“Silahkan duduk, Mr. Chayton,” seru Sean ketika Aiden telah masuk dan berada di ruang tamu mansion milik keluarga Casey.
Aiden menurut, dia memilih duduk di single sofa lalu kembali mengarahkan fokus kepada Sean.
“Aku tidak menyangka kalau seorang Chayton akan menjadi adik iparku,” seru Sean. Beberapa pelayan yang mengantarkan makanan dan juga minuman tidak membuat Sean memberhentikan kalimatnya. “Well, aku hanya bingung kenapa orang tuaku mau menjodohkan putrinya kepada seorang billionaire yang sangat sombong.”
Aiden berdecak pelan. Walaupun kalimat itu sangat menohok tapi Aiden tidak memasukkan ke dalam hati. Memang mereka sudah lama menjadi kolega bisnis. Saling melengkapi lebih tepatnya. Beberapa bulan lagi mereka juga akan bekerja sama menciptakan sesuatu yang menggencarkan dunia. Oleh sebab itu pertemuan kedua pria itu akan sering terlaksana.
Lagi pula Aiden telah mengecek semua informasi pribadi keluarga Casey. Saat mengetahui kabar tentang perempuan yang akan menjadi istrinya, disitu pula dia meminta kepada Alex untuk mencari tahu tentang mereka lebih mendetail. Untuk seorang Chayton pekerjaan itu sangat mudah. Dia punya beberapa orang dalam yang tersebar sampai kepelosok dunia. Maka dari itu Aiden telah mengetahui beberapa sifat dari keluarga Casey, termasuk Sean.
“Kedatanganku ke sini bukan untuk mencari ribut, Mr. Casey,” jelas Aiden sesudah ia menyeruput sedikit kopi yang ada di hadapannya.
“Siapa yang mencari ribut?” tanya Sean sambil mengedikkan kedua bahu. “Aku harap kau tahu bagaimana sifatku. Di luar dan di rumah hanya beda sedikit. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku, Aiden.”
Aiden tersenyum karena merasa topik pembicaraan kali ini mulai terasa lebih menarik. Dia membiarkan Sean untuk melanjutkan kalimatnya.
“Stephanie adalah perempuan yang terhormat, dan sialnya kau mendapatkan dia. Padahal begitu banyak pria di luaran sana yang jauh rendah hati daripada dirimu.” Sean berbicara dengan nada serius, sama seperti ketika mereka berbicara mengenai pekerjaan. “Jika sampai aku melihat atau mendapatkan kabar kalau kau menyakiti adikku, maka kau akan mendapatkan balasannya langsung dari diriku.”
Sikap sean Sean yang terkenal ramah dan basa-basinya mendadak hilang. Ini adalah pembicaraan yang serius. Kehidupan selanjutnya dari Stephanie, adik kesayangannya akan dipertaruhkan. Terlepas dari itu semua, Aiden adalah orang yang dingin. Tidak pernah sekalipun Sean mendengar tawa yang keluar dari bibir seksinya. Jadi, untuk apa bersikap ramah atau mengeluarkan canda tawa saat berhadapan dengan Aiden?
“Ka—”
“Satu lagi, aku belum mengeluarkan pernyataan apapun tentang perjodohan ini.”
Aiden mengangguk pelan ketika dirasa Sean sudah cukup mengeluarkan unek-uneknya. Semua gaya yang Aiden keluarkan seperti dirancang khusus untuknya. Sampai-sampai gaya memegang gelas pun patut diberi pujian yang luar biasa.
“Tapi aku tidak butuh persetujuan darimu—”
“Kenapa kau tidak mengatakan kepadaku kalau Mr. Chayton telah datang.” Suara berat itu membuat mereka mengurungkan niat untuk melanjut percakapan. Biarlah pembahasan ini hanya terjadi diantara mereka.
“Aku mengulur waktu, Dad. Supaya bisa berbicara lebih lama dengan calon menantu kita,” sahut Sean ramah. Nada bicaranya mendadak berubah menjadi lebih bersahabat.
Aiden tersenyum tipis ketika melihat Sean yang berubah dengan cepat. Teknik berbohong yang dia lakukan sungguh tidak layak untuk dinilai.
“Begitukah? Tunggu sebentar, Aiden. Diana
sedang memanggil Stephanie di kamarnya.”“Dengan senang hati, Mr. Chayton,” sahut Aiden sambil mengangguk singkat.
“Oh, Tuhan! Sepertinya rumah tangga adikku akan kaku sekali,” jerit Sean horor. “Bagaimana bisa kau memanggil calon mertuamu dengan sebutan itu?!”
Mendengar kekehan dari Erland membuat Aiden sedikit merasa canggung ... dan sedikit dipermalukan. Memang dasarnya Aiden yang selalu menganggap apapun dengan serius.
“Kau bisa memanggiku Daddy, Aiden. Tidak perlu terlalu formal,” seru Erland bersahabat.
Pembicaraan mereka berlanjut dengan baik dan diakhiri dengan kedatangan dua perempuan. Tiga pria itu langsung memusatkan perhatiannya kepada perempuan dengan balutan jumpsuit yang sangat cantik. Stephanie yang ditatap begitu akhirnya memilih menunduk. Ditatap dengan tiga pria tampan membuatnya merasa malu.
“Ekhem.” Deheman keras dari sang Kakak membuat Aiden kembali tersadar. “Kau tidak perlu menatap adikku seperti itu, Mr. Chayton.”
“Sudahlah, Sean. Tidak masalah jika dia ingin melihat Stephanie. Sebentar lagi mereka akan menjadi suami istri,” kekeh Erland.
Aiden hanya bisa tersenyum. Lihat saja nanti, dia akan membuat perhitungan kepada Sean.
“Kalau begitu, aku meminta izin untuk membawa Stepahnie pergi.”
“Izin diterima,” kata Erland bersahabat.
“Kalian pasti akan bersenang-senang,” timpal Diana.
“Sepertinya aku harus membuat aturan. Stephanie harus pulang ke mansion sebelum—”
“Sean,” potong Erland mengingatkan putranya.
***
Otak Stephanie mendadak buntu, tidak tahu harus melakukan apapun. Sudah beberapa menit mobil yang dikemudi Aiden berjalan tapi tak satupun dari mereka yang bersuara.
Sedangkan Aiden. Dia hanya menatap jalanan bahkan melalui ujung mata untuk menatap Stephanie tidak dilakukan.
“Kau mau membawaku kemana?” tanya Stephanie yang akhirnya memberanikan diri. Dia menatap Aiden dari samping. Hidung tinggi Aiden terlihat menawan dilihat dari samping.
“Jangan berpikir kalau aku akan mengajakmu untuk makan malam atau berbelanja,” kata Aiden dengan suara beratnya.
Perkataan Aiden membuat Stephanie menyatukan alisnya bingung. Masih berusaha memahami maksud Aiden.
“Apa maksudmu?”
Cittttt ...
Rem mendadak yang Aiden berikan membuat Stephanie terdorong ke depan begitu saja. Dadanya hampir saja mengenai bagian dashboard. Untung saja tangannya siap menahan.
Stephanie membuang napasnya kesal. Dia kembali menatap Aiden dengan tajam. Bahkan pria bermanik cokelat itu tidak membantu atau mengatakan maaf. Apa yang Aiden mau?
“Kalau kau tidak bisa mengendarai mobil setidaknya beritahu aku agar aku yang menyettir!” kata Stephanie kesal. Persetan dengan rasa canggung atau malu! Ini bukanlah masalah sepele menurut Stephanie. Rem mendadak itu bisa saja membuat dirinya terluka.
“Kau berani membentakku?” tanya Aiden yang menaikkan alisnya satu.
“Maaf, Mr. Chayton. Yang kau lakukan sungguh tidak aman. Kalau kau merasa tersinggung itu lebih baik. Lain kali kau harus mengendarai dengan hati-hati.”
“Oh, jadi ini kualitas seorang putri dari Casey yang mau djodohkan dengan ku? Sepertinya orang tua ku telah salah memilih dirimu. Belum apa-apa kau sudah membentakku.”
Stephanie berhasil dibuat melongo. “Sepertinya memang begitu. Aku juga tidak menyangka kalau Mr. Chayton terkenal dengan kesembongan dan perkataannya tidak bisa disaring—”
Dengan sekali gerakan Aiden menarik Stephanie mendekat. Tubuh bagian atas mereka sudah bersentuhan dengan tangan Aiden yang menahan di punggung perempuan cantik itu. Manik mereka saling menatap, mengusik lebih dalam.
Mendadak Aiden menarik kedua bibirnya, tersenyum mematikan. Senyuman yang berhasil membuat Stephanie blank seketika.
“Kau benar. Aku memang sombong. Kau akan melihat lagi sifatku yang lain setelah kau menyandang gelar Chayton. Kuharap kau tidak gila karena itu,” bisik Aiden. Terpaan napas beraroma mint mengenai wajah Stephanie, menyapu bersih wajah mulus yang dibalut make up hingga dia mengerjapkan matanya.
Karena sudah tersadar, Stephanie langsung mendorong dada Aiden. Tapi sayang, tenaganya tidak sebanding dengan Aiden.
“Kau harusnya meminta maaf kepadaku karena telah menabrakku pada waktu itu. Tapi nyatanya kau malah membentakku hanya karena rem mendadak,” kata Aiden mengabaikan Stephanie yang sedang berusaha keras untuk menjauh.
Pukulan demi pukulan berhasil mengenai dada Aiden. Karena mengganggu pemandangan, akhirnya Aiden memutuskan untuk menggenggam tangan Stephanie dengan erat. Kulit dingin yang Aiden punya berhasil membuat sengatan aneh merambat ke tubuh Stephanie.
“Kenapa kau mau menjauh dariku, heh? Bukannya ini impian setiap wanita di luaran sana?”
“Benar. Tapi aku tidak. Aku berbeda dengan wanita yang pernah kau temui di luaran sana.” Walaupun dalam ketakutan, Stephanie masih berusaha menjawab.
Harusnya Aiden marah, tapi kali ini tidak. Dia malah tersenyum miring. Jari panjang itu membenarkan rambut Stephanie, menyelipkannya di belakang telinga.
“Kenapa dengan tubuhku?” batin Stephanie. Sial seribu sial. Tubuhnya mendadak membeku diikuti dengan jantungnya yang semakin bergemuruh di dalam sana. Kulitnya seakan menikmati sentuhan panas dari sang billionaire sombong yang ada di hadapannya.
Stephanie tidak bisa menahan pesona yang Aiden punya. Pria itu punya karisma yang luar biasa. Hanya menatap matanya saja dia bisa membius semua orang.
“Sepertinya kehidupan pernikahan ini tidak akan membosankan,” tutur Aiden. Aiden kira Stephanie itu pendiam yang membuat dirinya yang akan mendominasi. Tapi nyatanya tidak. Baiklah kalau begitu. Aiden malah lebih suka. Kita akan melihat sejauh mana perempuan cantik ini akan berusaha.
“Kita pergi makan malam setelah itu aku akan memulangkanmu.”
“Aku tidak—”
“Kalau begitu kau bisa turun sekarang,” potong Aiden. Ancaman itu berhasil membuat Stephanie tidak berkutik. Bagaimana bisa Stephanie diturunkan di jalan raya yang ada banyak mobil dengan kecepatan tinggi. Turun sama saja mencari ajal. Tapi ikut juga— ah, sudahlah. Setidaknya itu pilihan yang terbaik.
“Good girl,” puji Aiden yang tersenyum tipis. Dia tidak mungkin memulangkan Stephanie secepat ini. Yang ada dia malah akan mencari masalah.
Dengan senang hati Aiden mendorong pelan tubuh Stephanie hingga bersentuhan dengan sandaran kursi kemudi. Ditariknya seat belt, lalu memasangkannya untuk Stephanie.
“Kenapa kau diam saja, heh?” tanya Aiden sesudah berhasil memasang kan alat pengaman itu.
Setelah berdiri beberapa menit, akhirnya seorang pria dengan penampilancasualmengeluarkan senyuman manisnya. Senyuman yang berhasil membuat semuanya terpana, termasuk benda mati sekalipun. Kepalanya menggeleng beberapa kali dengan pandangan mengarah kepada perempuan yang wajahnya sudah ditekuk.“Tersenyumlah sedikit, Stephanie,” kata pria itu. Tak hanya Stephanie, tapi beberapa pelayan wanita juga mengarahkan pandangan ke arah dirinya.“Kakaaaakk ....” Stephanie merengek. Dia sontak berdiri lalu berjalan ke arah Sean. Meninggalkan beberapa pelayan yang masih memegang beberapa helai pakaian. “Bantu aku agar mereka pergi,” bisik Stephanie setelah merangkul lengan besar sang Kakak.“Kalian pergilah. Ada yang ingin aku bicarakan bersama Stephanie,” perintah Sean kepada mereka. Melihat satu per satu pelayan pergi dengan pakaian-pakaian itu membuat Stephanie
Tiga pria dengan pakaian serba hitam berdiri. Di tangan mereka masing-masing terdapat satu set pakaian yang terlihat sangat rapi dan pastinya mahal.“Pakaian mana yang paling kalian rekomendasikan?” tanya Aiden yang sudah duduk di sofa. Kedua tangannya bersandar di kepala sofa dan kaki seksinya menyilang. Dengan sikap seperti ini, aura diktator dari Aiden sangat kontras.Tiga pria itu juga terlihat gugup dikarenakan mata Aiden yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Ingin membuka suara saja terlihat sangat sulit.“Ini adalah pakaian pertama yang mereka keluarkan saat saya datang, Tuan,” jawab Alex yang lalu berjalan ke arah mereka. Kali ini dia mengambil ahli. Alex dapat maklum dengan mereka, pasalnya ini adalah kali pertama mereka berhadapan dengan seorang Chayton.Alex menunjukkan satu set jas dengan warna abu-abu bermotif kotak-kotak. Jahitannya terlihat sangat rapi. Jas
“Selamat malam, Mr. Alean,” sahut Aiden kepada seorang pria berumur yang berhenti tepat di depannya. Sedangkan Stephanie, dia hanya membalas sapaan ini dengan tersenyum.“Aku kira kau tidak akan datang ke pestaku. Ini adalah sebuah kehormatan yang luar biasa.”“Kenapa tidak? Aku akan datang kalau ada waktu luang, seperti sekarang,” sahut Aiden bersahabat.Pria itu menoleh ke samping. Menatap Stephanie dengan sangat sopan. “Ternyata putri Casey yang mendapatkan dirimu. Aku ucapkan selamat untuk kalian berdua.”“Terima kasih, Mr. Alean,” sahut Stephanie sambil tersenyum manis. “Selamat atas terbukanya hotelmu yang baru ini.”“Ini tidak akan terjadi jika calon suamimu tidak membantuku,” kekeh pria itu. “Baiklah. Silahkan nikmati pesta ini. Aku harus menyambut tamu lainnya.”
“Ayo! Katakan padaku bagaimana panasnya pria yang bernama Aiden itu!” Seorang perempuan berambut cokelat highlight terlihat sangat bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Ia menatap lawan bicaranya dengan memelas, berharap kalau dia akan menjelaskannya.“Aku tidak mau menjelaskannya, Shirley,” seru Stephanie malas.Shirley Adner, seorang model yang juga merangkap sebagai sahabat Stephanie. Mereka memulai hubungan sejak duduk di bangku perguruan tinggi. Dikarenakan Nancy dan Stephanie yang berbeda universitas, membuat Stephanie sulit bergaul. Tapi untung saja di semester selanjutnya dia menemukan Shirley yang pandai bergaul.Shirley mencebik kesal. “Aku sudah mengundur jadwalku yang padat hanya untuk bertemu denganmu. Mendengar kabar baik ini membuatku langsung terbang. Tapi sayangnya kau tidak menyambutku dengan baik.”Stephanie menghela napasnya panjang. Dia memilih u
Dan sekarang Aiden sudah berada di sebuah restoran. Matanya terus saja tertuju ke tempat duduk yang berada di sudut. Memperhatikan apa yang mereka lakukan. Pembicaraan mereka sangat kompak sekali. Bahkan dalam jarak yang bisa terbilang jauh, Aiden masih dapat mendengar canda tawa dari mereka. Itu berhasil membuat emosi yang ada dalam Aiden kian membara.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Aiden punya kesempatan. Langsung saja dia mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah kamar mandi. Perempuan itu tak lain adalah Stephanie.Sebenarnya Aiden ingin sekali menghampiri pria yang menjadi lawan bicara Stephanie. Memberinya pelajaran dengan beberapa pukulan— tapi akhirnya Aiden memutuskan untuk tidak melakukannya. Bukan dirinya takut, tapi ia lebih malas berurusan dengan pria itu. Ditambah lagi dengan kondisi restoran yang sangat ramai. Aiden tidak mau mengambil risiko dimana dirinya menjadi trending topik dengan judul “Seo
“Ck. Ternyata kau sangat bawel.” Sindiran yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie semakin bertambah kesal.Baiklah, dia tidak akan lagi bersuara untuk seterusnya. Langsung saja Stephanie mencari tempat ternyaman. Memundurkan kursi, lalu menutup matanya— tidur dengan pulas.Setelah Aiden memarkirkan mobil sportnya di tempat yang memang khusus dipersembahkan untuk dirinya, akhirnya dia memberikan seluruh fokusnya kepada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan wajah yang menghadap ke arahnya.Biasanya bentuk wajah terjelek adalah saat dimana kita tertidur, tapi berbeda dengan Stephanie. Dia malah terlihat sangat cantik, sama seperti ketika dia bangun. Bibir yang sedikit tebal itu terlihat tertutup sempurna, bulu matanya yang panjang menambah nilai. Kali ini Aiden membenarkan satu hal, kalau keturunan Chayton memang tidak pernah gagal dalam memproduksi seorang perempuan.
“Akhirnya kau datang juga, Sayang.”Dan di sinilah mereka berdua berada, di kediaman keluarga Chayton. Stephanie langsung disambut baik oleh Rose. Sedangkan Aiden, dia diabaikan bahkan tidak diajak berbicara sama sekali.“Aku masih berada di sini, Mom.”Setelah beberapa waktu mereka berdua berbicara dengan sangat akrab, akhirnya suara Aiden lah yang membuat perbincangan santai mereka terpotong.Rose hanya bisa menghela napasnya kesal karena Aiden yang sudah memotong pembicaraannya dengan sang menantu. “Kau lebih baik membersihkan dirimu, Aiden. Biarkan Mommymenghabiskan waktu bersama Stephanie. Mommyingin sekali mengenalnya lebih dalam.”Aiden menaikkan alisnya, lalu menarik pandangan ke Stephanie yang duduk di samping Rose. “Lebih baik Mommytanya dulu, apakah Stephanie ingin berbicara
Beberapa kali Aiden melirik sampingnya melalui ujung mata dan dia hanya mendapati Stephanie yang duduk terdiam di kursinya sambil mengarah ke arah kaca yang ada di samping. Tidak biasanya Stephanie seperti ini. Walaupun hanya terhitung beberapa kali Aiden membawa Stephanie, dia sudah tahu kalau kebiasaan Stephanie yang tidak bisa diam. Kalau tidak ada topik pembicaraan maka pasti akan ada senandung yang Stephanie keluarkan.Aiden tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Yang jelas Stephanie mendadak menjadi pendiam disaat mobil ini sudah berjalan.“Apa ada sesuatu yang terjadi?”Akhirnya setelah berperang dengan dirinya,Aiden mengeluarkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Stephanie menoleh ke arahnya.“Tidak.”Stephanie menjawab pelan dan setelah itu ia kembali ke posisi semula, menghadap ke arah kaca. Dia mengabaikan Aiden yang terlihat mengger
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga