[Aman, Pa. Aku tidak akan mengatakan apapun pada Bunda.]Keningku berkerut membaca pesan dari Edwin. Aku hanya membaca lewat pintas layar.“Sayang, ada tidak.”Aku tersentak mendengar suara Nino.“Ada, Mas.” Dengan cepat kuraih benda pipih itu dan kembali duduk di sampingnya. Kami baru sampai di warung bakso. Kebetulan memang sekarang sedang sepi, biasanya akan mengantre.“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas?” Aku tidak mungkin pura-pura tidak tahu, tidak suka jika Nino menyembunyikan sesuatu apalagi jelas-jelas dari chat itu mereka membicarakanku.“Kamu baca chat dari Edwin? Ya ... padahal niatnya mau buat kejutan malah kamu baca.”“Kejutan?”“Iya. Tapi sudah ketahuan jadi bukan kejutan lagi.”“Kejutan apa?”“Nanti saja kamu lihat, meskipun sekarang sudah tahu aku akan memberi kejutan tapi tidak boleh tahu isi kejutannya. Kamu tidak kaget ‘kan tidak seru,” ujarnya dengan tangan merayap ke pinggangku.“Mas, ih. Ini bukan di rumah loh.” Kulepaskan tangannya dengan cepat.“Pengantin b
“Kamu tidak menyembunyikan apa-apa dariku ‘kan? Edwin belum membalas pesanku tapi dia malah berbalas pesan denganmu dan sekarang menelepon.”“Tidak ada. Dia paling minta izin untuk pergi ke puncak, sebelumnya dia pernah cerita.”“Jawab!”Nino menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan Edwin, “Kenapa, Ed? Ini Bunda juga ada di sini, dia kesal karena kau tidak membalas pesannya.”“Mungkin pesan Bunda tertimbun dengan pesan lain. Oh ya, aku hanya memberitahu kalau aku tidak jadi pergi ke puncak. Lebih baik di rumah bersama Zea.”“Mau liburan pergi ke puncak, Ed?” tanyaku.Nino sudah mengaktifkan pengeras suara.“Tidak, Bun. Hanya ada acara dengan teman-teman sekolah.”“Melody mana?”Jujur, yang kuhwatirkan adalah Melody apalagi kudengar dia bertemu dengan teman-temannya. Jangan sampai dia bergabung, bukannya melarang hanya saja aku tidak mau dia bergaul dan berakhir seperti sebelumnya. Aku tidak tahu seperti apa teman-temannya Melody jadi lebih baik berhati-hati daripada kecolongan
POV Author“Dia istriku, jadi tidak usah pegang-pegang begitu!” Edwin menarik Melody, menyembunyikan di belakang tubuhnya.Andrew terlihat terheran-heran, “Mel, apa maksudnya ini?”“Jangan de-”“Aku peringatkan, jangan dekati lagi Melody apalagi sampai mengajaknya ke tempat begini. Kalau sampai kau tidak mendengar teguranku, kau akan menyesal!” Rahang Edwin mengeras, menatap Andrew dengan sorot tajam.Dengan paksaan Melody baru bisa dibawa pergi dari tempat itu. Edwin sudah curiga saat Melody tiba-tiba baik dan menanyakan soal acara di puncak dan ternyata dugaan Edwin tidak salah. Ia memang harus cerdik dalam menghadapi Melody yang begitu licin, susah untuk diberitahu.Tadi dia sampai izin pada Nino untuk tidak masuk kerja karena ingin memastikan Melody baik-baik saja. Meski acara kelulusan biasa tapi siapa yang akan menjamin tidak akan terjadi apa-apa di sana nanti. Edwin yang pernah ada di dalamnya sudah jelas mengerti, ia menahan diri untuk tidak masuk kembali dan tidak ingin Melod
“Bunda, nanti aku telepon lagi.” Tanpa menunggu sahutan dari ibunya, Melody mematikan sambungan telepon.“Sorry, Yah. Aku ini tidak seperti istri ayah yang tukang adu domba.”“Sudah ya, Mel. Jangan ribut terus, nanti Zea bangun lagi.”“Ed, koper ayah mana? Ayah mau ganti baju.” Setelah mengatakan itu Tian masuk lagi ke dalam kamar.Lelaki ini memang sangat berubah, tidak seperti Tian sebelumnya. Mungkin sebelumnya Tian tidak terlalu akrab lagi dengan Melody tapi sekarang malah seperti orang yang sedang bermusuhan, itu karena tidakdewasaan Tian sebagai seorang ayah. Ia hanya percaya omongan Rianti yang sekarang malah hanya mengeruk hartanya saja tanpa peduli Tian seperti apa.“Masuk ke kamar temani Zea. Kalau kamu terus balas omongan ayah yang ada kamu capek sendiri nanti.” Edwin mengusap pundak Melody mencoba meredam amarah ibu satu anak itu.“Tidak usah cari kesempatan!” Ia menepis tangan Edwin lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.Edwin menatap kepergian Melody sambil geleng-gelen
Nino menarik nafas dalam-dalam, mengurut pelipisnya yang berdenyut. Ia tidak ingin apa yang menjadi berita panas itu sampai di telinga Serra. Jadi sebelum semuanya tersebar, Nino sudah menyuruh orang-orangnya untuk menghapus berita itu dan mencegah agar tidak semakin meluas.Saat ini Serra sedang menunggu kelahiran anaknya jadi lebih baik tidak dibuat stres dengan apa yang terjadi. Nino hanya menjaga perasaan sang istri bukan bermaksud menyembunyikan sesuatu.“Mas, masih belum gerak juga?” Terdengar suara Serra dari dapur, seperti cenayang saja. Tahu jika suaminya masih berdiri tak bergerak di ruang tengah.“Iya, sayang. Ini mau mandi.” Nino menyahut lalu melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.Tanpa diberitahu oleh Serra pun Nino sudah tahu dari Edwin sebenarnya. Edwin bahkan menceritakan lebih detail soal Tian yang berniat menampar Melody tapi karena Edwin menghalangi makanya Edwin yang menerima tamparan dan mertuanya itu. Nino jelas sangat marah tapi ia belajar dewasa untuk tidak
Melody terlalu banyak berpikir.[Aku di depan rumahmu.]Padahal tinggal bilang saja tidak ada di rumah. Memang kadang-kadang otak pintarnya itu tidak bisa berpikir dengan semestinya.“Aish!”Tin!Ia memilih untuk membuka pagarnya karena jika tidak maka nanti yang akan keluar Edwin. Melody akan membuat Andrew pergi.Andrew turun dari motornya saat melihat Melody, membuka helm hingga senyumnya yang lebar langsung terlihat.“Drew kamu mau apa ke sini?” Melody menutup kembali pagarnya dan berbicara dengan Andrew dari luar.“Tentu saja ingin menemuimu dan meminta penjelasan soal apa yang dikatakan Edwin saat itu. Aku tidak suka kamu menghindar terus, Mel.”“Kita bicara di tempat lain ya, jangan di sini. Besok saja aku menemuimu.”“Tidak boleh aku masuk?”“Jangan. Ada ayahku di dalam, dia itu tidak suka jika ada teman laki-lakiku datang.” Melody memberikan alasan yang menurutnya bisa membuat Andrew pergi.“Aku ‘kan datang baik-baik, Mel. Bu-”Pagar terbuka dari dalam membuat jantung Melody
Serra kembali masuk ke dalam kamar, padahal tadi ia sudah akan turun tadi, mendengar percakapan suami dan mertuanya membuat Serra menjadi mellow begini. Terharu karena diistimewakan di sini.Setelah membasuh wajahnya, wanita itu langsung turun. Bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.“Sudah siap, sayang?” Nino yang menyadari kehadiran sang istri langsung bangkit.“Mam, kami pergi dulu ya.” Serra langsung pamit.“Ke mana?” Kening Mami Anna berkerut.“Menemui Melody, Mam. Sekalian bawa Maura ketemu ayahnya,” jelas Serra.“Ya sudah, hati-hati di jalan. Nino, bawa mobilnya pelan-pelan.”Nino memutar bola matanya malas, “Ya ampun, Mam. Sudah berapa ribu kali Mami mengatakan itu padaku, aku akan hati-hati membawa mobilnya.”“Mami ‘kan hanya mengingatkan.” Mami Anna membela diri.“Mengingatkan tapi tidak sesering itu juga, Mam. Mami mengalahkan alarm saja.” Nino geleng-geleng kepala, “Mami itu lebih sayang padamu daripada aku.” Nino menyandarkan kepalanya di pundak sang istri sudah seperti a
“Ed, Edwin!” Edwin tidak memperdulikan Melody yang memanggilnya dan memilih memacu motornya dengan kencang.“Sudahlah, Mel. Lebih bagus seperti ini, tidak ada lagi halangan untuk kita.”“Iya, kamu benar.” Dalam hatinya Melody meyakinkan diri sendiri jika Edwin tidak akan mungkin berani pergi darinya karena Edwin itu cinta mati. Di satu sisi Melody ingin lepas dari Edwin tapi disisi lain ia tidak ingin Edwin pergi darinya. Memang rumit isi otak Melody ini, hanya ia sendiri yang bisa mengerti.Tadi Melody sudah menjelaskan semuanya dengan detail pada Andrew soal asal-usul kenapa Melody bisa sampai menikah dengan Edwin.“Aku antar pulang ya.”“Tidak usah. Aku mau belanja dulu habis itu pulang.”“Ya sudah, kalau begitu aku akan menemanimu.”Melody menggeleng, “Tidak usah, Drew.”“Tapi aku memaksa, Mel!”“Terserahlah.” Melody melangkah masuk ke dalam minimarket.Sebenarnya tadi ia sudah memilih-milih tapi keburu Andrew menelepon makanya langsung keluar dan siapa yang menyangka malah bert