“A—apa yang kau lakukan?”
Sesudah Stephanie memproses semua apa yang terjadi di kepalanya dengan cepat, akhirnya hanya kalimat itu yang dikeluarkan sebagai bentuk protes akan apa yang Aiden lakukan.
Dan Aiden hanya tersenyum mendengar itu. “Kau sedang marah atau bertanya dengan nada yang baik, heh?”
Mendengar ejekan yang Aiden berikan kepadanya membuat Stephanie menghela jengah. Kalau saja Aiden tidak melingkarkan tangan di pinggang miliknya, sudah pasti Stephanie akan turun dari tadi.
“Kenapa kau menciumku?” Stephanie mengabaikan ejekan itu. “Kau sangat mesum—”
“Tidak baik untuk mengatakan bahasa kasar, Sweetie,” potong Aiden yang sudah membawa tangan Stephanie untuk turun dari depan wajahnya. “Orang selembut dirimu tidak cocok mengatakan bahasa kasar.”
Cukup! Stephanie sudah tidak tahan lagi. Apalagi ketika dia mendengar kalimat lanjutan dari Aiden yang malah membuatnya sangat malu.
“Salah siapa yang punya bibir seksi sampai-sampai aku tidak tahan?” Itulah kalimat Aiden yang mampu membuat bibir Stephanie mengunci rapat. “Akhirnya rasa penasaranku akan bibirmu terbayar lunas— rasanya sangat manis.”
Ya, Tuhan, jangan terbuai Stephanie!
Dan Stephanie tidak sadar kalau kedua pipinya sudah mengeluarkan semburat merah yang bahkan Aiden tidak bisa menahan untuk mengeluarkan senyum lebarnya .... Senyuman itu bisa membuat sesuatu di dalam Stephanie bercampur aduk ... Demi Tuhan, Aiden sangat tampan sekali!
“Kalau kau mau protes sepertinya tidak bisa. Sebentar lagi kita akan bertunangan lalu menikah— berlatih dulu tidak masalah, bukan?”
“Cukup! Lebih baik kau menjelaskan apa yang ingin kau jelaskan sebelumnya!” Stephanie bersuara untuk menghentikan pembicaraan yang pastinya akan berlanjut dengan penuh kegilaan. Otak Aiden sungguh tidak waras— berbanding terbalik dengan otak Stephanie yang masih suci.
Kini tangan Aiden yang menganggur sudah memiliki pekerjaan, menggulung rambut hitam Stephanie dengan sangat lembut.
“Singkat saja— Aku berpacaran dengan Amanda ....” Baru saja Aiden membuka suaranya tapi itu sudah bisa membuat Stephanie cukup sesak. Dalam hati, dia memohon supaya hatinya kuat sampai akhir penjelasan.
“Sementara itu, aku punya tiga sahabat— Marvin, Jackob, dan Joshua. Tapi ternyata aku dikhianati oleh seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri— Joshua. Dia punya hubungan gelap dengan Amanda. Aku memergoki mereka ... dan anehnya Amanda malah menghilang setelah aku sangat marah kepada mereka berdua.”
Beberapa saat Stephanie terdiam, berjaga-jaga kalau ternyata Aiden ingin melanjutkan kalimatnya. Tapi sepertinya apa yang Aiden katakan sudah selesai.
“Hanya itu?”
“Tentu. Aku tidak ingin menceritakan apa saja yang terjadi pada waktu itu— bisa-bisa hatimu yang lembut itu akan menangis.”
Sementara Aiden bicara disitu pula Stephanie mengambil kesempatan— memerikaa melalui raut wajah dan tatapan Aiden .... Apa yang Aiden tunjukkan sangat jauh berbeda dengan waktu itu. Aiden terlihat sangat berani dan rasa luka tidak ada di wajahnya. Ya, walaupun Aiden dengan wajahnya yang dingin, Stephanie tetap mampu menilai walaupun harus menelusuk lebih dalam.
“Jadi karena itu kau dan Joshua bermusuhan?”
Aiden mengangguk. “Dan karena aku tahu siapa Joshua makanya aku tidak ingin melihatmu berhubungan dengan dia—”
“Tapi Joshua tidak seperti itu,” potong Stephanie memperbaiki kalimat Aiden. Stephanie bisa melihat kalau apa yang Joshua tampilkan saat bersamanya murni tanpa kebohongan. “Joshua baik—”
“Aku tidak suka mendengarmu yang memuji pria lain disaat ada aku.” Jleb! Langsung saja Stephanie menutup bibirnya sesaat dia tahu kalau sekarang singa di hadapannya sudah bangun dari tidurnya.
“Aku sudah bersahabat dengan Joshua sejak lama, Sweetie. Tentu aku yang lebih tahu daripada dirimu yang baru bersahabat sejak kuliah.”
Dan Stephanie hanya bersikap biasa saja pada kalimat terakhir Aiden karena dia tahu kalau Aiden sudah mengetahui semua seluk beluk Stephanie.
“Apa dirimu sudah puas?” tanya Aiden yang lalu diangguki oleh Stephanie. Setidaknya Stephanie bersyukur karena Aiden yang mau menjelaskan sebelum dia mendengar dari orang lain— dan Stephanie tahu kalau apa yang Aiden katakan benar ... feelingnya mengatakan demikian.
“Kalau begitu seterusnya dirimu harus percaya padaku,” lanjut Aiden yang membuat Stephanie menghela napasnya jengah dikarenakan Aiden yang sudah masuk ke dalam mode memerintah.
“Apa kau tidak salah, Aiden?” Stephanie balik bertanya dan mengabaikan alis Aiden yang sudah bertaut. “Harusnya kau percaya padaku dan menyuruh mata-matamu untuk berhenti mengintaiku.”
Sebelum Aiden menimpali pernyataan dari Stephanie, dengan cepat Stephanie berkata, “Satu lagi, berhenti untuk mengorek privasiku! Aku punya privasi yang tidak bisa kau sentuh sejengkalpun.”
Suara gelak tawa Aiden terdengar. Stephanie lagi-lagi dibuat bingung dan mengulang kalimatnya dalam hati memastikan apakah yang dia katakan ada kesalahan atau tidak.
“Sweetie, mata-mataku itu tidak jahat, itu demi kebaikanmu dan supaya kau semakin mengingat peraturanku.” Aiden menjelaskan dengan nada jenaka yang malah membuat Stephanie semakin kesal. “Dan lagipula, kita akan menjadi pasangan. Jadi aku rasa aku harus mengetahui privasimu. Kau paham, hm?”
“Tidak! Aku sungguh tidak paham denganmu, Aiden! Kau membuatku sangat kesal— lebih baik aku pulang saja—”
“Apa kau tidak punya sebutan lain untuk diriku? Memanggil namaku terdengar tidak sopan.”
Sontak saja Stephanie mengangguk mantap. Aiden terlihat sangat tidak sabaran mendengar panggilan untuknya, dibuktikan dengan sorot matanya.
“Alion, lebih baik aku pulang sekarang sebelum aku semakin kesal!”
“Alion,” kata Aiden lagi yang malah mengabaikan apa inti dari yang Stephanie katakan. Aiden dengan sorot mata antusiasnya malah tersenyum. “Ya ... nama itu sangat bagus .... Aku seperti singa yang tampan, bukan begitu?”
Mendengar gelak tawa yang Stephanie keluarkan membuat Aiden menjeda kalimatnya. Dia tidak mau suara tawa Stephanie ditimpal oleh suaranya supaya Aiden bisa mendengarnya dengan jelas.
Setelah Stephanie cukup tenang akhirnya dia bersuara. “Tampan? Astaga ... aku memberimu nama Alion— A untuk Aiden— lion untuk kau yang sangat menyeramkan dan suka marah.”
Setelah mengatakan itu Stephanie langsung turun dari pangkuan Aiden. Mengambil tasnya dengan cepat lalu berhenti sesudah berada di ujung pintu.
“Aku pergi dulu, Alion. Kuharap aku tidak bertemu untukmu—”
“Sepertinya harapanmu tidak akan terkabul, Sweetie.” Aiden berjalan mendekat sambi bersuara. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana membuat aura wibawa tercipta jelas. “Sebentar lagi kita akan bertemu— paling lama di pertunangan kita .... Kau bisa pulang tapi hanya dengan bersama Alex. Maaf aku tidak bisa mengantarmu karena sebentar lagi ada meeting.”
Maaf ... kata itu terus saja terulang di kepala Stephanie. Ini adalah kali pertama Aiden meminta maaf kepadanya. Tapi sebelum tubuhnya merespon berlebihan, segera Stephanie melanjutkan langkahnya ke luar— pergi dari area kuasa Aiden dan berharap melupakan kejadian di ruangan itu walaupun harapan hanyalah harapan.
***
Next Chapter ...
“Astaga, Kakak Ipar!” Clara memekik kaget dengan pandangan menuju ke arah pintu. Stephanie yang sedang asyik melihat daftar menu reflek menengadah lalu menuju ke arah apa yang Clara lihat.
“Itu Amanda!”
“Kenapa kau meneleponku, Sweetie?”Satu kalimat itu langsung terdengar disaat telepon Stephanie dijawab oleh Aiden yang berada di seberang. Stephanie yang tadi masih mengaplikasikan cairan ke bibirnya sontak berhenti kala mendengar suara berat Aiden yang sangat seksi— walaupun Aiden tidak berada di hadapan Stephanie tapi dia menyadari kalau kekuatan Aiden melingkupinya.“Aku ... ingin keluar.”Sesudah teringat akan tujuannya, Stephanie langsung bersuara. Tidak hanya meminta izin kepada orang tuanya, tapi Stephanie juga harus mengingat Aiden yang akan menjadi tunangannya ... Kalau saja Aiden tidak memberikan mata-mata untuk mengawasinya maka Stephanie tidak perlu repot melakukan ini. Stephanie hanya takut kalau tiba-tiba Aiden datang dengan kemarahannya dan membuat kerusakan— itu terlalu mengerikan.“Keluar? Kemana?”Suara A
Boom!Suara tenang itu membawa mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara yang berada tepat di belakang Amanda.Seorang Aiden Chayton sudah berdiri di sana dengan pakaian jas lengkap, tak lupa dengan tatapannya yang tidak pernah lepas dari Stephanie yang sudah dia mematung. Mereka saling bertatapan beberapa saat sampai sebuah suara membuat fokus mereka terpecahkan.“Sayang, akhirnya kita bertemu.” Suara Amanda yang terkesan ramah itu membuat Aiden menarik pandangan. Dia masih diam dikala Amanda sudah berdiri di hadapannya. “Padahal aku berniat ingin menemuimu di Chayton’s Group.”Sedangkan Stephanie, dia masih diam di tempat. Melihat dan menunggu akan apa reaksi yang Aiden berikan kepada perempuan yang pernah punya tempat spesial di hatinya dulu. Melihat tatapan Aiden yang lembut sama seperti dia menatap Stephanie membuat hati perempuan itu terasa diiris-iris&m
“Apa kau yakin akan menemuinya?” Pertanyaan yang diberikan oleh Nancy membuat Stephanie menarik pandangan ke arahnya.“Tentu. Aku akan menemuinya. Sekarang!” jawab Stephanie tegas yang lalu diberikan gelengan oleh Nancy.“Tapi, Stephanie, ini sudah sore. Sebentar lagi malam dan keluargamu akan kumpul untuk makan malam.”“Maka aku akan pulang sebelum makan malam.” Stephanie menjawab sambil memegang kedua bahu Nancy. Menatap Nancy dengan penuh keyakinan walau sebenarnya Stephanie tidak yakin jika masalah ini akan selesai sebelum makan malam. “Kau harus percaya kepadaku. Jadi jika daddy atau mommy bertanya tentangku sebelum makan malam, maka kau harus menjawabnya. Kau paham, Nancy?”Nancy mengangguk penuh lesu. Dia terlihat khawatir. Tapi mau bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa dilakukan Nancy selain membantu Stephanie. “Baiklah. Aku akan membantumu. Sekarang kau bersiaplah dan aku akan menyiapkan sopir—”
“Jadi sekarang apa yang ingin kau lakukan?”“Aku tidak tahu, Shirley.” Stephanie menjawab sambil melihat ke arah gelas yang ada di hadapannya. Jarinya juga terus mengetuk-ngetuk pelan gelas keramik tersebut. Dia terlihat seperti orang yang bingung.Shirley menghela napasnya penuh sabar. Dia menarik tangan Stephanie yang membuat Stephanie menoleh ke arahnya. “Lalu apa yang kau rasakan?”Mendengar pertanyaan dari Shirley membawa Stephanie menyatukan kedua alisnya. Menatap Shirley dengan penuh kebingungan. Dia belum mengerti maksud Shirley. Tapi setelah Stephanie mengulang beberapa kali pertanyaan sahabatnya dalam benak, barulah Stephanie mengerti dan mulai menjawab.“Aku merasakan ... nyaman,” jawab Stephanie yang lalu membuang wajahnya ke arah gelas. Dia tidak bisa menjawab karena ditatap oleh Shirley, maka dari itu Stephanie memilih membuang wajahnya. D
Dan pesta pertunangan yang didambakan oleh kedua keluarga itu tercipta pada malam ini. Pesta yang diadakan di halaman Casey’s Mansion. Halaman itu disulap sedemikian rupa sehingga menampilkan tampilan yang luar biasa ciamik dengan tema yang dekat dengan tumbuhan hijau.“Kenapa? Kau pikir aku tidak datang, huh?” Marvin mengeluarkan suaranya sesudah sampai di hadapan Aiden. Menatap Aiden dari ujung kepala sampai ujung kaki untuk beberapa kali. Dia merasa kagum dengan apa yang dilihatnya sekarang. Aiden benar-benar berbeda dengan penampilannya sekarang.“Ck. Harusnya kau tidak datang.” Protes yang dilayangkan Aiden membuat Marvin terlihat kesal. Bukan tanpa sebab, Aiden hanya tidak suka dengan Marvin yang tiba-tiba muncul setelah menghilang tanpa kabar. “Lebih baik kau menghilang saja untuk selamanya.”“Oh ... ternyata kau mencariku, Mr. Aiden?” tanya Marvin dengan
Aiden menoleh ke samping. Menatap Stephanie yang sedari tadi masih diam. Tidak ada topik pembicaraan yang mereka buka selama perjalanan kali ini. Dan Aiden, untuk pertama kalinya dia merasa bingung. Bingung ingin membuka pembicaraan dari mana. Salah langkah, maka Stephanie akan marah. Tentu Aiden tidak mau itu terjadi. Untuk saat ini, diam lebih baik.“Aiden.” Panggilan yang Stephanie berikan membuat Aiden kembali menoleh sekilas. Lalu memusatkan ke arah jalanan. “Apa dia akan menceritakan semuanya?”Aiden mengerti maksud pertanyaan Stephanie. Ini tentang ancaman yang Amanda berikan. “Biarkan saja. Lagi pula aku tidak peduli.”“Tidak peduli bagaimana?” tanya Stephanie kesal. Menatap Aiden dengan pandangan tak masuk akal. “Kalau dia menceritakan semuanya bagaimana dengan kita? Jangan pikirkan kita. Pikirkan tentang keluarga. Para tamu juga belum pulang .... Seharusnya kau tidak memb
“Kenapa Calon Menantuku tiba-tiba datang sepagi ini?” Ransom bertanya dengan kekehan di akhir. Ransom sedang jalan santai di teras mansionnya sembari melihat keadaan sekitar. Tapi tiba-tiba ada mobil milik Sean dan ternyata Stephanie keluar dari sana. Dan sekarang, Stephanie sedang berada di hadapannya.“Apa aku tidak bisa datang ke sini, Dad?” tanya Stephanie sambil tersenyum lebar. Stephanie tidak merasa canggung seperti pertama kali mereka bertemu. Dirinya merasakan kalau Ransom sama seperti daddynya, sama-sama punya kesan hangat, terlebih dari tatapan mereka.“Tentu. Kau bisa datang ke sini semaumu. Tapi nanti, kau yang akan menguasai mansion ini, Sayang,” seru Ransom. Dia merasakan ada sesuatu yang bergerak di belakangnya. Segera saja Ransom menoleh ke belakang. Mendapati Rose sedang berjalan ke arahnya dengan tergesa-gesa. “Lihatlah Mommy-mu. Dia sangat semangat menyambutmu sampai-sampai tidak
“Silakan duduk, Sayang.”Stephanie menuruti perkataan Ransom dengan duduk di salah satu kursi yang langsung menghadap meja makan. Terlebih dahulu Stephanie mengedarkan pandangan lalu jatuh ke Ransom.“Kemana Mommy, Dad?” tanya Stephanie setelah menyadari ada yang kurang.“Sebentar lagi dia akan turun. Aku juga tidak tahu apa yang dia lakukan di kamar,” jawab Ransom yang membuat Stephanie mengangguk mengerti. “Lalu kemana calon suamimu?”Mendengar pertanyaan Ransom membuat Stephanie menjawabnya. “Dia juga di kamar untuk berganti pakaian. Mungkin sebentar lagi Aiden akan turun, Dad.”Jujur saja, tatapan Ransom ke Stephanie membuat dirinya merasa curiga dan tidak enak. Seperti ada yang ingin disampaikan Ransom namun tertahan. Entah apa sebabnya. Yang jelas itu membuat Stephanie merasa penasaran.“
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga