Gadis cantik yang berumur 16 tahun itu sudah mengurung diri selama tujuh hari. Ia hanya minum tanpa menyentuh makanan. Mentalnya sangat tergoncang setelah perundungan yang terjadi pada sahabatnya sampai menyebabkan kematian.
Gadis itu bernama Kiana. Ia anak ketiga dari Delice Kaleid dan Naura Kanesha. Kiana, Renza dan Zavier, mereka merupakan keturunan NAGA HITAM. Kekuasaan dan uang sudah mereka miliki bahkan sebelum mereka dilahirkan tapi mereka memilih melatih diri di luar rumah. Mencoba menerjang kejamnya kehidupan di negara lain.
Tok... Tok... Tok...
“Kiana—“
Naura belum berbicara tapi Kiana keluar dari kamarnya dengan memakai seragam. Ia tersenyum seperti bebannya telah hilang. “Ibu, ayo kita sarapan bersama,” ajak Kiana.
Naura sebagai Ibunya merasakan sebuah kejanggalan tapi melihat Kiana yang semangat lagi menjalani kehidupannya, Naura menghilangkan kejanggalan itu.
“Ayo! Semuanya sudah menunggumu!”
***
Sebelum sampai di sekolah, Kiana membeli setangkai bunga mawar putih kesukaan Meysha, sahabat Kiana yang baru saja meninggal tujuh hari yang lalu. Tangan Kiana gemetar, air matanya menetes bagaikan salju. Semua teman sekelasnya, menatap Kiana yang meletakkan bunga itu di atas meja milik Meysha.
‘Meysha, aku minta maaf karena tidak menepati janjiku karena kali ini, aku akan melewati batasanku,’ batin Kiana.
Tap... Tap... Tap...
Terdengar suara senda gurau dari arah pintu. Tiga orang siswa dan dua orang siswi tengah menikmati hari mereka dengan sangat baik. Aura dari Kiana langsung berubah. Tatapannya dipenuhi amarah.
“Apa kalian semua bisa keluar?” teriak Kiana. “Kecuali lima orang bedebah sialan itu!” imbuhnya sembari menunjuk tajam ke arah siswa dan siswi itu.
“Kau sedang menantangku, anak manis?”
“Suaramu itu, menyakiti telingaku Carl!” ucap Kiana.
Serempak murid-murid itu keluar dari kelas. Tinggallah Kiana dengan lima murid yang tersisa. Kelopak bunga mawar segar itu, satu demi satu mulai gugur. Seakan menjadi pertanda buruk.
“Kau ingin membalaskan kematian sahabatmu?”
Buak!
Tidak segan-segan, Kiana melemparkan kursi menggunakan satu tangannya. Kekuatannya berubah drastis. “Jangan sebut dia dengan mulut kotormu itu!” teriak Kiana.
Para murid melihat perkelahian yang seru dari jendela yang bening. Kiana tidak peduli berapa orang yang menontonnya. Hanya dendam yang terus menyelimuti pikirannya. Kiana bahkan tidak peduli jika targetnya akan mati.
“Kenapa? Kau ingin juga dilempar dari atap?”
“Atap?” Kiana langsung tercengang.
Kretek!
Tangan Kiana gemetar. Ia meremas ujung meja sampai hancur. Matanya yang merah menyala, berubah putih seperti mata ular. Dia bukan Kiana yang bisa dikendalikan.
Kiana membuka kemeja seragamnya yang berlengan panjang. Menyisakan kaus tanpa lengan berwarna hitam. Lima murid yang ada di dalam bersamanya menggigil. Untuk pertama kalinya, mereka melihat tanda lahir yang seakan hidup dan semakin besar. Gambar naga dan memenuhi punggung Kiana bahkan lengan dan area dadanya.
“Di—dia bukan manusia...”
“Be—benar. Di—dia iblis.”
Mereka mencoba kabur tapi Kiana menarik rambut dua orang yang sudah dekat dengan pintu. Tiga orang lainnya masih bertahan karena mereka hanya bisa mengulur waktu sampai guru datang.
“Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian! Kalaupun aku membunuh kalian di sini, aku hanyalah anak di bawah umur yang tidak akan mendapatkan hukuman berat,” ucap Kiana.
Murid sebelah kiri yang Kiana cengkram rambutnya, diposisikan seperti bola. (Buak). Suara keras itu terdengar hampir merusak gendang telinga.
Brak!
Kiana menendang kepala murid itu sampai ia terguling menabrak beberapa meja belajar. Tiba giliran orang yang ada dicengkram dengan tangannya yang lain. Kiana mencekik lehernya. Mengangkat tubuh pria itu dengan satu tangannya.
“Uhhhhhhh! Le—lepaskan!” rintihnya.
“Apa kalian menyiksa Meysha seperti ini?” tanya Kiana. “Jawab, sialan!” bentak Kiana.
Brak! Buk! Buk!
Kiana melemparnya ke dinding. Ia menendangnya berulang kali. Dendam itu benar-benar menjadikan Kiana hilang arah dan tujuan. Ia bahkan tidak peduli jika ia membunuh orang lain dengan cara yang paling keji.
“Sialan! Kau pikir kau sehebat itu sampai kau berani mencegahku keluar?” teriak Carl.
Grep!
Buak! Buak! Buak!
“Hebat atau tidak, ayo kita buktikan. Siapa yang mampu bertahan sampai akhir. Kau atau aku?!”
Buak!
Buak!
Kiana tidak terima karena kematian Meysha hanya dianggap sebagai kecelakaan dan tidak diperpanjang. Jika keadilan itu tidak didapat, Kiana mencari keadilan untuk Meysha dengan cara memberikan hukuman yang sama.
***
“PEMBUNUHAN!”
“PEMBUNUHAN!”
Beberapa murid yang melihat Kiana mengamuk seperti iblis, berlarian. Mereka takut akan menjadi sasaran selanjutnya karena kesadaran Kiana perlahan mulai sepenuhnya hilang dan dikuasai oleh dendam.
Drap... Drap... Drap...
Lonceng untuk jam pertama sudah berbunyi. Guru keluar dari ruangan tapi mendengar keributan itu meski tidak ada yang melapor, para guru langsung bergegas. Guru matematika mencegat satu siswa yang berlarian dengan wajah panik dan pucat pasi.
“Apa yang terjadi?”
“Kiana dari dari 2 1-1, membunuh orang, Pak.”
“Apa?” pekiknya.
Kerumunan semakin ramai. Anak-anak nakal berkumpul sedangkan yang penakut berlarian mencari aman. Para murid memberikan jalan. Salah satu guru membuka pintu kelas.
“Astaga!”
Pemandangan yang sangat mengerikan. Dua murid terbaring dilantai dengan meja yang mengubur tubuhnya. Dua murid lagi berdiri tanpa sadar dengan horden jendela yang menjerat leher mereka. Ditangan kiri Kiana sudah ada Carl yang ia cekik dengan wajah berlumuran darah bahkan beberapa giginya terlepas.
“Kiana, hentikan!” Salah satu guru berusaha mencegahnya.
Kiana melirik tajam dengan matanya yang putih sempurna. “Jangan coba-coba untuk menghentikanku!” gertak Kiana.
Jangankan guru, Zavier yang merupakan adik Kiana dan Renza yang juga kembaran Kiana tidak dapat menyadarkan Kiana bahkan mereka juga menjadi korban kejamnya pukulan Kiana.
“Jangan mengganggunya kalau kalian tidak ingin mati,” gumam Zavier.
“Ap—apa mak—“
“Tunggu sampai Daddy datang!” seru Renza.
Kiana memegang tongkat kecil yang ia sembunyikan. Tongkat adalah batasan Kiana. Tanpa ada tongkat itu, murid yang menjadi targetnya pasti sudah mati. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Kiana mengarahkan tongkat itu ke mata Carl tapi...
“Kiana!” teriak Ken.
Ken Andra adalah Ayah angkat Kiana. Hanya dia yang bisa mengendalikan jiwa iblis Kiana jika sudah terbangun. “Kiana, hentikan!” ucap Ken lirih sembari mengatur nafasnya.
“Berhenti?” Kiana tersenyum masam. “Seharusnya kalian juga menghentikan bedebah ini saat dia mencoba untuk membunuh Meysha!” teriak Kiana.
“Dengarkan, Daddy. Daddy yang akan mencari keadilan untuk Meysha.”
“Tidak! Kalau bedebah ini mati, keadilan itu baru terlihat.”
“Kiana—“
“Aku akan memberikan keadilan yang paling adil karena hukuman yang pantas adalah nyawa dibayar nyawa.”
Buak! Buak! Buk!
Mungkin saja Carl mati, koma atau ia masih hidup setelah Kiana membabi buta memukulnya dengan tangannya sendiri sampai Kiana merasa lelah. Para guru hanya bisa menutup mata mereka melihat kekejaman itu.
“Kiana—“
Kiana menoleh dan tersenyum. Perlahan, matanya berubah menjadi merah dan terpejam. Ken dengan sigap menangkap tubuh Kiana sedangkan Carl lemas tak berdaya tanpa kepastian dalam hidupnya.
“Meysha—“ gumam Kiana.
Ken mengepalkan tangannya. Ia sangat marah karena Putri yang sangat ia cintai diperlakukan seperti itu tanpa keadilan. Ken menggendong Kiana dan menggertakkan giginya.
“Aku akan menuntut balas atas nama putriku!”
Akhirnya, Delice dan Naura membawa anak-anak mereka kembali ke New York, kecuali Kiana. Kiana masih dalam pemulihan sejak kejadian itu berlalu. Ken mendampingi Kiana layaknya Ayah kandung yang ingin melindungi segenap hati.“Kiana, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Ken.“Lebih baik dari beberapa hari terakhir.”“Mau Daddy temani ke makam Meysha?”Kiana menatap koper miliknya. Ia juga harus segera kembali ke New York seperti saudaranya yang lain. Meninggalkan segala kenangan pahit. Di atas meja, Ken sudah menyiapkan bunga. Ia tahu kalau Kiana tidak akan pergi tanpa mendatangi makam Meysha terlebih dahulu.
“Sial! Males banget hari ini olahraga. Mana panas banget,” gumam Eren sembari merentangkan tangannya ke atas.Eren mengambil seragam olahraga miliknya dari loker. Ia menuju toilet sekolah. Sekolah yang ia masuki, masuk dalam kategori elit kelas atas sehingga toiletnya juga bersih seperti hotel berbintang. Tidak hanya Eren, banyak juga murid lainnya yang menggunakan toilet dilantai 3.BRAK!Serombongan kakak kelas yang juga memiliki jam olahraga yang sama, menendang pintu utama toilet. Ada teman sekelas Eren yang ditarik paksa. Ia berderai airmata, tubuhnya gemetaran sembari memegang kacamata ditangannya.“Apa aku menyuruhmu untuk ganti?” bentaknya.
Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.“Siapa kau?” tanya Kiana.“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.Tap... Tap... Tap...Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahn
Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti