Setelah berdiri beberapa menit, akhirnya seorang pria dengan penampilan casual mengeluarkan senyuman manisnya. Senyuman yang berhasil membuat semuanya terpana, termasuk benda mati sekalipun. Kepalanya menggeleng beberapa kali dengan pandangan mengarah kepada perempuan yang wajahnya sudah ditekuk.
“Tersenyumlah sedikit, Stephanie,” kata pria itu. Tak hanya Stephanie, tapi beberapa pelayan wanita juga mengarahkan pandangan ke arah dirinya.
“Kakaaaakk ....” Stephanie merengek. Dia sontak berdiri lalu berjalan ke arah Sean. Meninggalkan beberapa pelayan yang masih memegang beberapa helai pakaian. “Bantu aku agar mereka pergi,” bisik Stephanie setelah merangkul lengan besar sang Kakak.
“Kalian pergilah. Ada yang ingin aku bicarakan bersama Stephanie,” perintah Sean kepada mereka. Melihat satu per satu pelayan pergi dengan pakaian-pakaian itu membuat Stephanie akhirnya bisa bernapas dengan lega.
Bayangkan saja, dari bangun pagi sampai siang hari dirinya sudah berhadapan dengan mereka. Membicarakan masalah pakaian yang akan Stephanie pakai dan bawa ke rumah barunya ketika resmi menyandang gelar Mrs. Chayton. Stephanie masih kaget. Dia merasa ini sangat cepat sekali. Bahkan dirinya sama sekali tak mendengar kapan dan dimana pernikahannya akan digelar. Orang tuanya seakan menutupi semuanya dari Stephanie.
Stephanie seharusnya beristirahat selama beberapa hari sehabis menghabiskan malam yang memuakkan bersama Aiden— ngomong-ngomong soal ini, Stephanie hanya mengatakan kalau semuanya berjalan baik disaat orang tuanya bertanya. Karena memang itu adanya. Sehabis insiden rem mendadak, Aiden hanya membawa dirinya ke restoran. Menghabiskan malam itu dengan makan malam sembari melihat ikan-ikan yang berenang dengan alunan musik klasik. Tidak ada yang Aiden bahas pada makan malam itu. Dia mendadak membisu. Bagaimana? Terdengar membosankan, bukan? Itulah yang dirasa oleh Stephanie.
“Sebenarnya aku dianggap atau tidak di mansion mewah ini?” tanya Stephanie sesudah mereka duduk di sofa. “Aku juga tidak masuk akal dengan apa yang Mommy katakan—”
“Apa yang Mommy katakan, hem?” tanya Sean. Jarinya sibuk bergerak, mengambil beberapa helai rambut panjang milik Stephanie lalu memilinnya. Itu adalah kegiatan favoritnya dan Stephanie tidak mempermasalahkan hal itu. Sebenarnya dulunya dia mempermasalahkannya, tapi Sean tidak mengindahkan larangan dari Stephanie hingga pada akhirnya Stephanie menyerah.
“Oh, astaga, Stephanie. Bagaimana bisa ukuran pinggangmu sangat besar? Padahal Mommy selama satu minggu ini selalu menjaga pola makanmu.” Stephanie menirukan suara Diana yang berhasil membuat tawa Sean pecah seketika. Sayang sekali, Stephanie malah merasa kesal dengan tawa sang Kakak.
“Kakak! Kalau kau tidak bisa memberiku saran lebih baik diam. Tawamu itu sama saja mendukung apa yang Mommy katakan!”
“Maaf, Sweetie,” tutur Sean sesudah dia berhasil menenangkan dirinya. “Harusnya kau tahu bagaimana Mommy. Dia akan membuat dirimu tampil sesempurna mungkin ... jadi kau harus menikmatinya!”
Stephanie mendesah kecewa. Dia menengadah ke arah langit-langit yang menampilkan lampu menggantung dengan mewah. “Kakak, aku seperti tidak dianggap .... Daddy dan Mommy hanya mengatakan sebentar lagi aku akan menikah. Tapi masalahnya aku tidak tahu kapan, dimana, bahkan apa yang harus dipersiapkan.”
Sean tersenyum maklum. Dia mengambil tangan Stephanie, mengelusnya dengan lembut. “Sebelum membahas itu, aku ingin bertanya kepada adikku yang cantik ini .... Apa kamu menerima perjodohan ini?”
Stephanie mengatupkan bibirnya rapat, masih menimbang apa yang harus di jawab. Setelah beberapa saat, akhirnya suaranya keluar. “Iya, Kak,” jawab Stephanie berbohong. Dia terpaksa melakukan ini. Karena Stephanie tahu kalau Sean mengetahui dia belum siap, maka pria itu akan berusaha keras menggagalkan semuanya.
Stephanie tidak masalah, dia malah senang. Akan tetapi, ada yang harus Stephanie pikiran, yaitu orang tuanya. Melihat bagaimana antusias mereka membuat Stephanie tidak tega. Menolak itu berarti menghancurkan segala angan-angan tinggi dari dua manusia tua itu. Tidak hanya itu saja, nama keluarga mereka juga akan jelek. Chayton tidak bisa dianggap main-main. Apa yang Chayton katakan maka akan berpengaruh ke kehidupan selanjutnya.
Biarlah kali ini Stephanie mengalah. Jangan tanya apa yang akan dilakukannya setelah ini semua, karena Stephanie tidak tahu. Saat ini dia hanya ingin mengikuti alur dari keluarganya buat untuk dirinya.
Sean mengernyit. Alis itu menyatu dikarenakan masih belum percaya dengan apa yang Stephanie katakan. Biasanya hanya melihat dari mata Stephanie, dia akan tahu apakah adiknya itu sedang berbohong atau tidak. Tapi untuk kali ini rasanya sulit. Stephanie seperti membuat dinding pertahanan yang sulit ditembus.
“Kenapa kau menyetujuinya? Tidak mungkin jika kau tidak punya alasan, bukan?”
Sean memberikan pertanyaan yang menjebak. Jika Stephanie salah maka jangan berharap semuanya akan baik-baik saja.
“Aku—”
“Sean!” Suara itu memotong perkataan Stephanie. Diana sudah berapa di ujung pintu. Dirinya terlihat kesal akan apa yang Sean lakukan. “Kenapa kau menyuruh mereka pergi? Stephanie harus menyelesaikan ini secepatnya. Jika tidak maka pakaiannya akan tidak selesai.”
“Kakak, lebih baik kau pergi,”jelas Stephanie. Dia mengangguk berusaha membuat Sean setuju. Walau tak tampak dari raut wajah, sebenarnya perempuan itu merasa bersyukur. Biarlah dia menjalankan hal membosankan ini sembari berpikir jawaban apa yang akan diberi kepada Sean. “Kita bisa bicara lagi nanti,” lanjutnya.
“Baiklah. Kakak akan menemuimu nanti.”
***
Di sisi lain ...
Suara campakan berkas bergema di ruangan yang didominasi oleh warna abu-abu. Seorang pria dengan jas biru dongker adalah pelakunya. Tak sampai di situ, dia memukul meja kerja dengan tangannya yang sudah terkepal.
“Bagaimana bisa proyek itu jatuh ke tangan mereka?!” bentak pria itu kepada pria lainnya yang sedang berdiri tak jauh di hadapannya.
“Saya kurang tahu, Tuan Aiden. Yang jelas saya mendapat kabar dari Agensi Kerly yang mengatakan mereka telah menandatangani kontrak dengan perusahaan—”
“Cukup!” potong Aiden. “Jangan sebut nama perusahaan itu di perusahaanku!” lanjutnya membuat pria di hadapannya mengangguk paham.
“Saya juga mendapat kabar kalau ternyata Tuan Ransom mengadakan pertemuan dengan Agensi Kerly semalam di mansion.” Mendengar itu berhasil membuat rahang Aiden membatu, sangat keras sekali. Tapi ia tidak ingin memotong ucapan dari sang tangan kanan. “Apa yang mereka bahasa juga saya tidak tahu, Tuan. Saya sudah berusaha mendapatkan informasi dari beberapa pelayan, tapi mereka urung memberikan jawaban .... Menurut saya, Tuan Ransom ada kaitannya dengan hal ini.”
Napas Aiden terdengar tidak beraturan. Dia juga berspekulasi hal yang sama dengan Alex. Tidak mungkin Daddynya mengajak agensi tersebut ke mansion kalau tidak membicarakan masalah ini.
Sungguh, Aiden tidak tahu apa yang Ransom pikirkan. Bisa-bisanya Ransom selalu membela keluarga itu yang tak lain adalah musuh dari putranya. Sekali dua kali Aiden akan maklum. Tapi ini sudah terlalu. Aiden tidak bisa tinggal diam kali ini.
“Apa agendaku untuk besok hari?”
Dengan cekatan Alex menyalakan tablet besar tersebut. Membuka dokumen lalu membacanya dengan cepat.
“Besok Tuan Aiden lenggang ... tapi terdapat pesta di malam hari nantinya .... Saya akan membatalkan—”
“Di pesta itu dia juga akan datang, bukan?” potong Aiden yang diangguki oleh Alex. “Baiklah. Aku akan hadir. Siapkan pakaianku. Jangan sampai ada yang tertinggal!”
“Baik, tuan,” jawab Alex yang masih dalam keterkejutan.
Biasanya Aiden akan selalu berusaha menghindari yang namanya pesta. Menurut Aiden itu adalah salah satu kegiatan yang sangat membosankan. Maka dari itu Alex selalu meletakkan bagian pesta ke daftar tidak penting dan dia akan bertanya ketika menjelang dekat.
Dan kali ini, jawaban yang Aiden berikan berhasil membuat Alex terkejut. Dia masih berpikir apa yang akan Tuannya lakukan di pesta itu.
“Tunggu.” Suara dominan yang berat itu berhasil membuat langkah Alex terhenti. “Hubungi juga keluarga Casey. Aku akan membawa putrinya bersamaku ke pesta itu,” pinta Aiden yang lalu tersenyum misterius.
Tiga pria dengan pakaian serba hitam berdiri. Di tangan mereka masing-masing terdapat satu set pakaian yang terlihat sangat rapi dan pastinya mahal.“Pakaian mana yang paling kalian rekomendasikan?” tanya Aiden yang sudah duduk di sofa. Kedua tangannya bersandar di kepala sofa dan kaki seksinya menyilang. Dengan sikap seperti ini, aura diktator dari Aiden sangat kontras.Tiga pria itu juga terlihat gugup dikarenakan mata Aiden yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Ingin membuka suara saja terlihat sangat sulit.“Ini adalah pakaian pertama yang mereka keluarkan saat saya datang, Tuan,” jawab Alex yang lalu berjalan ke arah mereka. Kali ini dia mengambil ahli. Alex dapat maklum dengan mereka, pasalnya ini adalah kali pertama mereka berhadapan dengan seorang Chayton.Alex menunjukkan satu set jas dengan warna abu-abu bermotif kotak-kotak. Jahitannya terlihat sangat rapi. Jas
“Selamat malam, Mr. Alean,” sahut Aiden kepada seorang pria berumur yang berhenti tepat di depannya. Sedangkan Stephanie, dia hanya membalas sapaan ini dengan tersenyum.“Aku kira kau tidak akan datang ke pestaku. Ini adalah sebuah kehormatan yang luar biasa.”“Kenapa tidak? Aku akan datang kalau ada waktu luang, seperti sekarang,” sahut Aiden bersahabat.Pria itu menoleh ke samping. Menatap Stephanie dengan sangat sopan. “Ternyata putri Casey yang mendapatkan dirimu. Aku ucapkan selamat untuk kalian berdua.”“Terima kasih, Mr. Alean,” sahut Stephanie sambil tersenyum manis. “Selamat atas terbukanya hotelmu yang baru ini.”“Ini tidak akan terjadi jika calon suamimu tidak membantuku,” kekeh pria itu. “Baiklah. Silahkan nikmati pesta ini. Aku harus menyambut tamu lainnya.”
“Ayo! Katakan padaku bagaimana panasnya pria yang bernama Aiden itu!” Seorang perempuan berambut cokelat highlight terlihat sangat bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Ia menatap lawan bicaranya dengan memelas, berharap kalau dia akan menjelaskannya.“Aku tidak mau menjelaskannya, Shirley,” seru Stephanie malas.Shirley Adner, seorang model yang juga merangkap sebagai sahabat Stephanie. Mereka memulai hubungan sejak duduk di bangku perguruan tinggi. Dikarenakan Nancy dan Stephanie yang berbeda universitas, membuat Stephanie sulit bergaul. Tapi untung saja di semester selanjutnya dia menemukan Shirley yang pandai bergaul.Shirley mencebik kesal. “Aku sudah mengundur jadwalku yang padat hanya untuk bertemu denganmu. Mendengar kabar baik ini membuatku langsung terbang. Tapi sayangnya kau tidak menyambutku dengan baik.”Stephanie menghela napasnya panjang. Dia memilih u
Dan sekarang Aiden sudah berada di sebuah restoran. Matanya terus saja tertuju ke tempat duduk yang berada di sudut. Memperhatikan apa yang mereka lakukan. Pembicaraan mereka sangat kompak sekali. Bahkan dalam jarak yang bisa terbilang jauh, Aiden masih dapat mendengar canda tawa dari mereka. Itu berhasil membuat emosi yang ada dalam Aiden kian membara.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Aiden punya kesempatan. Langsung saja dia mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah kamar mandi. Perempuan itu tak lain adalah Stephanie.Sebenarnya Aiden ingin sekali menghampiri pria yang menjadi lawan bicara Stephanie. Memberinya pelajaran dengan beberapa pukulan— tapi akhirnya Aiden memutuskan untuk tidak melakukannya. Bukan dirinya takut, tapi ia lebih malas berurusan dengan pria itu. Ditambah lagi dengan kondisi restoran yang sangat ramai. Aiden tidak mau mengambil risiko dimana dirinya menjadi trending topik dengan judul “Seo
“Ck. Ternyata kau sangat bawel.” Sindiran yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie semakin bertambah kesal.Baiklah, dia tidak akan lagi bersuara untuk seterusnya. Langsung saja Stephanie mencari tempat ternyaman. Memundurkan kursi, lalu menutup matanya— tidur dengan pulas.Setelah Aiden memarkirkan mobil sportnya di tempat yang memang khusus dipersembahkan untuk dirinya, akhirnya dia memberikan seluruh fokusnya kepada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan wajah yang menghadap ke arahnya.Biasanya bentuk wajah terjelek adalah saat dimana kita tertidur, tapi berbeda dengan Stephanie. Dia malah terlihat sangat cantik, sama seperti ketika dia bangun. Bibir yang sedikit tebal itu terlihat tertutup sempurna, bulu matanya yang panjang menambah nilai. Kali ini Aiden membenarkan satu hal, kalau keturunan Chayton memang tidak pernah gagal dalam memproduksi seorang perempuan.
“Akhirnya kau datang juga, Sayang.”Dan di sinilah mereka berdua berada, di kediaman keluarga Chayton. Stephanie langsung disambut baik oleh Rose. Sedangkan Aiden, dia diabaikan bahkan tidak diajak berbicara sama sekali.“Aku masih berada di sini, Mom.”Setelah beberapa waktu mereka berdua berbicara dengan sangat akrab, akhirnya suara Aiden lah yang membuat perbincangan santai mereka terpotong.Rose hanya bisa menghela napasnya kesal karena Aiden yang sudah memotong pembicaraannya dengan sang menantu. “Kau lebih baik membersihkan dirimu, Aiden. Biarkan Mommymenghabiskan waktu bersama Stephanie. Mommyingin sekali mengenalnya lebih dalam.”Aiden menaikkan alisnya, lalu menarik pandangan ke Stephanie yang duduk di samping Rose. “Lebih baik Mommytanya dulu, apakah Stephanie ingin berbicara
Beberapa kali Aiden melirik sampingnya melalui ujung mata dan dia hanya mendapati Stephanie yang duduk terdiam di kursinya sambil mengarah ke arah kaca yang ada di samping. Tidak biasanya Stephanie seperti ini. Walaupun hanya terhitung beberapa kali Aiden membawa Stephanie, dia sudah tahu kalau kebiasaan Stephanie yang tidak bisa diam. Kalau tidak ada topik pembicaraan maka pasti akan ada senandung yang Stephanie keluarkan.Aiden tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Yang jelas Stephanie mendadak menjadi pendiam disaat mobil ini sudah berjalan.“Apa ada sesuatu yang terjadi?”Akhirnya setelah berperang dengan dirinya,Aiden mengeluarkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Stephanie menoleh ke arahnya.“Tidak.”Stephanie menjawab pelan dan setelah itu ia kembali ke posisi semula, menghadap ke arah kaca. Dia mengabaikan Aiden yang terlihat mengger
Hari pertunangan Aiden dan Stephanie semakin dekat, dimana kedua keluarga itu mempersiapkannya dengan penuh kebahagiaan. Terutama kedua manusia yang mempunyai peran penting dalam pertunangan itu, tapi kali ini ada pengecualian— Stephanie duduk termenung di atas kasur. Setelah melakukanfittinguntuk gaun pertunangan dia langsung masuk ke dalam kamar. Tidak ada senyuman sama sekali yang menunjukkan kalau dia memang tidak merasakan apa yang dirasakan oleh seluruh manusia di Casey’s Mansion. Ingatannya terus berada beberapa hari yang lalu ... disaat Aiden menjelaskan siapa itu Amanda. Setelah Stephanie diantar pulang oleh Aiden, dia langsung bergegas mencari biodata Amanda melalui internet. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui kalau Amanda adalah kakak tingkatnya saat di universitas tapi mereka memang tidak saling mengenal dikarenakan disaat Amanda lulus barulah Stephanie masuk. Menurut berita yang beredar, Amanda sangat ak
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga