Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato.
Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.
“Kiana!”
“Akh!” pekik Kiana.
Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.
“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.
“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”
“Terpeleset?” tanya Zeki.
“Sepertinya begitu.”
Kiana tidak ingin memperpanjang masalah. Ia akan mengatasi semuanya sendiri tanpa melibatkan orang lain yang bisa saja terancam karenanya.
“Kiana, kau tidak berfikir kalau aku bodoh, bukan?” tanya Zeki sembari mengusap pipi Kiana.
Kiana tersenyum melihat Zeki khawatir padanya. “Memang tidak bisa membohongi Kak Zeki tapi aku tidak bisa mengatakannya,” kata Kiana.
“Kenapa?” tanya Zeki.
Perhatian Zeki teralikan dengan anggota lain yang datang. Kiana langsung bisa bernafas lega tanpa harus memikirkan alasan untuk menjelaskan.
‘Hah! Syukurlah mereka sudah datang,’ batin Kiana.
“Sudah dari tadi?” tanya Zavier.
“Dari kemarin,” jawab Kiana. “Di mana Renza?” imbuhnya.
Leon mendekatkan wajahnya ditelinga Kiana. Ia membisikkan sesuatu yang membuat Kiana mengangguk.
“Kalau begitu, kita mulai saja langsung pada intinya,” kata Kiana.
“OKE!”
***
Pembicaraan sudah selesai. Semua rencana yang Kiana atur, sudah mereka setujui. Kiana keluar dari mansion menenteng sebuah tas yang berisi barang pribadi miliknya.
Sekitar pukul sembilan malam, Kiana duduk ditepi taman. Ia memandang ke arah langit, menikmati indahnya malam pada saat itu.
Srek!
Seseorang menghempaskan tubuhnya disamping Kiana. Ia seorang wanita yang sedang menghisap stik yang memiliki api diujungnya. Kepulan asap itu keluar dari dalam mulutnya.
“Tidak keberatan kalau aku merokok?”
“Lakukan apa saja yang kau inginkan,” kata Kiana.
‘Siapa dia? Apa dia wanita yang Kak Leon katakan? Anggote dua Crew HG?’ batin Kiana.
Kiana bersikap biasa saja seperti anak polos dan tertekan. Ia mulai memancing dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai umpan.
“Hiks... Hiks... Hiks...” Kiana tiba-tiba saja menangis. “Ah... Kak, maaf kalau terganggu,” kata Kiana sembari mengusap airmatanya.
“Lakukan saja apa yang kau inginkan,” ucapnya meniru kalimat yang Kiana katakan.
“Terima kasih!”
Wanita itu menoleh, melihat Kiana yang tertunduk sembari memeluk tas yang ia bawa. “Apa kau kabur dari rumah?” tanya wanita itu. “Aku Sofia!” imbuhnya sembari mengulurkan tangan.
“Ak—aku, kabur dari rumah.”
“Kenapa?”
“Ay—ayahku menyiksaku. Ak—aku...” Kiana mendalami perannya dengan sangat baik. Suaranya yang bergetar, tubuhnya yang gemetar, ekspresi yang ketakuan dan sedih menjadi satu.
“Mau tinggal denganku?” tanya Sofia.
“Sungguh? Kakak mau menampungku? Tapi aku tidak punya uang untuk bayar sewa,” kata Kiana, memelas.
Sofia membuka topi yang sedari tadi mengganggu pandangan matanya untuk melihat Kiana. Saat topi itu dibuka, wajah dan hidung Kiana memerah karena ia menangis sesenggukan.
“Siapa namamu? Wajahmu sangat cantik,” puji Sofia.
“Kia. Namaku Kia, Kak Sofia.”
“Kia, apa kau mau bekerja? Kebetulan aku sedang butuh beberapa orang.”
“Kerja? Kerja apa, Kak?” tanya Kiana. Wajahnya terlihat begitu polos meski dalam hatinya ia merasa sangat jijik menjalani perannya.
“Mengantarkan minuman ke pelanggan. Mau? Kau akan dapat gaji, gratis makan dan tempat tinggal.”
“Mau, Kak! Aku mau!” jawab Kiana secepat kilat. Ia menunjukkan ekspresi senang supaya Sofia tidak menaruh curiga padanya.
Kiana tidak sabar untuk mengetahui, seberapa sulitnya musuh yang harus ia tangani. Melihat Kiana yang terlihat antusias dalam kehidupan bebas, Sofia diam-diam menyembunyikan taring kejahatannya. Dalam hal ini, siapa yang akan terjebak dengan siapa?
Sofia membantu Kiana membawa tasnya. “Ayo, ikuti aku!” ucap Sofia.
“Iya, Kak!”
Sofia membawa Kiana menaiki taxi. Beberapa saat kemudian, taxi itu berhenti di depan gedung besar tanpa nama namun banyak orang berlalu lalang yang keluar masuk di sana.
“Ini tempat kerja, Kak Sofia?”
“Iya. Aku akan mengenalkanmu dengan rekanmu yang lain.”
Tap... Tap... Tap...
Awalnya, ketika kaki Kiana berpijak masuk ke dalam gedung itu, tidak ada yang mencurigakan. Tapi ketika masuk ke dalam lift, tombol yang tersedia membuat kejanggalan di dalam otak Kiana.
‘Aku tidak mungkin salah hitung. Jika dihitung dari luar, gedung ini memiliki empat puluh lima lantai tapi kenapa hanya ada empat puluh dua lantai? Ke mana tiga lantai lagi?’ batin Kiana.
Kiana masih bisa bersikap tenang. Ia tidak gegabah dalam mengambil sudut pandang yang akan membuat kefokusannya terbagi.
Klik!
Sofia menempelkan sebuah kartu ditempat sensor yang tersedia. Nomor yang tertera di lift langsung menyala secara acak sehingga Kiana kesulitan memahami dilantai mana dia akan berhenti.
“Kia, sebelum pintu lift ini terbuka, aku ingin bertanya satu hal,” ucap Sofia.
“Apa itu, Kak?”
“Apa kau yakin untuk bekerja di sini?” tanya Sofia.
“Apa pekerjaannya menakutkan, Kak?” tany Kiana. Tatapan matanya sangat polos tanpa dosa.
“Tidak menakutkan,” jawab Sofia. “Tapi setelah kau masuk, kau tidak akan pernah bisa keluar!”
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Kiana ditempatkan di dalam kamar bersama dua orang wanita. Kiana belum mengetahui bahaya apa yang akan ia hadapi hanya saja, kejanggalan setiap ruangan sudah terekam jelas.“Kia, selamat menikmati pelatihan,” kata Sofia.“Pelatihan apa, Kak Sofia?”“Pekerjaan.”Brak! Pintu ditutup. Kiana menoleh dan tersenyum melihat dua wanita yang seumuran dengannya tengah ketakutan. Kiana mengernyitkan keningnya. Ia melempar tasnya di atas ranjang dan mendekati teman sekamarnya.“Eh? Wajahmu kenapa terluka?” tanya Kiana. Kiana sangat peka dengan apa yang ada di dalam kamar. Di bawah meja rias, ada dua preman bertubuh besar, bertato lebar dan membawa cambuk.“Eh, kenapa ada Kakak pria?” tanya Kiana.“Kami adalah pelatihmu,” jawabnya.‘Sial! Jadi seperti ini car
Dua pria paruh baya, hanya mengenakan kaos dan celana pendek supaya tidak menimbulkan perhatian, duduk di atas lantai disamping gedung yang penerus Naga Hitam datangi. Mereka berdua berpenampilan sangat sederhana.“Kenapa kau mengikutiku, sialan?” tanya Delice.“Anakku ada di dalam, bagaimana mungkin aku bisa diam?” balas Ken.“Leon?” tanya Delice.“Kiana! Kenapa kau membahas Leon?”“Kapan kau akan memberitahu Leon?”“Dalam kondisi seperti ini, bagaimana aku bisa memberitahunya?”“Setidaknya kau jangan menunda terlalu lama. Jarak antara kau dan Leon sudah seperti terpisah oleh dinding.”“Akan aku pikirkan.”“Dia itu putramu.”“Aku tahu. Berhentilah mengoceh!” ucap Ken. Kata seorang putra seperti mimpi baginya. Pada kenyataannya, hubungan Ken dan L
Flo memanggil penjaga yang berdiri di depan ruang VVIP. Flo kembali masuk bersama satu penjaga. Flo, Key dan Yana berdiri dibelakang Leon. Mereka mencari tempat perlindungan. Rasa penyesalan karena pergi dari rumah dan menghancurkan masa depannya sendiri.“Hanya kau saja?” tanya Leon. Mode brutal telah aktif dari sorot mata Leon yang sudah sangat tajam seperti pisau yang tidak berhenti di asah. Zeki melepaskan jas yang tidak ia suka. Ia melonggarkan dasi dan melipatkan lengan kemejanya. Zeki meminta Leon mundur karena jika hanya satu penjaga, tidak perlu membuat Leon turun tangan.“Kau tidak ingin memanggil bosmu?” tanya Zeki.“Hanya kalian, aku seorang diri juga mampu.”Buagh! Buagh! Buagh! Benar, bukan hal mudah melawan satu penjaga. Zeki menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya dari pukulan maut yang penjaga layangkan.&n
“Cepat! Kalian harus memindahkan semuanya dengan kilat!” Perintah itu terus terlontar dari mulut Victor. Orang-orang sibuk hilir mudik ke sana sini membawa beberapa berkas yang dikeluarkan dari dalam brankas. Tinggal sedikit lagi, berkas itu dipindahkan ke tempat yang jauh lebih aman tapi sosok tengil muncul dan menghalangi pintu.“Wah! Sangat sibuk sekali ternyata. Bagaimana kalau aku membantu?” ujarnya. Suaranya nyaring, terdengar sampai ke seluruh telinga setiap orang yang masih terjebak dalam ruangan.“Kau datang sendirian?” tanya Victor.&
Zavier mengikuti para keamanan HG. Ia memperhatikan dengan sangat teliti, dimulai dari penjepit dasi yang mereka kenakan. Penjepit itu sama, yang membedakan hanya warna dan designnya. Sekilas, Zavier teringat sesuatu.‘Benar. Penjepitnya itu sama dengan yang Kak Kiana berikan padaku. Apa kegunaannya?’ batin Zavier. Zavier hanya melangkahkan kakinya sesuai insting yang ia yakini. Tidak ada para penjaga yang siaga. Jalanan terasa sepi. Mungkin saja para penjaga sudah dilumpuhkan oleh rekan-rekannya. Itu yang Zavier pikirkan.Tap... Tap... Tap... Zavier masuk ke dalam lift. Ia menggunakan penjepit dasinya untuk mengisi sensor. Kecerdasannya bisa menganalisa seluruh gedung itu. Fasilitas terendah hingga yang tertinggi.“Ah! Nomornya acak?” pekik Zavier. “Jadi seperti ini cara kerja mereka untuk menyembunyikan ruang rahasia?” gumamnya lagi.&nb
Brak! Krak!Hah! Hah! Hah! Nafas Leon dan Azo terengah-engah. Saat ini bukan lagi penyusupan, melainkan pembantaian yang tak kunjung usai. Leon menyisir rambutnya ke belakang. Ekspresi diwajahnya tetap sama, tidak berubah walau hanya sedikit.“Aku mengakui kekuatanmu tapi kali ini, aku tidak akan lagi memakai teknik,” kata Leon. Tidak ada kuda-kuda, tidak ada persiapan. Insting liar kembali menyala dari matanya. Bisa dilihat dari kepalan tangan Leon. Dia sudah terlatih dengan berbagai jurus.Buak! Duak! Blarrr!Gubrak!“Akh!” Azo berusaha bangkit. Tubuh Azo terkena tendangan telak. Ia terjatuh menembus pintu. Leon tidak bisa membiarkan orang yang sudah memukulnya untuk tetap hidup.Brak! Azo menghindar kala kaki Leon berusaha menginjaknya.
Drap... Drap... Drap... Hah... Hah... Hah... Selain suara kaki yang terdengar saling bersahutan, suara nafas juga membuat Kiana yang terbaring di atas ranjang terkejut. Keringat menetes dari wajah dua pria paruh baya yang menatapnya penuh kekhawatiran. Pintu seakan ingin diterjang untuk menentukan siapa pemenang yang lebih dulu masuk ke dalam kamar rawat Kiana. “KIANA!” teriak Delice dan Ken bersamaan. “Ayah! Daddy!” pekik Kiana. Delice dan Ken tersenyum melihat Kiana yang baik-baik saja. Mereka berdua mendekati Kiana. Naura yang tengah mengupas apel, tahu kalau senyum dari mereka berdua terlihat janggal. “Hahahahaha...” Ken tertawa sembari mengusap ujung kepala Kiana. “Anak Daddy kuat sekali ya sampai hanya sedikit luka,”ujar Ken. “Hahahahaha... Tidak sia-sia Ayah melatihmu menjadi kuat,” kata Delice.