Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.
“Siapa kau?” tanya Kiana.
“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.
Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.
Tap... Tap... Tap...
Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahnya. Tidak ada siapapun di dalam kelas itu kecuali Kiana seorang.
“Calon anakku, ayo ikut!”
“Pak Aaron, saya punya nama. Lagi pula, masa Mommy mau dengan modelan seperti Pak Aaron? Daddy saja ditolak,” ucap Kiana lirih.
“Dia sudah tua. Tentu saja tidak menarik. Ayo ikut! Ada yang mau aku bicarakan.”
Kiana dan Pak Aaron memang sudah saling mengenal sebelum Kiana masuk ke dalam sekolah yang dipimpin oleh Pak Aaron. Kiana mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan yang kedap suara.
“Apa ada hal penting?” tanya Kiana.
“Ayah atau Daddymu pasti sudah memberitahumu, bukan? Sekolah ini tampak luar biasa dari luar tapi sejujurnya sangat hancur. Kau akan bertemu dengan mereka yang memimpin kehancuran satu per satu, Kiana,” jelas Pak Aaron.
“Aku belum menemukan keanehan kecuali perundungan.”
“Itu yang terlihat oleh mata. Kalau kau keluar dari ruangan ini, kau akan mengetahui sedikit demi sedikit hal itu.”
“Pak Aaron hanya akan mengatakan hal ini?” tanya Kiana sembari mengerutkan keningnya.
“Selain orang dari keluargamu, jangan pernah berpihak pada siapapun. Orang yang terlihat memihak, terkadang yang paling berbahaya.”
“Termasuk Pak Aaron sendiri?” tanya Kiana.
“Benar. Percayalah pada kemampuanmu.”
Hanya itu yang Pak Aaron katakan. Ambigu dan penuh teka-teki. Kiana berpikir sembari berjalan mengelilingi SMA HG untuk lebih mengenal situasi di sana.
‘Apa benar-benar hanya kekuasaan?’ batin Kiana.
Bruk!
“Astaga! Kau jalan lihat ke mana sampai menabrak orang sembarangan?”
Kiana masih memegang bahunya yang terasa nyeri. Entah siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini. Memaki dengan suara yang sangat keras hingga menimbulkan kerumunan dari murid lain. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian Kiana. Melainkan pria yang berdiri tegap dalam kerumunan murid lain. Aura yang terpancar darinya berbeda.
“Maaf!” ucap Kiana.
“Maaf? Kau pikir, dengan maaf bisa membayar baju Kak Teo yang kotor?” bentaknya lagi.
‘Siapa wanita ini? Juru bicara orang itu?’ batin Kiana.
“Jadi, apa aku harus membayar dengan uang?” tanya Kiana. Kiana menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan. Perannya di sini menjadi murid paling lugu.
Wanita itu seperti bermain kode dengan pria yang ia panggil dengan sebutan nama Teo. Teo menyeringai. “Undang dia untuk bermain di kelas, sekarang!” ucap Teo dengan begitu angkuh.
“Aku tidak bisa,” tolak Kiana.
“Aku tidak menerima penolakan.”
“Bagaimana kalau diwakilkan? Aku hanya akan menjadi pendukung,” ucap Kiana.
“Aku akan melawanmu sendiri,” kata Teo.
Pluk!
Kiana menerobos kerumunan dan menempelkan beberapa lembar uang didahi Teo. Hal itu membuat Teo gelap mata. Ia merasa sedang dipermalukan.
“Aku bukannya tidak bisa bermain tapi aku memang tidak mau!” ucap Kiana sembari tersenyum. “Ah iya, kalau uangnya tidak cukup, akan aku bayar kekuarangannya besok,” imbuhnya.
Kiana pergi begitu saja. Teo meremas lembaran uang yang Kiana berikan untuknya. Teo menggertakkan giginya. “Buat dia melawanku bahkan jika aku harus mengekspos kasino padanya!”
“Siap, Kak Teo.”
‘Rasa malu ini, akan aku kembalikan padamu berlipat-lipat,’ batin Teo.
***
Bertemu orang yang menyebalkan membuat mood Kiana menjadi sangat buruk. Kiana ingin melampiaskannya tapi peran yang ia mainkan tidak mendukungnya.
“Kau ingin melampiaskan amarahmu?”
Kiana menoleh. Orang yang bicara padanya adalah pria buta yang sekelas dengannya. “Bukan urusanmu!” jawab Kiana.
“Kalau kau mau, aku punya sebuah cara. Bagaimana? Apa kau tertarik?” ucapnya.
“Sayangnya, tidak!” tolak Kiana.
“Tapi aku tertarik.” Kiana menjadi semakin kesal. Ucapannya selalu saja dibantah.
“Urusanmu, bukan urusanku!”
Sret!
Wush!
“Akh!” teriak Kiana. Reflek saja, Kiana merangkulkan kedua tangannya di leher pria itu.
Pria itu menarik Kiana dan membawanya melompat dari lantai 4. Kiana yang tidak tahu rencana itu, tentu saja reflek melindungi diri.
Drap...
Kedua kakinya sudah menapak di atas tanah tapi dia belum menurunkan Kiana. Kiana juga belum sadar kalau ia masih memeluk erat pria itu.
“Apa kau takut? Maksudku, apa aku membuatmu takut?”
Kiana langsung memerah saat menyadarinya. Ia langsung mendorong pria itu. Pertama kali yang Kiana tunjukkan adalah bentuk sebuah kekaguman dari matanya yang berbinar. Ada pohon yang cukup rindang. Memiliki kursi dan juga satu ayunan.
“Ini di mana? Belakang sekolah?” tanya Kiana.
“Apa kau suka? Aku setiap hari ke sini.”
Kiana mengulurkan tangannya. “Kiana. Siapa namamu?” tanya Kiana.
“Panggil saja aku Rael.”
“Senang berkenalan denganmu,” ucap Kiana.
“Kiana, apa kau sedang tersenyum sekarang?”
Kiana diam sejenak. “Apa kau sedang bercanda?” tanya Kiana.
“Andai saja aku bisa melihat senyum itu.”
“Kau sungguh tidak bisa melihat?” tanya Kiana.
“Seperti yang kau nilai sendiri.”
“Hahahaha...” Kiana terkekeh. “Kau bisa membawaku lompat dari sana tapi kau tidak bisa melihat?” imbuhnya.
Rael duduk di atas kursi. Sedari tadi, tongkat yang ia bawa sudah ia lipat dan ia letakkan dipinggangnya yang sudah memiliki pengait. Rael tidak heran kalau Kiana tidak percaya dia terlahir untuk tetap melihat kegelapan.
“Apa kau pernah mendengar, kalau setiap satu kekurangan akan memiliki berlipat ganda kelebihan?”
“Jadi?” Kiana juga memilih duduk di ayunan.
“Tidak ada yang bisa aku jelaskan lagi. Oh iya, kau harus berhati-hati dengan Teo.”
“Kau sedang mengkhawatirkanku?”
“Lebih dari itu.”
***
“Kiana, mau ke mana?” tanya Zeki. Semuanya sudah masuk ke dalam mobil tapi Kiana masih sibuk dengan ponselnya.
“Aku tidak bisa pulang bareng kalian. Ayah angkat memintaku menemuinya,” jawab Kiana.
Brummm... Brummm... Brummm...
Dua mobil yang menjemput sudah berlalu. Kiana mengikuti denah yang Ken berikan untuknya. Sampai langkah kakinya terhenti di jembatan yang sepi.
‘Untuk apa Ayah memintaku bertemu di sini?’ batin Kiana.
Tempat itu sangat tidak nyaman. Ada segerombolan preman sedang berkumpul. Ia menatap Kiana seperti melihat sasaran empuk karena Kiana masih memakai seragam sekolah.
Tring...
Kiana menggertakkan giginya. Sebuah pesan singkat yang berisi beberapa kata membuatnya geram.
‘Kiana, tunaikan tugasmu. Mereka mencuri cincin Ibumu.’
“Hei, kau gadis kecil!” teriaknya.
“Cih... Menyebalkan.”
Kiana mengeluarkan tongkat hitam yang terselip di balik tasnya. Tongkat itu berfungsi untuk menekan emosi Kiana. Jika para preman terbunuh, setidaknya jasadnya masih bisa dikenali.
“Kembalikan benda yang sudah kau curi!” ucap Kiana sembari mengulurkan tangannya.
“Maksudmu, ini? Kalau aku tidak mau bagaimana?” preman itu menunjukkan cincin yang memang milik Naura.
“Menghabisi kalian!”
Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Kiana ditempatkan di dalam kamar bersama dua orang wanita. Kiana belum mengetahui bahaya apa yang akan ia hadapi hanya saja, kejanggalan setiap ruangan sudah terekam jelas.“Kia, selamat menikmati pelatihan,” kata Sofia.“Pelatihan apa, Kak Sofia?”“Pekerjaan.”Brak! Pintu ditutup. Kiana menoleh dan tersenyum melihat dua wanita yang seumuran dengannya tengah ketakutan. Kiana mengernyitkan keningnya. Ia melempar tasnya di atas ranjang dan mendekati teman sekamarnya.“Eh? Wajahmu kenapa terluka?” tanya Kiana. Kiana sangat peka dengan apa yang ada di dalam kamar. Di bawah meja rias, ada dua preman bertubuh besar, bertato lebar dan membawa cambuk.“Eh, kenapa ada Kakak pria?” tanya Kiana.“Kami adalah pelatihmu,” jawabnya.‘Sial! Jadi seperti ini car
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p