“Ck. Ternyata kau sangat bawel.” Sindiran yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie semakin bertambah kesal.
Baiklah, dia tidak akan lagi bersuara untuk seterusnya. Langsung saja Stephanie mencari tempat ternyaman. Memundurkan kursi, lalu menutup matanya— tidur dengan pulas.
Setelah Aiden memarkirkan mobil sportnya di tempat yang memang khusus dipersembahkan untuk dirinya, akhirnya dia memberikan seluruh fokusnya kepada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan wajah yang menghadap ke arahnya.
Biasanya bentuk wajah terjelek adalah saat dimana kita tertidur, tapi berbeda dengan Stephanie. Dia malah terlihat sangat cantik, sama seperti ketika dia bangun. Bibir yang sedikit tebal itu terlihat tertutup sempurna, bulu matanya yang panjang menambah nilai. Kali ini Aiden membenarkan satu hal, kalau keturunan Chayton memang tidak pernah gagal dalam memproduksi seorang perempuan.
“Kalau kau masih mau menutup matamu, maka jangan salahkan jika bibir ini menempel di bibirmu.”
Bisikan yang tepat di telinga Stephanie membuatnya langsung membuka mata. Lantas mendorong tubuh Aiden dengan sekuat tenaga, sampai Aiden menyentuh bagian pintu mobil yang ada di sampingnya.
“Kau bukan hanya menyebalkan dan menyeramkan, tapi kau juga mesum, Aiden!” pekik Stephanie kuat.
Bukannya marah, Aiden malah terkekeh kecil. Sebenarnya itu hanya gertakan saja karena ia tahu kalau Stephanie memang sudah terbangun sejak mobil mereka berhenti bergerak. Tapi sekarang, entah kenapa gertakan itu berubah menjadi lebih besar— di kepalanya sudah terbayang bagaimana rasa dari bibir seksi milik Stephanie.
“Kau mendapatkan satu lagi fakta tentangku, Sweetie.”
“Sweetie?” Stephanie mengulang panggilan yang diberikan kepadanya. Sweetie adalah panggilan yang orang tuanya berikan kepada Stephanie. Tetapi kenapa Aiden memanggilnya seperti itu? Seingatnya orang tuanya tidak pernah memanggilnya dengan sebutan khusus itu saat bersama dengan Aiden.
“Memangnya kenapa? Apa hanya orang tuamu yang bisa memanggil itu?”
“Kenapa kau bisa mengetahui panggilan itu?”
“Well, itu bukanlah hal yang sulit untuk seorang Chayton.”
Lagi, Stephanie kembali disadarkan dengan fakta itu. Aiden penuh kuasa. Dia bisa melakukan segala macam cara supaya tahu akan suatu hal. Hal ini membuat Stephanie sedikit takut ... Perasaan tidak enak mulai menggerogoti tubuhnya dikarenakan dia ingat dengan kejadian tadi, dimana Aiden bisa tahu lokasi Stephanie.
Itu berarti bisa saja Aiden mengorek lebih dalam tentang Stephanie.
“Ayo, jangan melamun. Kita masih punya banyak kegiatan yang lebih dari sekadar melamun.”
Suara itu berhasil membawa Stephanie kembali ke dunia nyata. Aiden terlihat sedang melepas seat belt, menandakan kalau dia akan turun dari mobil.
“Aku di mobil saja,” kata Stephanie yang berhasil diberikan helaan napas panjang oleh Aiden.
“Baiklah kalau begitu. Silakan menikmati tidurmu di mobil tanpa pendingin. Mungkin sepuluh menit dari sekarang kau bisa meninggal dikarenakan kepanasan.”
Ancaman yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie kembali membuka matanya. DIa lagi-lagi mencebik kesal kala melihat Aiden yang sudah berjalan menjauh dari mobil. Bahkan pria itu tidak ada keinginan untuk membujuk atau bahkan melihat ke arahnya.
***
“Kenapa, Sweetie? Ini belum sepuluh menit tapi kau sudah turun.”
Pertanyaan yang lebih terdengar seperti ejekan itu membuat Stephanie mendelik tidak suka. Tentu saja Stephanie akan turun karena ancaman itu. Meninggal untuk sekarang bukanlah hal yang baik bagi Stephanie.
“Kita mau kemana?”
Stephanie kembali bertanya setelah mereka berjalan beberapa saat. Aiden yang berjalan di sampingnya hanya diam saja, dan itu berhasil membuat Stephanie sangat kesal. Sinar matahari yang sangat terik ini juga berhasil menambah emosinya— campur aduk menjadi satu.
“Jangan—”
“Jangan ajak aku untuk berkelahi atau membuatku kesal, Aiden.” Stephanie memotong. “Aku sudah lelah. Belum lagi heels ini membuat kakiku terasa sakit.”
Aiden berhenti tiba-tiba yang juga diikuti oleh Stephanie. Dia menghadap ke arah Stephanie. Melihat bulir-bulir keringat mulai jatuh mengenai kulit putih mulus dari Stephanie.
“Sejak kapan aku membuatmu kesal?” tanya Aiden. Sebelum Stephanie menjawab, tangan Aiden lebih dulu mendarat di tangannya. “Ayo. Sedikit lagi. Kau bersabarlah,” serunya yang lalu menarik tangan Stephanie untuk berjalan.
Dan betapa terkejutnya Stephanie ketika mereka sudah sampai di sebuah lapangan yang sangat luas— tidak, ini bukan lapangan biasa melainkan lapangan untuk tempat helikopter. Stephanie bisa menyimpulkan itu dikarenakan sudah ada helikopter di jarak 10 meter dari posisinya, dan alat transportasi itu berhasil membuat rambut Stephanie melayang akibat dari main rotor dan drive shaft.
“Welcome to Chayton’s Airport, Mr. Chayton.”
Seorang pria dengan seragam pilot datang, diikuti dengan beberapa orang dari belakang. Belum selesai Stephanie memuji helikopter dan lapangan, ia sudah dikejutkan dengan mereka. Sungguh, ini adalah kali pertama Stephanie bisa merasakan hal ini.
Benar memang, sekaya-kayanya keluarganya akan tetap kalah jika disandingkan dengan Chayton.
“Perkenalkan, dia adalah tunanganku Stephanie Casey.”
Suara Aiden berubah menjadi tegas, tidak seperti biasanya. Dari sini Stephanie semakin menganggumi apa yang ada di dalam diri Aiden. Benar-benar definisi dari seorang billionaire .... Sialnya tiba-tiba di kepala Stephanie terlintas bagaimana sifat Aiden— pada akhirnya segala pujian yang Stephanie keluarkan lenyap seketika.
“Bagaimana, Sweetie, apa aku berhasil membuatmu kagum?”
Disaat mereka sudah duduk di bagian cockpit, suara Aiden terdengar. Stephanie yang sudah memakai peralatan tempur yang dijadikan sebagai peraturan untuk menaiki helikopter, akhirnya menoleh ke Aiden.
“Kagum ... dan juga takut,” kata Stephanie jujur.
Dan betapa kagetnya Stephanie ketika bisa mendengar gelak tawa Aiden yang sangat lepas dan berhasil membuat jantungnya berdetak dengan riang di dalam sana. Ini bukan buatan— Stephanie tahu itu. Bahkan tawa itu berhasil membuat mata Aiden lenyap.
Ini adalah kali pertama Stephanie mendengar Aiden tertawa dan jantungnya berhasil berdebar oleh itu. Stephanie kira Aiden tidak tahu bagaimana caranya tertawa, pasalnya diseluruh berita yang menyiarkan tentang Aiden, disebutkan kalau Aiden adalah pria dingin. Jangankan tertawa, membalas senyum saja tidak pernah.
“Kenapa kau takut, heh?” Setelah cukup tenang akhirnya Aiden bertanya. “Apa kau masih ragu denganku karena rem mendadak?”
Sejujurnya tidak untuk saat ini setelah melihat bagaimana ahlinya Aiden menyetir mobil untuk menuju ke Chayton’s Airport, sebuah bandara yang memang khusus dipersembahkan untuk keluarga Chayton, tidak untuk umum. Tapi kalau untuk mengendarai helikopter ... Stephanie ragu.
Iya, Aiden yang mengendarai helikopter ini. Bahkan ia menolak mentah-mentah tawaran dari sang pilot.
“Aiden, aku tahu kalau kau jago dalam segala hal ... tapi untuk ini, kumohon serahkan kepada yang ahli.”
“Itu kau tahu.” Aiden menyahut dengan tangan yang sibuk menyentuh tombol-tombol. Dan semakin bertambah takutlah Stephanie ketika ia bisa menyadari mereka sudah bergerak dari posisi semula. “Jangan pernah meragukanku, Sweetie. Nikmati saja perjalanan ini. Aku tidak mungkin membuat calon istriku terluka.”
Perkataan Aiden seperti sebuah mantra yang berhasil membuat ketakutan Stephanie lenyap perlahan-lahan, digantikan oleh perasaan takjub ketika helikopter ini sudah melayang di udara. Menyuguhkan pemandangan yang sangat indah sekali. Bangunan-bangunan tinggi dan pepohonan terlihat sangat kecil tapi juga punya nilai keindahannya tersendiri.
Di sana, Aiden tersenyum ketika melihat Stephanie yang sudah mulai asyik akan pemandangan. Sampai-sampai dia melupakan Aiden.
“Bagaimana? Sekarang kau percaya?”
“Iya.” Sesudah gumaman yang dapat didengar Aiden itu dikeluarkan, Stephanie langsung menutup mulutnya. Bisa-bisanya dia menjawab jujur akan pertanyaan Aiden. Tidak, Stephanie tidak boleh membuat Aiden semakin berbesar kepala .... Sayangnya hatinya berkata lain.
Hati kecil Stephanie menginginkan Stephanie untuk berkata yang sejujurnya. Meninggalkan semua rasa kesal yang Stephanie alami sejak tadi.
“Katakan kau mau kemana sekarang?”
Pertanyaan Aiden menarik Stephanie kembali ke dunia nyata. Membuatnya menatap sang pria itu dari samping. Dan Stephanie tidak bosan-bosannya mengagumi pria itu dalam hati. Aiden seperti titisan dewa Yunani dengan rahangnya yang sangat tegas, tak lupa dengan alisnya yang juga menunjukkan bagaimana tegasnya seorang Aiden.
Setelah Stephanie berpikir beberapa saat akhirnya dia menjawab. “Aku tidak tahu kemana.”
“Baiklah, kita akan pulang saja ke mansion. Mommy Rose mencarimu dari tadi.”
“Mencariku?” tanya Stephanie yang terdengar kaget.
“Mommy ingin sekali aku membawamu ke mansion untuk mengenalkan dirimu kepada seluruh penghuni mansion. Tapi aku berubah pikiran saat melihatmu bersama dengan pria itu ... dan berakhir membawamu berkeliling ... juga untuk meredakan rasa emosi dan kesal yang ada di dalam diriku.”
Jadi selama ini Aiden masih menyimpan rasa emosi dan kesalnya, tapi dia tidak menunjukkannya, melainkan menyimpannya dalam hati. Berbeda dengan apa yang Stephanie lakukan. Dia malah mendiami Aiden dengan alibi tidur, dan bahkan sempat menolak ajakan Aiden untuk turun.
“Lalu sekarang kau sudah tenang?” Sebelum Stephanie ke inti, dia ingin mengetahui apa yang Aiden rasakan sekarang.
“Sepertinya.”
Perempuan itu mengangguk paham. “Kalau kau belum tenang, lebih baik teruskan saja perjalanan ini. Setelah itu kita bisa ke mansion.”
“Memangnya kau ingin sekali pergi ke mansion?”
“Tentu.” Jawaban Stephanie terdengar tegas. Hal yang salah bagi Stephanie kalau dia tidak mengabulkan permintaan ibu mertuanya. Sama seperti perempuan pada umumnya, Stephanie ingin meninggalkan kesan yang baik kepada calon keluarganya.
“Baiklah. Kita pergi sekarang.”
Keputusan yang Aiden buat kembali membawa Stephanie bersuara. “Tapi emosimu belum stabil—”
“Itu tidak masalah. Aku harus menuruti kemauan calon istriku, bukan?” Aiden memotong dengan menatap Stephanie sekilas. Sebelum dia kembali menatap depan, Aiden menaikkan alisnya satu.
Bagaimana bisa Stephanie tidak jatuh hati perlahan-lahan kepada pria menyebalkan di sampingnya? Kalau begini, tinggal menunggu beberapa hari maka Stephanie akan jatuh hati kepada Aiden.
“Kalaupun emosiku naik, palingan aku akan melampiaskannya ke dinding untuk kesekian kalinya.”
“Jangan bertingkah bodoh!” kata Stephanie kesal. “Ada apa denganmu? Apa dengan memukul tembok bisa membuatmu puas? Kalau iya tapi kau juga akan merasakan sakit. Cobalah untuk melatih emosimu, Aiden.”
“Jangan minta aku untuk melatih emosiku, Sweetie.” Aiden kembali membantah. Dan bantahan itu berhasil membuat Stephanie jengah. “Sangat mudah untuk tidak membuat emosiku naik— cukup dengan menuruti peraturan yang sudah kukatakan di awal. Kau paham, Sweetie?”
“Akhirnya kau datang juga, Sayang.”Dan di sinilah mereka berdua berada, di kediaman keluarga Chayton. Stephanie langsung disambut baik oleh Rose. Sedangkan Aiden, dia diabaikan bahkan tidak diajak berbicara sama sekali.“Aku masih berada di sini, Mom.”Setelah beberapa waktu mereka berdua berbicara dengan sangat akrab, akhirnya suara Aiden lah yang membuat perbincangan santai mereka terpotong.Rose hanya bisa menghela napasnya kesal karena Aiden yang sudah memotong pembicaraannya dengan sang menantu. “Kau lebih baik membersihkan dirimu, Aiden. Biarkan Mommymenghabiskan waktu bersama Stephanie. Mommyingin sekali mengenalnya lebih dalam.”Aiden menaikkan alisnya, lalu menarik pandangan ke Stephanie yang duduk di samping Rose. “Lebih baik Mommytanya dulu, apakah Stephanie ingin berbicara
Beberapa kali Aiden melirik sampingnya melalui ujung mata dan dia hanya mendapati Stephanie yang duduk terdiam di kursinya sambil mengarah ke arah kaca yang ada di samping. Tidak biasanya Stephanie seperti ini. Walaupun hanya terhitung beberapa kali Aiden membawa Stephanie, dia sudah tahu kalau kebiasaan Stephanie yang tidak bisa diam. Kalau tidak ada topik pembicaraan maka pasti akan ada senandung yang Stephanie keluarkan.Aiden tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Yang jelas Stephanie mendadak menjadi pendiam disaat mobil ini sudah berjalan.“Apa ada sesuatu yang terjadi?”Akhirnya setelah berperang dengan dirinya,Aiden mengeluarkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Stephanie menoleh ke arahnya.“Tidak.”Stephanie menjawab pelan dan setelah itu ia kembali ke posisi semula, menghadap ke arah kaca. Dia mengabaikan Aiden yang terlihat mengger
Hari pertunangan Aiden dan Stephanie semakin dekat, dimana kedua keluarga itu mempersiapkannya dengan penuh kebahagiaan. Terutama kedua manusia yang mempunyai peran penting dalam pertunangan itu, tapi kali ini ada pengecualian— Stephanie duduk termenung di atas kasur. Setelah melakukanfittinguntuk gaun pertunangan dia langsung masuk ke dalam kamar. Tidak ada senyuman sama sekali yang menunjukkan kalau dia memang tidak merasakan apa yang dirasakan oleh seluruh manusia di Casey’s Mansion. Ingatannya terus berada beberapa hari yang lalu ... disaat Aiden menjelaskan siapa itu Amanda. Setelah Stephanie diantar pulang oleh Aiden, dia langsung bergegas mencari biodata Amanda melalui internet. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui kalau Amanda adalah kakak tingkatnya saat di universitas tapi mereka memang tidak saling mengenal dikarenakan disaat Amanda lulus barulah Stephanie masuk. Menurut berita yang beredar, Amanda sangat ak
“A—apa yang kau lakukan?”Sesudah Stephanie memproses semua apa yang terjadi di kepalanya dengan cepat, akhirnya hanya kalimat itu yang dikeluarkan sebagai bentuk protes akan apa yang Aiden lakukan.Dan Aiden hanya tersenyum mendengar itu. “Kau sedang marah atau bertanya dengan nada yang baik, heh?”Mendengar ejekan yang Aiden berikan kepadanya membuat Stephanie menghela jengah. Kalau saja Aiden tidak melingkarkan tangan di pinggang miliknya, sudah pasti Stephanie akan turun dari tadi.“Kenapa kau menciumku?” Stephanie mengabaikan ejekan itu. “Kau sangat mesum—”“Tidak baik untuk mengatakan bahasa kasar, Sweetie,” potong Aiden yang sudah membawa tangan Stephanie untuk turun dari depan wajahnya. “Orang selembut dirimu tidak cocok mengatakan bahasa kasar.”Cukup! Stepha
“Kenapa kau meneleponku, Sweetie?”Satu kalimat itu langsung terdengar disaat telepon Stephanie dijawab oleh Aiden yang berada di seberang. Stephanie yang tadi masih mengaplikasikan cairan ke bibirnya sontak berhenti kala mendengar suara berat Aiden yang sangat seksi— walaupun Aiden tidak berada di hadapan Stephanie tapi dia menyadari kalau kekuatan Aiden melingkupinya.“Aku ... ingin keluar.”Sesudah teringat akan tujuannya, Stephanie langsung bersuara. Tidak hanya meminta izin kepada orang tuanya, tapi Stephanie juga harus mengingat Aiden yang akan menjadi tunangannya ... Kalau saja Aiden tidak memberikan mata-mata untuk mengawasinya maka Stephanie tidak perlu repot melakukan ini. Stephanie hanya takut kalau tiba-tiba Aiden datang dengan kemarahannya dan membuat kerusakan— itu terlalu mengerikan.“Keluar? Kemana?”Suara A
Boom!Suara tenang itu membawa mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara yang berada tepat di belakang Amanda.Seorang Aiden Chayton sudah berdiri di sana dengan pakaian jas lengkap, tak lupa dengan tatapannya yang tidak pernah lepas dari Stephanie yang sudah dia mematung. Mereka saling bertatapan beberapa saat sampai sebuah suara membuat fokus mereka terpecahkan.“Sayang, akhirnya kita bertemu.” Suara Amanda yang terkesan ramah itu membuat Aiden menarik pandangan. Dia masih diam dikala Amanda sudah berdiri di hadapannya. “Padahal aku berniat ingin menemuimu di Chayton’s Group.”Sedangkan Stephanie, dia masih diam di tempat. Melihat dan menunggu akan apa reaksi yang Aiden berikan kepada perempuan yang pernah punya tempat spesial di hatinya dulu. Melihat tatapan Aiden yang lembut sama seperti dia menatap Stephanie membuat hati perempuan itu terasa diiris-iris&m
“Apa kau yakin akan menemuinya?” Pertanyaan yang diberikan oleh Nancy membuat Stephanie menarik pandangan ke arahnya.“Tentu. Aku akan menemuinya. Sekarang!” jawab Stephanie tegas yang lalu diberikan gelengan oleh Nancy.“Tapi, Stephanie, ini sudah sore. Sebentar lagi malam dan keluargamu akan kumpul untuk makan malam.”“Maka aku akan pulang sebelum makan malam.” Stephanie menjawab sambil memegang kedua bahu Nancy. Menatap Nancy dengan penuh keyakinan walau sebenarnya Stephanie tidak yakin jika masalah ini akan selesai sebelum makan malam. “Kau harus percaya kepadaku. Jadi jika daddy atau mommy bertanya tentangku sebelum makan malam, maka kau harus menjawabnya. Kau paham, Nancy?”Nancy mengangguk penuh lesu. Dia terlihat khawatir. Tapi mau bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa dilakukan Nancy selain membantu Stephanie. “Baiklah. Aku akan membantumu. Sekarang kau bersiaplah dan aku akan menyiapkan sopir—”
“Jadi sekarang apa yang ingin kau lakukan?”“Aku tidak tahu, Shirley.” Stephanie menjawab sambil melihat ke arah gelas yang ada di hadapannya. Jarinya juga terus mengetuk-ngetuk pelan gelas keramik tersebut. Dia terlihat seperti orang yang bingung.Shirley menghela napasnya penuh sabar. Dia menarik tangan Stephanie yang membuat Stephanie menoleh ke arahnya. “Lalu apa yang kau rasakan?”Mendengar pertanyaan dari Shirley membawa Stephanie menyatukan kedua alisnya. Menatap Shirley dengan penuh kebingungan. Dia belum mengerti maksud Shirley. Tapi setelah Stephanie mengulang beberapa kali pertanyaan sahabatnya dalam benak, barulah Stephanie mengerti dan mulai menjawab.“Aku merasakan ... nyaman,” jawab Stephanie yang lalu membuang wajahnya ke arah gelas. Dia tidak bisa menjawab karena ditatap oleh Shirley, maka dari itu Stephanie memilih membuang wajahnya. D
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga