Dan sekarang Aiden sudah berada di sebuah restoran. Matanya terus saja tertuju ke tempat duduk yang berada di sudut. Memperhatikan apa yang mereka lakukan. Pembicaraan mereka sangat kompak sekali. Bahkan dalam jarak yang bisa terbilang jauh, Aiden masih dapat mendengar canda tawa dari mereka. Itu berhasil membuat emosi yang ada dalam Aiden kian membara.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Aiden punya kesempatan. Langsung saja dia mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah kamar mandi. Perempuan itu tak lain adalah Stephanie.
Sebenarnya Aiden ingin sekali menghampiri pria yang menjadi lawan bicara Stephanie. Memberinya pelajaran dengan beberapa pukulan— tapi akhirnya Aiden memutuskan untuk tidak melakukannya. Bukan dirinya takut, tapi ia lebih malas berurusan dengan pria itu. Ditambah lagi dengan kondisi restoran yang sangat ramai. Aiden tidak mau mengambil risiko dimana dirinya menjadi trending topik dengan judul “Seorang Chayton memukul pria di hadapan banyak orang”
Sungguh tidak lucu.
Aiden tidak lagi memikirkan tentang siapa yang boleh masuk ke kamar mandi itu— tidak untuk saat ini. Pintu itu langsung Aiden tutup. Dia berjalan cepat sebelum Stephanie masuk ke salah satu bilik. Meraih tangannya, menarik, lalu mendorongnya ke dinding.
“Apa kau tidak ingat dengan peraturanku?”
Terkejut! Tentu saja. Bagaimana mungkin Stephanie masih bisa bersikap normal disaat ada yang mendorongnya tiba-tiba ke dinding. Untuk beberapa saat sebelum dia mendengar suara Aiden, Stephanie mengira kalau dia sedang diculik.
“Apa yang kau katakan?” Akhirnya setelah beberapa saat, Stephanie mengeluarkan suaranya. Menatap wajah Aiden yang sudah sangat mengeras. Dari suara yang Stephanie keluarkan sudah mewakili kalau dirinya sangat kesal akan apa yang Aiden lakukan.
Siapa yang tidak kesal jika ada orang yang masuk ke wilayah yang bukan seharusnya ia injak .... Dan anehnya orang itu langsung menodong dengan sebuah pertanyaan.
“Kenapa kau bertemu dengan pria itu lagi?” Aiden langsung masuk ke inti pembicaraan. Dia tidak punya kesabaran yang lebih lama untuk membuat Stephanie mengerti dengan sendirinya.
Pria itu? Dengan cepat Stephanie memutar otaknya .... Jadi alasan dari kemarahan Aiden adalah hanya karena Joshua.
“Apa kau tidak merasa takut dengan ancamanku?”
Tentu saja Stephanie takut. Dia tahu kalau apa yang keluar dari mulut Aiden tidak akan pernah main-main. Tapi untuk kali ini Stephanie tidak punya maksud apa-apa dengan Joshua. Bertemunya Stephanie dengan pria itu hanya ingin menjelaskan tentang semuanya. Tentang bagaimana terjadinya perjodohan ini. Itu saja. Tidak lebih.
“Kau berlebihan, Aiden!” Dari semua banyak opsi jawaban, Stephanie malah mengeluarkan kalimat itu. Apa Stephanie salah? Pasalnya dia bisa melihat kalau wajah Aiden semakin menyeramkan. Bahkan deru napasnya terdengar seperti orang yang dikejar oleh banteng. Well, kalau dipikir kalimat yang Stephanie pilih ada benarnya, bukan?
“Berlebihan kau bilang?” tanya Aiden. Benar dugaan Stephanie. Jawaban yang Stephanie berikan sukses membuat emosi Aiden semakin mendidih. “Jelaskan dimana sisi berlebih hanya karena aku melarangmu?!”
“Joshua adalah sahabatku, Aiden. Kami lebih lama berhubungan daripada kau. Jadi mengertilah—”
“Bagaimana bisa aku mengerti disaat calon istri-ku berdekatan dengan pria lain? Dimana di kepalaku masih terdengar bagaimana lancarnya gelak tawamu saat berbicara dengannya. Katakan bagaimana caranya agar aku bisa mengerti?”
Perkataan yang Aiden keluarkan berhasil membuat Stephanie terdiam. Disaat Stephanie mengulang kembali apa yang Aiden katakan di kepalanya, disitu pula jantungnya mulai berdebar. Untuk saat ini Stephanie masih bingung menjelaskan kenapa bisa jantungnya berdebar. Ini terlalu rumit untuknya.
Apa tujuan dari Aiden yang marah sekarang karena dia cemburu? Tidak! Stephanie tidak boleh berharap lebih.
Stephanie pada akhirnya mencoba untuk mengambil jawaban yang lebih masuk akal. Dan jawabannya adalah karena Aiden dan Joshua tidak punya hubungan yang baik. Iya, Stephanie semakin merasa yakin akan hal ini dikarenakan gelagat emosi Aiden.
“Dengarkan baik-baik, Stephanie.” Stephanie tersentak saat Aiden memegang bahunya sambil bicara. Mendekatkan wajahnya hingga terpaan napas Aiden menyapu bersih wajah yang ditutupi oleh make up tipis itu. “Jalan pikiran semua pria itu sama. Jangan pernah berpikir kalau mereka tidak mengambil keuntungan dari dirimu—”
“Termasuk kau juga?”
Hey! Apa yang kau lakukan, Stephanie? Kenapa kau malah memotong pembicaraan Aiden?
Bodohnya lagi Stephanie memotong dengan perkataan yang berhasil membuat kepala Aiden mendidih— tidak mendidih, melainkan gosong!
Ucapan Stephanie sukses membuat Aiden menjambak rambutnya. Tak habis pikir dengan manusia yang ada di hadapannya.
“Pergi sebelum aku melampiaskan emosiku kepadamu!” Suara Aiden terdengar seperti paksaan di telinga Stephanie. Membuatnya menelan saliva dalam. “Jangan membantah, Stephanie!” Sontak saja Stephanie langsung bergerak menjauh. Menuruti Aiden setidaknya itu lebih baik sekarang. Tapi sebelum ia sampai ke ujung pintu, dia mendengar sebuah suara yang cukup keras.
“Astaga, Aiden!” pekik Stephanie sambil menutup bibirnya. Apa yang ia lihat sekarang berhasil membuat jantung Stephanie seperti berhenti berdetak. Bayangkan saja, Aiden memukul tembok dimana posisinya berada tadi dengan tangannya. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali.
Karena tak ingin melihat pemandangan itu untuk kesekian kalinya, Stephanie langsung mendekat dan lalu menahan tangan Aiden. Matanya memanas kala melihat buku jari Aiden sudah mengeluarkan darah segar.
“Apa yang kau lakukan?” cicit Stephanie lemah. Perasaannya mendadak sakit. Disaat ia ingin mendongak untuk mengeluarkan sumpah serapah atas apa yang Aiden lakukan, suara Aiden terdengar lebih dulu.
“Kenapa kau kembali?”
“Kalau aku tidak kembali, bisa-bisa tembok ini hancur!”
Aiden tersenyum miring. “Kau lebih mengkhawatirkan tembok daripada kondisiku,” sahut Aiden sambil menarik tangannya dari jangkauan Stephanie. Tapi sayang, Stephanie menahannya dengan kuat.
“Kurasa tanpa aku menjawabnya, kau sudah tahu siapa yang ku khawatirkan!” Stephanie menimpali. Apa Aiden tidak bisa melihat kalau hal pertama yang Stephanie lakukan adalah mendekatinya? Itu sudah menjawab semuanya, kalau Stephanie khawatir.
Stephanie mendekatkan tangan Aiden ke wajahnya. Dari jarak yang dekat Stephanie kembali meringis. Walaupun bukan dia, tapi Stephanie bisa merasakannya. Bahkan reaksinya lebih dominan daripada Aiden yang malah terlihat santai.
“Pasti sakit,” gumam Stephanie. Dia mendongak. “Aku akan meminta kotak P3K.”
“Aku ikut,” sahut Aiden yang lalu menggandeng tangan Stephanie untuk berjalan dengannya. Tentang emosi .... Aiden rasa sekarang dia jauh lebih baik. Melampiaskannya kepada tembok memanglah pilihan yang tepat walau berakhir dengan kondisi yang mengenaskan.
“Aiden—”
“Aku punya kotak P3K di mobil,” jawab Aiden yang seolah tahu apa yang Stephanie ingin katakan dikarenakan mereka yang melewati bagian kasir. Aiden tidak ingin lagi berada lebih lama di restoran ini, apalagi ketika melihat Joshua yang ada di dalam. Itu bisa membuat emosinya kembali tersulut.
Stephanie tidak bisa mengatakan apapun selain menurut. Bahkan dia tidak mengucapkan kata pamit kepada Joshua. Pria itu mungkin dari tadi sudah menunggunya. Untuk saat ini, ia harus bersama Aiden. Stephanie tidak ingin kejadian itu ter-ulang kembali.
Semoga Joshua tidak mencarinya ...
“Ssshhh.”
Lagi dan lagi, mobil sport mewah milik Aiden terus diisi oleh ringisan kesakitan disaat Stephanie mengobati tangan Aiden dengan obat merah. Bukan ... Bukan Aiden, melainkan Stephanie lah pelakunya. Malah pria dengan tangan yang terluka itu sudah memejamkan matanya dengan tenang.
Aiden terlihat sangat menikmati obat merah yang ditumpahkan ke lukanya, rasanya perih tapi nikmat.
Bukan berlebihan, tapi memang Stephanie sangat benci dengan yang namanya luka, terutama darah. Ini saja ia sudah melawan rasa takutnya untuk mengambil ahli sebagai dokter gadungan. Karena kalau membiarkan lebih lama, takutnya luka itu infeksi.
“Kenapa kau memukul tembok itu?” tanya Stephanie frustrasi.
Pertanyaan itu berhasil membawa Aiden membuka matanya. Mengarahkan fokusnya kepada Stephanie yang sedang mengobati lukanya. “Setidaknya itu lebih baik daripada melampiaskannya ke dirimu.”
Kalimat itu berhasil membuat Stephanie merinding. Kalau dia yang ada di posisi itu, bukan Aiden yang akan terluka, melainkan dirinya. Mengerikan!
“Kau terlihat mengerikan saat emosi.” Setelah perkataan Aiden tadi, pembicaraan mereka terhenti. Dan Stephanie kembali membukanya disaat ia sudah melapisi luka itu dengan perban.
“Itu kau tahu, tapi kau malah membuat emosiku terpancing.”
“Dia sahabatku, Aiden. Bukan pria lain—”
“Seorang sahabat bisa menjadi penjahat,” potong Aiden.
“Maksudmu?” Stephanie bertanya dikarenakan suara Aiden yang pelan, membuatnya hanya mendengar samar-samar.
“Lupakan.” Aiden menarik tangannya dan memperhatikannya dengan tatapan menilai. “Kau sangat buruk dalam membalut luka.”
Lihat! Ini yang Stephanie kesal kepada Aiden. Apakah kalian akan diam saja disaat orang lain menghina kalian? Tentu tidak! Itulah yang Stephanie lakukan tadi. Perkataan Aiden lebih pedas daripada spicy chicken yang pernah Stephanie makan.
Harusnya Aiden berterima kasih kepada Stephanie, bukannya menghina akan apa yang Stephanie kerjakan.
Gara-gara hinaan Aiden membuat Stephanie tidak jadi berpikir atau bertanya lebih lanjut akan kalimat ambigu yang Aiden ucapkan sebelum dia menghina Stephanie.
“Aku tidak mau ribut denganmu lagi!” Suara itu berhasil membuat Aiden menarik pandangan ke Stephanie yang sudah merapikan kotak P3K. “Sekarang aku mau turun dan bertemu dengan Joshua—”
“Aku ikut,” potong Aiden, “emosiku belum kembali normal. Sepertinya menghajar rahangnya berhasil membuat diriku puas.”
Stephanie terlihat berpikir. Dan setelah beberapa saat akhirnya dia menghela napasnya panjang. Tidak ada yang bisa Stephanie lakukan selain menuruti billionaire menyebalkan.
“Good girl,” puji Aiden ketika melihat Stephanie yang tidak jadi bergerak untuk turun. “Kalau begini kau memang terlihat seperti wanita anggun. Berbeda dengan apa yang kulihat tadi, kau seperti wanita pembangkang dan kesan anggun sangat jauh dari dirimu.”
Stephanie tidak bisa menjawab disaat Aiden masih setia mengelus kepalanya. Elusan itu berhasil membuat semua organ tubuh Stephanie membeku. Benar-benar aneh!
“Dengan kejadian ini kuharap kau tahu kalau apa yang kukatakan tidak main-main,” jelas Aiden. “Cukup menurut denganku maka aku akan bersiap baik kepadamu— Mulai sekarang belajarlah untuk menuruti calon suamimu ini.”
Dalam hati, Stephanie berusaha mengajak tubuhnya berkompromi .... Setelah cukup tenang, akhirnya perlahan-lahan dirinya mulai kembali normal. Dia baru tersadar kalau Aiden sekarang sedang mencoba untuk membawa mobil yang ia kendarai keluar dari tempat parkiran.
“Kita mau kemana?”
“Menghabiskan waktu,” sahut Aiden yang menatap Stephanie sekilas.
“Kemana?”
“Ck. Ternyata kau sangat bawel.” Sindiran yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie semakin bertambah kesal.Baiklah, dia tidak akan lagi bersuara untuk seterusnya. Langsung saja Stephanie mencari tempat ternyaman. Memundurkan kursi, lalu menutup matanya— tidur dengan pulas.Setelah Aiden memarkirkan mobil sportnya di tempat yang memang khusus dipersembahkan untuk dirinya, akhirnya dia memberikan seluruh fokusnya kepada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan wajah yang menghadap ke arahnya.Biasanya bentuk wajah terjelek adalah saat dimana kita tertidur, tapi berbeda dengan Stephanie. Dia malah terlihat sangat cantik, sama seperti ketika dia bangun. Bibir yang sedikit tebal itu terlihat tertutup sempurna, bulu matanya yang panjang menambah nilai. Kali ini Aiden membenarkan satu hal, kalau keturunan Chayton memang tidak pernah gagal dalam memproduksi seorang perempuan.
“Akhirnya kau datang juga, Sayang.”Dan di sinilah mereka berdua berada, di kediaman keluarga Chayton. Stephanie langsung disambut baik oleh Rose. Sedangkan Aiden, dia diabaikan bahkan tidak diajak berbicara sama sekali.“Aku masih berada di sini, Mom.”Setelah beberapa waktu mereka berdua berbicara dengan sangat akrab, akhirnya suara Aiden lah yang membuat perbincangan santai mereka terpotong.Rose hanya bisa menghela napasnya kesal karena Aiden yang sudah memotong pembicaraannya dengan sang menantu. “Kau lebih baik membersihkan dirimu, Aiden. Biarkan Mommymenghabiskan waktu bersama Stephanie. Mommyingin sekali mengenalnya lebih dalam.”Aiden menaikkan alisnya, lalu menarik pandangan ke Stephanie yang duduk di samping Rose. “Lebih baik Mommytanya dulu, apakah Stephanie ingin berbicara
Beberapa kali Aiden melirik sampingnya melalui ujung mata dan dia hanya mendapati Stephanie yang duduk terdiam di kursinya sambil mengarah ke arah kaca yang ada di samping. Tidak biasanya Stephanie seperti ini. Walaupun hanya terhitung beberapa kali Aiden membawa Stephanie, dia sudah tahu kalau kebiasaan Stephanie yang tidak bisa diam. Kalau tidak ada topik pembicaraan maka pasti akan ada senandung yang Stephanie keluarkan.Aiden tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Yang jelas Stephanie mendadak menjadi pendiam disaat mobil ini sudah berjalan.“Apa ada sesuatu yang terjadi?”Akhirnya setelah berperang dengan dirinya,Aiden mengeluarkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Stephanie menoleh ke arahnya.“Tidak.”Stephanie menjawab pelan dan setelah itu ia kembali ke posisi semula, menghadap ke arah kaca. Dia mengabaikan Aiden yang terlihat mengger
Hari pertunangan Aiden dan Stephanie semakin dekat, dimana kedua keluarga itu mempersiapkannya dengan penuh kebahagiaan. Terutama kedua manusia yang mempunyai peran penting dalam pertunangan itu, tapi kali ini ada pengecualian— Stephanie duduk termenung di atas kasur. Setelah melakukanfittinguntuk gaun pertunangan dia langsung masuk ke dalam kamar. Tidak ada senyuman sama sekali yang menunjukkan kalau dia memang tidak merasakan apa yang dirasakan oleh seluruh manusia di Casey’s Mansion. Ingatannya terus berada beberapa hari yang lalu ... disaat Aiden menjelaskan siapa itu Amanda. Setelah Stephanie diantar pulang oleh Aiden, dia langsung bergegas mencari biodata Amanda melalui internet. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui kalau Amanda adalah kakak tingkatnya saat di universitas tapi mereka memang tidak saling mengenal dikarenakan disaat Amanda lulus barulah Stephanie masuk. Menurut berita yang beredar, Amanda sangat ak
“A—apa yang kau lakukan?”Sesudah Stephanie memproses semua apa yang terjadi di kepalanya dengan cepat, akhirnya hanya kalimat itu yang dikeluarkan sebagai bentuk protes akan apa yang Aiden lakukan.Dan Aiden hanya tersenyum mendengar itu. “Kau sedang marah atau bertanya dengan nada yang baik, heh?”Mendengar ejekan yang Aiden berikan kepadanya membuat Stephanie menghela jengah. Kalau saja Aiden tidak melingkarkan tangan di pinggang miliknya, sudah pasti Stephanie akan turun dari tadi.“Kenapa kau menciumku?” Stephanie mengabaikan ejekan itu. “Kau sangat mesum—”“Tidak baik untuk mengatakan bahasa kasar, Sweetie,” potong Aiden yang sudah membawa tangan Stephanie untuk turun dari depan wajahnya. “Orang selembut dirimu tidak cocok mengatakan bahasa kasar.”Cukup! Stepha
“Kenapa kau meneleponku, Sweetie?”Satu kalimat itu langsung terdengar disaat telepon Stephanie dijawab oleh Aiden yang berada di seberang. Stephanie yang tadi masih mengaplikasikan cairan ke bibirnya sontak berhenti kala mendengar suara berat Aiden yang sangat seksi— walaupun Aiden tidak berada di hadapan Stephanie tapi dia menyadari kalau kekuatan Aiden melingkupinya.“Aku ... ingin keluar.”Sesudah teringat akan tujuannya, Stephanie langsung bersuara. Tidak hanya meminta izin kepada orang tuanya, tapi Stephanie juga harus mengingat Aiden yang akan menjadi tunangannya ... Kalau saja Aiden tidak memberikan mata-mata untuk mengawasinya maka Stephanie tidak perlu repot melakukan ini. Stephanie hanya takut kalau tiba-tiba Aiden datang dengan kemarahannya dan membuat kerusakan— itu terlalu mengerikan.“Keluar? Kemana?”Suara A
Boom!Suara tenang itu membawa mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara yang berada tepat di belakang Amanda.Seorang Aiden Chayton sudah berdiri di sana dengan pakaian jas lengkap, tak lupa dengan tatapannya yang tidak pernah lepas dari Stephanie yang sudah dia mematung. Mereka saling bertatapan beberapa saat sampai sebuah suara membuat fokus mereka terpecahkan.“Sayang, akhirnya kita bertemu.” Suara Amanda yang terkesan ramah itu membuat Aiden menarik pandangan. Dia masih diam dikala Amanda sudah berdiri di hadapannya. “Padahal aku berniat ingin menemuimu di Chayton’s Group.”Sedangkan Stephanie, dia masih diam di tempat. Melihat dan menunggu akan apa reaksi yang Aiden berikan kepada perempuan yang pernah punya tempat spesial di hatinya dulu. Melihat tatapan Aiden yang lembut sama seperti dia menatap Stephanie membuat hati perempuan itu terasa diiris-iris&m
“Apa kau yakin akan menemuinya?” Pertanyaan yang diberikan oleh Nancy membuat Stephanie menarik pandangan ke arahnya.“Tentu. Aku akan menemuinya. Sekarang!” jawab Stephanie tegas yang lalu diberikan gelengan oleh Nancy.“Tapi, Stephanie, ini sudah sore. Sebentar lagi malam dan keluargamu akan kumpul untuk makan malam.”“Maka aku akan pulang sebelum makan malam.” Stephanie menjawab sambil memegang kedua bahu Nancy. Menatap Nancy dengan penuh keyakinan walau sebenarnya Stephanie tidak yakin jika masalah ini akan selesai sebelum makan malam. “Kau harus percaya kepadaku. Jadi jika daddy atau mommy bertanya tentangku sebelum makan malam, maka kau harus menjawabnya. Kau paham, Nancy?”Nancy mengangguk penuh lesu. Dia terlihat khawatir. Tapi mau bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa dilakukan Nancy selain membantu Stephanie. “Baiklah. Aku akan membantumu. Sekarang kau bersiaplah dan aku akan menyiapkan sopir—”
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga