Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.
“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.
“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”
“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”
Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
“Aku tahu kalau kau khawatir tapi percayalah, Naura. Aku akan tetap berada di belakang mereka.”
“Menghancurkan lima perusahaan, aliansi dan beberapa crew, bukankah itu sangat berat untuk dihadapi oleh usia mereka yang masih belasan?” tanya Naura.
Delice mengusap lembut wajah istrinya. “Itu sudah menjadi tugas mereka karena terlahir dari rahimmu.”
***
Kiana memperhatikan mereka, preman yang entah datang dari mana. Kiana tidak bertarung dengan buru-buru. Ia selalu menggunakan logikanya sebelum mengayunkan serangan dalam bentuk apapun. Baginya, jika tubuhnya terkena pukulan adalah kesalahan fatal.
Sret!
“Pegang tasku!” ucap seorang pria yang menggunakan seragam seperti dirinya.
“Siapa kau? Ini urusanku,” ucap Kiana.
“Aku tidak akan tega membiarkan wanita melukai tangannya. Biarkan aku membantumu untuk mengambil cincin Ibumu.”
Kiana diminta untuk memegang tasnya. Pria itu maju dengan sangat gagah. Meski wajahnya terbilang muda, Kiana bisa menilai kalau dia bukanlah berusia seperti anak SMA.
Bugh! Bugh! Bugh!
Kiana mengernyitkan keningnya. Pukulan telak itu melumpuhkan para preman jalanan. Beberapa orang dewasa ditebas habis tanpa sisa.
Tap... Tap... Tap...
Pria itu berbalik dan kembali menghampiri Kiana. Entah kenapa, angin tiba-tiba menerpa. Mengibaskan rambut mereka seolah-olah pertemuan itu adalah takdir. Dengan tangannya yang berdarah, pria itu memberikan cincin yang berhasil ia dapatkan.
“Ini milik Ibumu. Benar, bukan?”
“Benar. Terimakasih sudah membantuku mendapatkannya kembali. Apa aku boleh tahu, siapa namamu?”
“Panggil saja, Rai.”
Kiana ingin tahu banyak tentangnya. Ia tiba-tiba memiliki ketertarikan lebih. “Apa kau mau berbincang denganku? Setidaknya, biarkan aku mengobati lukamu,” ucap Kiana.
“Sekarang aku tidak bisa. Mungkin lain kali kalau kita bertemu lagi.” Rai mengambil tasnya yang masih berada ditangan Kiana.
“Kalau begitu...” Kiana sedikit ragu untuk bicara. “Kenapa kau membantuku? Bukankah kau sedang terburu-buru?” tanya Kiana.
Rai mengusap ujung kepala Kiana dengan sebelah tangannya yang bersih. “Karena aku tidak ingin kau terluka.”
Rai pergi dengan meninggalkan senyuman yang membekas di hati Kiana. Kiana membalas senyuman itu sembari berdoa. ‘Semoga akan ada takdir yang mempertemukan kita lagi, Rai,’ batin Kiana.
Tanpa Kiana sadari, ada seseorang yang tengah bersembunyi dan menggerutu seorang diri. Ia memperhatikan Kiana di balik pohon besar yang menutupinya.
“Daddy!” teriak Kiana. “Kalau Daddy tidak menemuiku, aku akan blokir Daddy!” teriaknya lagi.
Srek... Srek... Srek...
Ken keluar dari tempat persembunyiannya. Bibirnya manyun sampai bisa diikat oleh sebuah tali. Ia merasa cemburu, Kiana bisa berekspresi lain dengan pria asing.
“Ckk... Aku memang tidak bisa bersembunyi darimu,” ucap Ken.
“Lagi-lagi, Daddy menjebakku.”
“Siapa pria itu?” tanya Ken.
“Cih! Jangan mengalihkan pembicaraan,” ucap Kiana.
“Putriku sudah mengerti cinta, ya?”
“Daddy, aku tidak begitu.”
“Daddy cemburu, nih. Tuan Putriku direbut oleh pria yang lebih muda dariku.” Ken bertingkah layaknya ayah kandung yang belum rela kalau putrinya mencintai pria lain.
“Daddy!”
“Apa?” jawab Ken singkat.
“Daddy harus aku hukum. Bisa-bisanya menjebak anak sendiri untuk berkelahi.”
“Kau juga harus Daddy hukum. Bisa-bisanya tersenyum begitu dengan pria asing.” Ken tidak mau kalah sama sekali.
“Gendong aku sampai ke rumah.”
Ken langsung membelakangi Kiana. Ia membungkukkan punggungnya dan menggendong anak gadisnya. “Kau harus buatkan Daddy kue dan teh hangat, oke. Deal?”
“Deal!”
Kiana merasa sangat nyaman setiap kali dalam perlindungan Ken. Ken adalah seorang ayah angkat yang selalu ada untuknya.
“Daddy, sebenarnya tugas apa yang harus aku lakukan? Aku belum mengerti.”
“Begini... Ada satu orang jenius. Dia seumuran denganmu. Mendirikan lima perusahaan. Masing-masing dari perusahaan memiliki pemimpinnya tersendiri. Ada pemimpin lain di balik pemilik yang sebenarnya. Dia menggerakkan perusahaan itu dibidang ilegal.”
“Hubungannya dengan kita apa?” tanya Kiana.
“Dia meminta bantuan untuk melenyapkan lima perusahaan.”
“Bukankah hanya perlu masuk dan menemukan seritifikat ilegal?” tanya Kiana.
Jika prosesnya sesingkat dan semudah itu, orang yang Ken maksud tentu saja bisa menyelesaikannya sendiri tapi lima perusahaan itu sudah mencetak sebuah aliansi dan memiliki beberapa crew yang menyokong menjadi kaki yang kuat.
Anak jenius yang Ken katakan, berhasil mengumpulkan anak seumurannya untuk menjadi pemimpin. Sayangnya, ada hal lain yang ia sembunyikan. Sampai-sampai, siapa dirinya juga hanya segelintir orang yang tahu.
“Sebelum menjatuhkan kepalanya, bukankah kita harus melumpuhkan kakinya?” tanya Ken.
“Jadi?” tanya Kiana.
Mereka berdua membicarakan hal serius sembari berkeliling. Kiana masih tetap berada di punggung Ken. Berputar-putar cukup lama, Ken akhirnya menurunkan Kiana setelah sampai di mobil.
“Kita bicarakan di dalam mobil. Bahkan angin sekalipun, bisa memiliki telinga.”
Kiana menghempaskan tubuhnya. Ia langsung bisa merasakan dingin merasuk melalui pori-pori kulitnya. Kiana menarik nafasnya dalam-dalam karena pembahasan selanjutnya akan memakan banyak tenaganya.
“Jadi, bagaimana?” tanya Kiana.
“Dari lima perusahaan, ada satu aliansi yang membentuk suatu crew. Crew itu berada di sekolah yang kau tempati.”
“Apa nama crewnya?” tanya Kiana.
“Crew Dogmho dan Cranch. Jika tidak bisa menghancurkan crew itu, ajak mereka untuk bekerjasama.”
“Ah... Melelahkan,” keluh Kiana.
Ken melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Rai. Mengusap ujung kepala Kiana dan menatapnya dengan lembut. “Apa kau menyesal karena terlahir sebagai anak dari seorang mafia?” tanya Ken.
“Daddy, aku terlahir istimewa. Aku tidak menyesal sama sekali. Posisi yang aku tempati saat ini, banyak anak lain yang menginginkannya.”
***
BRAK!
Rael mendorong pintu menggunakan tongkat yang ia bawa. Di dalam gedung itu, ada beberapa orang yang menatap tajam ke arahnya. Rambut Rael tetap menutupi setengah dari wajahnya. Tidak ada siapapun yang tahu, seperti apa wajah Rael.
“Aku datang bukan untuk mengganggu,” ucap Rael.
Dari tatapan semua orang, menunjukkan sebuah tanda tanya di mata mereka.
“Teo!” panggil Rael.
“Iya, Tuan Muda.”
“Kau masih tahu posisimu ternyata,” ucap Rael.
Tidak ada orang yang berkutik di sana. Kedatangan Rael seolah-olah memberikan aura lain dalam ruangan yang sudah panas. Rael begitu misterius. Dia seperti orang yang berpengaruh tinggi di tempat yang ia pijaki.
“Teo, kau bertemu dengannya, bukan?”
“Murid baru?” tanya Teo.
“Iya. Apa kau sudah membuat masalah dengannya?” tanya Rael.
“Masih aku perhitungkan.”
“Kau atau kalian semua, boleh melawannya tapi jangan sampai kalian menggores kulitnya.”
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Kiana ditempatkan di dalam kamar bersama dua orang wanita. Kiana belum mengetahui bahaya apa yang akan ia hadapi hanya saja, kejanggalan setiap ruangan sudah terekam jelas.“Kia, selamat menikmati pelatihan,” kata Sofia.“Pelatihan apa, Kak Sofia?”“Pekerjaan.”Brak! Pintu ditutup. Kiana menoleh dan tersenyum melihat dua wanita yang seumuran dengannya tengah ketakutan. Kiana mengernyitkan keningnya. Ia melempar tasnya di atas ranjang dan mendekati teman sekamarnya.“Eh? Wajahmu kenapa terluka?” tanya Kiana. Kiana sangat peka dengan apa yang ada di dalam kamar. Di bawah meja rias, ada dua preman bertubuh besar, bertato lebar dan membawa cambuk.“Eh, kenapa ada Kakak pria?” tanya Kiana.“Kami adalah pelatihmu,” jawabnya.‘Sial! Jadi seperti ini car
Dua pria paruh baya, hanya mengenakan kaos dan celana pendek supaya tidak menimbulkan perhatian, duduk di atas lantai disamping gedung yang penerus Naga Hitam datangi. Mereka berdua berpenampilan sangat sederhana.“Kenapa kau mengikutiku, sialan?” tanya Delice.“Anakku ada di dalam, bagaimana mungkin aku bisa diam?” balas Ken.“Leon?” tanya Delice.“Kiana! Kenapa kau membahas Leon?”“Kapan kau akan memberitahu Leon?”“Dalam kondisi seperti ini, bagaimana aku bisa memberitahunya?”“Setidaknya kau jangan menunda terlalu lama. Jarak antara kau dan Leon sudah seperti terpisah oleh dinding.”“Akan aku pikirkan.”“Dia itu putramu.”“Aku tahu. Berhentilah mengoceh!” ucap Ken. Kata seorang putra seperti mimpi baginya. Pada kenyataannya, hubungan Ken dan L