Seorang gadis cantik yang tengah fokus membaca novelnya terkejut saat seseorang datang mengagetkannya. Sampai-sampai gadis dengan nama lengkap Jihan Aiyana itu menjatuhkan buku novel yang dia sedang baca, wajah Jihan terlihat sangat kesal lalu mengumpat saat melihat siapa yang mengagetkannya. Jihan langsung memaki pria yang telah membuatnya sangat terkejut. Kalau saja dia memiliki penyakit jantung mungkin dia sudah terkena serangan jantung, untunglah dia tidak mempunyai riwayat penyakit jantung.
“Shit! Balik lo dasar curut! Gimana kalau gue mati kena serangan jantung gara-gara ulah lo?!" Teriak Jihan lalu mengejar Septian yg kini berlari setelah berhasil mengerjai Jihan.
“Hahaha! Kejar gue kalau bisa,” sahut pria yang bernama Septian Erlangga Wijaya, sambil berlari dan sesekali menjulurkan lidahnya pada Jihan lalu tertawa, membuat Jihan semakin geram. Karena sudah geram dengan tingkah Septian, Jihan lantas mencopot sepatunya kemudian melemparkannya kearah Septian yang masih saja mengolok-oloknya. Pletak! Sepatu kets Jihan mendarat dengan sempurna diatas kepala Septian, membuat Septian meringis kesakitan.
“Aww...!" Pekik Septian sambil memegangi kepalanya, dia menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap tajam kearah Jihan.
"Hahaha! Mampus! Rasain lho, mamam tuh sepatu gue!" Bukannya takut Jihan malah tertawa terbahak-bahak karena lemparannya mendarat tepat sasaran mengenai kepala Septian. “Makanya jadi cowok jangan jahil!” lanjut Jihan menatap Septian tanpa belas kasihan.
"Gila lo, ya?! Memang kepala gue apaan? Dasar cewek jadi-jadian!" Cetus Septian yg kini masih mengelus-elus kepalanya yg terkena lemparan sepatu Jihan.
"Septian sama Jihan berantem lagi," Bisik beberapa mahasiswa yg melihat perdebatan antara Jihan dan Septian, yang sudah biasa bagi mereka.
"Eh, eh, apa lo bilang? cewek secantik gue lo bilang cewek jadi-jadian? HEH! Dasar curut empang lo! Kembaliin gak sepatu gue." Jihan pun menatap tajam kearah Septian. Lalu dengan langkah terpaksa Jihan menghampiri Septian. Tahu Jihan akan menghampirinya, tiba-tiba Septian tersenyum jahat.
"Cowok seganteng gue lo katain curut? Gue Idola cewek-cewek di kampus ini, lo tau?” desis Septian tak terima. “Lo tuh cewek jadi-jadian. Gak tahu apa kalau cewek-cewek pada ngantri sama gue?" ujar Septian dengen sombongnya, membuat Jihan ingin tertawa terbahak-bahak karena kesombongan yang Septian ucapkan.
"Ngantri apa, bang? Ngantri buat musnahin lo dari muka bumi ini?”
Mendengar ejekan dari Jihan membuat Septian kesal, tapi dia langsung tersenyum saat menyadari bahwa sepatu gadis itu kini ada ditangannya. "Lo mau sepatu lo balik gak? kalau mau ambil sini! Itu pun kalau lo bisa."
Kini ucapan Septian menghentikan tawa Jihan. Mata bulat Jihan beralih menatap sepatu miliknya yang berada ditangan rivalnya itu. Sambil kini memegang sepatu Jihan, Septian pun menyeringai, tentu saja Septian tidak akan membuat Jihan dengan mudah mengambil sepatunya itu.
"Balikin gak sepatu gue curut!" Wajah Jihan sudah menunjuk kekesalannya pada Septian. Lalu Jihan pun semakin mendekat pada Septian. Namun bukannya memberikannya, Septian malah kembali berlari meninggalkan Jihan yang semakin geram dengan tingkahnya.
"Jangan harap lo dapetin sepatu lo dengan mudah. Kalau bisa ambil sini!" teriak Septian yang kini sudah kembali berlari meninggalkan Jihan yang masih terdiam ditempatnya.
"Dasar Curut!!! Jangan lari lo, balikin sepatu gue bajingan!" Jihan sudah mulai geram berteriak sekuat tenaga, membuat orang-orang yang berada disana menatap kearah Jihan. Mereka bingung dengan Jihan yang tiba-tiba berteriak dengan sangat kencang. Jihan pun akhirnya mengejar Septian dengan kaki terpincang-pincang karena hanya memakai sepatu sebelah.
"Siapa suruh lo ngelemparin sepatu lo ke gue, wlek...." Septian berlari lagi sambil menjulurkan lidahnya pada Jihan.
"Maura tangkap Septian!” Teriak Jihan saat melihat Maura berdiri tepat di depan Septian.
"Kena lo!" Maura yang diperintahkan oleh Jihan pun langsung memegangi tangan Septian. Apa yang Maura lakukan tentu saja membuat Septian terkejut.
"Tolong ambilin sepatu gue, Ra. Kaki gue udah sakit banget nih, jalan pake sepatu sebelah. Jangan lepasin dia, Ra, Gue mau kasih pelajaran sama sih curut." Jihan dengan semangat menghampiri Maura yang masih memegangi tangan Septian sesuai dengan perintah yang Jihan berikan.
"Ini lo ambil sepatunya, Ra. Tapi tolong lepaskan gue ya Maura yang cantik dan manis, gue mohon," bisik Septian mencoba sedikit memuji Maura. Dia memohon dengan senyum semanis untuk Maura guna membuat Maura tertipu daya dan melepaskannya.
"Tian manis banget sih,” Maura terlena, “Makasih pujiannya," Ucap Maura yang kini melepaskan cekalan tangannya pada Septian. Namun sepatu Jihan kini sudah tergeletak dilantai.
“Makasih ya Maura yang manis. Muach!!!" Setelah Maura melepaskan pegangannya pada lengan Septian. Kini dia pun kembali berlari menjauh dari Maura dan Jihan. Maura yang mendapatkan pujian dari Septian pun terus tersenyum sambil menatap kepergian Septian. Sehingga melupakan apa yang Jihan suruh.
"Hey, Maura! kenapa lo malah lepasin dia sih?! Gue kan udah bilang jangan lepasin dia, kan gue pengen ngasih pelajaran sama dia, Ra!!!" Jihan pun mengambil sepatu yang tergeletak dilantai lalu memakainya.
"Abis dia tampan dan manis banget sih, Han. Jadi gue gak tega kalau lihat lo marahin dia. Apalagi sampai maki-maki dia depan anak-anak," Ucap Maura sambil senyum-senyum tidak jelas.
"Hadeh! Lo ini Ra, sama saja kayak cewek-cewek yang lainnya gampang banget dirayu sama sih curut." Jihan yang memang sedang kesal pun berlalu meninggalkan Maura yg masih senyum-senyum tidak jelas.
"Eh, Han, tungguin gue...!" Teriak Maura yg baru menyadari kalau Jihan sudah pergi meninggalkannya.
*****
"Mama Jihan pulang," Seru Jihan yg kini sudah duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Mendengar putarinya memanggilnya, Sabrina pun menghampiri putri semata wayangnya itu.
"Ada apa sayang? Kenapa wajah putri Mama yang cantik jadi kusut kayak gini?" Tanya Sabrina. Lalu duduk disamping putrinya dan mengelus rambut Jihan yang panjang.
"Gak apa-apa Mah. Jihan cuma lagi bete aja," jawab Jihan lalu memeluk mamanya. Mendapat pelukan tiba-tiba dari putrinya, Sabrina pun hanya tersenyum seakan tahu penyebab kekesalan putrinya.
"Pasti Septian bikin ulah, ya?" Tebak Sabrina. Jihan mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya, dia masih kesal kalau mengingat kejahilan Septian tadi di kampusnya.
"Dia selalu saja menjahili Jihan, Mah. Bikin Jihan kesel. Dia tuh nyebalin banget Mah. Jihan benci banget sama dia!" Rengek Jihan sambil cemburut dan tidak melepaskan pelukannya pada sang ibu.
"Hahahaha! Ternyata Septian, suka banget ya jahilin putri mama ini, jangan terlalu benci sayang, nanti kamu lama-lama bisa jadi cinta lho… " Ucap Sabrina setengah menggoda.
"Ah, Mama kok gitu sih?! Anaknya sedih malah diketawain. Ya sudahlah, Jihan mendingan ke kamar aja. Mau bersihin badan dulu, lengket banget rasanya nih badan." Setelah bicara seperti itu, Jihan pun pergi meninggalkan Sabrina sendirian yg tersenyum melihat kepergian putri kesayangannya terlihat kesal.
Kini Sabrina pun mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang, setelah teleponnya tersambung Sabrina mulai berbicara dan sesekali tertawa entah dengan siapa dia bicara sehingga terlihat sangat bahagia. Sedangkan putrinya kini sedang kesal karena ulahnya yang telah menertawakannya.
"Tian, Kamu jahilin Jihan lagi yah?" Tanya Aleta yg kini sedang duduk di ruang televisi bersama putranya."Pasti cewek jadian-jadian itu yang ngadu ya Bun?" Bukan menjawab, Septian malah balik bertanya dan terlihat kesal."Kalau Bunda tanya tuh dijawab Tian! Bukan malah balik tanya kamu ini, lagian gak ada yang ngadu kok, tadi tante Sabrina yang telepon Bunda. Katanya sepulang sekolah Jihan nangis-nangis karena habis kamu jahilin."Aleta menatap Septian dengan wajah seriusnya. Padahal dia ingin tertawa sekali karena dengan tega sudah berbohong pada putranya hanya karena ingin melihat reaksi Septian saat tahu kalau jihan menangis gara-gara dijahili olehnya."Bunda pasti boong iya kan? Masa iya sih cewek jadi-jadian itu nangis semudah itu," sahut Septian karena tidak percaya pada ucapan ibunya."Dia punya nama Tian! Namanya Jihan Aiyana. Namanya bagus gitu kok jangan sembarangan kalau
Jam istirahat pun akhirnya tiba, kini Jihan dan Maura sedang berjalan di koridor kampus, mereka akan menuju ke kantin sambil bercanda tanpa melihat ke depan. Namun, tiba-tiba seseorang berlari dan menabrak Jihan yang memang tidak melihat ada orang di depannya.BrukkTapi bukannya jatuh ke lantai, Jihan malah jatuh kepelukan orang yang tidak sengaja menabraknya. Mata bulat mereka pun kini saling memandang dan tidak berkedip seakan menikmati keindahan bola mata masing-masing."Ekhem, ekhem, udah belum pandang-pandangannya? Maura udah laper nih," Ucap Maura yang membuyarkan acara tatap-tatapan mereka."Oh em ji, Curut!!! Lo curi-curi kesempatan buat peluk-peluk gue hah! Ini apa juga malah natap-natap gue kayak gini!" Ketus Jihan seakan tidak terima saat Septian memeluknya dan menatapnya.Ya Septian lah orang yang menabrak Jihan dan reflek langsung memeluknya. Mendengar teriak
"Memang kenapa Kak? Kak Jihan kan cantik udah gitu baik terus pintar lagi, kurang apalagi coba? Kak Jihan tuh bibit unggul loh Kak," Ucap Kiara yang memuji Jihan. "Aduh Kiara. Kamu itu gak banget deh, terlalu berlebihan muji dia. Justru reputasi Kakakmu ini yang keren dan tampan ini bisa rusak nanti dikampus gara-gara dia! Nggak ah pokonya aku nggak mau titik." Septian menjawab dengan tegas. "Idih pede kali kau bang. Siapa juga yg mau dijodohin sama Curut macam lo! Masa iya inces yg cantik kayak gini harus nikah sama curut empang macam lo, gue juga ogah banget kali!" Ketus Jihan tidak mau kalah. "Haduh Kalian berdua ini, terus aja kayak gitu! Bina Mendingan kita cek makanan aja yuk buat acara nanti malam. Dari pada pusing lihat tuh dua bocah yang gak pernah mau akur kayak anak kecil aja. Kia mau ikut Bunda sama Tante Bina gak? Atau mau lihat Tom and Jerry lagi kumat? Dan kalian berdua udah sok dilanjutin aja berantemnya yah! Kalau udah puas berantemnya terus
"Tian. kamu mau kemana, Nak? Kemarilah," Panggil Angga. Membuat Septian yang akan melangkah pergi meninggalkan pesta menghentikan langkahnya, dan memutar tubuhnya kembali dengan cengiran khasnya, karena ketahuan akan melarikan diri. Dan kini mau tidak mau dia menghampiri Angga karna pria paruh baya itu memanggilannya. Kini Septian pun sudah berdiri disamping Sabrina dan Jihan di atas panggung."Sayang mana cincinnya?" Tanya Aleta pada suaminya dengan begitu antusias."Sebentar ada dikantong celanaku," Jawab Reno lalu mengambilnya dan memberikannya pada Aleta. Kini Septian pun sudah berada di disamping Angga. Membuat Angga Tersenyum karena rencananya dan sahabatnya berhasil untuk menjodohkan putra, putrinya."Dan ini. Perkenalkan dia calon menantu saya namanya Septian Erlangga Wijaya. Dia putra dari sahabat saya. Reno Refriyansyah Wijaya dan Aleta Evelyna Wijaya. Dan malam ini putri saya dan putra mereka akan bertunangan,"
"Jihan...!" teriak Maura yang baru saja sampai dikampus. Dia melihat Jihan sedang berjalan dikoridor kampus."Aduh Maura. Lo itu bisa gak kalau teriak volumenya dikecilin dikit. Sakit tahu telinga gue denger lo teriak. Gue kasihan sama telinga gue yang kena syok terapi dari lo," Ucap Jihan sambil berjalan santai."Ah, Jihan mah gitu. Gak asik ah, dikira suara Maura apaan," Rajuk Maura pada Jihan."Berhenti merajuk Maura. Lo kayak bocah aja, gimana cowok mau deketin lo kalau tingkah lo aja kadang masih kayak bocah dasar jones," omel Jihan sambil terus berjalan."Iihh..., Jihan kok gitu sih! Apa Jihan gak inget? Kalau Jihan juga jomblo."Sadar ucapannya menyinggung Jihan. Maura kini menundukkan kepalanya, saat Jihan menatap tajam ke arah Maura dan menghentikan langkahnya."Ya ampun Maura. Gue lupa kalau gue juga jomblo hahaha...."Bukannya marah. Jihan malah tertawa sambil menepuk pelan keningny
Ting... Tong... Ting... Tong...Suara bel terus berbunyi dikediaman keluarga Wijaya. Aleta kini tengah sibuk dengan aktivitasnya bersama asistennya untuk mempersiapkan makan malam."Tian, tolong buka pintunya, Nak. Bunda lagi nanggung siapin makanan buat makan malam nih," Ucap Aleta sambil mbawa makanan dari dapur ke meja makan."Oke Bun," Sahut Septian yang kini berjalan menuju pintu utama rumah mereka."Siapa sih yang datang sore-sore gini? Kurang kerjaan amat. Gak tahu apa orang lagi santai ganggu aja," Gerutu Septian sambil membuka pintu.Dan taram...! Saat Septian membuka pintunya betapa terkejutnya Septian saat siapa yang datang kerumahnya saat dia sedang bersantai."Buset lo! Gila lo ya! Gue kaget banget tahu. Dasar wanita jadi-jadian. Kenapa lo cantik banget sih sore ini? Kirain gue lo itu Lisa black pink. Gue demen banget tahu sam
"Sayang, mana Jihan?" Tanya Angga yang baru saja pulang dari kantor."Dia lagi kerumah Aleta, Mas. Tadi aku suruh nganterin kue, tapi tadi dia telepon katanya mau sekalian makan malam disana," Sahut Sabrina sambil menyiapkan makanan untuk suaminya, Angga."Rumah ini sepi ya kalau Jihan gak ada," Ucap Angga sambil duduk dikursi meja makan."Iya, apalagi kalau nanti Jihan sudah menikah. Pasti kita akan sangat kesepian," Sambung Sabrina. Sambil menuangkan makanan kepiring milik suaminya itu."Sayang, gimana kalau kita buat lagi biar ada yang gantiin Jihan. Tapi kali ini harus laki-laki biar gak ninggalin kita kayak Jihan," Goda Angga. Dengan seringai nakalnya"Ah kamu ini, ada-ada saja sih mas," Ucap Sabrina, namun kali ini tidak membalas godaan Angga, dia hanya tersenyum."Tapi mau kan sayang?" Tanya Angga kali dengan serius. Dan lagi-lagi Sabrina hanya membalas dengan senyuman pada Suaminya.*****"
Septian dan Jihan tampak terburu-buru menuju rumah sakit. Mereka baru saja mendengar bahwa nenek Septian masuk rumah sakit dan karena Jihan juga sangat dekat dengan Nenek Septian. Jadi dia juga merasa sangat khawatir dan ikut menjenguk sang nenek. Karena kebetulan nenek Septian juga ingin bertemu dengan Jihan. Membuat Jihan langsung setuju saat Septian mengatakan kalau neneknya ingin bertemu Jihan.Kini Jihan dan Septian pun sejenak melupakan perdebatan mereka lalu akhirnya mereka pun menuju ke rumah sakit bersama-bersama, setelah sampai dirumah sakit mereka bingung karena tidak tahu harus mencari kamar rawat sang nenek . Karena kedua orang tua Septian tidak memberi tahukan di ruangan mana sang nenek dirawat."Lo tanya sono sama resepsionisnya dari pada kita kayak orang bego, celingak celinguk gak jelas kayak gini," Ucap Jihan."Lo nyuruh gue?!" Septian menunjuk dirinya sendiri."Males ah. Ini bunda sama ayah juga kenapa lagi handphoneny
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men