mendekat, memegang kedua pundak yang tak dibalut apapun. “Ketika kamu kecil, Daddy selalu mengingat hal itu karena Daddy akan menjadi raja yang menjaga dirimu, Sweetie. Tapi setelah kamu beranjak besar, akhirnya Daddy sadar kalau kamu membutuhkan raja.”
Stephanie terdiam. Percuma saja. Segala penjelasan, tingkah manis, usul— tidak satupun yang berhasil. “Apa yang Daddy cari dari perjodohan ini?” tanya Stephanie. “Kita punya kuasa, Dad. Kita punya kekayaan. Lalu kenapa Daddy ingin sekali menjodohkanku dengan teman Daddy? Apa perusahaan kita bangkrut?”
“Tentu tidak,” jawab Erland. “Daddy tidak akan mungkin menjualmu hanya karena perusahaan atau harta. Daddy hanya ingin yang terbaik untukmu.”
“Sudahlah, Stephanie.” Suara lembut dari sang Mommy membuat mereka menoleh ke arah pintu. Diana tersenyum sembari mendekat. Pakaian hitam tertutupnya membuat kesan sangat anggun.
“Sudah?” Stephanie terkekeh kecil. “Ini bukan lagi zaman Mommy dan Daddy. Aku bisa percaya kalau kalian dijodohkan dan berhasil sampai sekarang. Tapi ini sudah berbeda. Aku punya kehidupan, teman ... juga pria.”
“Pria?” tanya Diana tak percaya. Diana merapikan kalung putrinya supaya lebih enak dilihat. Stephanie selalu bercerita tentang apapun. Selama ini, Diana tidak pernah mendengar ada pria yang serius kepada Stephanie. Yang ada, banyak pria yang hanya ingin bermain-main bersama Stephanie. Atau bahkan ingin merusak Stephanie. “Kau adalah putriku, Sayang. Aku jelas tahu kalau kau mewarisi sifat Daddy. Sayang sekali kau tidak punya sifatku yang playgirl.”
“Mommy,” rengek Stephanie yang berhasil membuat tawa di ruangan itu pecah seketika.
***
Aiden memilih untuk tidak menyetir saat ini. Dia juga bahkan mengganti mobilnya menjadi Alphard agar bisa duduk lebih tenang. Rasanya sungguh lelah sehabis menjalankan misinya di tempat balapan liar itu.
Menatap tangannya yang sudah memerah akibat pergulatan yang dia lakukan bersama musuhnya. Dia tersenyum melihat bukti ini. Rasanya sungguh tenang.
“Apa kau sudah tahu siapa yang akan kutemui malam ini?” Aiden bertanya ke pria yang ada di sampingnya, Alex. Alex adalah anak dari Thomson, sang tangan kanan keluarga Chayton. Alex juga mengikuti jejak sang Ayah. Dia menjadi tangan kanan keluarga Chayton, lebih tepatnya Aiden karena Alex sering bersama Aiden.
“Sudah, Tuan. Tuan besar sudah mengirim e-mail tadi sore berisi informasi lengkap tentang dirinya.”
Aiden terdiam beberapa saat. Dia tidak merasa tidak semangat sama sekali. Kalau saja orang tuanya tidak mengancam akan mencoret namanya dari keluarga, sudah pasti Aiden akan menolaknya mentah-mentah.
“Apa ada pria yang sedang dekat dengan dirinya?” tanya Aiden sebelum mengambil tablet dari tangan Alex.
“Ada, Tuan. Pria itu bernama ....” Alex menjeda kalimatnya. Dia masih tidak yakin untuk memberitahukan nama dari pria itu.
Aiden dapat melihat bagaimana ekspresi Alex. Terlihat gugup, membuatnya merasa curiga. Langsung saja ia merebut tablet itu dan melihat.“Dia dekat dengan penerus utama keluarga Oliver, Tuan. Mereka berteman dekat. Menurut informasi yang saya dapat, mereka selalu menghabiskan waktu bersama,” kata Alex pada akhirnya.Mendengar itu membuat tangan Aiden terkepal emosi. Oliver. Dia benci keluarga itu sepenuhnya, apalagi kepada penerus utama. Sebisa mungkin Aiden akan melakukan apapun agar keluarga itu sengsara. Kesalahan yang telah dibuat di masa lalu membuat Aiden menyimpan dendam yang luar biasa hingga sampai sekarang.“Dia ... wanita tadi, bukan?” tanya Aiden ketika dia sudah sampai ke sebuah halaman foto, menampilkan seorang perempuan yang tersenyum menunjukkan rentetan gigi putihnya.“Iya, Tuan,” kata Alex pelan. Setelah kejadian Marvin yang melarang, Aiden terliha
“Mommytidak ingin mendengar keributan sama sekali, atau bahkan mendengar pecahan kaca.” Rose terlihat sedikit khawatir, dibuktikan dari ekspresinya. Jelas saja Rose khawatir, karena sampai sekarang pasti ada saja kerusakan sehabis mereka berdua berbicara.“Aku tidak bisa janji, Mom,” kata Aiden. Sebelum beranjak pergi dia menampilkan senyuman lembut kepada sang Mommy.Suara yang dihasilkan dari pantofel hitam miliknya bergema kuat. Tak ada waktu bagi Aiden untuk menatap sekeliling. Pandangannya fokus ke depan dengan tatapan yang tajam, bahkan membuat benda-benda mati yang digunakan sebagai pajangan terlihat takut.Tak menunggu waktu lama, pintu ruangan itu terbuka otomatis, menandakan kalau Aiden diizinkan untuk masuk ke dalam. Harum aroma buku yang menenangkan memenuhi ruangan ini. Buku-buku milik Ransom tersusun sempurna menyelimuti ruangan kerjanya.“Apa maksudmu?” Pertanyaa
Nancy menjadi tidak enak sendiri. Walaupun demikian, dia masih ingat akan posisinya. Segera saja dia berdiri dari sofa agar sofa itu hanya diduduki oleh Stephanie seorang.“Ini bukan jadwalnya untuk perawatan. Lalu kenapa kalian datang kemari?” tanya Stephanie.Seperti biasa, para pelayan Casey akan berbondong-bondong masuk ke dalam kamarnya untuk melakukan perawatan kepada sang putri dari Erland setiap dua minggu sekali. Perawatan itu dimulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Stephanie sangat diperlakukan bak seorang ratu di mansion mewah ini.“Kami diperintahkan oleh Nyonya Diana untuk membantu Anda bersiap-siap, Nyonya.”“Bersiap-siap? Untuk apa?” tanya Stephanie. Dia melirik Nancy, meminta jawaban. Tapi hanya gelengan yang dia terima dari sahabatnya. Stephanie pikir Nancy tahu hal ini.“Tuan Aiden Chayton mengajak Anda untuk keluar
“Silahkan duduk, Mr.Chayton,” seru Sean ketika Aiden telah masuk dan berada di ruang tamu mansion milik keluarga Casey.Aiden menurut, dia memilih duduk di single sofa lalu kembali mengarahkan fokus kepada Sean.“Aku tidak menyangka kalau seorang Chayton akan menjadi adik iparku,” seru Sean. Beberapa pelayan yang mengantarkan makanan dan juga minuman tidak membuat Sean memberhentikan kalimatnya. “Well,aku hanya bingung kenapa orang tuaku mau menjodohkan putrinya kepada seorang billionaireyang sangat sombong.”Aiden berdecak pelan. Walaupun kalimat itu sangat menohok tapi Aiden tidak memasukkan ke dalam hati. Memang mereka sudah lama menjadi kolega bisnis. Saling melengkapi lebih tepatnya. Beberapa bulan lagi mereka juga akan bekerja sama menciptakan sesuatu yang menggencarkan dunia. Oleh sebab itu pertemuan kedua pria itu akan sering terlaks
Setelah berdiri beberapa menit, akhirnya seorang pria dengan penampilancasualmengeluarkan senyuman manisnya. Senyuman yang berhasil membuat semuanya terpana, termasuk benda mati sekalipun. Kepalanya menggeleng beberapa kali dengan pandangan mengarah kepada perempuan yang wajahnya sudah ditekuk.“Tersenyumlah sedikit, Stephanie,” kata pria itu. Tak hanya Stephanie, tapi beberapa pelayan wanita juga mengarahkan pandangan ke arah dirinya.“Kakaaaakk ....” Stephanie merengek. Dia sontak berdiri lalu berjalan ke arah Sean. Meninggalkan beberapa pelayan yang masih memegang beberapa helai pakaian. “Bantu aku agar mereka pergi,” bisik Stephanie setelah merangkul lengan besar sang Kakak.“Kalian pergilah. Ada yang ingin aku bicarakan bersama Stephanie,” perintah Sean kepada mereka. Melihat satu per satu pelayan pergi dengan pakaian-pakaian itu membuat Stephanie
Tiga pria dengan pakaian serba hitam berdiri. Di tangan mereka masing-masing terdapat satu set pakaian yang terlihat sangat rapi dan pastinya mahal.“Pakaian mana yang paling kalian rekomendasikan?” tanya Aiden yang sudah duduk di sofa. Kedua tangannya bersandar di kepala sofa dan kaki seksinya menyilang. Dengan sikap seperti ini, aura diktator dari Aiden sangat kontras.Tiga pria itu juga terlihat gugup dikarenakan mata Aiden yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Ingin membuka suara saja terlihat sangat sulit.“Ini adalah pakaian pertama yang mereka keluarkan saat saya datang, Tuan,” jawab Alex yang lalu berjalan ke arah mereka. Kali ini dia mengambil ahli. Alex dapat maklum dengan mereka, pasalnya ini adalah kali pertama mereka berhadapan dengan seorang Chayton.Alex menunjukkan satu set jas dengan warna abu-abu bermotif kotak-kotak. Jahitannya terlihat sangat rapi. Jas
“Selamat malam, Mr. Alean,” sahut Aiden kepada seorang pria berumur yang berhenti tepat di depannya. Sedangkan Stephanie, dia hanya membalas sapaan ini dengan tersenyum.“Aku kira kau tidak akan datang ke pestaku. Ini adalah sebuah kehormatan yang luar biasa.”“Kenapa tidak? Aku akan datang kalau ada waktu luang, seperti sekarang,” sahut Aiden bersahabat.Pria itu menoleh ke samping. Menatap Stephanie dengan sangat sopan. “Ternyata putri Casey yang mendapatkan dirimu. Aku ucapkan selamat untuk kalian berdua.”“Terima kasih, Mr. Alean,” sahut Stephanie sambil tersenyum manis. “Selamat atas terbukanya hotelmu yang baru ini.”“Ini tidak akan terjadi jika calon suamimu tidak membantuku,” kekeh pria itu. “Baiklah. Silahkan nikmati pesta ini. Aku harus menyambut tamu lainnya.”
“Ayo! Katakan padaku bagaimana panasnya pria yang bernama Aiden itu!” Seorang perempuan berambut cokelat highlight terlihat sangat bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Ia menatap lawan bicaranya dengan memelas, berharap kalau dia akan menjelaskannya.“Aku tidak mau menjelaskannya, Shirley,” seru Stephanie malas.Shirley Adner, seorang model yang juga merangkap sebagai sahabat Stephanie. Mereka memulai hubungan sejak duduk di bangku perguruan tinggi. Dikarenakan Nancy dan Stephanie yang berbeda universitas, membuat Stephanie sulit bergaul. Tapi untung saja di semester selanjutnya dia menemukan Shirley yang pandai bergaul.Shirley mencebik kesal. “Aku sudah mengundur jadwalku yang padat hanya untuk bertemu denganmu. Mendengar kabar baik ini membuatku langsung terbang. Tapi sayangnya kau tidak menyambutku dengan baik.”Stephanie menghela napasnya panjang. Dia memilih u
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga