Udara di sore hari terasa lebih sejuk. Panasnya terik matahari yang terus menunjukkan keganasannya sejak siang tadi kini perlahan mulai meredup seiring dengan sang fajar yang beranjak menuju peraduannya.
Seorang wanita keluar dari sebuah bangunan yang dijadikan kantor . Di depan bangunan terdapat plang nama bertuliskan KOPERASI SUMBER MAKMUR. Wanita bernama Fauzia itu adalah salah satu pegawai di sana. Sudah dua tahun lamanya dia bekerja di sana sebagai staf keuangan. Dengan tas bahunya wanita itu berjalan menyusuri jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan dan persawahan. Sudah tiga tahun ini dia tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Mencari ketenangan dan kenyamanan hidup. "Uzi!" Kepalanya menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Senyum mengembang di wajahnya melihat seorang pria berjalan mendekatinya. Dia adalah Angga, suami sekaligus lelaki yang paling dicintainya di dunia ini. Fauzia dan Angga menikah sejak tiga tahun lalu. Setelah menikah, Angga langsung memboyong istrinya tinggal di desa Banjarsari, Pangalengan. Angga sebenarnya berasal dari keluarga berada, dan pernikahannya dengan Fauzia mendapat tentangan keras dari sang ayah. Alasannya klasik, status sosial Fauzia dinilai tak sederajat dengan keluarga mereka. Fauzia memang seorang yatim piatu. Keluarga yang dimilikinya hanyalah Nenek yang mengurusnya selama ini. Dan sekarang sang Nenek sudah berpulang ke Rahmatullah, jadi hanya ada Angga di sisinya sekarang. Sampai sekarang pernikahan mereka belum dikaruniai anak. Dua kali Fauzia mengalami keguguran, membuat wanita itu mengalami sedikit trauma. Tak ingin membuat istrinya takut dan sedih, Angga memutuskan untuk menunda momongan. Dia juga yang menyarankan Fauzia bekerja di koperasi untuk menyibukkan diri. Angga sendiri adalah seorang guru. Dia mengajar di salah satu sekolah menengah atas pertama negeri yang ada di desa ini. Wajah Angga yang tampan dan sikapnya yang ramah, membuat banyak yang menyukainya, termasuk anak didiknya. Fauzia menghentikan langkahnya begitu melihat suaminya. Dia menunggu sampai Angga sampai ke dekatnya. "Akang dari mana?" "Tadi habis nengok Bu Iyah dengan yang lain. Sudah seminggu Bu Iyah ngga mengajar." "Sakit apa, Kang?" "Dadanya sesak. Katanya gara-gara asam lambungnya naik." "Mudah-mudahan Bu Iyah cepat sembuh." "Aamiin.." Keduanya kembali meneruskan perjalanan. Angga menggandeng tangan Fauzia dengan erat. Keharmonisan rumah tangga Fauzia dan Angga memang sudah diketahui oleh warga sekitar. Mereka tak sungkan menunjukkan kemesraan di depan umum. "Akang mau makan apa?" "Pengen makan ikan mas goreng pakai sambal sama lalap." "Kalau gitu kita beli dulu ikan masnya, Kang. Kita ke tambaknya Pak Ule aja." "Ayo." Sambil terus menggenggam tangan istrinya, Angga berbelok ke arah kiri menuju tambak Pak Ule. Sesampainya di sana, Fauzia langsung membeli ikan mas. "Beli berapa kilo?" tanya pegawai Pak Ule. "Satu kilo aja, Kang." Dengan cepat pegawai itu mengambilkan ikan yang dipilih oleh Fauzia lalu menimbangnya. Usai membayar ikan yang dibelinya, keduanya segera meninggalkan tempat tersebut. Rumah yang ditinggali pasangan itu hanya tinggal beberapa meter lagi. Kening Angga nampak berkerut ketika melihat sebuah sepeda motor dengan banyak barang di atasnya berhenti di depan rumahnya. "PAKET!!" Keduanya mempercepat langkah agar sampai di rumah. Pria yang ternyata adalah seorang kurir, terus berusaha memanggil sang pemilik rumah. "Paket buat siapa, Pak?" tanya Angga. "Buat Pak Angga Wiguna." "Ya saya sendiri." Kurir tersebut memberikan paket berbentuk kotak persegi pada Angga. Setelah melakukan tugasnya, kurir tersebut segera pergi. "Paket dari siapa, Kang?" "Ngga tahu." Lebih dulu keduanya masuk ke dalam rumah. Angga meletakkan paket di atas meja. Dia membaca nama pengirim yang tertera. Terdengar hembusan nafas panjangnya. Sang pengirim paket adalah ayahnya sendiri. Angga membuka paket tersebut. Ada beberapa buku tentang bisnis yang dikirimkan oleh ayahnya. Hal tersebut menyiratkan kalau Salim Wiguna menginginkan sang anak kembali ke rumah dan terjun mengurus bisnisnya. "Kenapa, Kang? Siapa yang kirim paket?" "Papa." Fauzia melihat paket yang dikirimkan. Selain buku-buku, ada juga sebuah USB di sana. Angga mengambil USB berukuran kecil tersebut, mengamatinya sejenak lalu menaruhnya lagi di atas buku. "Papa mau Akang kembali." "Akang tahu." "Akang mau kembali?" "Akang sudah bilang, selama mereka belum mau menerima kamu, maka Akang ngga akan pulang ke rumah." "Maaf ya, Kang. Karena aku, Akang jadi jauh dengan keluarga." "Kamu ngomong apa sih? Kalau alasan keluargaku menolakmu karena alasan yang jelas dan masuk akal, Akang ngga akan bersikap seperti ini." "Tapi apa Akang ngga kasihan sama Mama? Akang jarang sekali telepon Mama." "Bukan Akang ngga mau. Tapi kamu tahu sendiri, Rafi ngga suka sama Akang. Apalagi Papa menginginkan Akang yang meneruskan perusahaan, bukan dia. Dia selalu menghalangi kalau Akang mau bicara dengan Mama." "Kalian hanya dua bersaudara, kenapa ngga akur sih?" "Entahlah." Tak ingin membuat suaminya sedih membahas tentang keluarganya, Fauzia memilih pergi ke dapur. Dia akan mengolah ikan mas yang tadi dibelinya sesuai keinginan sang suami. * * * Fauzia baru saja sampai ke tempat kerjanya. Matanya langsung disuguhi pemandangan beberapa rekan kerjanya sedang mengerumuni seorang lelaki. Fauzia belum pernah melihat pria itu sebelumnya. "Hei Uzi.. kenalkan ini Andika, pegawai baru di sini." Salah seorang teman Fauzia menarik tangannya ke dekat pria yang bernama Andika itu. Fauzia hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Pegawai baru bernama Andika itu melaporkan senyum manisnya. Wajah Andika memang manis, kulitnya sawo matang dan tubuhnya tegap. Membuat pria itu terlihat macho. Wajar saja kalau banyak yang menyukainya. "Andika akan bekerja dengan kita mulai sekarang. Akhirnya kita bisa cuci mata juga ya." "Kamu sudah menikah?" "Belum." "Sudah punya pacar?" "Belum juga." "Ya ampun, masa laki-laki setampan kamu belum punya pacar?" "Saya masih cari-cari. Tapi kalau Uzi mau, saya tidak keberatan." "Uzi sudah menikah. Kamu jangan coba-coba ganggu dia kalau tidak mau disebut pebinor." "Benarkah? Maaf, aku tidak tahu kalau kamu sudah menikah." Usia Fauzia memang masih muda, baru 26 tahun. Dia memang wanita tercantik yang bekerja di KOPERASI SUMBER MAKMUR. Kalau wanita itu belum bersuami, pasti banyak lelaki yang mengejarnya. Fauzia bergegas kembali ke meja kerjanya. Wanita itu tidak nyaman dengan cara Andika melihatnya. Sepeninggal Fauzia, Andika segera menuju mejanya. Namun pandangannya masih belum lepas dari Fauzia. Sudah seminggu Andika bekerja di koperasi yang sama dengan Fauzia. Selama itu pula Andika berusaha mendekati Fauzia. Sepertinya pria itu tidak peduli dengan status Fauzia yang sudah bersuami. Apa yang dilakukan Andika tentu saja membuat wanita itu tak nyaman. Sebisa mungkin Fauzia menghindari pertemuan berdua dengan Andika. "Uzi.. sepertinya Andika menyukaimu," ujar Murni salah satu teman Fauzia. "Jujur aku ngga nyaman dengannya. Dia tahu aku sudah bersuami, tapi sikapnya seperti itu. Dan yang lebih menyebalkan dia melakukan hal yang membuat orang salah paham padaku." "Sabar, Uzi. Apa Kang Angga tahu soal dia?" "Aku ngga berani bilang." "Lebih baik kamu bilang. Takutnya suamiku salah paham nanti." Kepala Fauzia mengangguk tanda mengerti. Dia memang harus secepatnya mengatakan soal Andika pada suaminya. Apa yang dilakukan pria itu akhir-akhir ini semakin membuatnya tak nyaman. Pernah pria itu datang membawakan makanan dan mengatakan pada semua teman kerjanya kalau dirinya yang memintanya. Selain itu, Andika pernah datang ke rumahnya mengirimkan barang-barang. Fauzia sudah menolaknya berkali-kali, namun Andika justru mengancam. Jika dia menolak, dia akan mengatakan pada semua orang kalau mereka ada hubungan rahasia. Tentu saja Fauzia tidak takut dengan gertak sambal Andika, dia mengabaikan ancaman Andika. Keesokan harinya dia mengirimkan sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dan Andika sedang duduk berdua dan berpelukan dengan mesra. Sejak saat itu, Fauzia menjadi lebih berhati-hati pada Andika. Wanita itu selalu minta ditemani Murni jika hendak keluar dari ruangannya. Bahkan untuk ke kamar mandi pun dia selalu meminta ditemani. "Sayang.." Panggilan Angga membuyarkan lamunan Fauzia. Dia terkejut melihat suaminya datang ke koperasi. Di tangannya terdapat sebuah bungkusan. Fauzia segera berdiri lalu mendekati suaminya. "Akang tumben ke sini siang-siang. Memangnya urusan di sekolah sudah selesai?" "Hari ini sekolah mendadak diliburkan, jadi akang bisa membawakan makan siang untuk kamu. Sekarang sudah jam istirahat kan?" "Iya, Kang." "Ayo kita makan di saung." Sebelum pergi, Fauzia mengambil dulu ponselnya di atas meja. Baru saja keduanya akan melangkah menuju saung yang ada di samping koperasi, sebuah suara menahannya. "Uzi.." Fauzia menahan nafasnya ketika melihat Andika mendekatinya dengan sebuah bungkusan di tangannya. "Ini rujak pesanannmu." "Aku ngga pesan rujak." "Ayolah Uzi.. aku susah payah cari tukang rujak hanya demi kamu." "Kamu siapa?" tanya Angga sambil menatap Andika curiga. "Saya Andika, rekan kerja Uzi yang baru. Kamu pasti suaminya Uzi. Dia sering cerita soal kamu." "Bohong, Kang. Ayo kita pergi." "Ini rujakmu." "Makan saja sendiri! Aku tidak pesan!" Fauzia menatap tajam pada pria itu lalu membawa suaminya pergi. Beberapa kali Angga menolehkan kepalanya, melihat pada Andika. "Dia pegawai baru?" tanya Angga setelah mereka berada di saung. "Iya, Kang. Aku mau cerita sama Akang." Fauzia akhirnya menceritakan tentang Andika pada suaminya. Sikap Andika yang membuatnya tak nyaman. Pria itu dengan terang-terangan menggodanya dan membuat orang lain salah paham tentang mereka. Fauzia juga memperlihatkan foto yang pernah dikirimkan Andika padanya. "Akang jangan marah. Foto itu beneran bukan aku," ujar Fauzia takut-takut. "Akang percaya sama kamu. Jaman sekarang, teknologi sudah canggih. Membuat foto seperti ini mudah sekali. Lagi pula Akang lebih paham kamu. Sekali lihat, Akang tahu kalau perempuan yang di foto ini bukan kamu." "Akang tahu dari mana?" "Akang tahu semua lekuk tubuhmu luar dan dalam. Istri Akang jauh lebih seksi dari perempuan di foto ini." "Ish.. Akang mesum." Wajah Fauzia memerah mendengar ucapan suaminya. Namun dibalik itu dia merasa bahagia karena Angga sangat mempercayainya. Semoga saja tidak ada permasalahan yang tidak bisa mereka lalui bersama. Keduanya menikmati makan siang sambil terus berbincang yang diselingi perbincangan. Sesekali terdengar suara tawa bahagia Fauzia. Tanpa keduanya sadari, sepasang mata terus mengawasi keduanya dari kejauhan. * * * Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Suasana sudah sangat sepi. Tiga petugas ronda mulai berkeliling untuk memeriksa keadaan sekitar. Ketika mereka melintasi rumah milik Angga, mereka menangkap dua orang mengendap-endap keluar dari pekarangan rumah pria itu. "Lihat, ada yang keluar dari rumah Angga," tunjuk salah satu pria pada dua teman rondanya. "Jangan-jangan maling." "Bukan maling. Mereka dua orang, satu perempuan dan satu laki-laki. Itu perempuannya seperti Uzi." Ketiga pria itu mengamati dua orang yang menjauh dari rumah Angga. Mereka menuju rumah kosong yang tak jauh dari sana. "Uzi sama siapa?" "Mungkin sama Angga." Tanpa sadar ketiga orang itu berjalan mendekati rumah kosong. Samar-samar mereka melihat pasangan itu sedang bercumbu. "Ngga mungkin Angga. Ngapain juga dia mesra-mesraan sama Uzi di rumah kosong. Lebih baik di rumahnya sendiri." "Terus laki-laki itu siapa?" "Sebentar, aku sepertinya hafal dengan bentuk tubuhnya. Itu.. itu Andika kan? Pegawai baru di koperasi." "Oh iya aku pernah dengar kalau dia naksir sama Uzi. Dan kayanya Uzi juga suka sama dia cuma mereka masih main kucing-kucingan." "Kok aku ngga yakin kalau Uzi seperti itu." "Sudah jangan ngobrol. Lebih baik kita gerebek saja. Mereka jangan sampai berbuat zinah di kampung kita." Menyadari kedatangan tiga orang tersebut, pasangan yang sedang bercumbu menghentikan aktivitas mereka. Keduanya segera pergi dari sana. Ketiga orang itu langsung mengejarnya. Kedua orang yang dikejar berpisah jalan. Lari mereka cukup kencang. Namun salah satu meronda sempat melihat kalau wanita yang dikejarnya berlari ke arah rumah Angga dan menghilang di sana."Uzi.. aku boleh minta minum?" Fauzia yang sedang menyiram tanaman dikejutkan dengan suara seorang lelaki. Tiba-tiba saja Andika sudah berada di belakangnya. Tanpa mempedulikan permintaan Andika, Fauzia melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah malas menanggapi Andika. Terkadang pria itu bersikap aneh dan membuat beberapa rekan kerja Fauzia salah paham padanya. Pernah satu kali atasan Fauzia menegurnya. Menurut sang atasan sikap Fauzia kurang pantas karena selalu memberi respon pada Andika. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah bersuami. Tentu saja Fauzia dibuat bingung. Selama ini dia merasa tidak pernah menanggapi Andika namun kenapa semua orang bersikap seolah-olah dirinya bermain api dengan Andika. "Uzi.. aku haus. Masa minta minum saja tidak boleh." Fauzia menghela nafasnya lalu melihat pada Andika. Wajah pria itu berkeringat dan nampak lelah. Entah apa yang sudah dilakukannya. "Tunggu di sini." Karena tak tega, akhirnya Fauzia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minuma
"Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan. Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia s
"Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
"Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan. Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia s
"Uzi.. aku boleh minta minum?" Fauzia yang sedang menyiram tanaman dikejutkan dengan suara seorang lelaki. Tiba-tiba saja Andika sudah berada di belakangnya. Tanpa mempedulikan permintaan Andika, Fauzia melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah malas menanggapi Andika. Terkadang pria itu bersikap aneh dan membuat beberapa rekan kerja Fauzia salah paham padanya. Pernah satu kali atasan Fauzia menegurnya. Menurut sang atasan sikap Fauzia kurang pantas karena selalu memberi respon pada Andika. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah bersuami. Tentu saja Fauzia dibuat bingung. Selama ini dia merasa tidak pernah menanggapi Andika namun kenapa semua orang bersikap seolah-olah dirinya bermain api dengan Andika. "Uzi.. aku haus. Masa minta minum saja tidak boleh." Fauzia menghela nafasnya lalu melihat pada Andika. Wajah pria itu berkeringat dan nampak lelah. Entah apa yang sudah dilakukannya. "Tunggu di sini." Karena tak tega, akhirnya Fauzia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minuma
Udara di sore hari terasa lebih sejuk. Panasnya terik matahari yang terus menunjukkan keganasannya sejak siang tadi kini perlahan mulai meredup seiring dengan sang fajar yang beranjak menuju peraduannya. Seorang wanita keluar dari sebuah bangunan yang dijadikan kantor . Di depan bangunan terdapat plang nama bertuliskan KOPERASI SUMBER MAKMUR. Wanita bernama Fauzia itu adalah salah satu pegawai di sana. Sudah dua tahun lamanya dia bekerja di sana sebagai staf keuangan. Dengan tas bahunya wanita itu berjalan menyusuri jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan dan persawahan. Sudah tiga tahun ini dia tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Mencari ketenangan dan kenyamanan hidup. "Uzi!" Kepalanya menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Senyum mengembang di wajahnya melihat seorang pria berjalan mendekatinya. Dia adalah Angga, suami sekaligus lelaki yang paling dicintainya di dunia ini. Fauzia dan Angga menikah sejak tiga tahun lalu. Setelah menikah, An