Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.
“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa.
Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.
“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.
Set!
“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.
“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saja,” kata Kiana.
Tanpa basa basi, Kiana membungkam mulut Renza dan melompat dengan membawanya. Meski tubuh Kiana kecil, tapi dia tinggi. Bisa mengimbangi Renza yang tubuhnya lebih besar darinya.
Tap...
Wush!
Suara angin seakan menabrak telinga. Pendaratan darurat berhasil. Kaki jenjang Kiana berhasil menginjak tanah tanpa terluka.
“Astaga! Apa kau sudah gila?” pekik Renza.
“Hst!” Kiana kembali menarik Renza bersembunyi disalah satu pohon bunga.
Deg... Deg...
Tap... Tap... Tap...
Suara detak jantung terdengar jelas bersahutan bersama langkah kaki penjaga yang kebetulan sedang melintasi ditempat persembunyian Kiana.
“Huf!” Kiana bernafas legas. Ia kemudian mencubit sangat keras dibagian lengan Renza.
“Akh! Apa kau gila?” pekik Renza.
“Sudah tahu kita kabur. Kau masih saja berteriak,” omel Kiana.
“Kau mau ke mana?” tanya Renza.
“Aku akan mulai menyelediki. Sedikit sulit karena aku tidak boleh mengacau,” keluh Kiana.
“Kau berniat melewati labirin?” Renza menatap Kiana sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Tidak ada cara lain.”
“Ada!” Renza menyeringai. “Kau tunggu di sini,” imbuhnya.
Kiana hanya diam seribu bahasa. Ia benar-benar menunggu Renza. Lebih tepatnya menunggu rencana Renza. Renza anak Delice yang paling brutal. Karena itu, Kiana sedikit waspada.
Tin!
Kiana menoleh. “Naik motor? Apa kau bodoh?” kata Kiana.
“Kau naik di depan. Meringkuk sampai kita melewati gerbang. Cepat!” Renza melemparkan jaket miliknya. “Lelet! Cepat!” pinta Renza lagi.
Kiana bergumam sedikit kesal tapi benar juga rencana Renza. Renza bebas berkeliaran, oleh karena itu dia bisa menaiki motor secara terang-terangan. Kiana naik ke motor dibagian depan. Ia menghadap Renza dan menekuk kakinya. Renza menutupi Kiana menggunakan jaket yang ia sempat ia berikan ke Kiana.
“Kau sudah siap?” tanya Renza.
“Kalau begini bersama kekasih, pasti romantis. Karena denganmu, cih! Aku tidak suka,” gerutu Kiana.
“Seharusnya aku membawa lakban untuk membungkam mulutmu.”
Brummm... Brummm... Brummm...
Renza mulai memutar gas motornya. Ia melewati jalan normal bahkan penjaga yang melihatnya pergi tidak bertanya apapun. Motor melaju dan berhenti tidak jauh dari gerbang mansion.
“Kau sudah bisa turun.”
“Aduh! Pinggangku!” keluh Kiana.
“Cepat naik lagi. Kita sedang memburu waktu.”
***
Kiana dan Renza sudah sampai di SMA HG. Kiana melompati gerbang. Ia memakai kain untuk menutupi setengah dari wajahnya.
“Kenapa kita tidak mencari tahu langsung ke HG CAE GRUP?” tanya Renza.
“Percuma.”
“Kenapa?” tanya Renza.
“Karena penompang perusahaan itu adalah anak-anak jenius yang sekolah di sini.”
Gedung sekolah sangat gelap. Ada penjaga yang berkeliling dan mereka berdua harus menghindar jika ada security yang sedang memeriksa.
“Hst!” Kiana mengisyaratkan Renza untuk diam. “Apa kau dengar sesuatu?” tanya Kiana.
“Iya. Dari arah gedung sana,” jawab Renza.
Hanya ada satu gedung yang terlihat berpenghuni. Gedung itu bukanlah pos security melainkan gedung yang tersembunyi dibelakang gedung resmi.
Brak!
“Siapa di sana?”
‘Astaga! Sangat ceroboh,’ batin Kiana sembari melirik Renza yang menjatuhkan pot bunga.
Kiana dan Renza memutar otak supaya mendapatkan tempat bersembunyi. Sayangnya, tidak ada tempat apapun yang bisa mereka berdua pakai.
“Kau mundur. Biar aku yang maju,” kata Renza.
“Bilang saja kalau kau ingin bertarung,” sindir Kiana.
“Kau masuk ke dalam kelas. Sebisa mungkin, kau harus pergi setelah perhatian merek teralihkan,” ucap Renza.
Akhirnya, Renza menampakkan diri tapi orang yang berteriak padanya tadi tidak terlihat dimatanya. Meski begitu, Renza tetap tenang. Ia melirik tajam. Seseorang sudah mengintainya dari belakang.
“Kalau mau memukul, kau tidak boleh ragu,” kata Renza sembari memutar tubuhnya.
Sret!
Buak!
Entah siapa namanya, dia mendapatkan pukulan langsung dari Renza. Keributan yang terjadi membuat seisi gedung gaduh.
Kiana mengerutkan keningnya. ‘Dia bukannya pria yang aku tabrak?’ batin Kiana.
Drap... Drap... Drap...
“Tuan, pria itu menyusup dan memukulku tiba-tiba,” ujar orang yang Renza pukul.
“Bukankah kita sekelas?” tanya Teo. “Apa yang kau lakukan di sini?” imbuhnya. Tatapan matanya menunjukkan kebencian.
“Aku sedang jalan-jalan. Kalian sendiri, apa yang kalian lakukan?” ucap Renza sembari berjalan ke arah Teo.
“Kerja kelompok,” jawab Teo.
Renza bisa melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka. Penglihatan Renza sangat tajam. Ada beberapa meja dan kursi yang ada di sana. Ada juga beberapa chip, tumpukan uang tunai dan juga kartu.
‘Dia sedang berjudi?’ batin Renza.
Teo melihat Renza yang memperhatikan ke dalam ruangan. “Kau ingin tahu apa yang ada di dalam? Apa kau berniat bermain?” ejek Teo.
“Aku tidak pernah bermain dengan taruhan kecil,” kata Renza.
“Kau menantangku?”
Kiana sudah berada di dalam kelas. Ia bersembunyi karena rencananya kacau gara-gara Renza. Namun, Kiana menemukan satu hal penting. Dia menemukan salah satu orang yang berpengaruh dalam perjalanan tugasnya.
Renza menarik kerah Teo. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Teo. “Apa kau sanggup dengan taruhannya?” bisik Renza sembari menyeringai.
“Kau bisa memintaku mempertaruhkan apapun padamu tapi aku hanya meminta satu keuntungan darimu.”
“Katakan!” tantang Renza.
“Aku ingin kau tidak bisa bernafas lagi.”
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Kiana ditempatkan di dalam kamar bersama dua orang wanita. Kiana belum mengetahui bahaya apa yang akan ia hadapi hanya saja, kejanggalan setiap ruangan sudah terekam jelas.“Kia, selamat menikmati pelatihan,” kata Sofia.“Pelatihan apa, Kak Sofia?”“Pekerjaan.”Brak! Pintu ditutup. Kiana menoleh dan tersenyum melihat dua wanita yang seumuran dengannya tengah ketakutan. Kiana mengernyitkan keningnya. Ia melempar tasnya di atas ranjang dan mendekati teman sekamarnya.“Eh? Wajahmu kenapa terluka?” tanya Kiana. Kiana sangat peka dengan apa yang ada di dalam kamar. Di bawah meja rias, ada dua preman bertubuh besar, bertato lebar dan membawa cambuk.“Eh, kenapa ada Kakak pria?” tanya Kiana.“Kami adalah pelatihmu,” jawabnya.‘Sial! Jadi seperti ini car
Dua pria paruh baya, hanya mengenakan kaos dan celana pendek supaya tidak menimbulkan perhatian, duduk di atas lantai disamping gedung yang penerus Naga Hitam datangi. Mereka berdua berpenampilan sangat sederhana.“Kenapa kau mengikutiku, sialan?” tanya Delice.“Anakku ada di dalam, bagaimana mungkin aku bisa diam?” balas Ken.“Leon?” tanya Delice.“Kiana! Kenapa kau membahas Leon?”“Kapan kau akan memberitahu Leon?”“Dalam kondisi seperti ini, bagaimana aku bisa memberitahunya?”“Setidaknya kau jangan menunda terlalu lama. Jarak antara kau dan Leon sudah seperti terpisah oleh dinding.”“Akan aku pikirkan.”“Dia itu putramu.”“Aku tahu. Berhentilah mengoceh!” ucap Ken. Kata seorang putra seperti mimpi baginya. Pada kenyataannya, hubungan Ken dan L
Flo memanggil penjaga yang berdiri di depan ruang VVIP. Flo kembali masuk bersama satu penjaga. Flo, Key dan Yana berdiri dibelakang Leon. Mereka mencari tempat perlindungan. Rasa penyesalan karena pergi dari rumah dan menghancurkan masa depannya sendiri.“Hanya kau saja?” tanya Leon. Mode brutal telah aktif dari sorot mata Leon yang sudah sangat tajam seperti pisau yang tidak berhenti di asah. Zeki melepaskan jas yang tidak ia suka. Ia melonggarkan dasi dan melipatkan lengan kemejanya. Zeki meminta Leon mundur karena jika hanya satu penjaga, tidak perlu membuat Leon turun tangan.“Kau tidak ingin memanggil bosmu?” tanya Zeki.“Hanya kalian, aku seorang diri juga mampu.”Buagh! Buagh! Buagh! Benar, bukan hal mudah melawan satu penjaga. Zeki menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya dari pukulan maut yang penjaga layangkan.&n