"Kamu kenapa? Kok duduknya keliatan nggak nyaman gitu?" kata Boy. Kami sedang berada di dalam mobil menuju ke rumahku. Ya, memang sih. Posisi dudukku agak terlalu mepet ke pintu. Karena aku masih terngiang-ngiang ucapannya saat di rumah makan tadi. Yang di pantai saja masih belum hilang efeknya. Masa mau ditambah satu lagi? "Kamu takut apa?" celetuk Boy geli. 'Masa kamu nggak tau sikapku jadi aneh begini gara-gara siapa?' batinku keki. "Kamu takut aku bakal beneran ngelakuin yang aku bilang tadi, ya?" cetus Boy ketika aku tak menyahut. Ternyata dia cuma pura-pura lupa barusan. Duh, malu! Ketahuan! "Liat kamu mojok gitu, aku jadi pengin ngebatalin," tukas Boy dengan nada usil. Diam-diam aku mengembuskan napas lega. Syukurlah, Boy hanya bercanda! Tiba-tiba ada bunyi nada dering dari ponsel yang Boy letakkan di atas dasbor. Cowok itu mengambil headset bluetooth di dekat ponsel, dan memasangnya di telinga. "Ya, Kak. Iya, nanti aku sebentar lagi ke sana." ujar Boy pada penel
"Sini, kamu." Ale mendahuluiku dan Prima masuk ke area atap.Aku menatapnya nanar, "Mm... Mau apa?""Udah, ikut aja," kata Ale sambil menggandeng tanganku. Seketika aku yang terkejut jadi tertarik ke arahnya, lalu menabrak badannya. Untung Ale segera sigap menangkap pinggangku sehingga aku bisa berpegangan padanya dan tak terjatuh. Namun, suara jepretan kamera ponsel dari arah pintu membuatku menyadari bahwa ada sesuatu yang tak beres di sini."Udah, Bro. Kayaknya ini aja cukup buat ngasih pelajaran ke b*jingan itu. Biar dia tau, gimana rasanya kecolongan," kata Prima. Dia memandangi layar ponsel di tangannya dengan ekspresi wajah puas, sementara Ale buru-buru melepaskan diriku."Hapus... foto itu!" seruku parau. Badanku bukan cuma gemetaran sekarang, tapi juga terasa sangat lemah."Nggak usah rewel. Toh, cowok kamu itu nggak dateng ke sini 'kan sekarang? Kalau kamu mau pergi, pergi aja. Nggak ada yang mau nahan-nahan kamu di sini kok. Kamu cuma perlu jadi pacarnya Boy yang baik. Ceg
"Udah semuanya, Pak? Nggak ada yang ketinggalan, 'kan?" tanya Nava pada Bapak. Mereka sudah terlebih dahulu naik ke mobil yang dibawa Boy untuk mengantarkannya ke stasiun. "Udah, Va," jawab Bapak dari sebelah bangku sopir. "Obat-obatannya udah ada di tas kecil Bapak, ya. Tadi aku taruh di situ," kataku sembari masuk ke bagian belakang mobil, duduk di sebelah Nava. "Hmm," sahut Bapak. "Pak, nanti selama Bapak di Jogja, Nava bakal sering-sering nginep di sini kok buat nemenin Risa. Bapak tenang aja, ya," cetus Nava. "Hmm. Kalau ada apa-apa, telpon Bapak aja. Atau kalau darurat minta tolong sama Boy. Ya 'kan, Boy?" Bapak menoleh pada Boy yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Ya, Om. Siap," jawab Boy. Lalu dia melihat ke semua orang. "Kita berangkat sekarang?" tanya Boy. "Ya. Ayo," kata Bapak. Mesin mobil dinyalakan. Di sepanjang perjalanan Nava dan Bapak saling melempar canda. Sedangkan aku dan Boy cuma ikut menimpali beberapa kali saja. Bahkan, sudah beberapa kali aku melihat se
Aku, Boy, dan Nava memutuskan untuk makan di warung tenda nasi goreng yang kami lewati sebelum pulang ke rumahku. Boy yang membayar semua pesanan kami, lalu kami melanjutkan perjalanan lagi. "Waduh! Kok bisa pas banget nih!" seru Nava saat suara petir terdengar bersamaan dengan turunnya hujan deras sehingga kami masuk ke dalam rumah. Aku dan Nava pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Sementara Boy duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. “Kalau hujannya nggak berhenti-berhenti gimana, Ris? Apa Boy suruh nginep sini aja?” tanya Nava di saat kami saling memunggungi satu sama lain sambil menukar baju yang menempel di badan dengan baju santai. "Jangan dong. Inget kata Bapak," sahutku. Nava meringis, "Eh, iya, nih." “Aku nggak mau kita disangka yang enggak-enggak sama para tetangga,” tambahku. "Iya, iya. Ya udah, sekarang belum jam 9 ini. Temenin cowok kamu, sana. Aku mau tidur dulu, ya. Sengaja," kekeh Nava sambil berlagak mendorong badanku supaya segera keluar dari kam
“Pagi,” sapaku ceria saat Boy menghempaskan diri di bangku kosong sebelahku. Setelah kejadian malam, aku merasa lebih kuat menghadapi pesonanya dari jarak dekat. “Hmm,” sahut Boy datar. Ada apa? Kenapa Boy tampak aneh? Padahal sikapnya semalam begitu dahsyat menghangatkan hati. "Katanya... Pak Indro nggak masuk hari ini. Kita cuma dikasih soal open book, nanti mesti dikumpulin," beritahuku. “Mana soalnya?” tanya Boy masih dengan acuh tak acuh. "Itu, di depan." Aku menunjuk papan putih yang berisi tulisan siswa yang dipilih sebagai semacam ketua kelas itu. Ada 3 pertanyaan yang tertera di papan itu. Terlihat sepele dan ada di diktat, tapi sebetulnya begitu mau menjawabnya terasa rumit luar biasa. "Kamu sudah menjawab berapa soal?" tanya Boy. "Be... Belum sama sekali," jawabku tersipu. “Dari tadi ngapain aja?” Sentil Boy. Sudah kembali jadi dia yang tengil dan ceplas-ceplos. "Soalnya 'kan baru selesai ditulis," dalihku keki. Wah, tak menyahut. Dia langsung sibuk membaca semua s
"Mm... Gini?" tanyaku gugup dengan dada berdebar-debar. Sementara Boy masih terus saja menempatkan dirinya di belakang badanku, memasang kan stik ke kedua tanganku dengan santai seolah-olah dia sudah sangat terbiasa mengajari cewek bermain biliar sedekat itu. Jangan-jangan aku bukan cewek pertama yang dia ajari dengan posisi mesra seperti ini? Ada secercah rasa cemburu yang terbit di hatiku. Mengingat Boy pergaulannya lebih luas dibandingkan denganku. Di kampus saja banyak sekali cewek yang mengaguminya. Apalagi yang di luar kampus, ya 'kan? Belum lagi yang sama-sama suka nongkrong di tempat ini. Tadi saja sewaktu kami melewati area bermain biliar di depan bar ada beberapa cewek di sana yang langsung memandang Boy dengan tatapan menggoda yang kentara. Bagaimana mungkin aku tidak insecure kalau pikiranku sudah punya vision yang sangat realistis begini? Aku, cewek yang sangat biasa-biasa saja ini. Dengan predikat 'cupu' pula di kampus. Yang masuk kategori manusia kampungan menurut
"Aku pulang dulu, ya. Kata orang 'kan kalau lagi berduaan takutnya ada setan lewat. Nah, aku nggak mau jadi setannya kelamaan," kata Riga sambil nyengir kuda. "Iya. Ganggu aja lu," timpal Boy. "Ris. Inget pesen ku yang tadi, ya. Awas, hati-hati. Dia itu predator," tukas Riga padaku. "Jadi itu yang kamu bisikin ke cewekku tadi?" sambar Boy pura-pura kesal. "Iyalah. Apa lagi? 'Kan kalau malem kamu jadi buaya putih. Buaya sama dengan predator, 'kan?" celetuk Riga sembari tertawa riang. "Kenapa harus ada 'putih'-nya sih? Udah, buruan, pulang sana. Lama-lama kosakatamu ngeselin semuanya," usir Boy dengan nada bicara seperti waktu mengusir Cinta di atap kampus tetapi dengan raut muka geli. "Kosakata. Mau jadi penulis novel kayak Vania lu bawa-bawa kosakata?" decih Riga. Jadi yang namanya Vania itu seorang penulis novel? Wah, keren dong berarti! "Novel apa?" Aku terdorong untuk bertanya pada Riga. "Novel online. Pernah denger yang judulnya 'Pura-Pura Buta Demi Cinta CEO Tampan'?" tim
"Kemaren kalian kencan ya? Hmm... Mentang-mentang aku nggak nginep di rumah kamu nih," ledek Nava. "Nggak gitu, Va. Boy ngajakin aku ke tempat kost-nya," jawabku setengah berbisik. Takut ada seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruang kelas yang masih kosong itu akan mendengar ucapanku. Nava menutup mulutnya dengan gaya dramatis. Kedua matanya terbeliak tak percaya. "Dia ngajakin kamu ke kamar kost-nya?! Anj*y! Wah gercep juga ya! Tapi inget, Ris. Inget pesen bapak kamu," kata Nava. "Apaan sih, Va? Kok kamu ngomongnya gitu? Aku sama dia nggak ngapa-ngapain kok di sana. Ada temennya dia juga di sana. Dia temen SMP-ku juga," cetusku. Aku berpura-pura memukul Nava dengan gemas. "Sori, Ris. Ampuun...! Habisnya, 'kan banyak tuh cowok di sekitar kita yang ngajakin ceweknya ke kosannya cuma buat modus. Kamu tau 'kan maksudku apa? Apalagi Boy tau bapak kamu lagi pergi," celetukku Nava. Dia sampai menangkup kan kedua telapak tangan sambil memasang ekspresi muka penuh penyesalan. "Tapi dia ng