Bu Sanjaya tidak akan bisa melawan Melody, Serra saja sebagai ibunya sering kelimpungan menghadapi anak sulungnya itu apalagi Bu Sanjaya yang notabene orang lain dan sekarang berstatus sebagai mertua Melody.“Tadi Mama hanya bercanda loh, tidak usah dimasukkan hati,” ujar Bu Sanjaya mencoba mencari aman, bisa bahaya jika Melody mengadu.Saat ini Pak Sanjaya tengah meminta dukungan dari ayahnya Nino karena ingin mencalonkan diri. Pejabat memang begini, mencari dukungan kesana-kemari dan harus bersikap baik, jika terlihat saja sedikit celahnya hancur sudah citra yang sudah dibangun.Dan Bu Sanjaya dengan santainya waktu itu bersikap buruk di depan orang-orang apalagi pada Melody yang notabene anak sambung Nino.“Tapi bercandanya tidak lucu, Tante. Mana ada bercanda merendahkan begitu, tatapan Tante jelas sekali merendahkan saya,” cibir Melody. Ia bukan orang yang akan berpura-pura baik, jika tidak suka ya pasti akan memperlihatkan ketidak sukaannya itu. Melody bukan orang bermuka dua ya
“Eh iya, kenapa ya? Mungkin tadi embun es dari gelas jatuh mengenai bajuku,” ujar Melody dengan santainya meski dada bergemuruh takut ketahuan.Untung barusan memang ia minum. Dada sebelah kirinya tertutup oleh rambut yang terurai, tadi di dalam mobil ia memang membuak ikat rambutnya. Bisa bahaya jika terlihat basah di dua sisi, sudah langsung ketahuan. Rembesan juga masih sedikit jadi bisa dimaklumi jika itu tetesan air dari gelas Melody.“Ada jaket di mobilku, pakai saja.” Qiana menawarkan.“Boleh. Aku pinjam ya.”“Biar aku ambilkan.” Qiana beranjak, keluar menuju parkiran.“Tadi apa yang mau kamu bilang, Mel? Sesuatu yang akan membuat kami terkejut.”“Nanti, tunggu Qiana dulu.”Melody gelisah dalam duduknya. Ia tidak tahu jika asinya akan merembes dari balik baju karena biasanya juga tidak pernah seperti ini. Tadi pagi memang asinya keluar banyak tapi Melody tidak mengatakan itu pada ibunya, padahal bisa dikeluarkan menggunakan pompa asi agar tidak merembes seperti ini.“Pakai dulu
Edwin mengurungkan niat saat akan masuk ke kamarnya. Lupa untuk mengingatkan Melody untuk meminum asi booster yang sudah disiapkan. Jika tidak diingatkan Melody pasti tidak akan pernah peduli.Saat kembali, ia masih belum melihat Melody. Langkahnya terayun menuju kamar mandi.Tok! Tok! Tok!“Mel. Nanti jangan lupa minum asi booster ya.”Tidak ada sahutan.Kening Edwin berkerut, “Kenapa tidak terdengar suara apa-apa? Jangan-jangan Melody ketiduran di bathub seperti waktu itu,” pikirnya.Ia memutar daun pintu dan bisa langsung terbuka karena tidak dikunci. Didorongnya pelan karena jika sampai ketahuan pasti akan ada keributan.“Loh, apa ini yang menghalangi?”Pintu hanya terbuka sedikit, Edwin menyembulkan kepalanya lewat celah pintu. Matanya terbelalak melihat Melody terkulai tidak berdaya.“Mel!” pekiknya.Edwin mencoba mendorong pintu pelan-pelan agar tubuh Melody bisa sedikit bergeser. Wajah Melody sudah sangat pucat. Tampak noda merah merembes dari dress yang dikenakannya membuat E
POV SerraAku merasa tidak enak pada Nino karena Melody tidak pernah berhenti membuat ulah, kepala ini rasanya akan pecah. Aku selalu berusaha untuk membuat diriku baik-baik saja agar tidak mengganggu kehamilan.Kupikir setelah Melody melahirkan semuanya akan lebih baik tapi tetap sama, jika aku tidak memaksakan diri keluar dari rumah dan ikut Nino, mungkin aku tidak bisa setenang ini. Melody juga harus belajar dewasa, dia harus bisa tanpa aku.“Sayang, kenapa?”Suara Nino membuatku terlonjak. Dia baru saja keluar dari kamar mandi.“Mas, kamu membuatku kaget!”“Lagian kenapa kamu melamun begitu hm?”Dia berbaring, menjadikan pahaku sebagai bantal, wajahnya sudah tenggelam di depan perutku, menghujani ciuman membuatku kegelian.“Mas, geli!”“Aku tidak sabar untuk melihatnya.” Nino menatapku dari bawah, tangannya terangkat mengelus pipiku.“Apalagi aku, Mas.”“Kamu masih memikirkan Melody?” Dia langsung mengalihkan pembicaraan.“Maaf ya. Melody sering membuatmu repot,” sesalku.“Dia jug
“Anu ... Mbak Bella.”“Usir saja, Bi!” ujar Nino.“Mas, kok tamunya di usir?”“Memang kamu mau bertemu dengan mantanku?”Mataku terbelalak, “Ma-mantan?”“Iya. Kamu mau bertemu dengan mantanku? Boleh sih, biar dia tahu kalau sekarang aku sudah memiliki bidadari.” Nino merangkul pinggangku dengan mesra dan tanpa malu mendaratkan ciuman di pipi.Terkadang Nino tidak pernah melihat tempat. Suka sekali nyosor.“Dia sering mendatangi rumah kamu?” tanyaku curiga.“Aku tidak tahu. Baru sekarang kita pindah ke sini ‘kan? Sebelumnya aku tinggal di apartemen ke sini hanya sesekali.”Rumah ini memang sudah ada bahkan sebelum aku dan Nino menikah tapi memang desain interior rumah ini sama dengan rumah impianku. Aku dan Nino seleranya sama kalau soal satu hal ini.“Dia pasti masih mencintaimu.”Nino mengedikkan bahunya, “Bukan urusanku. Salahnya kenapa mencintai suami orang.”“Tapi sebelum kita menikah kamu ‘kan bukan milik siapa-siapa.”“Memang, tapi aku tidak minat pada wanita yang tidak punya ha
[Aman, Pa. Aku tidak akan mengatakan apapun pada Bunda.]Keningku berkerut membaca pesan dari Edwin. Aku hanya membaca lewat pintas layar.“Sayang, ada tidak.”Aku tersentak mendengar suara Nino.“Ada, Mas.” Dengan cepat kuraih benda pipih itu dan kembali duduk di sampingnya. Kami baru sampai di warung bakso. Kebetulan memang sekarang sedang sepi, biasanya akan mengantre.“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas?” Aku tidak mungkin pura-pura tidak tahu, tidak suka jika Nino menyembunyikan sesuatu apalagi jelas-jelas dari chat itu mereka membicarakanku.“Kamu baca chat dari Edwin? Ya ... padahal niatnya mau buat kejutan malah kamu baca.”“Kejutan?”“Iya. Tapi sudah ketahuan jadi bukan kejutan lagi.”“Kejutan apa?”“Nanti saja kamu lihat, meskipun sekarang sudah tahu aku akan memberi kejutan tapi tidak boleh tahu isi kejutannya. Kamu tidak kaget ‘kan tidak seru,” ujarnya dengan tangan merayap ke pinggangku.“Mas, ih. Ini bukan di rumah loh.” Kulepaskan tangannya dengan cepat.“Pengantin b
“Kamu tidak menyembunyikan apa-apa dariku ‘kan? Edwin belum membalas pesanku tapi dia malah berbalas pesan denganmu dan sekarang menelepon.”“Tidak ada. Dia paling minta izin untuk pergi ke puncak, sebelumnya dia pernah cerita.”“Jawab!”Nino menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan Edwin, “Kenapa, Ed? Ini Bunda juga ada di sini, dia kesal karena kau tidak membalas pesannya.”“Mungkin pesan Bunda tertimbun dengan pesan lain. Oh ya, aku hanya memberitahu kalau aku tidak jadi pergi ke puncak. Lebih baik di rumah bersama Zea.”“Mau liburan pergi ke puncak, Ed?” tanyaku.Nino sudah mengaktifkan pengeras suara.“Tidak, Bun. Hanya ada acara dengan teman-teman sekolah.”“Melody mana?”Jujur, yang kuhwatirkan adalah Melody apalagi kudengar dia bertemu dengan teman-temannya. Jangan sampai dia bergabung, bukannya melarang hanya saja aku tidak mau dia bergaul dan berakhir seperti sebelumnya. Aku tidak tahu seperti apa teman-temannya Melody jadi lebih baik berhati-hati daripada kecolongan
POV Author“Dia istriku, jadi tidak usah pegang-pegang begitu!” Edwin menarik Melody, menyembunyikan di belakang tubuhnya.Andrew terlihat terheran-heran, “Mel, apa maksudnya ini?”“Jangan de-”“Aku peringatkan, jangan dekati lagi Melody apalagi sampai mengajaknya ke tempat begini. Kalau sampai kau tidak mendengar teguranku, kau akan menyesal!” Rahang Edwin mengeras, menatap Andrew dengan sorot tajam.Dengan paksaan Melody baru bisa dibawa pergi dari tempat itu. Edwin sudah curiga saat Melody tiba-tiba baik dan menanyakan soal acara di puncak dan ternyata dugaan Edwin tidak salah. Ia memang harus cerdik dalam menghadapi Melody yang begitu licin, susah untuk diberitahu.Tadi dia sampai izin pada Nino untuk tidak masuk kerja karena ingin memastikan Melody baik-baik saja. Meski acara kelulusan biasa tapi siapa yang akan menjamin tidak akan terjadi apa-apa di sana nanti. Edwin yang pernah ada di dalamnya sudah jelas mengerti, ia menahan diri untuk tidak masuk kembali dan tidak ingin Melod
“Kenapa?”Aku memaksakan senyum agar papa tidak curiga.“Tidak apa-apa, Pa. Edwin bilang sebentar lagi sampai, papa pulang saja. Kasihan Bunda sendirian.”“Benar tidak apa-apa papa pulang?”“Iya, Pa. Zea juga sudah diberi obat, demamnya pasti sebentar lagi turun.”“Ya sudah. Kalau ada apa-apa langsung kabari papa ya?”“Eh, Papa pulang pakai apa?”Papa meringis, “Pinjam motornya Edwin. Besok dikembalikan.”Aku mengangguk, “Sebentar, aku ambil dulu jas hujannya.”Setelah Papa pulang pun Edwin tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya membuatku semakin gelisah.“Apa mungkin dia ….”Aku menggeleng, menepis semua pikiran buruk itu. Tidak akan mungkin Edwin melakukan itu, orang yang mengirimkan pesan pasti hanya orang iseng saja. Tapi Edwin pergi kemana sampai belum pulang, ini sudah sangat larut.Tidak ada yang bisa kutanyai teman kantornya karena memang tidak ada yang kukenal.Apa aku tanya saja pada wanita itu ya. Dia teman kerjanya Edwin. Tapi aku takut malah nanti Edwin malah dipanda
POV Melody“Kalau tidak tertukar di toko itu sendiri, berarti di kantor. Aku hanya ke dua tempat itu saja. Saat jam makan siang curi-curi waktu kesana untuk membelikan hadiah eh malah tertukar.”Edwin bicara dengan santai. Tidak terlihat mencurigakan.Aku percaya Edwin bukan lelaki seperti itu.“Sudah, tidak apa-apa. Kita lanjut makan ya, aku sudah lapar.” Senyumku masih tersungging.Tidak mau membuatnya malah tidak enak karena hadiah tertukar ini.Aku berpikir malah ada yang sengaja sudah menukarnya. Tapi tidak tahu orang itu siapa. Tidak seharusnya aku memikirkan masalah seperti ini, malah membuat pikiran buruk semakin berkembang.Selesai makan, kami kembali ke kamar. Duduk di sofa yang menghadap jendela, memandang rintik hujan yang belum ada tanda-tanda reda.Kusandarkan kepala di pundak Edwin.“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”“Lumayan melelahkan. Maaf ya, aku malah terlambat datang. Kamu sampai ketiduran tadi.”“Tak masalah, aku mengerti.”“Nanti tunggu libur panjang baru aku aka
“Anak-anak sudah tidur semua, Mas?”“Sudah. Sekarang giliran bundanya yang tidur.” Nino naik ke atas ranjang.Ia sudah memastikan jika anak-anaknya sudah tidur. Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk tidur sendiri tapi tetap saja mereka memantau menggunakan monitor.Sebagai pasangan tentu mereka harus memiliki waktu berkualitas untuk berduaan, untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.“Aku masih belum ngantuk, kamu tidur saja kalau sudah mengantuk. Besok kerja ‘kan?” Serra menarik selimut dan membaringkan tubuhnya tanpa ada niat untuk tidur karena memang matanya belum merasa berat.“Aku akan menemanimu. Mana mungkin wanita secantik ini kubiarkan begadang sendirian.” Nino tersenyum lebar, ia berbaring miring menghadap sang istri.“Kapan kemampuan merayumu itu hilang?” Serra mencibir.“Saat ada di hadapan wanita lain.”Laki-laki yang orang pikir tidak akan setia malah sebaliknya. Nino memiliki segalanya, harta, popularitas dan juga tampang. Tapi dalam benaknya sama sekali tidak terpikir
Melody menghela napas panjang, melempar begitu saja ponsel ke sofa.“Siapa lagi yang menginginkan keretakan hubunganku dan Edwin?” gumamnya.Ya, ia baru saja melihat foto Edwin yang dipeluk oleh Sarah. Nomor tidak dikenal mengirimkannya pada Melody namun hal itu sama sekali tidak membuat Melody hilang akal dan melabrak ke kantor. Ini masih jam kantor dan Edwin pasti masih sibuk bekerja.Melody itu mantan orang jahat, bilang saja begitu karena dulu ia sama sekali tidak pernah peduli pada siapapun. Jadi ia tahu jelas apa yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mungkin pernah dirugikan baik oleh Melody atau pun Edwin.Ia mengira jika sudah menikah dengan Edwin maka tidak akan ada lagi masalah yang datang tapi ternyata salah. Tetap saja ada masalah yang menghadang karena sangat mustahil kehidupan berjalan tanpa sebuah masalah. Bahkan Serra dan Nino sekalipun yang hidupnya tampak sempurna pasti memiliki masalah dalam kehidupan mereka.“Me
“Kalau kau sudah tidak ada rasa, kembalikan aku dengan baik-baik pada orang tuaku.”Perkataan Melody sukses membuat Edwin terbelalak, tangan lelaki itu terangkat menyentuh kening Melody, “Tidak panas.”Melody mencebik, “Kau kira kau mengigau apa? Aku serius, Ed.”“Jangan bicara sesuatu yang mustahil begitu, Mel. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dalam situasi apapun, kita sudah sama-sama berjanji. Dulu kali pertama aku berjanji dan aku ingkar dan ini kali kedua aku tidak ingin mengingkari janjiku lagi.”Dulu Edwin memang berjanji untuk menjaga Melody dan juga mencintainya sepenuh hati namun karena keras hatinya wanita itu Edwin akhirnya harus mengalah dan melepaskannya meski akhirnya sekarang mereka kembali bersama.Edwin tidak sekedar berucap janji, tapi ia benar-benar akan membuktikannya. Sejauh ini Edwin memang sudah menjalankan perannya dengan baik, bukan hanya sekedar sebagai suami tapi juga ayah untuk Zea.“Isi hati orang tidak akan ada yang tahu, Ed. Aku hanya berpikir real
"Jangan, Ma. Mama di rumah, temani aku dan Zea di sini. Aku tidak akan membiarkan Mama pindah dari sini, aku tidak bisa tenang. Edwin juga pasti sama." Melody mencoba membujuk ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Sanjaya terlanjur malu makanya ia tidak enak tinggal bersama dengan Melody dan Edwin, bukannya benci atau tidak suka. Mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu membuat Bu Sanjaya malu setiap bertemu dengan Melody dan Edwin, dan di sini mereka bersama setiap hari.Bu Sanjaya sudah mengakui kesalahannya, ia sadar perbuatannya tidak pantas dan ingin memperbaiki semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik. Meski mereka tinggal satu atap dengan keyakinan berbeda tapi itu sama sekali tidak merubah apapun."Mama malu" aku Bu Sanjaya.Melody mengerti apa maksud ibu mertuanya itu."Sudah ya, Ma. Jangan bahas masa lalu, aku pun malu dengan masa laluku sendiri. Sekarang kita jalani saja kehidupan sekarang. Sama-sama memperbaiki diri, kita sudah saling memaafkan bukan."
“Den Edwin, Tuan meninggal.”Hati Edwin mencelos mendengar kabar duka yang disampaikan oleh art di rumah orang tuanya. Lutut lelaki itu lemas seketika. Tanpa bisa dikomando cairan bening berjatuhan membasahi pipi. Ia manusia biasa yang bisa merasakan kesedihan apalagi ditinggal orang yang begitu disayanginya. Bukan ditinggalkan sementara tapi selamanya, mereka sudah beda alam dan tidak akan bisa bertemu lagi.Edwin dan Pak Sanjaya memang baru dekat akhir-akhir ini, saat hubungan mereka sudah membaik. Lelaki paruh baya itu malah pergi tanpa pamit dan menyisakan luka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan.Beranjak menuju kamar untuk memanggil Melody. Ia tidak kuasa untuk mengatakan kabar duka ini. Padahal rencananya mereka akan pergi ke rumah Pak Sanjaya, namun takdir berkata lain. Sebelum mereka sampai ke sana, Pak Sanjaya pergi lebih dulu.Melody mengambil alih ponsel Edwin karena lelaki itu tidak kunjung berkata. Hanya air mata yang bicara.“Halo, Bi. Ada apa?” tanya Melody, kebetul
Apa yang sudah terjadi waktu itu berdampak buruk pada usaha Pak Sanjaya, meski memang wajah Edwin dan Melody tidak sampai tersorot tapi tetap saja nama baik tidak bisa dipulihkan. Edwin bahkan mulai mencari pekerjaan di tempat lain, meski bisa saja ia meminta pekerjaan pada Nino tapi Edwin ingin belajar mandiri agar tidak selalu bergantung pada siapapun.Edwin harus bisa bertanggung jawab.“Kita langsung pulang?” tanya Melody.“Iya. Kau mau beli sesuatu?”Melody menggeleng, “Aku ingin cepat sampai rumah dan rebahan.”Zea yang lelah bermain dengan Izel kini terlelap dalam dekapan sang ibu. Sampai di rumah, Zea langsung ditidurkan di kamarnya. Zea harus dibiasakan tidur di kamarnya sendiri. Anak ini sangat manja, mungkin jika sudah memiliki adik tidak akan semanja ini.“Lelah sekali?” Edwin melirik Melody yang tengah mengambil pakaian tidurnya.“Hm. Padahal hanya di rumah, tapi mengurus anak-anak membuatku lelah. Mereka nakal sekali.”Melody tidak hanya menjaga Zea saja tapi juga kedua
“Ini nomor Mamamu yang terdaftar, tapi bisa juga bukan Mamamu yang melakukannya. Tunggu saja sampai ada informasi lanjutan soal penyebar video itu. Jangan dulu hubungi Mamamu.” Nino menepuk pundak Edwin sebelum meninggalkan lelaki itu.Tangan Edwin mengepal, “Aku tidak tahu lagi harus seperti apa kalau memang itu Mama.”Dalam hati kecilnya Edwin berharap bukan sang ibu yang melakukannya. Meski hubungan mereka renggang tapi Edwin sama sekali tidak mengharapkan hal buruk pada Bu Sanjaya.Edwin menghampiri Melody di kamar sebelah. Serra yang menemani langsung keluar membiarkan Edwin yang menemani Melody. Karena tidak ingin Zea banyak bertanya jadi sementara Melody di kamar sebelah dulu.Sedangkan Serra menghampiri suaminya yang ada di ruang tengah, Nino tampak sibuk menatap layar ponselnya.“Mas.”Lelaki itu langsung mendongak saat dipanggil, “Kenapa, sayang.”“Sudah dapat?” tanyanya lalu menghempaskan bokongnya untuk duduk di samping Nino.Nino menggeleng, “Belum tapi nomor yang kirim p