Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato.
Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.
“Kiana!”
“Akh!” pekik Kiana.
Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.
“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.
“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”
“Terpeleset?” tanya Zeki.
“Sepertinya begitu.”
Kiana tidak ingin memperpanjang masalah. Ia akan mengatasi semuanya sendiri tanpa melibatkan orang lain yang bisa saja terancam karenanya.
“Kiana, kau tidak berfikir kalau aku bodoh, bukan?” tanya Zeki sembari mengusap pipi Kiana.
Kiana tersenyum melihat Zeki khawatir padanya. “Memang tidak bisa membohongi Kak Zeki tapi aku tidak bisa mengatakannya,” kata Kiana.
“Kenapa?” tanya Zeki.
Perhatian Zeki teralikan dengan anggota lain yang datang. Kiana langsung bisa bernafas lega tanpa harus memikirkan alasan untuk menjelaskan.
‘Hah! Syukurlah mereka sudah datang,’ batin Kiana.
“Sudah dari tadi?” tanya Zavier.
“Dari kemarin,” jawab Kiana. “Di mana Renza?” imbuhnya.
Leon mendekatkan wajahnya ditelinga Kiana. Ia membisikkan sesuatu yang membuat Kiana mengangguk.
“Kalau begitu, kita mulai saja langsung pada intinya,” kata Kiana.
“OKE!”
***
Pembicaraan sudah selesai. Semua rencana yang Kiana atur, sudah mereka setujui. Kiana keluar dari mansion menenteng sebuah tas yang berisi barang pribadi miliknya.
Sekitar pukul sembilan malam, Kiana duduk ditepi taman. Ia memandang ke arah langit, menikmati indahnya malam pada saat itu.
Srek!
Seseorang menghempaskan tubuhnya disamping Kiana. Ia seorang wanita yang sedang menghisap stik yang memiliki api diujungnya. Kepulan asap itu keluar dari dalam mulutnya.
“Tidak keberatan kalau aku merokok?”
“Lakukan apa saja yang kau inginkan,” kata Kiana.
‘Siapa dia? Apa dia wanita yang Kak Leon katakan? Anggote dua Crew HG?’ batin Kiana.
Kiana bersikap biasa saja seperti anak polos dan tertekan. Ia mulai memancing dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai umpan.
“Hiks... Hiks... Hiks...” Kiana tiba-tiba saja menangis. “Ah... Kak, maaf kalau terganggu,” kata Kiana sembari mengusap airmatanya.
“Lakukan saja apa yang kau inginkan,” ucapnya meniru kalimat yang Kiana katakan.
“Terima kasih!”
Wanita itu menoleh, melihat Kiana yang tertunduk sembari memeluk tas yang ia bawa. “Apa kau kabur dari rumah?” tanya wanita itu. “Aku Sofia!” imbuhnya sembari mengulurkan tangan.
“Ak—aku, kabur dari rumah.”
“Kenapa?”
“Ay—ayahku menyiksaku. Ak—aku...” Kiana mendalami perannya dengan sangat baik. Suaranya yang bergetar, tubuhnya yang gemetar, ekspresi yang ketakuan dan sedih menjadi satu.
“Mau tinggal denganku?” tanya Sofia.
“Sungguh? Kakak mau menampungku? Tapi aku tidak punya uang untuk bayar sewa,” kata Kiana, memelas.
Sofia membuka topi yang sedari tadi mengganggu pandangan matanya untuk melihat Kiana. Saat topi itu dibuka, wajah dan hidung Kiana memerah karena ia menangis sesenggukan.
“Siapa namamu? Wajahmu sangat cantik,” puji Sofia.
“Kia. Namaku Kia, Kak Sofia.”
“Kia, apa kau mau bekerja? Kebetulan aku sedang butuh beberapa orang.”
“Kerja? Kerja apa, Kak?” tanya Kiana. Wajahnya terlihat begitu polos meski dalam hatinya ia merasa sangat jijik menjalani perannya.
“Mengantarkan minuman ke pelanggan. Mau? Kau akan dapat gaji, gratis makan dan tempat tinggal.”
“Mau, Kak! Aku mau!” jawab Kiana secepat kilat. Ia menunjukkan ekspresi senang supaya Sofia tidak menaruh curiga padanya.
Kiana tidak sabar untuk mengetahui, seberapa sulitnya musuh yang harus ia tangani. Melihat Kiana yang terlihat antusias dalam kehidupan bebas, Sofia diam-diam menyembunyikan taring kejahatannya. Dalam hal ini, siapa yang akan terjebak dengan siapa?
Sofia membantu Kiana membawa tasnya. “Ayo, ikuti aku!” ucap Sofia.
“Iya, Kak!”
Sofia membawa Kiana menaiki taxi. Beberapa saat kemudian, taxi itu berhenti di depan gedung besar tanpa nama namun banyak orang berlalu lalang yang keluar masuk di sana.
“Ini tempat kerja, Kak Sofia?”
“Iya. Aku akan mengenalkanmu dengan rekanmu yang lain.”
Tap... Tap... Tap...
Awalnya, ketika kaki Kiana berpijak masuk ke dalam gedung itu, tidak ada yang mencurigakan. Tapi ketika masuk ke dalam lift, tombol yang tersedia membuat kejanggalan di dalam otak Kiana.
‘Aku tidak mungkin salah hitung. Jika dihitung dari luar, gedung ini memiliki empat puluh lima lantai tapi kenapa hanya ada empat puluh dua lantai? Ke mana tiga lantai lagi?’ batin Kiana.
Kiana masih bisa bersikap tenang. Ia tidak gegabah dalam mengambil sudut pandang yang akan membuat kefokusannya terbagi.
Klik!
Sofia menempelkan sebuah kartu ditempat sensor yang tersedia. Nomor yang tertera di lift langsung menyala secara acak sehingga Kiana kesulitan memahami dilantai mana dia akan berhenti.
“Kia, sebelum pintu lift ini terbuka, aku ingin bertanya satu hal,” ucap Sofia.
“Apa itu, Kak?”
“Apa kau yakin untuk bekerja di sini?” tanya Sofia.
“Apa pekerjaannya menakutkan, Kak?” tany Kiana. Tatapan matanya sangat polos tanpa dosa.
“Tidak menakutkan,” jawab Sofia. “Tapi setelah kau masuk, kau tidak akan pernah bisa keluar!”
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Kiana ditempatkan di dalam kamar bersama dua orang wanita. Kiana belum mengetahui bahaya apa yang akan ia hadapi hanya saja, kejanggalan setiap ruangan sudah terekam jelas.“Kia, selamat menikmati pelatihan,” kata Sofia.“Pelatihan apa, Kak Sofia?”“Pekerjaan.”Brak! Pintu ditutup. Kiana menoleh dan tersenyum melihat dua wanita yang seumuran dengannya tengah ketakutan. Kiana mengernyitkan keningnya. Ia melempar tasnya di atas ranjang dan mendekati teman sekamarnya.“Eh? Wajahmu kenapa terluka?” tanya Kiana. Kiana sangat peka dengan apa yang ada di dalam kamar. Di bawah meja rias, ada dua preman bertubuh besar, bertato lebar dan membawa cambuk.“Eh, kenapa ada Kakak pria?” tanya Kiana.“Kami adalah pelatihmu,” jawabnya.‘Sial! Jadi seperti ini car
Dua pria paruh baya, hanya mengenakan kaos dan celana pendek supaya tidak menimbulkan perhatian, duduk di atas lantai disamping gedung yang penerus Naga Hitam datangi. Mereka berdua berpenampilan sangat sederhana.“Kenapa kau mengikutiku, sialan?” tanya Delice.“Anakku ada di dalam, bagaimana mungkin aku bisa diam?” balas Ken.“Leon?” tanya Delice.“Kiana! Kenapa kau membahas Leon?”“Kapan kau akan memberitahu Leon?”“Dalam kondisi seperti ini, bagaimana aku bisa memberitahunya?”“Setidaknya kau jangan menunda terlalu lama. Jarak antara kau dan Leon sudah seperti terpisah oleh dinding.”“Akan aku pikirkan.”“Dia itu putramu.”“Aku tahu. Berhentilah mengoceh!” ucap Ken. Kata seorang putra seperti mimpi baginya. Pada kenyataannya, hubungan Ken dan L
Flo memanggil penjaga yang berdiri di depan ruang VVIP. Flo kembali masuk bersama satu penjaga. Flo, Key dan Yana berdiri dibelakang Leon. Mereka mencari tempat perlindungan. Rasa penyesalan karena pergi dari rumah dan menghancurkan masa depannya sendiri.“Hanya kau saja?” tanya Leon. Mode brutal telah aktif dari sorot mata Leon yang sudah sangat tajam seperti pisau yang tidak berhenti di asah. Zeki melepaskan jas yang tidak ia suka. Ia melonggarkan dasi dan melipatkan lengan kemejanya. Zeki meminta Leon mundur karena jika hanya satu penjaga, tidak perlu membuat Leon turun tangan.“Kau tidak ingin memanggil bosmu?” tanya Zeki.“Hanya kalian, aku seorang diri juga mampu.”Buagh! Buagh! Buagh! Benar, bukan hal mudah melawan satu penjaga. Zeki menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya dari pukulan maut yang penjaga layangkan.&n
“Cepat! Kalian harus memindahkan semuanya dengan kilat!” Perintah itu terus terlontar dari mulut Victor. Orang-orang sibuk hilir mudik ke sana sini membawa beberapa berkas yang dikeluarkan dari dalam brankas. Tinggal sedikit lagi, berkas itu dipindahkan ke tempat yang jauh lebih aman tapi sosok tengil muncul dan menghalangi pintu.“Wah! Sangat sibuk sekali ternyata. Bagaimana kalau aku membantu?” ujarnya. Suaranya nyaring, terdengar sampai ke seluruh telinga setiap orang yang masih terjebak dalam ruangan.“Kau datang sendirian?” tanya Victor.&
Zavier mengikuti para keamanan HG. Ia memperhatikan dengan sangat teliti, dimulai dari penjepit dasi yang mereka kenakan. Penjepit itu sama, yang membedakan hanya warna dan designnya. Sekilas, Zavier teringat sesuatu.‘Benar. Penjepitnya itu sama dengan yang Kak Kiana berikan padaku. Apa kegunaannya?’ batin Zavier. Zavier hanya melangkahkan kakinya sesuai insting yang ia yakini. Tidak ada para penjaga yang siaga. Jalanan terasa sepi. Mungkin saja para penjaga sudah dilumpuhkan oleh rekan-rekannya. Itu yang Zavier pikirkan.Tap... Tap... Tap... Zavier masuk ke dalam lift. Ia menggunakan penjepit dasinya untuk mengisi sensor. Kecerdasannya bisa menganalisa seluruh gedung itu. Fasilitas terendah hingga yang tertinggi.“Ah! Nomornya acak?” pekik Zavier. “Jadi seperti ini cara kerja mereka untuk menyembunyikan ruang rahasia?” gumamnya lagi.&nb
Brak! Krak!Hah! Hah! Hah! Nafas Leon dan Azo terengah-engah. Saat ini bukan lagi penyusupan, melainkan pembantaian yang tak kunjung usai. Leon menyisir rambutnya ke belakang. Ekspresi diwajahnya tetap sama, tidak berubah walau hanya sedikit.“Aku mengakui kekuatanmu tapi kali ini, aku tidak akan lagi memakai teknik,” kata Leon. Tidak ada kuda-kuda, tidak ada persiapan. Insting liar kembali menyala dari matanya. Bisa dilihat dari kepalan tangan Leon. Dia sudah terlatih dengan berbagai jurus.Buak! Duak! Blarrr!Gubrak!“Akh!” Azo berusaha bangkit. Tubuh Azo terkena tendangan telak. Ia terjatuh menembus pintu. Leon tidak bisa membiarkan orang yang sudah memukulnya untuk tetap hidup.Brak! Azo menghindar kala kaki Leon berusaha menginjaknya.
Drap... Drap... Drap... Hah... Hah... Hah... Selain suara kaki yang terdengar saling bersahutan, suara nafas juga membuat Kiana yang terbaring di atas ranjang terkejut. Keringat menetes dari wajah dua pria paruh baya yang menatapnya penuh kekhawatiran. Pintu seakan ingin diterjang untuk menentukan siapa pemenang yang lebih dulu masuk ke dalam kamar rawat Kiana. “KIANA!” teriak Delice dan Ken bersamaan. “Ayah! Daddy!” pekik Kiana. Delice dan Ken tersenyum melihat Kiana yang baik-baik saja. Mereka berdua mendekati Kiana. Naura yang tengah mengupas apel, tahu kalau senyum dari mereka berdua terlihat janggal. “Hahahahaha...” Ken tertawa sembari mengusap ujung kepala Kiana. “Anak Daddy kuat sekali ya sampai hanya sedikit luka,”ujar Ken. “Hahahahaha... Tidak sia-sia Ayah melatihmu menjadi kuat,” kata Delice.
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p