"Nasi goreng kampung?" kutip Boy penuh selidik. Agaknya dia bisa merasakan ada yang berbeda dari nada ucapanku barusan.
"Y... Ya. Nasi goreng cuma pakai bumbu seadanya, maksudku," terangku sekaligus untuk meralat cara bicaraku. Tak ada gunanya berlama-lama melankolis. Sedih boleh. Tapi putus asa? Jangan!"Emang itu sebutannya atau gimana?""Ya...", sahutku sebelum berlalu ke dapur."Biar aku bantu." Boy muncul di ambang pintu ruangan itu ketika aku sedang mengeluarkan bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas, serta beberapa cabai rawit dari kulkas."Ng... Nggak usah. Aku... Bisa sendiri kok," tolakku halus. Lagipula, membayangkan kami berdua memasak bersama di dapur yang sempit ini... Belum apa-apa sudah membuatku gugup."Kamu cuma mau aku liatin?" canda Boy.Itu lebih-lebih lagi!"Ka... Kamu tunggu aja di depan. Nggak apa-apa kok, " jawabku. Terang-terangan mengusir mahkluk tampan pengusik ketenangan hatiku itu."Nggak mau. Aku mau di"Ibumu nanyain kabar Bapak dan kamu. Terus, dia juga bilang, belum waktunya Bapak ikut dia." Bapak tertawa kecil di ujung ceritanya. Seorang suster menghampiri kami. "Mbak keluarganya pasien ini, ya?" tanya suster itu kepadaku. "Iya, Sus," jawabku. "Silakan Mbak ke loket administrasi dan loket farmasi ya, Mbak. Kata dokter yang memeriksa tadi, pasien ini nggak perlu rawat inap, cuma perlu rawat jalan saja setiap bulan karena kadar gulanya rendah," kata suster."Baik, Sus. Terima kasih," timpalku. Suster di depanku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, kemudian berlalu. Aku menoleh pada Bapak, "Ya udah, aku pergi dulu ya, Pak.""Hmm," gumam Bapak."Tenang aja, aku yang nemenin Om," kata Boy. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak kami kemari. Aku mengulas senyum pada Boy sebelum beranjak keluar dari ruangan itu, "Ya... Makasih ya, Boy."***Duduk di bangku besi yang sama dan mengant
Ku saja biarkan Boy mendekapku erat, sehingga wajahku yang basah menempel di dadanya, meninggalkan jejak-jejak basah air mata di kausnya yang tak tertutup jaket. Ku biarkan pula tangan Boy mengusap-usap rambut hingga punggungku sementara aku tersengguk-sengguk semakin keras, justru di saat dia sedang berusaha menenangkanku begini. Seolah-olah kehadiran dan tindakannya itu pemicu tangisku, dan aku melampiaskan semua pada dirinya. Aku juga bingung kenapa aku malah begitu. Bukankah seharusnya aku langsung menarik kepalaku dan menjauhkan diri darinya? Kenapa malah semakin menyurukkan kepala dan tak menghentikan gerakan tangannya? Lalu... Kenapa nyaman begini rasanya? "Om nyuruh aku nyari kamu, Ris. Katanya, dia udah kangen rumah dan pengin cepet-cepet bisa makan masakan kamu lagi," ucap Boy sambil tetap mengurungku di dalam pelukannya. Karena dia memanggil Bapak, aku jadi panik. Bagaimana kalau Bapak tahu aku malah berpelukan dengan Boy di kala kondisi Bapak butuh perhatian ekstra s
Aku tertegun bingung mendengar alasan Bapak yang menurutku tak masuk akal sama sekali. Alasan macam apa itu? Hanya karena Boy orang kaya? Bapak minta dia mengantarku pulang kuliah setiap hari??? "Bapak serius? Tapi... Boy..." Aku tergagap, padahal banyak yang ingin aku ungkapkan kepada Bapak. "Bapak tau kok. Pasti kamu bakal ngebelain dia. Kayak sekarang ini. Dia istimewa 'kan buat kamu?" timpal Bapak meledekku. Spontan aku tertegun dengan muka yang terasa panas. Apa sih Bapak? Istimewa apanya! Jelas-jelas Boy masih suka pada Cinta. Mana mungkin aku berani menganggapnya istimewa? Aku bukan, dan tidak akan pernah sudi jadi seorang pelakor. "Tapi Pak. Bukan begitu. Aku sama Boy cuma temen, nggak lebih," bantahku. "Tapi nggak ada tapi-tapian, Ris. Bapak cuma mau nurutin amanat ibu kamu aja. Dia pernah bilang sama Bapak, nggak ada yang boleh nyakitin kamu. Bapak mesti menyeleksi ketat siapa aja yang mau berteman sama kamu. Apalagi lawan jenis kaya
"Makan yang banyak, Boy. Tumis pakis ini kesukaanku. Risa juga masaknya pinter. Dijamin enak pokoknya," kata Bapak sambil menyendok sedikit nasi dengan banyak sayur pakis dari piringnya."Ya, Om." Boy menjawab dengan dua kata andalannya. Sedangkan aku sedang sibuk memisahkan duri ikan nila dari dagingnya dengan tangan. "Kamu bilang-bilang sama orang tua kamu nggak sebelum ke sini? Soalnya kamu perginya subuh-subuh tadi," cetus Bapak. "Papa sama Mama masih di kamar, Om. Saya nggak mau ganggu mereka. Paling-paling nanti mereka tau sendiri, atau ada pembantu yang ngasih tau. Tadi saya udah nitip pesen sama Bi Konah kok," sahut Boy, terkesan acuh tak acuh."Ada-ada aja kamu. Pamitnya malah sama pembantu," komentar Bapak geli."Daripada nggak pamit sama sekali, Om," dalih Boy tanpa beban.Diam-diam aku memberanikan diri untuk melirik Boy. Namun, ekspresi wajahnya tampak datar-datar saja, tak ada yang bisa ku baca.Begitu selesai sarapan dan mencuci alat-alat makan di dapur dengan secepat
