Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.
“Siapa kau?” tanya Kiana.
“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.
Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.
Tap... Tap... Tap...
Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahnya. Tidak ada siapapun di dalam kelas itu kecuali Kiana seorang.
“Calon anakku, ayo ikut!”
“Pak Aaron, saya punya nama. Lagi pula, masa Mommy mau dengan modelan seperti Pak Aaron? Daddy saja ditolak,” ucap Kiana lirih.
“Dia sudah tua. Tentu saja tidak menarik. Ayo ikut! Ada yang mau aku bicarakan.”
Kiana dan Pak Aaron memang sudah saling mengenal sebelum Kiana masuk ke dalam sekolah yang dipimpin oleh Pak Aaron. Kiana mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan yang kedap suara.
“Apa ada hal penting?” tanya Kiana.
“Ayah atau Daddymu pasti sudah memberitahumu, bukan? Sekolah ini tampak luar biasa dari luar tapi sejujurnya sangat hancur. Kau akan bertemu dengan mereka yang memimpin kehancuran satu per satu, Kiana,” jelas Pak Aaron.
“Aku belum menemukan keanehan kecuali perundungan.”
“Itu yang terlihat oleh mata. Kalau kau keluar dari ruangan ini, kau akan mengetahui sedikit demi sedikit hal itu.”
“Pak Aaron hanya akan mengatakan hal ini?” tanya Kiana sembari mengerutkan keningnya.
“Selain orang dari keluargamu, jangan pernah berpihak pada siapapun. Orang yang terlihat memihak, terkadang yang paling berbahaya.”
“Termasuk Pak Aaron sendiri?” tanya Kiana.
“Benar. Percayalah pada kemampuanmu.”
Hanya itu yang Pak Aaron katakan. Ambigu dan penuh teka-teki. Kiana berpikir sembari berjalan mengelilingi SMA HG untuk lebih mengenal situasi di sana.
‘Apa benar-benar hanya kekuasaan?’ batin Kiana.
Bruk!
“Astaga! Kau jalan lihat ke mana sampai menabrak orang sembarangan?”
Kiana masih memegang bahunya yang terasa nyeri. Entah siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini. Memaki dengan suara yang sangat keras hingga menimbulkan kerumunan dari murid lain. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian Kiana. Melainkan pria yang berdiri tegap dalam kerumunan murid lain. Aura yang terpancar darinya berbeda.
“Maaf!” ucap Kiana.
“Maaf? Kau pikir, dengan maaf bisa membayar baju Kak Teo yang kotor?” bentaknya lagi.
‘Siapa wanita ini? Juru bicara orang itu?’ batin Kiana.
“Jadi, apa aku harus membayar dengan uang?” tanya Kiana. Kiana menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan. Perannya di sini menjadi murid paling lugu.
Wanita itu seperti bermain kode dengan pria yang ia panggil dengan sebutan nama Teo. Teo menyeringai. “Undang dia untuk bermain di kelas, sekarang!” ucap Teo dengan begitu angkuh.
“Aku tidak bisa,” tolak Kiana.
“Aku tidak menerima penolakan.”
“Bagaimana kalau diwakilkan? Aku hanya akan menjadi pendukung,” ucap Kiana.
“Aku akan melawanmu sendiri,” kata Teo.
Pluk!
Kiana menerobos kerumunan dan menempelkan beberapa lembar uang didahi Teo. Hal itu membuat Teo gelap mata. Ia merasa sedang dipermalukan.
“Aku bukannya tidak bisa bermain tapi aku memang tidak mau!” ucap Kiana sembari tersenyum. “Ah iya, kalau uangnya tidak cukup, akan aku bayar kekuarangannya besok,” imbuhnya.
Kiana pergi begitu saja. Teo meremas lembaran uang yang Kiana berikan untuknya. Teo menggertakkan giginya. “Buat dia melawanku bahkan jika aku harus mengekspos kasino padanya!”
“Siap, Kak Teo.”
‘Rasa malu ini, akan aku kembalikan padamu berlipat-lipat,’ batin Teo.
***
Bertemu orang yang menyebalkan membuat mood Kiana menjadi sangat buruk. Kiana ingin melampiaskannya tapi peran yang ia mainkan tidak mendukungnya.
“Kau ingin melampiaskan amarahmu?”
Kiana menoleh. Orang yang bicara padanya adalah pria buta yang sekelas dengannya. “Bukan urusanmu!” jawab Kiana.
“Kalau kau mau, aku punya sebuah cara. Bagaimana? Apa kau tertarik?” ucapnya.
“Sayangnya, tidak!” tolak Kiana.
“Tapi aku tertarik.” Kiana menjadi semakin kesal. Ucapannya selalu saja dibantah.
“Urusanmu, bukan urusanku!”
Sret!
Wush!
“Akh!” teriak Kiana. Reflek saja, Kiana merangkulkan kedua tangannya di leher pria itu.
Pria itu menarik Kiana dan membawanya melompat dari lantai 4. Kiana yang tidak tahu rencana itu, tentu saja reflek melindungi diri.
Drap...
Kedua kakinya sudah menapak di atas tanah tapi dia belum menurunkan Kiana. Kiana juga belum sadar kalau ia masih memeluk erat pria itu.
“Apa kau takut? Maksudku, apa aku membuatmu takut?”
Kiana langsung memerah saat menyadarinya. Ia langsung mendorong pria itu. Pertama kali yang Kiana tunjukkan adalah bentuk sebuah kekaguman dari matanya yang berbinar. Ada pohon yang cukup rindang. Memiliki kursi dan juga satu ayunan.
“Ini di mana? Belakang sekolah?” tanya Kiana.
“Apa kau suka? Aku setiap hari ke sini.”
Kiana mengulurkan tangannya. “Kiana. Siapa namamu?” tanya Kiana.
“Panggil saja aku Rael.”
“Senang berkenalan denganmu,” ucap Kiana.
“Kiana, apa kau sedang tersenyum sekarang?”
Kiana diam sejenak. “Apa kau sedang bercanda?” tanya Kiana.
“Andai saja aku bisa melihat senyum itu.”
“Kau sungguh tidak bisa melihat?” tanya Kiana.
“Seperti yang kau nilai sendiri.”
“Hahahaha...” Kiana terkekeh. “Kau bisa membawaku lompat dari sana tapi kau tidak bisa melihat?” imbuhnya.
Rael duduk di atas kursi. Sedari tadi, tongkat yang ia bawa sudah ia lipat dan ia letakkan dipinggangnya yang sudah memiliki pengait. Rael tidak heran kalau Kiana tidak percaya dia terlahir untuk tetap melihat kegelapan.
“Apa kau pernah mendengar, kalau setiap satu kekurangan akan memiliki berlipat ganda kelebihan?”
“Jadi?” Kiana juga memilih duduk di ayunan.
“Tidak ada yang bisa aku jelaskan lagi. Oh iya, kau harus berhati-hati dengan Teo.”
“Kau sedang mengkhawatirkanku?”
“Lebih dari itu.”
***
“Kiana, mau ke mana?” tanya Zeki. Semuanya sudah masuk ke dalam mobil tapi Kiana masih sibuk dengan ponselnya.
“Aku tidak bisa pulang bareng kalian. Ayah angkat memintaku menemuinya,” jawab Kiana.
Brummm... Brummm... Brummm...
Dua mobil yang menjemput sudah berlalu. Kiana mengikuti denah yang Ken berikan untuknya. Sampai langkah kakinya terhenti di jembatan yang sepi.
‘Untuk apa Ayah memintaku bertemu di sini?’ batin Kiana.
Tempat itu sangat tidak nyaman. Ada segerombolan preman sedang berkumpul. Ia menatap Kiana seperti melihat sasaran empuk karena Kiana masih memakai seragam sekolah.
Tring...
Kiana menggertakkan giginya. Sebuah pesan singkat yang berisi beberapa kata membuatnya geram.
‘Kiana, tunaikan tugasmu. Mereka mencuri cincin Ibumu.’
“Hei, kau gadis kecil!” teriaknya.
“Cih... Menyebalkan.”
Kiana mengeluarkan tongkat hitam yang terselip di balik tasnya. Tongkat itu berfungsi untuk menekan emosi Kiana. Jika para preman terbunuh, setidaknya jasadnya masih bisa dikenali.
“Kembalikan benda yang sudah kau curi!” ucap Kiana sembari mengulurkan tangannya.
“Maksudmu, ini? Kalau aku tidak mau bagaimana?” preman itu menunjukkan cincin yang memang milik Naura.
“Menghabisi kalian!”
Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Kiana ditempatkan di dalam kamar bersama dua orang wanita. Kiana belum mengetahui bahaya apa yang akan ia hadapi hanya saja, kejanggalan setiap ruangan sudah terekam jelas.“Kia, selamat menikmati pelatihan,” kata Sofia.“Pelatihan apa, Kak Sofia?”“Pekerjaan.”Brak! Pintu ditutup. Kiana menoleh dan tersenyum melihat dua wanita yang seumuran dengannya tengah ketakutan. Kiana mengernyitkan keningnya. Ia melempar tasnya di atas ranjang dan mendekati teman sekamarnya.“Eh? Wajahmu kenapa terluka?” tanya Kiana. Kiana sangat peka dengan apa yang ada di dalam kamar. Di bawah meja rias, ada dua preman bertubuh besar, bertato lebar dan membawa cambuk.“Eh, kenapa ada Kakak pria?” tanya Kiana.“Kami adalah pelatihmu,” jawabnya.‘Sial! Jadi seperti ini car