“Sial! Males banget hari ini olahraga. Mana panas banget,” gumam Eren sembari merentangkan tangannya ke atas.
Eren mengambil seragam olahraga miliknya dari loker. Ia menuju toilet sekolah. Sekolah yang ia masuki, masuk dalam kategori elit kelas atas sehingga toiletnya juga bersih seperti hotel berbintang. Tidak hanya Eren, banyak juga murid lainnya yang menggunakan toilet dilantai 3.
BRAK!
Serombongan kakak kelas yang juga memiliki jam olahraga yang sama, menendang pintu utama toilet. Ada teman sekelas Eren yang ditarik paksa. Ia berderai airmata, tubuhnya gemetaran sembari memegang kacamata ditangannya.
“Apa aku menyuruhmu untuk ganti?” bentaknya.
“Ma—maaf Kak!” jawab gadis kecil yang malang itu.
“Lepas atau aku akan menelanjangimu!” ancamnya.
Eren sudah seperti iblis yang ikatan liarnya terputus. Segel yang membelenggunya sewaktu di sekolah lama, terhempas. Ia bebas melakukan apapun. Eren tidak tahan mendengar bentakan, makian, apalagi melihat sesama murid meratukan dirinya sendiri hanya karena orangtuanya lebih berkuasa.
Prang!
Eren memukul kaca sampai kaca itu berserakan di atas lantai. Ia melirik tajam. “Berisik! Bisakah kalian diam? Kau pikir, toilet lantai 3 ini milikmu?” seru Eren sembari membersihkan tangannya yang berdarah.
“Kau siapa? Jangan-jangan kau anak baru ya? Heuh...” dengkusnya. “Kau tidak tahu siapa aku?” imbuhnya. Tingkahnya masih saja sombong dan sangat memuakkan.
Tap... Tap... Tap...
Eren melangkah maju mendekati kakak kelas yang entah siapa namanya, apalagi asal usulnya. Ia tidak memiliki rasa takut meski kakak kelas itu memiliki tubuh lebih besar darinya.
Sret!
Eren menarik teman sekelasnya yang malang. “Kemarilah! Kau bisa berlindung dibelakangku,” pinta Eren.
“Tapi, kau—“
“Jangan pernah takut pada apapun.” Eren menegaskan sekali lagi. Gadis itu akhirnya berdiri sembari menunduk dibelakang Eren.
Grep!
Kakak kelas menarik baju bagian depan Eren. “Kau pikir, dengan tubuhmu yang sebesar kedelai, bisa mengalahkanku?” ucapnya dengan sangat angkuh.
“Hei, kalian!” Eren menunjuk ke arah para murid yang terjebak untuk menjadi saksi. “Kalian lihat sendiri, bukan, kalau bukan aku yang memulainya?” tanya Eren. Merekapun akhirnya mengangguk. Eren menyeringai. “Kalau aku mulai bergerak, berarti bukan aku yang bersalah. Kalian harus menjadi saksi,” imbuhnya.
“Bisakah kau berhenti mengoceh?” gertaknya sembari mencengkram rahang Eren.
“Benar-benar tidak sabar untuk mengujiku, ya?”
syut!
Brak!
“Akh!”
Eren memutar tangan orang itu, memutar tubuhnya sendiri dan membanting tubuhnya sampai terdengar suara tulang yang patah. Mungkin saja, tangan dari kakak kelas itu tidak akan bisa digunakan untuk memukul beberapa minggu ke depan.
“Beraninya murid buruk sepertimu memegang wajahku!”
Gadis yang malang itu menarik Eren. “Kakak, sudah hentikan. Masalah ini akan panjang kalau lebih dari ini,” ucapnya dengan suara yang sangat lirih.
“Apa kau takut atau kau sedang mengkhawatirkanku, Nona manis?” goda Eren. “Sudahlah. Aku akan berhenti karena permintaanmu,” pungkasnya.
Eren membawa gadis itu keluar melangkahi tubuh kakak kelas yang terbaring kesakitan di atas lantai. Gadis itu sedikit takut untuk melewati karena mata kakak kelas menyorot tajam ke arahnya. Tapi sekawanannya kabur begitu saja setelah Eren berhasil memberikan pelajaran.
Kretek!
“Akh!” teriak kakak kelas.
Eren diam dan terus melangkah keluar tanpa merasa bersalah. Ia menginjak lengan kakak tingkat sekuat tenaganya.
“Aku tidak akan membiarkanmu lain kali! Aku akan membalasmu. Ingat itu!” teriak kakak kelas.
Eren menghentikan langkahnya. Ia menoleh, memberikan senyuman kemenangan dari wajah mungilnya. “Akan aku ingat dan akan aku nantikan balasan darimu!”
***
“Pagi, Pak Vidor!” sapa para murid.
Vidor Haqsi adalah guru olahraga. Berkatnya, tim basket selalu menjadi juara. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi dan lagi, senyumnya menawan sampai para murid selalu diam-diam mengintip hanya untuk melihat senyumnya.
“Hei, kau!” teriak Pak Vidor.
“Kyaaaaaa! Apa kalian dengar suaranya?” Para siswi histeris mendengar suara Pak Vidor. Suaranya terdengar berat. Benar-benar suara pria.
Pak Vidor mengelus kepalanya oleh tingkah satu siswi yang memusingkan. Ia berjalan, berteriak tapi sama sekali tidak dihiraukan. Langkahnya semakin dekat dengan lokasi, di mana seorang siswi sedang memanjat tiang ring basket pria yang terbilang tinggi.
“Turun!” teriak Pak Vidor.
“Apa? Aku tidak dengar!” sahutnya.
“Eren Muchen, turun!” teriak Pak Vidor untuk yang kedua kalinya.
Eren awalnya melihat pengait ring ada yang terlepas. Pada dasarnya, ia bukanlah wanita yang bisa diam, Eren akhirnya berinisiatif untuk memanjat dan membenahinya dan itu hanyalah alasan karena dia memang ingin memanjat saja di atas sana.
“Aduh” pekik Eren. Sedari tadi ia tidak menyadari kalau yang menegurnya adalah seorang guru.
“Apa kau baik-baik saja? Cepat turun!”
“Pak, maafkan saya. Saya tidak bisa turun.”
“Kenapa?”
‘Kenapa ya? Ya karena aku tidak ingin,’ batin Eren.
“Eren Muchen!” teriak Pak Vidor. Ia sudah naik darah menghadapi Eren. Eren yang ditunggunya turun, malah duduk santai di ring. “Kalau kau tidak turun, saya akan menghubungi Ayahmu!” ancamnya.
“Pak, coba Bapak naik. Dari sini bisa lihat apa yang gak bisa dilihat dari situ,” ucap Eren.
“Astaga, Eren. Kau ini benar-benar mau buat saya cepat stroke?” keluh Pak Vidor.
Tap... Tap... Tap...
Pak Aaron sedang mencari Kiana tapi ia mendengar keributan sampai akhirnya memutuskan untuk melihatnya. Pak Aaron menaikkan sebelah alisnya dan perlahan melihat ke atas.
“Apa yang dia lakukan? Kau memintanya memanjat? Dia itu siswi, Pak Vidor!” ucap Pak Aroon.
“Bagaimana bisa, Anda menjadi Kepsek? Hal seperti ini saja tidak bisa Anda mengerti?”
“Mungkin karena aku tampan.” Kepercayaan dirinya terlampau tinggi.
“Baiklah, Pak Aaron. Bisakah Anda membantu saya menurunkan siswi yang kerasukan jiwa monyet?” Pak Vidor benar-benar menekan emosinya.
“Bagaimana caranya? Apa saya juga harus memanjat?” tanya Pak Aaron.
“Hah!” Pak Vidor menghela nafasnya. “Saya rasa, lebih bagus kalau Anda pergi, Pak Aaron. Biar saya atasi sendiri!”
‘Sialan! Aku benar-benar ingin marah sekarang,’ batin Pak Vidor.
Pak Aaron menepuk pundak Pak Vidor. “Biar saya yang urus. Dalam 1 kalimat, dia akan turun,” ucapnya.
“Satu kesempatan.”
Pak Aaron bersiap. Ia menempati posisi Pak Vidor. “Eren, kalau kau tidak turun, saya akan panggil Zavier!” teriak Pak Aaron.
“Ap—apa? Ja—jangan, Pak!” pekik Eren.
Pak Aaron langsung dengan bangganya memamerkan senyumnya. Eren akhirnya menurut dan turun. Entah apa yang membuatnya turun setelah mendengar nama Zavier.
“Ak! Sakit, Pak. Lepaskan. Aduh... Itu tangan apa tang?” teriak Eren. Pak Aaron menjewer telinga Eren sampai memerah.
“Pak, bukankah seharusnya saya yang memberikan hukuman?” tanya Pak Vidor.
“Bukankah sama saja?” balas Pak Aaron. “Saya yang menang jadi saya yang menghukum.” Pak Aaron benar-benar tidak ingin kalah.
“Tidak bisa. Saya sudah mengeringkan tenggorokan karena berteriak dan juga berdiri sampai pegal. Saya ingin menghukumnya dengan hukuman berat.”
“Tidak bisa!”
Eren melirik ke arah Pak Aaron atau Pak Vidor. Dua-duanya tampan rupawan. Yang satu cool dan yang satu terlihat lembut. Sejenak, Eren sedikit melambung tinggi membayangkan dirinya diperebutkan oleh pangeran.
“Pak! Pak!” panggil Eren.
“APA?” Jawab keduanya.
“Bagaimana kalau Bapak suit?”
Kiana tidak berhenti menatap pria itu. Asing, aneh, namun dibalik kekurangannya tersimpan sebuah keistimewaan. Kiana memperhatikan tanpa terlewatkan sedikitpun tapi keistimewaan yang terasa belum dapat Kiana terka.“Siapa kau?” tanya Kiana.“Hanya murid SMA,” jawabnya singkat.Pria itu pergi meninggalkan Kiana yang masih berdiam diri tanpa bicara. “Aih!” keluh Kiana. “Katanya, setelah aku masuk sini, tugas akan terlihat tapi mana? Membosankan,” gumam Kiana.Tap... Tap... Tap...Kiana menolehkan kepalanya. Pria dewasa sedang berjalan ke arahn
Naura berdiam diri di dalam kamar mewah yang selalu menjadi tempat istirahatnya setiap kali sekujur tubuhnya lelah. Ia ditemani oleh suaminya, Delice. Suasana hati Naura sedikit berkecamuk dengan permasalahan yang harus dihadapi akhir-akhir ini.“Delice, apa kau sungguh akan melibatkan anak-anak dalam hal ini?” tanya Naura.“Mereka harus mulai terbiasa dengan masalah sebesar apapun.”“Bukankah mereka terlalu kecil untuk itu?”Bagaimanapun, hati seorang ibu tidak akan merasa tenang. Akan ada badai yang datang dan anak-anaknya harus menghalau. Naura takut kalau anak-anaknya terkekang dan tidak menikmati masa kecilnya dengan indah.
Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa. Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.Set!“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saj
Kiana meninggalkan Renza seorang diri. Ia tidak bisa pergi membawa motor karena kunci berada ditangan Renza. Kiana duduk disalah satu taman setelah turun dari taxi.Sret! Sepasang sepatu berhenti melangkah di depan Kiana. Anehnya, semua lampu diseluruh taman tiba-tiba saja mati. Malam itu langit sangat cerah. Kiana mendongak. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang berdiri didepannya.“Siapa kau?” tanya Kiana. “Pergilah kalau kau tidak memiliki urusan denganku,” imbuhnya sembari mengabaikan kehadiran pria itu.“Mari bertarung denganku. Kalau aku kalah, aku akan memberikan apa yang kau butuhkan,” katanya. Kiana mengernyit. Ia sedang mengingat suara yang tidak asing ditelinganya. Suaranya mirip seperti suara Rael tapi rambut mereka berbeda. Ditambah lagi, Rael hanyalah murid yang buta.“
Di meja makan, sudah berkumpul semua penghuni mansion tapi tidak ada Eren, Zavier dan Leon. Kiana terlihat lelah. Ia mengedipkan matanya, memberikan kode pada Renza.“Kiana, apa semalam kau tidak tidur?” tanya Delice.“Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Kiana tersedak mendengar pertanyaan Delice.“Ini, minum dulu.” Ken memberikan segelas air putih.“Terima kasih, Daddy!” ucap Kiana. Naura melirik Delice. Aura wajahnya yang sedang cemburu pada Ken terlihat jelas. Kiana lebih dekat dengan Ken dibandingkan Ayahnya, Delice.“Kiana, Ayahmu sedang bertanya padamu,” kata Naura.“Ah, iya... Ayah, semalam aku belajar. Aku tertinggal pelajaran lumayan jauh,” ujar Kiana, berbohong.“Cih! Membual!” gumam Renza. Delice tidak menjawab ucapan Kia
Kiana turun di halte terdekat. Ia melanjutkannya dengan jalan kaki. Berjalan sendirian, Kiana merasakan hatinya kosong. Ia merindukan seseorang yang tidak akan bisa lagi ia temui.Splash!“Akh!” pekik Kiana. Sebuah motor berhenti. Seseorang yang naik di atasnya, tertawa melihat Kiana yang terciprat oleh genangan air. Sudah bisa ditebak kalau perbuatannya disengaja. Kiana hanya membersihkan pakaiannya yang kotor menggunakan sapu tangan. Ia tidak menggubris tawa yang menggelegar meremehkannya.“Hidupmu tidak akan tenang setelah kau menginjakkan kakimu di SMA HG,” teriak pria yang masih menutupi wajahnya menggunakan helm. Kiana hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menghiraukan celoteh sampah yang melintas ditelinganya.“Karena kau sudah mempermalukan Kak Teo, hidupmu ti
Setelah memberikan blazer miliknya, Rael pergi begitu saja tanpa kata. Kiana yang terluka langsung menuju UKS untuk mendapatkan beberapa obat. Benar saja, luka Kiana berbekas karena diserang menggunakan mesin tato. Sepulang sekolah, anggota Naga Hitam langsung berkumpul di markas mereka yang terletak dibagian barat kota New York, sesuai informasi yang Kiana katakan. Markas milik Leon yang menjadi perkumpulan pertama mereka.“Kiana!”“Akh!” pekik Kiana. Sontak saja, Zeki yang memegang lengan Kiana tersentak mendengar pekikan dari mulut Kiana. Belum ada seorang pun yang datang kecuali mereka berdua.“Lenganmu terluka? Siapa yang melakukannya?” tanya Zeki.“Bukan apa-apa. Hanya terbentur saat aku mandi.”“Terpeleset?” tanya Zeki.“Sepertinya begitu.”&nb
Zeki sudah mencukur rambut halus yang tumbuh di area rahangnya. Ia harus menyamar sebagai anak SMA yang seumuran dengan Kiana. Malam ini, penampilan anak remaja ia singkirkan karena ia menjalani tugas yang sudah disusun dengan sangat sempurna. Kemeja berwarna merah, celana hitam, dasi merah bercorak, sangat cocok menempel ditubuh Zeki. Ia menenteng jas hitam dilengannya. Gayanya sudah seperti pengusaha muda yang membutukan sebuah hiburan.“Selamat datang, Tuan!” sapa tim keamanan yang menjaga tempat utama.“Hei, kau!” Tunjuk Zeki pada bodyguardnya. “Nyalakan apinya, cepat!” pintanya setelah sebatang rokok terselip diantara kedua bibirnya. Zeki hanya tersenyum. Seseorang dibelakang Zeki, dijadikan pesuruh olehnya supaya akting yang mereka mainkan terlihat sangat nyata. Zeki diantar ke dalam ruangan VVIP sesuai dana yang ia miliki.&ld
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p