"Ibumu nanyain kabar Bapak dan kamu. Terus, dia juga bilang, belum waktunya Bapak ikut dia." Bapak tertawa kecil di ujung ceritanya.
Seorang suster menghampiri kami."Mbak keluarganya pasien ini, ya?" tanya suster itu kepadaku."Iya, Sus," jawabku."Silakan Mbak ke loket administrasi dan loket farmasi ya, Mbak. Kata dokter yang memeriksa tadi, pasien ini nggak perlu rawat inap, cuma perlu rawat jalan saja setiap bulan karena kadar gulanya rendah," kata suster."Baik, Sus. Terima kasih," timpalku. Suster di depanku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, kemudian berlalu.Aku menoleh pada Bapak, "Ya udah, aku pergi dulu ya, Pak.""Hmm," gumam Bapak."Tenang aja, aku yang nemenin Om," kata Boy. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak kami kemari.Aku mengulas senyum pada Boy sebelum beranjak keluar dari ruangan itu, "Ya... Makasih ya, Boy."***Duduk di bangku besi yang sama dan mengantKu saja biarkan Boy mendekapku erat, sehingga wajahku yang basah menempel di dadanya, meninggalkan jejak-jejak basah air mata di kausnya yang tak tertutup jaket. Ku biarkan pula tangan Boy mengusap-usap rambut hingga punggungku sementara aku tersengguk-sengguk semakin keras, justru di saat dia sedang berusaha menenangkanku begini. Seolah-olah kehadiran dan tindakannya itu pemicu tangisku, dan aku melampiaskan semua pada dirinya. Aku juga bingung kenapa aku malah begitu. Bukankah seharusnya aku langsung menarik kepalaku dan menjauhkan diri darinya? Kenapa malah semakin menyurukkan kepala dan tak menghentikan gerakan tangannya? Lalu... Kenapa nyaman begini rasanya? "Om nyuruh aku nyari kamu, Ris. Katanya, dia udah kangen rumah dan pengin cepet-cepet bisa makan masakan kamu lagi," ucap Boy sambil tetap mengurungku di dalam pelukannya. Karena dia memanggil Bapak, aku jadi panik. Bagaimana kalau Bapak tahu aku malah berpelukan dengan Boy di kala kondisi Bapak butuh perhatian ekstra s
Aku tertegun bingung mendengar alasan Bapak yang menurutku tak masuk akal sama sekali. Alasan macam apa itu? Hanya karena Boy orang kaya? Bapak minta dia mengantarku pulang kuliah setiap hari??? "Bapak serius? Tapi... Boy..." Aku tergagap, padahal banyak yang ingin aku ungkapkan kepada Bapak. "Bapak tau kok. Pasti kamu bakal ngebelain dia. Kayak sekarang ini. Dia istimewa 'kan buat kamu?" timpal Bapak meledekku. Spontan aku tertegun dengan muka yang terasa panas. Apa sih Bapak? Istimewa apanya! Jelas-jelas Boy masih suka pada Cinta. Mana mungkin aku berani menganggapnya istimewa? Aku bukan, dan tidak akan pernah sudi jadi seorang pelakor. "Tapi Pak. Bukan begitu. Aku sama Boy cuma temen, nggak lebih," bantahku. "Tapi nggak ada tapi-tapian, Ris. Bapak cuma mau nurutin amanat ibu kamu aja. Dia pernah bilang sama Bapak, nggak ada yang boleh nyakitin kamu. Bapak mesti menyeleksi ketat siapa aja yang mau berteman sama kamu. Apalagi lawan jenis kaya
"Makan yang banyak, Boy. Tumis pakis ini kesukaanku. Risa juga masaknya pinter. Dijamin enak pokoknya," kata Bapak sambil menyendok sedikit nasi dengan banyak sayur pakis dari piringnya."Ya, Om." Boy menjawab dengan dua kata andalannya. Sedangkan aku sedang sibuk memisahkan duri ikan nila dari dagingnya dengan tangan. "Kamu bilang-bilang sama orang tua kamu nggak sebelum ke sini? Soalnya kamu perginya subuh-subuh tadi," cetus Bapak. "Papa sama Mama masih di kamar, Om. Saya nggak mau ganggu mereka. Paling-paling nanti mereka tau sendiri, atau ada pembantu yang ngasih tau. Tadi saya udah nitip pesen sama Bi Konah kok," sahut Boy, terkesan acuh tak acuh."Ada-ada aja kamu. Pamitnya malah sama pembantu," komentar Bapak geli."Daripada nggak pamit sama sekali, Om," dalih Boy tanpa beban.Diam-diam aku memberanikan diri untuk melirik Boy. Namun, ekspresi wajahnya tampak datar-datar saja, tak ada yang bisa ku baca.Begitu selesai sarapan dan mencuci alat-alat makan di dapur dengan secepat
"Astaga...!" desisku tak percaya saat menekuri isi ruang obrolan grup mahasiswa satu tahun angkatan yang sama denganku di aplikasi WazzApp. Sudah ada banyak sekali percakapan yang terunggah sehingga aku tak sanggup membaca semuanya sekaligus. Hanya beberapa saja yang tertangkap mataku tanpa sengaja, dan dua foto sesuai dengan yang disebutkan oleh cowok yang duduk di dekatku barusan.Di foto pertama, aku terlihat keluar dari pintu darurat rumah sakit dengan wajah sembab. Dan di foto yang kedua, tampak Boy yang keluar dari pintu yang sama dengan wajah tanpa ekspresi.Pantas saja, tadi Prima cs dan teman-teman di selasar membicarakan serta menertawakan aku dan Boy. "Ndi. Fauzan yang anak kelas sebelah, 'kan? Bener dia yang upload foto-foto ini?" tanya Boy pada cowok tadi yang langsung gelagapan. "Iya. Tapi katanya bukan dia yang liat kalian di rumah sakit. Dia dapet foto-foto itu dari orang lain," terang cowok yang dipanggil 'Ndi' oleh Boy itu."Tunggu sebentar ya," ujar Boy padaku. Aku
"Kamu udah bilang sama Risa belum? Apa dia mau kamu ajak pergi?" kata Bapak. Sedangkan aku sudah terlanjur nyelonong pergi, lantas menyibukkan diri memasukkan buah-buahan tadi ke dalam kulkas sembari menenangkan jantungku yang berdebar cepat. Khusus untuk buah mangga, aku taruh di meja makan. Ada yang aku kupas juga untuk dimakan Bapak, karena itu buah kesukaannya. "Belum, Om," sahut Boy. "Kalau gitu, tanya dia. Aku kasih izin kalau Risa mau," ujar Bapak tegas. Kemudian entah Boy menjawab apa, dan Bapak mengatakan apa lagi. Aku tak bisa mendengar mereka sejelas tadi, karena suara mereka berdua hampir seperti gumaman-gumaman saja. Tepat setelah aku selesai mengupas mangga dan apel, lalu memotong-motongnya menjadi bentuk dadu, aku segera menghidangkannya di depan Bapak dan Boy. "Makasih," kata Boy saat menerima piring kecil dengan potongan-potongan apel di atasnya. "Sama-sama," sahutku. "Ris. Kamu mau nggak besok Sabtu aku ajak jalan-jalan?" tanya Boy. Ak
"Kamu denger dari mana aku pacaran sama Cinta?" cetus Boy geli. "I... Itu... Cuma kesimpulanku," jawabku. Malu sekali, sudah banyak menahan perasaan saat memberanikan diri bertanya pada Boy, ternyata pertanyaanku itu salah. Hanya berdasarkan prasangkaku saja. "Aku nggak pacaran sama dia. Nggak akan pernah," tandas Boy serius."Ke... Kenapa? Dia 'kan cantik? Kalian... Juga deket 'kan selama ini? Aku sering liat dia ke kelas nyari kamu," kataku. Boy tertawa kecil, "Ya. Dia emang agak ngeselin. Manya nempel-nempel melulu sama aku. Untungnya sekarang dia udah nemu jodohnya. Sama-sama tukang rese.""Maksud kamu... Prima?" timpalku. 'Bego banget sih aku, nyangka Boy patah hati gara-gara diselingkuhi Cinta? Padahal dia aja nggak pacaran sama Cinta. Duh...! Mau berapa kali lagi sih aku harus malu sama dia?' batinku."Nah, itu kamu tau mereka pacaran. Tapi tadi kok kamu bilangnya aku yang pacaran sama dia?" celetuk Boy heran. 'Iya, aku yang ceroboh ngambil kesimpulan seenaknya.' sahutku d
'Nggak ada Prima sama temen-temennya hari ini. Berarti aman.' batinku saat sepeda motor Boy memasuki pelataran parkir kampus. Di tempat itu hanya ada beberapa orang yang sedang sibuk memarkir kendaraan mereka atau sekedar menyisir rambut di depan kaca spion. Aku turun dari jok dengan perasaan tenang karena berpikir tidak akan ada yang menganggu kami di area tersebut. Mungkin Prima cs memang sudah tidak tertarik mengejek kami lagi. Kemaren juga mereka cuma kebetulan sedang nongkrong saja di area parkir itu karena berniat bolos. "Mau gandengan lagi nggak?" cetus Boy usil sewaktu kami berjalan meninggalkan kendaraan roda duanya menuju pintu penghubung ke selasar."Ng... Nggak," sahutku cepat.Boy tertawa. Sepertinya dia bahagia banget bisa meledekku. Kami berdua berjalan berdampingan sepanjang selasar dengan sikap yang sangat berbeda dengan kemarin pagi. Sekarang Boy bersikap cuek, sedangkan aku masih saja malu-malu seperti biasanya. Aku belum bisa tahan dengan tatapan-tatapan mereka y
"Lho, kok pulangnya sama Nava? Mana Boy?" tanya Bapak dengan heran saat aku dan Nava menapakkan kaki di lantai teras."Lagi ada keperluan katanya," jawab Nava. Bersamaan dengannya, aku pun menjawab pertanyaan Bapak, namun dengan isi yang berbeda."Aku yang nggak mau dianter dia, Pak," kataku. Bapak memandangku dan Nava bergantian, lalu mengembuskan napas berat. "Kalau mau bohong yang kompak dong," kata Bapak geli. "Mm... Maaf, Pak. Yang betul jawabannya Risa. Nava cuma asal nyeletuk aja, buat menyelamatkan dia," ceplos Nava. "Menyelamatkan Risa dari apa? Emang aku begal? Kamu tuh, Va. Bisa aja," timpal Bapak sembari terkekeh-kekeh. Sementara Nava hanya nyengir kuda."Bapak minum apa?" tanyaku sambil melongok isi mug di meja dekat Bapak duduk. Sekalian ingin mengalihkan perhatian Bapak sehingga tak lagi menanyakan Boy. "Jamu kunir asem yang kamu simpen di kulkas. Udah lama banget 'kan itu di sana? Mubazir kalau nggak diminum," sahut Bapak.Nav