Gadis cantik yang berumur 16 tahun itu sudah mengurung diri selama tujuh hari. Ia hanya minum tanpa menyentuh makanan. Mentalnya sangat tergoncang setelah perundungan yang terjadi pada sahabatnya sampai menyebabkan kematian.
Gadis itu bernama Kiana. Ia anak ketiga dari Delice Kaleid dan Naura Kanesha. Kiana, Renza dan Zavier, mereka merupakan keturunan NAGA HITAM. Kekuasaan dan uang sudah mereka miliki bahkan sebelum mereka dilahirkan tapi mereka memilih melatih diri di luar rumah. Mencoba menerjang kejamnya kehidupan di negara lain.
Tok... Tok... Tok...
“Kiana—“
Naura belum berbicara tapi Kiana keluar dari kamarnya dengan memakai seragam. Ia tersenyum seperti bebannya telah hilang. “Ibu, ayo kita sarapan bersama,” ajak Kiana.
Naura sebagai Ibunya merasakan sebuah kejanggalan tapi melihat Kiana yang semangat lagi menjalani kehidupannya, Naura menghilangkan kejanggalan itu.
“Ayo! Semuanya sudah menunggumu!”
***
Sebelum sampai di sekolah, Kiana membeli setangkai bunga mawar putih kesukaan Meysha, sahabat Kiana yang baru saja meninggal tujuh hari yang lalu. Tangan Kiana gemetar, air matanya menetes bagaikan salju. Semua teman sekelasnya, menatap Kiana yang meletakkan bunga itu di atas meja milik Meysha.
‘Meysha, aku minta maaf karena tidak menepati janjiku karena kali ini, aku akan melewati batasanku,’ batin Kiana.
Tap... Tap... Tap...
Terdengar suara senda gurau dari arah pintu. Tiga orang siswa dan dua orang siswi tengah menikmati hari mereka dengan sangat baik. Aura dari Kiana langsung berubah. Tatapannya dipenuhi amarah.
“Apa kalian semua bisa keluar?” teriak Kiana. “Kecuali lima orang bedebah sialan itu!” imbuhnya sembari menunjuk tajam ke arah siswa dan siswi itu.
“Kau sedang menantangku, anak manis?”
“Suaramu itu, menyakiti telingaku Carl!” ucap Kiana.
Serempak murid-murid itu keluar dari kelas. Tinggallah Kiana dengan lima murid yang tersisa. Kelopak bunga mawar segar itu, satu demi satu mulai gugur. Seakan menjadi pertanda buruk.
“Kau ingin membalaskan kematian sahabatmu?”
Buak!
Tidak segan-segan, Kiana melemparkan kursi menggunakan satu tangannya. Kekuatannya berubah drastis. “Jangan sebut dia dengan mulut kotormu itu!” teriak Kiana.
Para murid melihat perkelahian yang seru dari jendela yang bening. Kiana tidak peduli berapa orang yang menontonnya. Hanya dendam yang terus menyelimuti pikirannya. Kiana bahkan tidak peduli jika targetnya akan mati.
“Kenapa? Kau ingin juga dilempar dari atap?”
“Atap?” Kiana langsung tercengang.
Kretek!
Tangan Kiana gemetar. Ia meremas ujung meja sampai hancur. Matanya yang merah menyala, berubah putih seperti mata ular. Dia bukan Kiana yang bisa dikendalikan.
Kiana membuka kemeja seragamnya yang berlengan panjang. Menyisakan kaus tanpa lengan berwarna hitam. Lima murid yang ada di dalam bersamanya menggigil. Untuk pertama kalinya, mereka melihat tanda lahir yang seakan hidup dan semakin besar. Gambar naga dan memenuhi punggung Kiana bahkan lengan dan area dadanya.
“Di—dia bukan manusia...”
“Be—benar. Di—dia iblis.”
Mereka mencoba kabur tapi Kiana menarik rambut dua orang yang sudah dekat dengan pintu. Tiga orang lainnya masih bertahan karena mereka hanya bisa mengulur waktu sampai guru datang.
“Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian! Kalaupun aku membunuh kalian di sini, aku hanyalah anak di bawah umur yang tidak akan mendapatkan hukuman berat,” ucap Kiana.
Murid sebelah kiri yang Kiana cengkram rambutnya, diposisikan seperti bola. (Buak). Suara keras itu terdengar hampir merusak gendang telinga.
Brak!
Kiana menendang kepala murid itu sampai ia terguling menabrak beberapa meja belajar. Tiba giliran orang yang ada dicengkram dengan tangannya yang lain. Kiana mencekik lehernya. Mengangkat tubuh pria itu dengan satu tangannya.
“Uhhhhhhh! Le—lepaskan!” rintihnya.
“Apa kalian menyiksa Meysha seperti ini?” tanya Kiana. “Jawab, sialan!” bentak Kiana.
Brak! Buk! Buk!
Kiana melemparnya ke dinding. Ia menendangnya berulang kali. Dendam itu benar-benar menjadikan Kiana hilang arah dan tujuan. Ia bahkan tidak peduli jika ia membunuh orang lain dengan cara yang paling keji.
“Sialan! Kau pikir kau sehebat itu sampai kau berani mencegahku keluar?” teriak Carl.
Grep!
Buak! Buak! Buak!
“Hebat atau tidak, ayo kita buktikan. Siapa yang mampu bertahan sampai akhir. Kau atau aku?!”
Buak!
Buak!
Kiana tidak terima karena kematian Meysha hanya dianggap sebagai kecelakaan dan tidak diperpanjang. Jika keadilan itu tidak didapat, Kiana mencari keadilan untuk Meysha dengan cara memberikan hukuman yang sama.
***
“PEMBUNUHAN!”
“PEMBUNUHAN!”
Beberapa murid yang melihat Kiana mengamuk seperti iblis, berlarian. Mereka takut akan menjadi sasaran selanjutnya karena kesadaran Kiana perlahan mulai sepenuhnya hilang dan dikuasai oleh dendam.
Drap... Drap... Drap...
Lonceng untuk jam pertama sudah berbunyi. Guru keluar dari ruangan tapi mendengar keributan itu meski tidak ada yang melapor, para guru langsung bergegas. Guru matematika mencegat satu siswa yang berlarian dengan wajah panik dan pucat pasi.
“Apa yang terjadi?”
“Kiana dari dari 2 1-1, membunuh orang, Pak.”
“Apa?” pekiknya.
Kerumunan semakin ramai. Anak-anak nakal berkumpul sedangkan yang penakut berlarian mencari aman. Para murid memberikan jalan. Salah satu guru membuka pintu kelas.
“Astaga!”
Pemandangan yang sangat mengerikan. Dua murid terbaring dilantai dengan meja yang mengubur tubuhnya. Dua murid lagi berdiri tanpa sadar dengan horden jendela yang menjerat leher mereka. Ditangan kiri Kiana sudah ada Carl yang ia cekik dengan wajah berlumuran darah bahkan beberapa giginya terlepas.
“Kiana, hentikan!” Salah satu guru berusaha mencegahnya.
Kiana melirik tajam dengan matanya yang putih sempurna. “Jangan coba-coba untuk menghentikanku!” gertak Kiana.
Jangankan guru, Zavier yang merupakan adik Kiana dan Renza yang juga kembaran Kiana tidak dapat menyadarkan Kiana bahkan mereka juga menjadi korban kejamnya pukulan Kiana.
“Jangan mengganggunya kalau kalian tidak ingin mati,” gumam Zavier.
“Ap—apa mak—“
“Tunggu sampai Daddy datang!” seru Renza.
Kiana memegang tongkat kecil yang ia sembunyikan. Tongkat adalah batasan Kiana. Tanpa ada tongkat itu, murid yang menjadi targetnya pasti sudah mati. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Kiana mengarahkan tongkat itu ke mata Carl tapi...
“Kiana!” teriak Ken.
Ken Andra adalah Ayah angkat Kiana. Hanya dia yang bisa mengendalikan jiwa iblis Kiana jika sudah terbangun. “Kiana, hentikan!” ucap Ken lirih sembari mengatur nafasnya.
“Berhenti?” Kiana tersenyum masam. “Seharusnya kalian juga menghentikan bedebah ini saat dia mencoba untuk membunuh Meysha!” teriak Kiana.
“Dengarkan, Daddy. Daddy yang akan mencari keadilan untuk Meysha.”
“Tidak! Kalau bedebah ini mati, keadilan itu baru terlihat.”
“Kiana—“
“Aku akan memberikan keadilan yang paling adil karena hukuman yang pantas adalah nyawa dibayar nyawa.”
Buak! Buak! Buk!
Mungkin saja Carl mati, koma atau ia masih hidup setelah Kiana membabi buta memukulnya dengan tangannya sendiri sampai Kiana merasa lelah. Para guru hanya bisa menutup mata mereka melihat kekejaman itu.
“Kiana—“
Kiana menoleh dan tersenyum. Perlahan, matanya berubah menjadi merah dan terpejam. Ken dengan sigap menangkap tubuh Kiana sedangkan Carl lemas tak berdaya tanpa kepastian dalam hidupnya.
“Meysha—“ gumam Kiana.
Ken mengepalkan tangannya. Ia sangat marah karena Putri yang sangat ia cintai diperlakukan seperti itu tanpa keadilan. Ken menggendong Kiana dan menggertakkan giginya.
“Aku akan menuntut balas atas nama putriku!”
Akhirnya, Delice dan Naura membawa anak-anak mereka kembali ke New York, kecuali Kiana. Kiana masih dalam pemulihan sejak kejadian itu berlalu. Ken mendampingi Kiana layaknya Ayah kandung yang ingin melindungi segenap hati.“Kiana, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Ken.“Lebih baik dari beberapa hari terakhir.”“Mau Daddy temani ke makam Meysha?”Kiana menatap koper miliknya. Ia juga harus segera kembali ke New York seperti saudaranya yang lain. Meninggalkan segala kenangan pahit. Di atas meja, Ken sudah menyiapkan bunga. Ia tahu kalau Kiana tidak akan pergi tanpa mendatangi makam Meysha terlebih dahulu.
“Sial! Males banget hari ini olahraga. Mana panas banget,” gumam Eren sembari merentangkan tangannya ke atas.Eren mengambil seragam olahraga miliknya dari loker. Ia menuju toilet sekolah. Sekolah yang ia masuki, masuk dalam kategori elit kelas atas sehingga toiletnya juga bersih seperti hotel berbintang. Tidak hanya Eren, banyak juga murid lainnya yang menggunakan toilet dilantai 3.BRAK!Serombongan kakak kelas yang juga memiliki jam olahraga yang sama, menendang pintu utama toilet. Ada teman sekelas Eren yang ditarik paksa. Ia berderai airmata, tubuhnya gemetaran sembari memegang kacamata ditangannya.“Apa aku menyuruhmu untuk ganti?” bentaknya.
Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.“Siapa kau?” tanya Kiana.“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.Tap... Tap... Tap...Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahn
Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p