"Astaga...!" desisku tak percaya saat menekuri isi ruang obrolan grup mahasiswa satu tahun angkatan yang sama denganku di aplikasi WazzApp. Sudah ada banyak sekali percakapan yang terunggah sehingga aku tak sanggup membaca semuanya sekaligus. Hanya beberapa saja yang tertangkap mataku tanpa sengaja, dan dua foto sesuai dengan yang disebutkan oleh cowok yang duduk di dekatku barusan.Di foto pertama, aku terlihat keluar dari pintu darurat rumah sakit dengan wajah sembab. Dan di foto yang kedua, tampak Boy yang keluar dari pintu yang sama dengan wajah tanpa ekspresi.Pantas saja, tadi Prima cs dan teman-teman di selasar membicarakan serta menertawakan aku dan Boy. "Ndi. Fauzan yang anak kelas sebelah, 'kan? Bener dia yang upload foto-foto ini?" tanya Boy pada cowok tadi yang langsung gelagapan. "Iya. Tapi katanya bukan dia yang liat kalian di rumah sakit. Dia dapet foto-foto itu dari orang lain," terang cowok yang dipanggil 'Ndi' oleh Boy itu."Tunggu sebentar ya," ujar Boy padaku. Aku
"Kamu udah bilang sama Risa belum? Apa dia mau kamu ajak pergi?" kata Bapak. Sedangkan aku sudah terlanjur nyelonong pergi, lantas menyibukkan diri memasukkan buah-buahan tadi ke dalam kulkas sembari menenangkan jantungku yang berdebar cepat. Khusus untuk buah mangga, aku taruh di meja makan. Ada yang aku kupas juga untuk dimakan Bapak, karena itu buah kesukaannya. "Belum, Om," sahut Boy. "Kalau gitu, tanya dia. Aku kasih izin kalau Risa mau," ujar Bapak tegas. Kemudian entah Boy menjawab apa, dan Bapak mengatakan apa lagi. Aku tak bisa mendengar mereka sejelas tadi, karena suara mereka berdua hampir seperti gumaman-gumaman saja. Tepat setelah aku selesai mengupas mangga dan apel, lalu memotong-motongnya menjadi bentuk dadu, aku segera menghidangkannya di depan Bapak dan Boy. "Makasih," kata Boy saat menerima piring kecil dengan potongan-potongan apel di atasnya. "Sama-sama," sahutku. "Ris. Kamu mau nggak besok Sabtu aku ajak jalan-jalan?" tanya Boy. Ak
"Kamu denger dari mana aku pacaran sama Cinta?" cetus Boy geli. "I... Itu... Cuma kesimpulanku," jawabku. Malu sekali, sudah banyak menahan perasaan saat memberanikan diri bertanya pada Boy, ternyata pertanyaanku itu salah. Hanya berdasarkan prasangkaku saja. "Aku nggak pacaran sama dia. Nggak akan pernah," tandas Boy serius."Ke... Kenapa? Dia 'kan cantik? Kalian... Juga deket 'kan selama ini? Aku sering liat dia ke kelas nyari kamu," kataku. Boy tertawa kecil, "Ya. Dia emang agak ngeselin. Manya nempel-nempel melulu sama aku. Untungnya sekarang dia udah nemu jodohnya. Sama-sama tukang rese.""Maksud kamu... Prima?" timpalku. 'Bego banget sih aku, nyangka Boy patah hati gara-gara diselingkuhi Cinta? Padahal dia aja nggak pacaran sama Cinta. Duh...! Mau berapa kali lagi sih aku harus malu sama dia?' batinku."Nah, itu kamu tau mereka pacaran. Tapi tadi kok kamu bilangnya aku yang pacaran sama dia?" celetuk Boy heran. 'Iya, aku yang ceroboh ngambil kesimpulan seenaknya.' sahutku d
'Nggak ada Prima sama temen-temennya hari ini. Berarti aman.' batinku saat sepeda motor Boy memasuki pelataran parkir kampus. Di tempat itu hanya ada beberapa orang yang sedang sibuk memarkir kendaraan mereka atau sekedar menyisir rambut di depan kaca spion. Aku turun dari jok dengan perasaan tenang karena berpikir tidak akan ada yang menganggu kami di area tersebut. Mungkin Prima cs memang sudah tidak tertarik mengejek kami lagi. Kemaren juga mereka cuma kebetulan sedang nongkrong saja di area parkir itu karena berniat bolos. "Mau gandengan lagi nggak?" cetus Boy usil sewaktu kami berjalan meninggalkan kendaraan roda duanya menuju pintu penghubung ke selasar."Ng... Nggak," sahutku cepat.Boy tertawa. Sepertinya dia bahagia banget bisa meledekku. Kami berdua berjalan berdampingan sepanjang selasar dengan sikap yang sangat berbeda dengan kemarin pagi. Sekarang Boy bersikap cuek, sedangkan aku masih saja malu-malu seperti biasanya. Aku belum bisa tahan dengan tatapan-tatapan mereka y
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend