Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.
Splash!
“Akh!” pekik Kiana.
Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja.
Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.
“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm.
Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.
“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu tidak akan lagi mudah.”
Kiana hanya melirik tajam. “Bahkan jika SMA HG adalah neraka, aku rasa menyenangkan,” jawab Kiana setelah menunjukkan ekspresi psychopath pada dirinya.
“Kita lihat saja, jeritan dan rintihan permohonanmu nanti.”
Kiana tidak tahu siapa pria itu tapi sudah jelas kalau dia adalah orangnya Teo. Kiana merasa tugasnya bertambah untuk mengungkapkan identitas Teo.
Tut...
Kiana melakukan panggilan grup. Ia harus membicara hal penting. Rencana baru yang bertolak belakang dengan rencana lama.
“Hallo!” kata Kiana. “Sepulang sekolah, kumpul di markas,” ucap Kiana.
“OKE!” jawab Leon, Zavier, Eren, Renza dan Zeki secara bersamaan.
‘Aku akan mengungkapkan misterinya dengan segera,’ batin Kiana.
***
Istirahat pertama, Kiana menuju kantin. Ia mengernyitkan keningnya saat melihat seorang murid yang membayar makanan menggunakan koin.
‘Koin?’ batin Kiana.
Kiana semakin ingin menelusuri asal usul koin itu tapi sayangnya ia tidak bisa bergerak sembarangan. Hal itu membuatnya kesulitan mencari info yang sangat ia butuhkan.
Kiana seperti dituntun oleh kakinya menuju belakang kelas satu 2-2. Kiana langsung mendengar jeritan. Jeritan itu membuat langkah kaki Kiana semakin cepat.
Deg...
Murid wanita sedang dikerumuni oleh lalat nakal. Kiana tidak tahan melihat perundungan yang terjadi. Jelas dari penampilan murid itu yang berantakan bahkan wajahnya dipenuhi oleh coretan. Tangannya, kakinya, mungkin bisa dikatakan seluruh tubuhnya.
“Hentikan!” teriak Kiana.
Aman. Situasi saat itu hanya ada berandalah nakal di sana. Kiana harus menyelesaikan semuanya sebelum ada orang lain yang melihatnya menggila.
“Siapa kau? Kau ingin melindungi anak buangan sekolah ini?” tunjuknya pada murid yang menggigil ketakutan.
“Tutup mulutmu itu, brengsek!”
“Cewek sialan! Beraninya kau berteriak padaku!”
Kiana memperhatikan ada berada orang yang ada di depannya. Apa yang mereka bawa dan ada celah apa saja. Kiana bukan brutal dan asal menyerang tapi semua tindakannya menggunakan teknik yang sudah ada di dalam logikanya.
‘Lima orang. Mereka tidak membawa apa-apa. Aku bisa menyerang mereka sekaligus menggunakan celah sisi kiri pria yang berdiri paling depan,’ batin Kiana.
Bugh!
Entah siapa namanya, pria paling depan mengayunkan tinjunya. Kiana menghadang pukulan dengan menyilangkan kedua tangannya.
“Boxing? Bagaimana kalau aku tunjukkan teknik terlarang dalam boxing?” ucap Kiana dengan sorot matanya yang merah menyala.
“Banyak tingkah!” teriaknya geram.
Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!
Teknik terlarang dalam boxing, Kiana tunjukkan. Ia seolah-olah mengayunkan tinju tapi Kiana memutar tubuhnya dan menggerakkan kakinya. Tendangan dengan tenaga yang sempurna karena dilakukan oleh orang yang mengerti tekniknya.
Kiana menendang pria pertama, lalu menarik kerah seragam dan menendang murid lain yang sedang fokus menonton tanpa memiliki pertahanan diri.
Bugh! Bugh! Bugh!
“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...”
Mereka semua tergelatak sembari memegang ulu hati. Kiana belum cukup puas menghajar murid yang tidak mengerti akan kesalahannya.
“Apa karena kau mengetahui beberapa teknik, lalu kau bisa sombong?” pria itu bernama Jeps sesuai yang tertera pada seragamnya.
Grep!
Kiana menarik rambut Jeps. Ia mendelik, menunjukkan ekspresi iblisnya. Untuk pertama kalinya sejak ia terakhir kali mengamuk tanpa sadar, Kiana menunjukkan ekspresi itu lagi.
“Kau masih belum mengerti situasinya, Ha?” ucap Kiana. Mata Kiana yang merah berubah menjadi putih seperti mata ular.
“Ka—kau...”
Tap...
Seseorang memegang pundak Kiana dari belakang. Cengkeraman yang sangat kuat. Kiana mengendalikan kekuatan yang ada pada tubuhnya. Matanya kembali pulih lagi normal seperti biasanya.
“Beraninya kau mengganggu kesenanganku! Maaf, tapi aku rasa ini akan berbekas,” ucap orang itu.
Srek! Srash!
Kiana tidak bisa menghindar. Kedatangan orang itu tiba-tiba. Ia membawa mesin tato. Jarumnya menggores lengan Kiana dari ujung pundak, memanjang hingga ujung jarinya.
“Pengecut!” kata Kiana.
“Ta—tanganmu berdarah,” ucap murid yang menjadi murid buangan.
“Aku tidak apa-apa,” kata Kiana. Kiana begitu dingin. Ia seperti tidak ingin memiliki teman selain rekannya.
“Sayangnya kau mengelak. Andai saja kau diam, mungkin lukisannya akan terlihat lebih indah,” ujarnya.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Orang itu menekan ponselnya. Ia menghubungi As, pria yang melukai Kiana menggunakan mesin tato.
Tring...
Ponsel As berdering. Ia diam tanpa kata, hanya mendengarkan dan tidak menjawab lalu mematikan ponselnya.
“Sial! Aku harus pergi. Kita akan bertemu lagi lain kali, Nona yang manis,” kata As.
“Menjijikan!” balas Kiana.
Murid yang menjadi bahan candaan mereka, mengikatkan sapu tangan dilengan Kiana. Luka yang sangat panjang tapi dia mengikat diluka terdalam.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Kiana.
“Aku tidak ingin darahnya terus mengucur keluar. Kiana... Bolehkah aku memanggil namamu seperti itu?”
“Lakukan saja apa yang kau inginkan!” kata Kiana tanpa mengubah ekspresinya.
“Kumey! Kau boleh memanggil namaku Kumey.”
“Oh!”
“Kiana, terima kasih sudah menolongku. Kalau bukan karenamu, mungkin gambar ditubuhku ini tidak akan bisa dihilangkan lagi,” kata Kumey sembari membungkukkan pundaknya.
“Lain kali, kau tidak perlu takut pada orang seperti itu.”
“Aku bertubuh kecil. Mereka semua bertubuh besar. Ditambah lagi, penampilan mereka saat bubuk itu hilang, seperti seorang mafia,” jelas Kumey.
Kiana mengerutkan keningnya. “Bubuk?” tanya Kiana.
“Di sini, kalau kau mau melihat apa saja yang dijual, kau boleh menuju gedung tersembunyi di sana.”
Kiana melihat ke arah gedung yang Kumey tunjukkan. ‘Bukankah itu gedung semalam?’ batin Kiana.
Bukan saatnya untuk memikirkan hal lain. Kiana harus segera pergi sebelum ada murid lain yang melihatnya. Setetes darah yang keluar dari tubuhnya, akan Kiana kembalikan berkali-kali lipat.
“Pergilah. Kau harus membersihkan lukamu,” kata Kiana.
“Kau juga harus—“
“Aku akan mengobati diriku sendiri.”
Kiana memaksa Kumey pergi. Setelah beberapa saat, Kiana menyiapkan tenaganya. Ia melompat naik ke atas gedung.
Tak!
Suara kakinya yang sudah mendarat di lantai dua, cukup keras. Kiana merasa aman tanpa ada seseorang yang melihatnya melompat seperti murid gila.
Sreg!
Kiana mendelik. Ia menoleh setelah seseorang mengikatkan blazer dipinggangnya. Awalnya Kiana hendak memukulnya tapi gerakan tangannya berhenti.
“Kalau kau melompat lagi seperti tadi, bukankah rok yang kau pakai akan terhempas oleh angin? Pakai blazer milikku untuk menutupinya.”
“Rael!”
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Kiana ditempatkan di dalam kamar bersama dua orang wanita. Kiana belum mengetahui bahaya apa yang akan ia hadapi hanya saja, kejanggalan setiap ruangan sudah terekam jelas.“Kia, selamat menikmati pelatihan,” kata Sofia.“Pelatihan apa, Kak Sofia?”“Pekerjaan.”Brak! Pintu ditutup. Kiana menoleh dan tersenyum melihat dua wanita yang seumuran dengannya tengah ketakutan. Kiana mengernyitkan keningnya. Ia melempar tasnya di atas ranjang dan mendekati teman sekamarnya.“Eh? Wajahmu kenapa terluka?” tanya Kiana. Kiana sangat peka dengan apa yang ada di dalam kamar. Di bawah meja rias, ada dua preman bertubuh besar, bertato lebar dan membawa cambuk.“Eh, kenapa ada Kakak pria?” tanya Kiana.“Kami adalah pelatihmu,” jawabnya.‘Sial! Jadi seperti ini car
Dua pria paruh baya, hanya mengenakan kaos dan celana pendek supaya tidak menimbulkan perhatian, duduk di atas lantai disamping gedung yang penerus Naga Hitam datangi. Mereka berdua berpenampilan sangat sederhana.“Kenapa kau mengikutiku, sialan?” tanya Delice.“Anakku ada di dalam, bagaimana mungkin aku bisa diam?” balas Ken.“Leon?” tanya Delice.“Kiana! Kenapa kau membahas Leon?”“Kapan kau akan memberitahu Leon?”“Dalam kondisi seperti ini, bagaimana aku bisa memberitahunya?”“Setidaknya kau jangan menunda terlalu lama. Jarak antara kau dan Leon sudah seperti terpisah oleh dinding.”“Akan aku pikirkan.”“Dia itu putramu.”“Aku tahu. Berhentilah mengoceh!” ucap Ken. Kata seorang putra seperti mimpi baginya. Pada kenyataannya, hubungan Ken dan L
Flo memanggil penjaga yang berdiri di depan ruang VVIP. Flo kembali masuk bersama satu penjaga. Flo, Key dan Yana berdiri dibelakang Leon. Mereka mencari tempat perlindungan. Rasa penyesalan karena pergi dari rumah dan menghancurkan masa depannya sendiri.“Hanya kau saja?” tanya Leon. Mode brutal telah aktif dari sorot mata Leon yang sudah sangat tajam seperti pisau yang tidak berhenti di asah. Zeki melepaskan jas yang tidak ia suka. Ia melonggarkan dasi dan melipatkan lengan kemejanya. Zeki meminta Leon mundur karena jika hanya satu penjaga, tidak perlu membuat Leon turun tangan.“Kau tidak ingin memanggil bosmu?” tanya Zeki.“Hanya kalian, aku seorang diri juga mampu.”Buagh! Buagh! Buagh! Benar, bukan hal mudah melawan satu penjaga. Zeki menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya dari pukulan maut yang penjaga layangkan.&n
“Cepat! Kalian harus memindahkan semuanya dengan kilat!” Perintah itu terus terlontar dari mulut Victor. Orang-orang sibuk hilir mudik ke sana sini membawa beberapa berkas yang dikeluarkan dari dalam brankas. Tinggal sedikit lagi, berkas itu dipindahkan ke tempat yang jauh lebih aman tapi sosok tengil muncul dan menghalangi pintu.“Wah! Sangat sibuk sekali ternyata. Bagaimana kalau aku membantu?” ujarnya. Suaranya nyaring, terdengar sampai ke seluruh telinga setiap orang yang masih terjebak dalam ruangan.“Kau datang sendirian?” tanya Victor.&
Zavier mengikuti para keamanan HG. Ia memperhatikan dengan sangat teliti, dimulai dari penjepit dasi yang mereka kenakan. Penjepit itu sama, yang membedakan hanya warna dan designnya. Sekilas, Zavier teringat sesuatu.‘Benar. Penjepitnya itu sama dengan yang Kak Kiana berikan padaku. Apa kegunaannya?’ batin Zavier. Zavier hanya melangkahkan kakinya sesuai insting yang ia yakini. Tidak ada para penjaga yang siaga. Jalanan terasa sepi. Mungkin saja para penjaga sudah dilumpuhkan oleh rekan-rekannya. Itu yang Zavier pikirkan.Tap... Tap... Tap... Zavier masuk ke dalam lift. Ia menggunakan penjepit dasinya untuk mengisi sensor. Kecerdasannya bisa menganalisa seluruh gedung itu. Fasilitas terendah hingga yang tertinggi.“Ah! Nomornya acak?” pekik Zavier. “Jadi seperti ini cara kerja mereka untuk menyembunyikan ruang rahasia?” gumamnya lagi.&nb
Brak! Krak!Hah! Hah! Hah! Nafas Leon dan Azo terengah-engah. Saat ini bukan lagi penyusupan, melainkan pembantaian yang tak kunjung usai. Leon menyisir rambutnya ke belakang. Ekspresi diwajahnya tetap sama, tidak berubah walau hanya sedikit.“Aku mengakui kekuatanmu tapi kali ini, aku tidak akan lagi memakai teknik,” kata Leon. Tidak ada kuda-kuda, tidak ada persiapan. Insting liar kembali menyala dari matanya. Bisa dilihat dari kepalan tangan Leon. Dia sudah terlatih dengan berbagai jurus.Buak! Duak! Blarrr!Gubrak!“Akh!” Azo berusaha bangkit. Tubuh Azo terkena tendangan telak. Ia terjatuh menembus pintu. Leon tidak bisa membiarkan orang yang sudah memukulnya untuk tetap hidup.Brak! Azo menghindar kala kaki Leon berusaha menginjaknya.