“Pagi,” sapaku ceria saat Boy menghempaskan diri di bangku kosong sebelahku. Setelah kejadian malam, aku merasa lebih kuat menghadapi pesonanya dari jarak dekat. “Hmm,” sahut Boy datar. Ada apa? Kenapa Boy tampak aneh? Padahal sikapnya semalam begitu dahsyat menghangatkan hati. "Katanya... Pak Indro nggak masuk hari ini. Kita cuma dikasih soal open book, nanti mesti dikumpulin," beritahuku. “Mana soalnya?” tanya Boy masih dengan acuh tak acuh. "Itu, di depan." Aku menunjuk papan putih yang berisi tulisan siswa yang dipilih sebagai semacam ketua kelas itu. Ada 3 pertanyaan yang tertera di papan itu. Terlihat sepele dan ada di diktat, tapi sebetulnya begitu mau menjawabnya terasa rumit luar biasa. "Kamu sudah menjawab berapa soal?" tanya Boy. "Be... Belum sama sekali," jawabku tersipu. “Dari tadi ngapain aja?” Sentil Boy. Sudah kembali jadi dia yang tengil dan ceplas-ceplos. "Soalnya 'kan baru selesai ditulis," dalihku keki. Wah, tak menyahut. Dia langsung sibuk membaca semua s
"Mm... Gini?" tanyaku gugup dengan dada berdebar-debar. Sementara Boy masih terus saja menempatkan dirinya di belakang badanku, memasang kan stik ke kedua tanganku dengan santai seolah-olah dia sudah sangat terbiasa mengajari cewek bermain biliar sedekat itu. Jangan-jangan aku bukan cewek pertama yang dia ajari dengan posisi mesra seperti ini? Ada secercah rasa cemburu yang terbit di hatiku. Mengingat Boy pergaulannya lebih luas dibandingkan denganku. Di kampus saja banyak sekali cewek yang mengaguminya. Apalagi yang di luar kampus, ya 'kan? Belum lagi yang sama-sama suka nongkrong di tempat ini. Tadi saja sewaktu kami melewati area bermain biliar di depan bar ada beberapa cewek di sana yang langsung memandang Boy dengan tatapan menggoda yang kentara. Bagaimana mungkin aku tidak insecure kalau pikiranku sudah punya vision yang sangat realistis begini? Aku, cewek yang sangat biasa-biasa saja ini. Dengan predikat 'cupu' pula di kampus. Yang masuk kategori manusia kampungan menurut
"Aku pulang dulu, ya. Kata orang 'kan kalau lagi berduaan takutnya ada setan lewat. Nah, aku nggak mau jadi setannya kelamaan," kata Riga sambil nyengir kuda. "Iya. Ganggu aja lu," timpal Boy. "Ris. Inget pesen ku yang tadi, ya. Awas, hati-hati. Dia itu predator," tukas Riga padaku. "Jadi itu yang kamu bisikin ke cewekku tadi?" sambar Boy pura-pura kesal. "Iyalah. Apa lagi? 'Kan kalau malem kamu jadi buaya putih. Buaya sama dengan predator, 'kan?" celetuk Riga sembari tertawa riang. "Kenapa harus ada 'putih'-nya sih? Udah, buruan, pulang sana. Lama-lama kosakatamu ngeselin semuanya," usir Boy dengan nada bicara seperti waktu mengusir Cinta di atap kampus tetapi dengan raut muka geli. "Kosakata. Mau jadi penulis novel kayak Vania lu bawa-bawa kosakata?" decih Riga. Jadi yang namanya Vania itu seorang penulis novel? Wah, keren dong berarti! "Novel apa?" Aku terdorong untuk bertanya pada Riga. "Novel online. Pernah denger yang judulnya 'Pura-Pura Buta Demi Cinta CEO Tampan'?" tim
"Kemaren kalian kencan ya? Hmm... Mentang-mentang aku nggak nginep di rumah kamu nih," ledek Nava. "Nggak gitu, Va. Boy ngajakin aku ke tempat kost-nya," jawabku setengah berbisik. Takut ada seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruang kelas yang masih kosong itu akan mendengar ucapanku. Nava menutup mulutnya dengan gaya dramatis. Kedua matanya terbeliak tak percaya. "Dia ngajakin kamu ke kamar kost-nya?! Anj*y! Wah gercep juga ya! Tapi inget, Ris. Inget pesen bapak kamu," kata Nava. "Apaan sih, Va? Kok kamu ngomongnya gitu? Aku sama dia nggak ngapa-ngapain kok di sana. Ada temennya dia juga di sana. Dia temen SMP-ku juga," cetusku. Aku berpura-pura memukul Nava dengan gemas. "Sori, Ris. Ampuun...! Habisnya, 'kan banyak tuh cowok di sekitar kita yang ngajakin ceweknya ke kosannya cuma buat modus. Kamu tau 'kan maksudku apa? Apalagi Boy tau bapak kamu lagi pergi," celetukku Nava. Dia sampai menangkup kan kedua telapak tangan sambil memasang ekspresi muka penuh penyesalan. "Tapi dia ng
