Nancy menjadi tidak enak sendiri. Walaupun demikian, dia masih ingat akan posisinya. Segera saja dia berdiri dari sofa agar sofa itu hanya diduduki oleh Stephanie seorang.
“Ini bukan jadwalnya untuk perawatan. Lalu kenapa kalian datang kemari?” tanya Stephanie.
Seperti biasa, para pelayan Casey akan berbondong-bondong masuk ke dalam kamarnya untuk melakukan perawatan kepada sang putri dari Erland setiap dua minggu sekali. Perawatan itu dimulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Stephanie sangat diperlakukan bak seorang ratu di mansion mewah ini.
“Kami diperintahkan oleh Nyonya Diana untuk membantu Anda bersiap-siap, Nyonya.”
“Bersiap-siap? Untuk apa?” tanya Stephanie. Dia melirik Nancy, meminta jawaban. Tapi hanya gelengan yang dia terima dari sahabatnya. Stephanie pikir Nancy tahu hal ini.
“Tuan Aiden Chayton mengajak Anda untuk keluar nanti malam,” jelas pelayan itu.
Mendengar itu membuat Stephanie terkesiap. Mulutnya terbuka lebar. Padahal baru saja dia menenangkan dirinya akibat pertemuan di makan malam waktu itu, tapi sekarang Stephanie akan bertemu lagi dengan Aiden.
“Ini pertemuan keluarga, bukan?”
“Tidak, Nyonya. Tuan Aiden hanya meminta Anda secara pribadi. Untuk lebih jelasnya saya tidak diberitahu apapun.”
“Oke, baiklah,” seru Nancy. Dia tersenyum ke arah Stephanie. Nancy terlihat sangat semangat agar Stephanie juga terbawa suasana. “Sekarang adalah waktumu untuk bersiap-siap. Jangan menolak, Stephanie. Ini bisa kau lakukan agar kau lebih terbiasa.”
Setelah berpikir beberapa saat akhirnya dia mengangguk lesu. “Tapi aku mau bersiap sendiri dibantu oleh Nancy.” Perintah Stephanie membuat para pelayan saling menatap satu sama lain. “Jadi kalian bisa keluar sekarang. Kalau Mommy bertanya, katakan saja yang sebenarnya.”
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh para pelayan itu selain menuruti. Mereka akhirnya pergi dari ruangan itu.
“Apa kau yakin, Stephanie? Aku tidak tahu bagaimana style yang cocok untukmu? Bahkan aku tidak tahu cara menggunakan make up,” seru Nancy yang sudah duduk tak berdaya di sofa. Sekarang dia menanggung tugas yang berat. Kalau Stephanie tidak tampil menawan, maka pasti dia akan disalahkan.
“Ada aku, Nancy. Untuk apa aku belajar tentang hal ini kalau tidak pernah dipakai? Sekarang, kau lebih baik mengikuti apa yang aku katakan,” seru Stephanie yang lalu melangkah masuk ke satu ruangan.
Ruangan itu bernuansa putih. Banyak sekali lemari-lemari dengan kaca bening yang sangat mewah. Di dalam sana sudah terdapat banyak sekali barang mewah, mulai dari pakaian sehari-hari, gaun, rok, heels, bahkan juga perhiasan yang memang dipersembahkan untuk Stephanie. Stephanie berjalan memutar sembari menimbang pakaian apa yang cocok ia gunakan untuk malam ini.
“Kau tidak ingin memakai gaun?” tanya Nancy sesudah Stephanie mengeluarkan sesuatu dari tempatnya.
“Tidak. Aku ingin gaya yang berbeda untuk malam ini.”
“Tapi bukannya kalian akan makan malam nanti? I mean, itu yang dilakukan oleh kalangan atas, bukan? Makan malam ditempat yang mewah, kalau perlu di bawah akuarium yang menyajikan pemandangan ikan-ikan buas,” seru Nancy.
Dia berbicara panjang lebar sambil menerawang jauh ke film-film romantis yang pernah ditonton. Rata-rata, film yang Nancy tonton selalu melakukan hal itu.
“Aku hanya jaga-jaga saja. Kalau ternyata dia membawaku pergi ke tempat lain, maka gaun pasti tidak akan cocok.”
“Kau benar,” sahut Nancy sambil membantu Stephanie mengeluarkan barang tersebut. “Wow. Ini sangat indah.”
Pujian Nancy diberikan kepada sebuah pakaian berjenis jumpsuit yang masih dilapisi oleh plastik bening. Jumpsuit itu berwarna biru gelap dengan sedikit taburan benda-benda kecil yang berkilau di bagian pinggang.
“Aku yakin kau akan terlihat sangat cantik menggunakan ini.” Nancy memindahkan pandangan ke Stephanie. “Ada apa? Kau terlihat tidak bersemangat .... Ayolah, Stephanie. Walau kau tidak menginginkan ini, tapi setidaknya lihat orang tuamu.”
Nancy bukan tidak berpihak pada Stephanie. Dia hanya tidak mau Stephanie dikucilkan karena penolakannya atas perjodohan ini. Belum lagi kalau ternyata orang tuanya marah kepada Stephanie. Nancy tidak kuasa melihat Stephanie sedih.
Sebaliknya, dia merasakan sesuatu yang baik akan segera menghampiri Stephanie. Ya, Nancy memanglah bukan seorang peramal, ini hanyalah sebuah feeling yang hanya dapat dibuktikan seiring berjalannya waktu.
Stephanie memilih duduk di sofa panjang. “Aku ... hanya bingung dengan Aiden. Ini adalah kali pertama kami bertemu. Sebelumnya, aku belum pernah bertemu dengannya.” Dia menatap Nancy dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Di balapan dia terlihat marah dan sangat membenciku, tapi di makan malam, dia malah terlihat sangat lembut. Aku bingung menilai sikapnya, Nancy.”
Nancy mengangguk paham. Dia memilih berjongkok di hadapan Stephanie. Mendongak, agar dia bisa melihat Stephanie. “Cobalah untuk berpikir positif, Stephanie. Mungkin saja pada waktu itu dia marah karena kau menabraknya. Dan pada makan malam itu, emosinya sudah menjadi tenang kembali.”
Stephanie mengangguk. “Apa aku terlihat bodoh?” Pertanyaan yang ambigu menurut Nancy. “Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya. Hanya ada beberapa pria yang dekat denganku selain daddy dan kakak. Itupun hanya sebatas teman. Aku takut kalau aku melakukan kesalahan nantinya. Kau tahu Aiden, bukan? Dia pria terkenal. Pasti dia sudah memiliki beberapa mantan yang seksi dan jauh dari diriku.”
Nancy terkekeh kecil. Apa yang sebenarnya Stephanie permasalahkan? Dia cantik, lalu kenapa sering sekali dia merasa kurang percaya diri?
“Stephanie,” panggil Nancy lembut. “Kau adalah gadis berpendidikan. Kau tamatan Oxford University. Jelas saja kau bukanlah perempuan biasa. Untuk pria, aku rasa itu tidak masalah. Kau bisa belajar seiring waktu atau bahkan membaca buku dan film. Aku bisa merekomendasikan mana yang bagus untukmu .... Lalu, perempuan mana yang jauh di atasmu? Kalau ada, sudah pasti Chayton tidak memilihmu.”
Stephanie terdiam. Dia meresapi semua apa yang Nancy katakan. Setiap hari, dirinya selalu bersyukur memiliki sahabat seperti Nancy yang selalu ada bersamanya. Memberikan nasihat atau bahkan menghiburnya.
“Sudah. Ini bukan waktunya kau merasa tidak percaya diri. Kau adalah pemenang, Stephanie ... sebentar lagi di negara ini akan dilaksanakan pernikahan yang besar. Seluruh stasiun televisi akan memberitakan kabar pernikahan kalian— Kau akan menjadi Mrs. Chayton.”
Nancy berdiri, lalu berjalan sambil melihat-lihat barang apa lagi yang akan Stephanie kenakan. Dia memainkan feelingnya. Semoga saja pilihannya tidak buruk.
“Terima kasih, Nancy,” kata Stephanie sesudah beberapa waktu dia hening.
“Anytime,” sahut Nancy. Dia menghela napasnya lelah. “Lebih baik kau sekarang membantuku. Aku bingung.”
Perempuan cantik itu tertawa lebar. “Sepertinya kau harus belajar mengenai dunia fashion. Pria mana yang akan bisa tahan denganmu kalau begini?”
“Maaf. Aku tidak tertarik. Lagi pula aku punya prinsip kalau hidup ini bukan hanya soal pria.”
“Seandainya orang tuaku memiliki prinsip seperti itu juga.”
“Dan nyatanya tidak.” Jawaban yang Nancy berikan membuat mereka tertawa bersama.
***
Seorang pria yang menggunakan jas hitam berjenis single breasted baru saja memasuki mansion mewah. Manik ambernya menyapu bersih seluruh ruangan. Terlihat dari arah dalam datang seorang pelayan pra yang memakai seragam seperti pelayan di mansion ini. Dia terlihat menunduk ke arah pria bermanik amber itu.
“Kenapa mansion ini terlihat sangat sepi? Kemana semua orang?” tanya pria itu yang lalu memilih duduk di sofa. Tak lupa kakinya menyilang.
Pria itu bernama Sean Casey. Penerus satu-satunya nama Casey. Kakak kandung dari Stephanie Casey.
“Tuan dan nyonya Casey sedang berada di taman, Tuan,” jelas pelayan tersebut.
“Stephanie?” tanyanya lagi sambil menaikkan alis sebelah.
“Nyonya Stephanie sedang bersiap-siap di kamarnya.”
“Untuk apa?” tanya pria itu lagi. Kali ini dia terlihat sangat kesal. Akibat banyaknya urusan pekerjaan membuatnya sangat ketinggalan informasi tentang keluarganya.
“Tuan Aiden mengajak Nyonya Stephanie untuk pergi malam ini. Oleh sebab itu Nyonya Stephanie sedang bersiap dibantu oleh Nancy.”
Sean mengangguk paham. Dia hanya baru mendapat kabar dari sang Daddy kalau perjodohan adiknya berhasil. Sean juga baru teringat belum pernah berbicara dengan sang adik selama satu minggu ini.
“Permisi, Tuan.” Seorang pria berpakaian hitam masuk dari luar. Pakaian itu adalah pakaian yang khusus digunakan untuk bagian keamanan. “Tuan Aiden Chayton sudah berada di luar.”
Sean diam beberapa saat. Dia masih kaget akan kabar itu. Tapi pada akhirnya, dia memilih untuk berbicara sambil berdiri.
“Persilahkan dia masuk. Aku akan menyambutnya,” sahut Sean yang lalu tersenyum penuh misteri.
“Silahkan duduk, Mr.Chayton,” seru Sean ketika Aiden telah masuk dan berada di ruang tamu mansion milik keluarga Casey.Aiden menurut, dia memilih duduk di single sofa lalu kembali mengarahkan fokus kepada Sean.“Aku tidak menyangka kalau seorang Chayton akan menjadi adik iparku,” seru Sean. Beberapa pelayan yang mengantarkan makanan dan juga minuman tidak membuat Sean memberhentikan kalimatnya. “Well,aku hanya bingung kenapa orang tuaku mau menjodohkan putrinya kepada seorang billionaireyang sangat sombong.”Aiden berdecak pelan. Walaupun kalimat itu sangat menohok tapi Aiden tidak memasukkan ke dalam hati. Memang mereka sudah lama menjadi kolega bisnis. Saling melengkapi lebih tepatnya. Beberapa bulan lagi mereka juga akan bekerja sama menciptakan sesuatu yang menggencarkan dunia. Oleh sebab itu pertemuan kedua pria itu akan sering terlaks
Setelah berdiri beberapa menit, akhirnya seorang pria dengan penampilancasualmengeluarkan senyuman manisnya. Senyuman yang berhasil membuat semuanya terpana, termasuk benda mati sekalipun. Kepalanya menggeleng beberapa kali dengan pandangan mengarah kepada perempuan yang wajahnya sudah ditekuk.“Tersenyumlah sedikit, Stephanie,” kata pria itu. Tak hanya Stephanie, tapi beberapa pelayan wanita juga mengarahkan pandangan ke arah dirinya.“Kakaaaakk ....” Stephanie merengek. Dia sontak berdiri lalu berjalan ke arah Sean. Meninggalkan beberapa pelayan yang masih memegang beberapa helai pakaian. “Bantu aku agar mereka pergi,” bisik Stephanie setelah merangkul lengan besar sang Kakak.“Kalian pergilah. Ada yang ingin aku bicarakan bersama Stephanie,” perintah Sean kepada mereka. Melihat satu per satu pelayan pergi dengan pakaian-pakaian itu membuat Stephanie
Tiga pria dengan pakaian serba hitam berdiri. Di tangan mereka masing-masing terdapat satu set pakaian yang terlihat sangat rapi dan pastinya mahal.“Pakaian mana yang paling kalian rekomendasikan?” tanya Aiden yang sudah duduk di sofa. Kedua tangannya bersandar di kepala sofa dan kaki seksinya menyilang. Dengan sikap seperti ini, aura diktator dari Aiden sangat kontras.Tiga pria itu juga terlihat gugup dikarenakan mata Aiden yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Ingin membuka suara saja terlihat sangat sulit.“Ini adalah pakaian pertama yang mereka keluarkan saat saya datang, Tuan,” jawab Alex yang lalu berjalan ke arah mereka. Kali ini dia mengambil ahli. Alex dapat maklum dengan mereka, pasalnya ini adalah kali pertama mereka berhadapan dengan seorang Chayton.Alex menunjukkan satu set jas dengan warna abu-abu bermotif kotak-kotak. Jahitannya terlihat sangat rapi. Jas
“Selamat malam, Mr. Alean,” sahut Aiden kepada seorang pria berumur yang berhenti tepat di depannya. Sedangkan Stephanie, dia hanya membalas sapaan ini dengan tersenyum.“Aku kira kau tidak akan datang ke pestaku. Ini adalah sebuah kehormatan yang luar biasa.”“Kenapa tidak? Aku akan datang kalau ada waktu luang, seperti sekarang,” sahut Aiden bersahabat.Pria itu menoleh ke samping. Menatap Stephanie dengan sangat sopan. “Ternyata putri Casey yang mendapatkan dirimu. Aku ucapkan selamat untuk kalian berdua.”“Terima kasih, Mr. Alean,” sahut Stephanie sambil tersenyum manis. “Selamat atas terbukanya hotelmu yang baru ini.”“Ini tidak akan terjadi jika calon suamimu tidak membantuku,” kekeh pria itu. “Baiklah. Silahkan nikmati pesta ini. Aku harus menyambut tamu lainnya.”
“Ayo! Katakan padaku bagaimana panasnya pria yang bernama Aiden itu!” Seorang perempuan berambut cokelat highlight terlihat sangat bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Ia menatap lawan bicaranya dengan memelas, berharap kalau dia akan menjelaskannya.“Aku tidak mau menjelaskannya, Shirley,” seru Stephanie malas.Shirley Adner, seorang model yang juga merangkap sebagai sahabat Stephanie. Mereka memulai hubungan sejak duduk di bangku perguruan tinggi. Dikarenakan Nancy dan Stephanie yang berbeda universitas, membuat Stephanie sulit bergaul. Tapi untung saja di semester selanjutnya dia menemukan Shirley yang pandai bergaul.Shirley mencebik kesal. “Aku sudah mengundur jadwalku yang padat hanya untuk bertemu denganmu. Mendengar kabar baik ini membuatku langsung terbang. Tapi sayangnya kau tidak menyambutku dengan baik.”Stephanie menghela napasnya panjang. Dia memilih u
Dan sekarang Aiden sudah berada di sebuah restoran. Matanya terus saja tertuju ke tempat duduk yang berada di sudut. Memperhatikan apa yang mereka lakukan. Pembicaraan mereka sangat kompak sekali. Bahkan dalam jarak yang bisa terbilang jauh, Aiden masih dapat mendengar canda tawa dari mereka. Itu berhasil membuat emosi yang ada dalam Aiden kian membara.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Aiden punya kesempatan. Langsung saja dia mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah kamar mandi. Perempuan itu tak lain adalah Stephanie.Sebenarnya Aiden ingin sekali menghampiri pria yang menjadi lawan bicara Stephanie. Memberinya pelajaran dengan beberapa pukulan— tapi akhirnya Aiden memutuskan untuk tidak melakukannya. Bukan dirinya takut, tapi ia lebih malas berurusan dengan pria itu. Ditambah lagi dengan kondisi restoran yang sangat ramai. Aiden tidak mau mengambil risiko dimana dirinya menjadi trending topik dengan judul “Seo
“Ck. Ternyata kau sangat bawel.” Sindiran yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie semakin bertambah kesal.Baiklah, dia tidak akan lagi bersuara untuk seterusnya. Langsung saja Stephanie mencari tempat ternyaman. Memundurkan kursi, lalu menutup matanya— tidur dengan pulas.Setelah Aiden memarkirkan mobil sportnya di tempat yang memang khusus dipersembahkan untuk dirinya, akhirnya dia memberikan seluruh fokusnya kepada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan wajah yang menghadap ke arahnya.Biasanya bentuk wajah terjelek adalah saat dimana kita tertidur, tapi berbeda dengan Stephanie. Dia malah terlihat sangat cantik, sama seperti ketika dia bangun. Bibir yang sedikit tebal itu terlihat tertutup sempurna, bulu matanya yang panjang menambah nilai. Kali ini Aiden membenarkan satu hal, kalau keturunan Chayton memang tidak pernah gagal dalam memproduksi seorang perempuan.
“Akhirnya kau datang juga, Sayang.”Dan di sinilah mereka berdua berada, di kediaman keluarga Chayton. Stephanie langsung disambut baik oleh Rose. Sedangkan Aiden, dia diabaikan bahkan tidak diajak berbicara sama sekali.“Aku masih berada di sini, Mom.”Setelah beberapa waktu mereka berdua berbicara dengan sangat akrab, akhirnya suara Aiden lah yang membuat perbincangan santai mereka terpotong.Rose hanya bisa menghela napasnya kesal karena Aiden yang sudah memotong pembicaraannya dengan sang menantu. “Kau lebih baik membersihkan dirimu, Aiden. Biarkan Mommymenghabiskan waktu bersama Stephanie. Mommyingin sekali mengenalnya lebih dalam.”Aiden menaikkan alisnya, lalu menarik pandangan ke Stephanie yang duduk di samping Rose. “Lebih baik Mommytanya dulu, apakah Stephanie ingin berbicara
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga