Melody.Aku buru-buru keluar, takut sekali Melody tahu apalagi parahnya jika dia dihujat, sudah pasti akan merusak mentalnya, bisa saja kondisinya langsung drop.Cklek!Edwin ada di sana saat kubuka pintu kamar Melody. Sang pemilik kamar malah sedang terlelap.“Kita bicara di luar, Bun,” ujar Edwin lalu berjalan melewatiku.Dari gelagatnya Edwin seperti sudah tahu apa yang terjadi.“Melody belum melihat ponselnya, Bun.”Lega rasanya mendengar itu. Meski pada akhirnya dia akan tahu, setidaknya untuk saat ini jangan sampai Melody memikirkan masalah. Dokter mengatakan Melody tidak boleh stres, jika mendengar aibnya tersebar sudah pasti Melody akan sangat terpukul dan itu berpengaruh pada janin dan yang paling kutakutkan dia bisa nekat menyakiti kandungannya jika saja dalam kondisi terpojok. Melody masih labil.Meskipun dia salah, sebagai ibu aku tetap ingin melindunginya. Dia suah melemparkan kotoran padaku, merusak nama baik keluarga tapi bukan berarti aku menjadi membencinya karena aku
Sebelumnya aku dihujani pesan dari teman-teman kuliah karena masalah Melody dan sekarang aku diserbu oleh keluargaku sendiri dengan pertanyaan soal benar tidaknya aku menikah dengan Nino. Sudah pasti ini karena ibu, ibu paling bangga memiliki menantu seperti Nino. Tidak heran jika saat diberi lampu hijau oleh Nino, ibu langsung memberitahu keluarga yang lain. Semakin hilang selera makanku. Lebih baik menonaktifkan ponsel daripada kepalaku semakin pusing. Akhirnya aku hanya menemani anak-anak makan tanpa niat untuk menyentuh makanan di hadapanku sedikit pun. “Bunda diet?” celetuk Melody. “Makan tidak usah sambil bicara!” balasku. Melody dan Edwin sudah merapikan kamar yang mereka buat berantakan. “Mel, habis makan cuci piringnya.” “Kenapa harus aku? Edwin juga ikut makan, Bun.” “Tidak usah kalau tidak mau, biarkan saja!” Selalu saja membantah. Aku beralih pada Maura, “adek, nanti habis makan boleh main tapi jangan keluar pagar oke? Jangan main di dapur, kalau masuk kamar mandi t
“Bunda, sakit!” Aku yang baru saja terlelap harus kembali membuka mata saat mendengar rengekan Melody. Dari tadi sore dia seperti ini sampai memaksa ke rumah sakit dan pihak rumah sakit menyuruh kembali lagi nanti karena memang belum waktunya melahirkan karena baru pembukaan satu. Edwin sedang dalam perjalanan. Aku memintanya datang karena Edwin juga harus ada di samping Melody. Dia baru menyelesaikan ujian sekolah jadi bisa tenang pergi ke sini. Saat dinyatakan hamil, Melody seharusnya persiapan ujian kenaikan kelas. Tapi takdirnya seperti ini. Sangat disayangkan namun aku akan menyuruhnya mengambil paket nanti. Tidak mungkin hanya memiliki ijazah SMP saja bukan. Apalagi cita-citanya tinggi. “Ke rumah sakit saja, Bun. Sakit sekali. Atau minta obat penghilang rasa sakit, aku tidak kuat,” rengeknya. “Namanya orang akan melahirkan memang begini Mel.” “Tapi sakit, Bun.” “Sabar.” “Bunda bisa bilang begitu karena tidak merasakan. Pokoknya aku tidak mau hamil lagi!” “Siapa bilang? B
POV Author.“Sorry. Tapi aku tidak ingat pernah janji seperti itu,” ujar Edwin dengan santainya lalu membaringkan tubuh di samping Zea dan memandangi bayi mungil itu.Mungkin awalnya Edwin memang berniat menunaikan janji itu tapi sekarang tidak. Ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Melody karena ia pun sudah janji pada Serra untuk menjaga Melody.“Jangan pura-pura amnesia ya, Ed! Aku masih ad- Aish! Ponselku diganti oleh Bunda,” geram Melody ingat jika rekaman janji Edwin ada di ponselnya yang dulu.“Tidak ada bukti ‘kan? Ya sudah, tidak usah diingat. Terima saja kalau kita akan selalu bersama!”Melody mencebik, “Jangan harap! Sana keluar, aku mau istirahat.”“Kenapa harus keluar? Bunda tidak melarang aku ke kamar ini berarti boleh tidur di sini, lagi pula aku juga sebentar lagi lulus jadi bukan anak SMA lagi.”“Ed, jangan buat aku semakin kesal ya!”Edwin tidak memperdulikan dan memilih untuk memejamkan m
“Aku tidak mau, Bun. Aku mau membawa Melody tinggal di kontrakan saja kalau Bunda mengizinkan.”“Bunda tidak akan bisa melarang karena Melody itu istri kamu tapi setidaknya tinggal dulu bersama Bunda sampai Zea berusia dua atau tiga bulan. Melody juga belum bisa mengurus segalanya sendiri.”“Iya, Bun. Aku hanya akan menemui Mama saja tapi tidak untuk tinggal di sana.”“Bunda tahu kamu mau belajar mandiri, Bunda akan dukung.” Serra menepuk pundak menantunya itu.“Besok kita kembali, kamu bisa langsung bertemu ibumu,” ujar Nino.Edwin mengangguk lalu kembali ke halaman belakang karena tadi Melody mengatakan jangan pergi lama-lama. Melody juga sebenarnya belum terlalu leluasa untuk menggendong Zea.“Melody masih susah diajari lagi, bagaimana nanti dia merawat Zea,” gumam Serra.“Pakai baby sitter?”Serra langsung menolehkan kepalanya, “Kalau begitu kapan Melody bisa mandiri, Mas. Dia harus belajar mengurus Zea sendiri, belajar hidup bersama dengan Edwin. Meskipun mereka itu menikah karen
Bu Sanjaya tidak akan bisa melawan Melody, Serra saja sebagai ibunya sering kelimpungan menghadapi anak sulungnya itu apalagi Bu Sanjaya yang notabene orang lain dan sekarang berstatus sebagai mertua Melody.“Tadi Mama hanya bercanda loh, tidak usah dimasukkan hati,” ujar Bu Sanjaya mencoba mencari aman, bisa bahaya jika Melody mengadu.Saat ini Pak Sanjaya tengah meminta dukungan dari ayahnya Nino karena ingin mencalonkan diri. Pejabat memang begini, mencari dukungan kesana-kemari dan harus bersikap baik, jika terlihat saja sedikit celahnya hancur sudah citra yang sudah dibangun.Dan Bu Sanjaya dengan santainya waktu itu bersikap buruk di depan orang-orang apalagi pada Melody yang notabene anak sambung Nino.“Tapi bercandanya tidak lucu, Tante. Mana ada bercanda merendahkan begitu, tatapan Tante jelas sekali merendahkan saya,” cibir Melody. Ia bukan orang yang akan berpura-pura baik, jika tidak suka ya pasti akan memperlihatkan ketidak sukaannya itu. Melody bukan orang bermuka dua ya
“Eh iya, kenapa ya? Mungkin tadi embun es dari gelas jatuh mengenai bajuku,” ujar Melody dengan santainya meski dada bergemuruh takut ketahuan.Untung barusan memang ia minum. Dada sebelah kirinya tertutup oleh rambut yang terurai, tadi di dalam mobil ia memang membuak ikat rambutnya. Bisa bahaya jika terlihat basah di dua sisi, sudah langsung ketahuan. Rembesan juga masih sedikit jadi bisa dimaklumi jika itu tetesan air dari gelas Melody.“Ada jaket di mobilku, pakai saja.” Qiana menawarkan.“Boleh. Aku pinjam ya.”“Biar aku ambilkan.” Qiana beranjak, keluar menuju parkiran.“Tadi apa yang mau kamu bilang, Mel? Sesuatu yang akan membuat kami terkejut.”“Nanti, tunggu Qiana dulu.”Melody gelisah dalam duduknya. Ia tidak tahu jika asinya akan merembes dari balik baju karena biasanya juga tidak pernah seperti ini. Tadi pagi memang asinya keluar banyak tapi Melody tidak mengatakan itu pada ibunya, padahal bisa dikeluarkan menggunakan pompa asi agar tidak merembes seperti ini.“Pakai dulu
Edwin mengurungkan niat saat akan masuk ke kamarnya. Lupa untuk mengingatkan Melody untuk meminum asi booster yang sudah disiapkan. Jika tidak diingatkan Melody pasti tidak akan pernah peduli.Saat kembali, ia masih belum melihat Melody. Langkahnya terayun menuju kamar mandi.Tok! Tok! Tok!“Mel. Nanti jangan lupa minum asi booster ya.”Tidak ada sahutan.Kening Edwin berkerut, “Kenapa tidak terdengar suara apa-apa? Jangan-jangan Melody ketiduran di bathub seperti waktu itu,” pikirnya.Ia memutar daun pintu dan bisa langsung terbuka karena tidak dikunci. Didorongnya pelan karena jika sampai ketahuan pasti akan ada keributan.“Loh, apa ini yang menghalangi?”Pintu hanya terbuka sedikit, Edwin menyembulkan kepalanya lewat celah pintu. Matanya terbelalak melihat Melody terkulai tidak berdaya.“Mel!” pekiknya.Edwin mencoba mendorong pintu pelan-pelan agar tubuh Melody bisa sedikit bergeser. Wajah Melody sudah sangat pucat. Tampak noda merah merembes dari dress yang dikenakannya membuat E