Edwin mengurungkan niat saat akan masuk ke kamarnya. Lupa untuk mengingatkan Melody untuk meminum asi booster yang sudah disiapkan. Jika tidak diingatkan Melody pasti tidak akan pernah peduli.Saat kembali, ia masih belum melihat Melody. Langkahnya terayun menuju kamar mandi.Tok! Tok! Tok!“Mel. Nanti jangan lupa minum asi booster ya.”Tidak ada sahutan.Kening Edwin berkerut, “Kenapa tidak terdengar suara apa-apa? Jangan-jangan Melody ketiduran di bathub seperti waktu itu,” pikirnya.Ia memutar daun pintu dan bisa langsung terbuka karena tidak dikunci. Didorongnya pelan karena jika sampai ketahuan pasti akan ada keributan.“Loh, apa ini yang menghalangi?”Pintu hanya terbuka sedikit, Edwin menyembulkan kepalanya lewat celah pintu. Matanya terbelalak melihat Melody terkulai tidak berdaya.“Mel!” pekiknya.Edwin mencoba mendorong pintu pelan-pelan agar tubuh Melody bisa sedikit bergeser. Wajah Melody sudah sangat pucat. Tampak noda merah merembes dari dress yang dikenakannya membuat E
POV SerraAku merasa tidak enak pada Nino karena Melody tidak pernah berhenti membuat ulah, kepala ini rasanya akan pecah. Aku selalu berusaha untuk membuat diriku baik-baik saja agar tidak mengganggu kehamilan.Kupikir setelah Melody melahirkan semuanya akan lebih baik tapi tetap sama, jika aku tidak memaksakan diri keluar dari rumah dan ikut Nino, mungkin aku tidak bisa setenang ini. Melody juga harus belajar dewasa, dia harus bisa tanpa aku.“Sayang, kenapa?”Suara Nino membuatku terlonjak. Dia baru saja keluar dari kamar mandi.“Mas, kamu membuatku kaget!”“Lagian kenapa kamu melamun begitu hm?”Dia berbaring, menjadikan pahaku sebagai bantal, wajahnya sudah tenggelam di depan perutku, menghujani ciuman membuatku kegelian.“Mas, geli!”“Aku tidak sabar untuk melihatnya.” Nino menatapku dari bawah, tangannya terangkat mengelus pipiku.“Apalagi aku, Mas.”“Kamu masih memikirkan Melody?” Dia langsung mengalihkan pembicaraan.“Maaf ya. Melody sering membuatmu repot,” sesalku.“Dia jug
“Anu ... Mbak Bella.”“Usir saja, Bi!” ujar Nino.“Mas, kok tamunya di usir?”“Memang kamu mau bertemu dengan mantanku?”Mataku terbelalak, “Ma-mantan?”“Iya. Kamu mau bertemu dengan mantanku? Boleh sih, biar dia tahu kalau sekarang aku sudah memiliki bidadari.” Nino merangkul pinggangku dengan mesra dan tanpa malu mendaratkan ciuman di pipi.Terkadang Nino tidak pernah melihat tempat. Suka sekali nyosor.“Dia sering mendatangi rumah kamu?” tanyaku curiga.“Aku tidak tahu. Baru sekarang kita pindah ke sini ‘kan? Sebelumnya aku tinggal di apartemen ke sini hanya sesekali.”Rumah ini memang sudah ada bahkan sebelum aku dan Nino menikah tapi memang desain interior rumah ini sama dengan rumah impianku. Aku dan Nino seleranya sama kalau soal satu hal ini.“Dia pasti masih mencintaimu.”Nino mengedikkan bahunya, “Bukan urusanku. Salahnya kenapa mencintai suami orang.”“Tapi sebelum kita menikah kamu ‘kan bukan milik siapa-siapa.”“Memang, tapi aku tidak minat pada wanita yang tidak punya ha
[Aman, Pa. Aku tidak akan mengatakan apapun pada Bunda.]Keningku berkerut membaca pesan dari Edwin. Aku hanya membaca lewat pintas layar.“Sayang, ada tidak.”Aku tersentak mendengar suara Nino.“Ada, Mas.” Dengan cepat kuraih benda pipih itu dan kembali duduk di sampingnya. Kami baru sampai di warung bakso. Kebetulan memang sekarang sedang sepi, biasanya akan mengantre.“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas?” Aku tidak mungkin pura-pura tidak tahu, tidak suka jika Nino menyembunyikan sesuatu apalagi jelas-jelas dari chat itu mereka membicarakanku.“Kamu baca chat dari Edwin? Ya ... padahal niatnya mau buat kejutan malah kamu baca.”“Kejutan?”“Iya. Tapi sudah ketahuan jadi bukan kejutan lagi.”“Kejutan apa?”“Nanti saja kamu lihat, meskipun sekarang sudah tahu aku akan memberi kejutan tapi tidak boleh tahu isi kejutannya. Kamu tidak kaget ‘kan tidak seru,” ujarnya dengan tangan merayap ke pinggangku.“Mas, ih. Ini bukan di rumah loh.” Kulepaskan tangannya dengan cepat.“Pengantin b
“Kamu tidak menyembunyikan apa-apa dariku ‘kan? Edwin belum membalas pesanku tapi dia malah berbalas pesan denganmu dan sekarang menelepon.”“Tidak ada. Dia paling minta izin untuk pergi ke puncak, sebelumnya dia pernah cerita.”“Jawab!”Nino menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan Edwin, “Kenapa, Ed? Ini Bunda juga ada di sini, dia kesal karena kau tidak membalas pesannya.”“Mungkin pesan Bunda tertimbun dengan pesan lain. Oh ya, aku hanya memberitahu kalau aku tidak jadi pergi ke puncak. Lebih baik di rumah bersama Zea.”“Mau liburan pergi ke puncak, Ed?” tanyaku.Nino sudah mengaktifkan pengeras suara.“Tidak, Bun. Hanya ada acara dengan teman-teman sekolah.”“Melody mana?”Jujur, yang kuhwatirkan adalah Melody apalagi kudengar dia bertemu dengan teman-temannya. Jangan sampai dia bergabung, bukannya melarang hanya saja aku tidak mau dia bergaul dan berakhir seperti sebelumnya. Aku tidak tahu seperti apa teman-temannya Melody jadi lebih baik berhati-hati daripada kecolongan
POV Author“Dia istriku, jadi tidak usah pegang-pegang begitu!” Edwin menarik Melody, menyembunyikan di belakang tubuhnya.Andrew terlihat terheran-heran, “Mel, apa maksudnya ini?”“Jangan de-”“Aku peringatkan, jangan dekati lagi Melody apalagi sampai mengajaknya ke tempat begini. Kalau sampai kau tidak mendengar teguranku, kau akan menyesal!” Rahang Edwin mengeras, menatap Andrew dengan sorot tajam.Dengan paksaan Melody baru bisa dibawa pergi dari tempat itu. Edwin sudah curiga saat Melody tiba-tiba baik dan menanyakan soal acara di puncak dan ternyata dugaan Edwin tidak salah. Ia memang harus cerdik dalam menghadapi Melody yang begitu licin, susah untuk diberitahu.Tadi dia sampai izin pada Nino untuk tidak masuk kerja karena ingin memastikan Melody baik-baik saja. Meski acara kelulusan biasa tapi siapa yang akan menjamin tidak akan terjadi apa-apa di sana nanti. Edwin yang pernah ada di dalamnya sudah jelas mengerti, ia menahan diri untuk tidak masuk kembali dan tidak ingin Melod
“Bunda, nanti aku telepon lagi.” Tanpa menunggu sahutan dari ibunya, Melody mematikan sambungan telepon.“Sorry, Yah. Aku ini tidak seperti istri ayah yang tukang adu domba.”“Sudah ya, Mel. Jangan ribut terus, nanti Zea bangun lagi.”“Ed, koper ayah mana? Ayah mau ganti baju.” Setelah mengatakan itu Tian masuk lagi ke dalam kamar.Lelaki ini memang sangat berubah, tidak seperti Tian sebelumnya. Mungkin sebelumnya Tian tidak terlalu akrab lagi dengan Melody tapi sekarang malah seperti orang yang sedang bermusuhan, itu karena tidakdewasaan Tian sebagai seorang ayah. Ia hanya percaya omongan Rianti yang sekarang malah hanya mengeruk hartanya saja tanpa peduli Tian seperti apa.“Masuk ke kamar temani Zea. Kalau kamu terus balas omongan ayah yang ada kamu capek sendiri nanti.” Edwin mengusap pundak Melody mencoba meredam amarah ibu satu anak itu.“Tidak usah cari kesempatan!” Ia menepis tangan Edwin lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.Edwin menatap kepergian Melody sambil geleng-gelen
Nino menarik nafas dalam-dalam, mengurut pelipisnya yang berdenyut. Ia tidak ingin apa yang menjadi berita panas itu sampai di telinga Serra. Jadi sebelum semuanya tersebar, Nino sudah menyuruh orang-orangnya untuk menghapus berita itu dan mencegah agar tidak semakin meluas.Saat ini Serra sedang menunggu kelahiran anaknya jadi lebih baik tidak dibuat stres dengan apa yang terjadi. Nino hanya menjaga perasaan sang istri bukan bermaksud menyembunyikan sesuatu.“Mas, masih belum gerak juga?” Terdengar suara Serra dari dapur, seperti cenayang saja. Tahu jika suaminya masih berdiri tak bergerak di ruang tengah.“Iya, sayang. Ini mau mandi.” Nino menyahut lalu melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.Tanpa diberitahu oleh Serra pun Nino sudah tahu dari Edwin sebenarnya. Edwin bahkan menceritakan lebih detail soal Tian yang berniat menampar Melody tapi karena Edwin menghalangi makanya Edwin yang menerima tamparan dan mertuanya itu. Nino jelas sangat marah tapi ia belajar dewasa untuk tidak