"Kamu udah bilang sama Risa belum? Apa dia mau kamu ajak pergi?" kata Bapak. Sedangkan aku sudah terlanjur nyelonong pergi, lantas menyibukkan diri memasukkan buah-buahan tadi ke dalam kulkas sembari menenangkan jantungku yang berdebar cepat. Khusus untuk buah mangga, aku taruh di meja makan. Ada yang aku kupas juga untuk dimakan Bapak, karena itu buah kesukaannya. "Belum, Om," sahut Boy. "Kalau gitu, tanya dia. Aku kasih izin kalau Risa mau," ujar Bapak tegas. Kemudian entah Boy menjawab apa, dan Bapak mengatakan apa lagi. Aku tak bisa mendengar mereka sejelas tadi, karena suara mereka berdua hampir seperti gumaman-gumaman saja. Tepat setelah aku selesai mengupas mangga dan apel, lalu memotong-motongnya menjadi bentuk dadu, aku segera menghidangkannya di depan Bapak dan Boy. "Makasih," kata Boy saat menerima piring kecil dengan potongan-potongan apel di atasnya. "Sama-sama," sahutku. "Ris. Kamu mau nggak besok Sabtu aku ajak jalan-jalan?" tanya Boy. Ak
"Kamu denger dari mana aku pacaran sama Cinta?" cetus Boy geli. "I... Itu... Cuma kesimpulanku," jawabku. Malu sekali, sudah banyak menahan perasaan saat memberanikan diri bertanya pada Boy, ternyata pertanyaanku itu salah. Hanya berdasarkan prasangkaku saja. "Aku nggak pacaran sama dia. Nggak akan pernah," tandas Boy serius."Ke... Kenapa? Dia 'kan cantik? Kalian... Juga deket 'kan selama ini? Aku sering liat dia ke kelas nyari kamu," kataku. Boy tertawa kecil, "Ya. Dia emang agak ngeselin. Manya nempel-nempel melulu sama aku. Untungnya sekarang dia udah nemu jodohnya. Sama-sama tukang rese.""Maksud kamu... Prima?" timpalku. 'Bego banget sih aku, nyangka Boy patah hati gara-gara diselingkuhi Cinta? Padahal dia aja nggak pacaran sama Cinta. Duh...! Mau berapa kali lagi sih aku harus malu sama dia?' batinku."Nah, itu kamu tau mereka pacaran. Tapi tadi kok kamu bilangnya aku yang pacaran sama dia?" celetuk Boy heran. 'Iya, aku yang ceroboh ngambil kesimpulan seenaknya.' sahutku d
'Nggak ada Prima sama temen-temennya hari ini. Berarti aman.' batinku saat sepeda motor Boy memasuki pelataran parkir kampus. Di tempat itu hanya ada beberapa orang yang sedang sibuk memarkir kendaraan mereka atau sekedar menyisir rambut di depan kaca spion. Aku turun dari jok dengan perasaan tenang karena berpikir tidak akan ada yang menganggu kami di area tersebut. Mungkin Prima cs memang sudah tidak tertarik mengejek kami lagi. Kemaren juga mereka cuma kebetulan sedang nongkrong saja di area parkir itu karena berniat bolos. "Mau gandengan lagi nggak?" cetus Boy usil sewaktu kami berjalan meninggalkan kendaraan roda duanya menuju pintu penghubung ke selasar."Ng... Nggak," sahutku cepat.Boy tertawa. Sepertinya dia bahagia banget bisa meledekku. Kami berdua berjalan berdampingan sepanjang selasar dengan sikap yang sangat berbeda dengan kemarin pagi. Sekarang Boy bersikap cuek, sedangkan aku masih saja malu-malu seperti biasanya. Aku belum bisa tahan dengan tatapan-tatapan mereka y
"Lho, kok pulangnya sama Nava? Mana Boy?" tanya Bapak dengan heran saat aku dan Nava menapakkan kaki di lantai teras."Lagi ada keperluan katanya," jawab Nava. Bersamaan dengannya, aku pun menjawab pertanyaan Bapak, namun dengan isi yang berbeda."Aku yang nggak mau dianter dia, Pak," kataku. Bapak memandangku dan Nava bergantian, lalu mengembuskan napas berat. "Kalau mau bohong yang kompak dong," kata Bapak geli. "Mm... Maaf, Pak. Yang betul jawabannya Risa. Nava cuma asal nyeletuk aja, buat menyelamatkan dia," ceplos Nava. "Menyelamatkan Risa dari apa? Emang aku begal? Kamu tuh, Va. Bisa aja," timpal Bapak sembari terkekeh-kekeh. Sementara Nava hanya nyengir kuda."Bapak minum apa?" tanyaku sambil melongok isi mug di meja dekat Bapak duduk. Sekalian ingin mengalihkan perhatian Bapak sehingga tak lagi menanyakan Boy. "Jamu kunir asem yang kamu simpen di kulkas. Udah lama banget 'kan itu di sana? Mubazir kalau nggak diminum," sahut Bapak.Nav
"Tadi kenapa Risa nggak mau kamu anter pulang, Boy? Kalian berantem?" tanya Bapak. "Nggak, Om. Risa cuma pengin pulang bareng Nava aja, katanya," jawab Boy tenang. Sementara aku buru-buru turun dari tempat tidur dengan panik. Tanpa sengaja, kakiku sempat menendang badan Nava. "Aww!" pekik Nava. Tapi dia hanya memicingkan mata sebentar, lalu tertidur lagi."Sori," kataku berbisik-bisik. Padahal Nava yang aku ajak bicara tak mendengarkanku. "Ris, ada Boy di depan," kata Bapak sambil mengetuk pintu kamar. "Ya, Pak. Sebentar," sahutku. Mataku nyalang meradar isi lemari yang tengah ku buka, lalu mendesah putus asa mendapati setelan-setelan yang mirip dengan yang ku pakai di dalam sana. Koleksi celana pendek babyterry dan kaos oblongku masih bertengger manis di tali jemuran semua.Ya sudah. Mau bagaimana lagi? Toh, Boy mau menemuiku. Mungkin dia tidak akan teliti aku mau memakai baju seperti apapun? Ya, 'kan?"Kamu tidur lagi, Ris?" tegur Bapak saat aku kel
"Aku suka kamu, Ris."Aku terkesima mendengar satu kalimat yang diucapkan Boy, lengkap dengan senyuman mautnya tersungging di bibir pujaan sejuta umat cowok itu.Ku cubit lenganku sendiri. "Aww!" aduhku. Rasa sakit yang menjalar, menyadarkanku bahwa ini bukan mimpi. "Aku bilang suka kamu, lho. Kenapa jawabannya 'aww' gitu?" protes Boy. "Mm... Nggak apa-apa. Aku..." Ku gerak-gerakkan telapak tanganku seperti sedang 'dadah-dadah' pada seseorang. Mukaku seketika memanas saat Boy meraih tangan itu dan menggenggamnya hangat. "Kamu kalau lagi panik lucu," kata Boy dengan sorot mata yang mengalahkan sinar X superhero. "Lu... lucu di mananya?" timpalku pelan. Tak terima, keadaan gentingku justru terlihat lucu di matanya. Namun, sewaktu aku bersirobok dengan sorot mata yang panas itu... Komplainku berubah jadi kata-kata kosong belaka. Langsung dimentahkan dengan mudahnya tanpa Boy benar-benar melakukan sesuatu. "Kamu gimana? Suka juga nggak sama aku?" tanya Boy ringan, tetapi efeknya sepe
"Hari ini kamu juga keliatan manis," kata Boy. Aku yang baru naik ke dalam mobil hanya tersipu-sipu. Mimpi apa semalam? Baru mau berangkat kencan saja sudah dapat rayuan gombal dari Boy. Setelah menutup pintu di samping badanku, Boy segera berjalan memutari bagian depan mobil, kemudian duduk di balik setir. "Udah siap?" tanya cowok itu padaku. "Ya..." sahutku. Mobil melaju, sementara aku berusaha fokus melihat ke jalanan di depan. "Kamu keliatan tegang banget. Santai aja. Kita 'kan mau jalan-jalan, bukannya mau dieksekusi," goda Boy. "Hmm," gumamku sambil tersenyum tipis. "Kamu tadi ngintip dulu ya aku pakai baju apa? Kok bisa kita sama-sama pakai kaos putih?" celetuk Boy meledekku lagi. "Ng... Nggak kok," jawabku disertai dengkusan lirih. Tak terima dibilang mengintip. Itu sih si Nava yang melakukannya tadi. Di juga yang sudah main rahasia-rahasiaan segala, sehingga terjadilah kekompakan antara aku dan Boy yang tidak disengaja ini.
"A... Aku bukan mau nangis. Aku cuma inget Ibu..." kataku malu. Apa Boy pikir aku secengeng itu? "Bukan, ya?" tanggap Boy. Dia melepaskan pelukannya dan memandangku dengan tatapan menilai. "Hmm," gumamku mengiyakan. "Tapi muka kamu merah. Mata kamu juga merah," komentarnya. "I... ini... Bukan apa-apa kok. Aku emang sedih, tapi nggak apa-apa," dalihku. Tak ingin terlihat lemah, walau perlakuan hangat Boy terhadapku barusan membuatku ingin terus bersandar kepadanya. "Beneran?" interogasi Boy. "Ya..." "Kalau gitu, ayo kita lanjutin lagi jalannya. Nanti keburu ketinggalan sunset-nya," ujar Boy. Dia meraih tanganku lagi dan mengajakku berjalan ke suatu spot di tepi pantai itu, tak jauh dari pepohonan. "Kalau dari sini lebih nyaman liatnya, juga sudut pandangnya lebih bagus," jelas Boy. Aku mengangguk saja. Entah dia melihatnya atau tidak. Ku edarkan pandangan ke sekeliling kami. Pantai dengan ombak yang berde