"Apa ini?" tanya Boy tajam. Ekspresi wajahnya sedingin es dan sorot matanya sepanas api. Aku hanya bisa menelan ludah yang terasa seperti bulatan kelereng turun di sepanjang kerongkonganku. "Siapa yang ngambil foto ini?" tanya Boy lagi ketika aku tak menyahut. 'Dia nggak marah sama aku?' batinku. "Boy... Di situ kamu bisa liat nama orang yang udah upload foto itu, 'kan," celetuk Nava, membantuku menjawab Boy yang tampak emosional. "Aku nggak yakin dia yang udah ngambil fotonya," sahut Boy saat menekuri layar ponselku yang masih dipegangnya. "Terus? Siapa orangnya, Ris? Kamu tau, 'kan?" tanya Nava cemas. Aku menganggukkan kepala dengan pelan. Tak ada gunanya lagi aku menutupi perbuatan Prima. Toh, dia tidak bisa memegang kata-katanya waktu itu. Bukankah Boy tidak pernah bertemu dengan Cinta lagi? Yang waktu itu saja 'kan gara-gara dia mengabulkan permohonanku. "Prima," sebutku lirih. Seketika roman muka Boy menjadi semakin keruh. Sorot matanya semakin menusuk. "Aku mau bolo
"Beneran nggak apa-apa nih, aku tinggal kamu sendiri, Ris? Maaf ya, mamaku harus nungguin Eyang di rumah sakit. Jadi...", kata Nava dengan ekspresi wajah tidak enak hati bercampur cemas. "Iya, nggak apa-apa kok, Va. Kamu ke rumah sakit aja. Moga-moga eyang kamu cepet sembuh ya," potongku tenang. Aku tidak ingin bersantai Nava karena saat ini keluarganya lebih membutuhkan dia. Toh, kami sudah sempat saling menumpahkan isi hati satu sama lain tentang kejadian di kampus tadi. Meski sebentar, kami sudah sampai muak membahasnya, bahkan kami sudah berhenti bicara sendiri. "Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Baik-baik ya, Ris. Kita sahabat selamanya, oke? Biarin aja mereka ngatain kita cupu, aneh, dan lain-lain. Toh, nyatanya mereka yang suka gangguin kita. Justru mereka yang aneh, 'kan?" ujar Nava sambil memelukku. “Iya, Va,” sahutku. Sepeninggal Nava, ponselku berdering. Sebuah kontak nama tak asing yang tertera di layar alat komunikasi itu membuat air mataku merebak mengaburkan
"Kamu sakit?" komentar Boy begitu dia sudah berada di dapur hendak menontonku memasak seperti yang biasanya dia lakukan. Pagi itu aku memang agak kesiangan bangun karena hampir semalaman aku galau teringat semua yang sudah terjadi kemarin. Ada trauma yang menghantui, walaupun aku sudah berkali-kali mengatakan pada Nava dan Boy aku baik-baik saja. "Muka kamu pucat banget," kata Boy lagi. Tahu-tahu dia bergerak cepat ke arahku dan mengulurkan tangannya ke dahiku. "Udah, nggak usah masak. Biar aku beli di luar aja." Boy mengambil alih wajan yang ku pegang dan menaruhnya lagi ke tempatnya semula. Kemudian dia menggandengku keluar dari dapur. "Kamu istirahat aja," ucap Boy sembari membukakan pintu kamarku. Aku melangkah masuk ke ruang pribadiku itu dengan patuh. Lagipula aku tak punya daya yang cukup untuk sekedar membantahnya. Bahkan aku juga menerima begitu saja termometer yang dia berikan kepadaku sebelum dia benar-benar pergi membeli makanan. - Va, aku nggak bisa ke kampus hari ini
"Masih sakit?" tanya Boy sambil menatapku geli. Sementara aku berusaha mengunyah nasi plus ikan bakar dengan susah payah karena rasa perih di bibir sampai lidah dan bagian dalam mulutku masih sangat terasa. "Lagian kamu mikirin apa sih sampai teh panas aja kamu minum segala?" goda Boy. Duh, malunya aku! Tidak mungkin 'kan aku bilang padanya kalau aku mendadak teringat set dalamanku yang bergambar 'Hello Kitten'! Selain itu ada pula yang polos tapi modelnya seksi dengan hiasan renda-renda cantik. Aku suka bereksperimen saja sih kalau soal baju dalam. Aku tak yakin dia tidak melihatnya. Pasti dia hanya pura-pura buta. Aku tidak menanggapi gurauan yang dilontarkan Boy itu saking inginnya menghilang saja dari hadapannya biar tidak terlihat semakin culun lagi. Ponsel Boy berbunyi. Dia segera mengangkat panggilan telepon entah dari siapa. Yang jelas, mukanya langsung berubah ekspresinya menjadi kaku, bahkan penuh amarah yang tampak ditahan-tahan. "Terserah Papa aja kalau mau blokir kart