Ting... Tong... Ting... Tong...
Suara bel terus berbunyi dikediaman keluarga Wijaya. Aleta kini tengah sibuk dengan aktivitasnya bersama asistennya untuk mempersiapkan makan malam.
"Tian, tolong buka pintunya, Nak. Bunda lagi nanggung siapin makanan buat makan malam nih," Ucap Aleta sambil mbawa makanan dari dapur ke meja makan.
"Oke Bun," Sahut Septian yang kini berjalan menuju pintu utama rumah mereka.
"Siapa sih yang datang sore-sore gini? Kurang kerjaan amat. Gak tahu apa orang lagi santai ganggu aja," Gerutu Septian sambil membuka pintu.
Dan taram...! Saat Septian membuka pintunya betapa terkejutnya Septian saat siapa yang datang kerumahnya saat dia sedang bersantai.
"Buset lo! Gila lo ya! Gue kaget banget tahu. Dasar wanita jadi-jadian. Kenapa lo cantik banget sih sore ini? Kirain gue lo itu Lisa black pink. Gue demen banget tahu sama dia. Dia itu cantik banget, andai aja gue beneran tunangan sama dia, pasti hidup gue bakalan bahagia banget," Cerocos Septian panjang lebar.
"Hey Curut, lo lagi curhat ya sama gue? Udah belum curhatnya? Gue pegel nih berdiri terus. Boleh gak gue masuk, lagian gue empet denger lo ngomong, kayak cewek aja nyerocos mulu, gue kan kesini mau ketemu tante Leta bukan ngedengerin lo curhat soal girlband favorit lo!" ketus Jihan yang langsung nyelonong masuk tanpa permisi setelah berbicara seperti itu.
"Hey! Kebo lo mau keman? Emang dasar ya kebo gak punya ahlak dan sopan santun main nyelonong masuk aja ke rumah orang. Woi Jihan...!" Teriak Septian yg kini menyusul Jihan yg sudah masuk dan mencari Aleta untuk meminta pertolongan karena Septian yang pasti akan mengerjainya lagi.
"Tante tolong tante. Jihan dikejar-kejar Curut yang lagi ngamuk," Rengek Jihan yang kini bersembunyi di belakang tubuh Aleta yg sedang menata makanan di meja makan.
"Aaaa..., sakit Bun entar kuping Tian bisa copot loh Bun, ini beneran sakit banget Bunda," Rengek Septian yang kini telinganya dijewer oleh Aleta.
"Oke Bunda lepasin, tapi jangan gangguin Jihan lagi ngerti kamu!" Omel Aleta.
"Iya Bun Iya. Tapi lepasin jewerannya sakit banget tau Bun, sebenernya yang anak Bunda itu siapa sih? Dia si cewek jadi-jadian atau Tian sih Bun? Kesannya Bunda lebih sayang sama dia deh dari pada sama Tian," Protes Septian
Bukannya mendengar rajukan sang putra yang merasa di nomor duakan. Aleta malah mempermasalahkan panggilan putranya pada Jihan.
"Tian. Namanya Jihan loh bukan cewek jadi-jadian, kalau manggil nama orang itu yang bener ah jangan sembarangan, apalagi ini nama calon istri kamu loh paham kamu?!"
"Itu Bunda loh yang bilang loh barusan," sahut Septian dengan memutar bola matanya dengan malas.
"Apa?" Tanya Aleta yang bingung dengan apa yang putranya katakan.
"Itu Bunda yang nyebut cewek jadi-jadian," Jawab Septian sambil cengengesan tidak jelas.
"Tian! Gak sopan ya kamu ngerjain Bundanya sendiri," Omel Aleta yang kesal pada Septian. Dan saat Aleta ingin memjewer kembali telinga putranya lagi. Septian langsung menghindar karena kini dia lebih waspada pada sang Bunda yang pasti akan menjewernya kembali.
"Gak kena. Udah ah Bun, Tian ke kamar dulu. Disini Tian kalau ada si kebo jadi kayak di anak tirikan sih. Jadinya males deh nemenin Bunda," Ujar Septian. Lalu Septian pun pergi meninggalkan Jihan dan Aleta untuk pergi ke kamarnya.
"Udah jangan di dengerin ya sayang. Tian emang kayak gitu kalau ngomong," ucap Aleta. Jihan pun mengangguk lalu menyerahkan paper bag yang dia bawa pada Aleta.
"Iya Tante, oh ya Tante ini dari mama kue kesukaan tante. Tadi katanya mama gak sengaja lewat toko kue langganan Tante. Jadi mama mampir ke toko kuenya sekaklian beliin buat tante," Ucap Jihan sambil memberikan kotak yg dia bawa pada Aleta.
"Wah enak nih. Bina memang sahabat terbaikku. dia tahu saja kesukaan sahabatnya. Bilangin makasih gitu sama mama kamu ya sayang," Ucap Aleta.
"Iya Tante. Ngomong-ngomong Kia kemana Tan?" Tanya Jihan. Yang tidak melihat Kiara dari dia datang tadi.
"Oh Kia. Dia lagi ada les, Nak. Jadi pulangnya agak malam," sahut Aleta.
"Oh."
Jihan hanya ber oh ria. Sambil menganggukkan kepalanya.
"Jihan. Malam ini kamu makan malam disini ya sayang," Ucap Aleta sambil tersenyum.
"Emm..., boleh deh Tan. Kebetulan Jihan sudah lama gak makan masakan Tante," Sahut Jihan yang kini membantu Aleta menyiapkan makanan untuk makan malam.
"Bunda...!" Teriak Septian. Membuat Jihan terkejut karena mendengar teriakkan Septian.
"Ya ampun Tante, kenapa tuh Tian teriak-teriak. Udah kayak Tarzan aja yang tinggalnya di hutan. Hobby banget teriak-teriak," Ucap Jihan. Membuat Aleta terkekeh geli saat mendengar ucapan Jihan.
"Dia emang kayak gitu sayang kalau di rumah. Jadi biasain aja ya. Jadi nanti kalau udah nikah, kamu gak kaget lagi."
"Apa Tante bilang? Nikah? Jihan sama sicu..., ups maaf Tante, maksud Jihan. Jihan nikah sama Tian?" Tanya Jihan yang terlihat terkejut. Aleta hanya tersenyum melihat ekspresi calon mantunya itu.
"Ya udah Tante tinggal dulu ya sebentar. Mau nyamperin Tian dulu. Pasti dia lupa bawa handuk ke kamar mandi kalau udah teriak kayak gitu," Ucap Aleta. Lalu dia pun menuju kamar putranya.
Tapi tiba-tiba Aleta berhenti melangkah. Dan menatap Jihan dengan senyuman. Entah apa yang Aleta pikirkan. Namun, tiba-tiba...
"Aduh, Han. Sepertinya perut tante sakit bagaimana ini. Tante mau ke kamar mandi dulu ya sayang. Tante minta tolong Nak. Tolong berikan handuk pada Tian yg ada dilemari."
Belum sempat Jihan menjawab. Aleta sudah belari menuju kamarnya karena dia berkata ingin ke kamar mandi.
"Ya Tuhan bagaimana ini? Masa iya gue harus ngambilin handuk dan kasiin ke si Curut."
Jihan pun mulai kebingungan, saat Septian kembali memanggil Ibunya. Dia bingung harus apa, haruskah Jihan mengambilkan handuk dan memberikannya pada Septian?
"Bunda mana handuk Tian? Lama banget sih! Pasti lagi ngobrol sama tuh cewek jadi-jadian ya? Cepatan Bun. Tian udah kedinginan nih!" Teriak Septian. Namun, tiba-tiba Pintu kamar mandi Septian pun ada yang mengetuk, lalu Septian pun membuka pintunya. Namun bukan handuk yang dia ambil melainkan tangan Jihan yang dia tarik.
"Aaaa...!" Teriak Jihan saat melihat tubuh polos Septian. Dengan cepat Septian pun berbalik menjadi membelakangi Jihan yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kini Jihan langsung mengambil handuk yang di pegang Jihan dengan terburu-buru.
"Gila lo. Kenapa bisa lo yang kasih handuknya ke gue? Kemana bunda? Gue kan minta tolongnya sama bunda, bukan sama lo!" Ketus sambil melilitkan handuk ke pinggangnya. Untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.
"Ta-tante Leta sakit perut. Jadi dia pergi ke kamarnya, dan nyuruh gue kasih handuk ini ke lo," Jawab Jihan yang kini akan keluar dari kamar mandi. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat tangannya dipegang oleh Septian. Lalu Septian menarik kembali tubuh Jihan dan mendorongnya ke dinding kamar mandi. Membuat Jihan terkejut.
"A-apa yang a-akan lo, lo lakukan curut. Le-lepasin gue."
"Kenapa? Apa kau gugup? Bukankah kau sudah melihat semuanya tadi Hem? Terus kau tunggu apalagi, bukannya ini yang kau mau?" Jihan semakin ketakutan. Saat Septian semakin mendekatkan wajahnya.
"A-apa yang lo ma-mau la-lakukan Tian?" Tanya Jihan yang kini terlihat semakin gugup dan semakin ketakutan.
Namun, Septian tidak menjawab. Dia malah semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Jihan. Saat sedikit lagi akan tersentuh tiba-tiba Jihan menginjak kaki Septian dengan kencang.
"Aww...! Sakit Jihan," Pekik Septian sambil memegangi kaki yang diinjak oleh Jihan. Sementara itu Jihan sudah berlari keluar dari kamar mandi.
"Siapa suruh mau berbuat mesum sama gue. Jadi rasain. Lo gak akan bisa macam-macam sama gue. Dasar Curut mesum."
Setelah mengatakan itu. Jihan pun langsung keluar dari kamar Septian. Karena dia tidak ingin kejadian tadi terulang lagi. Membayangkannya saja membuat Jihan berigidig ngeri.
"Gila tuh cewek. Susah amat sih gue ditaklukin," Ucap Septian. Lalu dia pun mengambil baju dan mengenakannya. Setelah rapi dengan baju santainya. Septian pun turun untuk bergabung bersama keluarganya dan juga Jihan yang memang akan makan malam bersama keluarga Wijaya.
"Sayang, mana Jihan?" Tanya Angga yang baru saja pulang dari kantor."Dia lagi kerumah Aleta, Mas. Tadi aku suruh nganterin kue, tapi tadi dia telepon katanya mau sekalian makan malam disana," Sahut Sabrina sambil menyiapkan makanan untuk suaminya, Angga."Rumah ini sepi ya kalau Jihan gak ada," Ucap Angga sambil duduk dikursi meja makan."Iya, apalagi kalau nanti Jihan sudah menikah. Pasti kita akan sangat kesepian," Sambung Sabrina. Sambil menuangkan makanan kepiring milik suaminya itu."Sayang, gimana kalau kita buat lagi biar ada yang gantiin Jihan. Tapi kali ini harus laki-laki biar gak ninggalin kita kayak Jihan," Goda Angga. Dengan seringai nakalnya"Ah kamu ini, ada-ada saja sih mas," Ucap Sabrina, namun kali ini tidak membalas godaan Angga, dia hanya tersenyum."Tapi mau kan sayang?" Tanya Angga kali dengan serius. Dan lagi-lagi Sabrina hanya membalas dengan senyuman pada Suaminya.*****"
Septian dan Jihan tampak terburu-buru menuju rumah sakit. Mereka baru saja mendengar bahwa nenek Septian masuk rumah sakit dan karena Jihan juga sangat dekat dengan Nenek Septian. Jadi dia juga merasa sangat khawatir dan ikut menjenguk sang nenek. Karena kebetulan nenek Septian juga ingin bertemu dengan Jihan. Membuat Jihan langsung setuju saat Septian mengatakan kalau neneknya ingin bertemu Jihan.Kini Jihan dan Septian pun sejenak melupakan perdebatan mereka lalu akhirnya mereka pun menuju ke rumah sakit bersama-bersama, setelah sampai dirumah sakit mereka bingung karena tidak tahu harus mencari kamar rawat sang nenek . Karena kedua orang tua Septian tidak memberi tahukan di ruangan mana sang nenek dirawat."Lo tanya sono sama resepsionisnya dari pada kita kayak orang bego, celingak celinguk gak jelas kayak gini," Ucap Jihan."Lo nyuruh gue?!" Septian menunjuk dirinya sendiri."Males ah. Ini bunda sama ayah juga kenapa lagi handphoneny
Sepulang dari pemakaman, Jihan pun kini berpamitan pada kedua orang tuanya. Karena dia harus ikut bersama suaminya. Mau tidak mau Sabrina dan Angga pun harus melepaskan putri semata wayangnya untuk ikut bersama keluarga barunya, meski sedih mereka pun harus ikhlas, lagi pula itu keinginan mereka, dan mereka pun masih bisa bertemu jika mereka saling merindukan.Setelah sampai dirumah keluarga Wijaya. Acara tahlilan pun akan dilakukan malam harinya, karena melihat Septian dan Jihan yang kelelahan. Aleta pun menyuruh mereka untuk beristirahat lebih dulu. Agar saat acara tahlilan nenek Sarah. Mereka nanti sudah sedikit lebih segar.Sesampainya dikamar Septian. Kini hanya ada keheningan diantara Septian dan Jihan. Kini Jihan memilih duduk dikursi meja rias untuk membuka perhiasaan dan juga menghapus riasannya. Sedangkan Septian dia memilih duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memejamkan matanya, karena dia memang merasa sangat lelah.
Jihan baru saja sampai dikampus, dia sadar kalau kini statusnya adalah seorang istri, dan dia harus bisa menjaga rahasia jangan sampai anak-anak kampus tau tentang status barunya, dia celingak celinguk memastikan bahwa belum ada orang dikelasnya.Namun, saat dia berjalan untuk masuk ke kelasnya, tidak sengaja Jihan menabrak seorang gadis yang tidak dia lihat di dekat pintu, karena tadi dia masuk terburu-buru."Aww...," Pekik gadis itu sambil memegangi bahunya."Ups, Maaf nona aku tidak sengaja," Ucap Jihan. Meringis karena merasa tidak enak pada gadis itu. lalu kini menatap gadis itu."Mahasiswa baru ya?" Tanya Jihan. karena merasa asing dengan wajah gadis itu dan dia belum pernah melihat dikampusnya, apalagi dikelasnya."Iya, kenalkan namaku Sandra Angelina," Ucap gadis itu yang ternyata bernama Sandra Angelina."Jihan Aiyana, panggil aja Jihan," Sahut Jihan singkat.
"Mas. Udah dapat tiket honeymoonnya belum? Buat mereka harus paket lengkap yang romantis loh! Aku udah gak sabar pengen ngirim mereka ke Paris," Ucap Aleta yang kini sudah duduk disamping Reno dengan senyuman manisnya."Tentu dong sayang, nanti rencananya pas habis makan malam, Mas bakalan kasih ke mereka berdua, dan besok mereka harus berangkat kesana. Soal kuliah mereka, Mas dan Angga akan memintakan izin supaya pihak kampus tidak curiga, kasihan juga putri dan putra kita kalau nanti sepulang bulan madu diledekin sama teman-teman kampus mereka, biar mereka yang jujur sendiri pada teman-temannya, kalau mereka sudah menikah," Ucap Reno yang dijawab anggukan oleh Aleta.Sementara itu dikamar. Kini Jihan tengah duduk dikursi meja rias, sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk untuk mengeringkan rambutnya, Septian yang baru saja datang pun hanya menatap Jihan dengan tatapan yang tak berkedip."Lo sangat cantik da
Jihan dan Septian kini tampak sedang mempacking baju mereka tapi dlm koper masing-masing. Namun, sesekali Jihan nampak berpikir, dia seperti sedang memikirkan sesuatu."Jangan lupa bawa sweater atau jaket tebal, takutnya disana musim dingin," Ucap Septian. Yang kini sedang memasukan jaket dan beberapa sweater miliknya."Oh ya, gue lagi mikir nih, apalagi yang harus gue bawa, untung lo ngasih tau Sep. gue hampir aja lupa," Ucap Jihan lalu mengambil beberapa sweater tebal karena dia tidak memiliki jaket tebal hanya jaket tipis itu pun model blazer.Satu jam kemudian Septian dan Jihan pun sudah selesai packing baju dan perlengkapan lainnya, kini mereka sudah siap. Namun, mereka kembali mengecek barang yang mereka akan bawa. Tiba-tiba Aleta datang dan memberi tahu kalau ayahnya sudah siap untuk mengantar mereka ke bandara.Bagaimana apa kalian sudah siap dan perlengkapan kalian sudah tidak ada yang tertinggal? Kalau sudah siap semua, ayah ka
Kini Jihan dan Septian juga Reno sudah sampai di bandara. penerbangan menuju Paris pun akan segera lepas landas. Jihan dan Septian pun pamit pada Reno dan segera memberikan tiket pesawat pada petugas lalu mereka berdua pun menaiki pesawat setelah diperiksa pasportnya, semetara Reno kini dia pun meninggalkan bandara menuju kantornya. Setelah memastikan Jihan dan Septian benar-benar pergi ke Paris.Beberapa jam kemudian Jihan dan Septian pun sudah sampai di bandara internasional di Paris, mereka pun menaiki taksi menuju alamat hotel yang diberikan oleh ayahnya. sesampainya disana Septian dan jihan disambut dengan baik oleh pelayan hotel mereka terlihat sangat Ramah. lalu Septian dan Jihan diantarkan ke kamar hotel yang sudah dihias dengan indah seperti kamar pengantin yang terlihat romantis."Silahkan nyonya, tuan selamat bersenang-senang dan semoga kalian suka dekorasi kamarnya," Ucap Pelayan itu, membuat Jihan dan Septian bingung karena para pelayan menyambutnya
Dengan tawa yang Jihan tahan. Dia terus menggoda Septian. Jihan pun kini semakin mendekatkan dirinya pada Septian. Membuat Septian jadi semakin gugup dan berusaha mengalihkan pandangannya dari Jihan. Sebagai seorang pria normal bisakah dia menahan godaan Jihan. Hahahaha lihat expresi wajah lo, lucu banget ya ternyata kalau lagi gugup kayak gitu, ayolah Curut ngaku aja, lo pasti tergoda kan? Dasar Curut Empang, sok-sokan gak tergoda padahal..., tergoda kan lo. Dasar munafik lo jadi cowok!" Ketus Jihan sambil berjalan kearah Kopernya dan mengambil baju ganti. Sedangkan Septian, dia hanya bisa mengelus tengkuknya karena dia merasa malu pada Jihan yang telah melihatnya gugup seperti tadi. Setelah mengambil bajunya, Jihan pun kembali kekamar mandi untuk memakai bajunya disana.Tak lama Jihan keluar dengan mengenakan sweater tebalnya, lalu mengambil sebuah tas kecil miliknya, Septian yang melihat Jihan sudah
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men