"Uzi.. aku boleh minta minum?"
Fauzia yang sedang menyiram tanaman dikejutkan dengan suara seorang lelaki. Tiba-tiba saja Andika sudah berada di belakangnya. Tanpa mempedulikan permintaan Andika, Fauzia melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah malas menanggapi Andika. Terkadang pria itu bersikap aneh dan membuat beberapa rekan kerja Fauzia salah paham padanya. Pernah satu kali atasan Fauzia menegurnya. Menurut sang atasan sikap Fauzia kurang pantas karena selalu memberi respon pada Andika. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah bersuami. Tentu saja Fauzia dibuat bingung. Selama ini dia merasa tidak pernah menanggapi Andika namun kenapa semua orang bersikap seolah-olah dirinya bermain api dengan Andika. "Uzi.. aku haus. Masa minta minum saja tidak boleh." Fauzia menghela nafasnya lalu melihat pada Andika. Wajah pria itu berkeringat dan nampak lelah. Entah apa yang sudah dilakukannya. "Tunggu di sini." Karena tak tega, akhirnya Fauzia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minuman. Bukannya menunggu seperti yang diperintahkan Fauzia, Andika justru ikut masuk ke dalam rumah. Seorang tetangga Fauzia yang sedang berada di halaman rumahnya melihat ke arah Andika. "Ngapain laki-laki itu masuk ke rumah Uzi? Bukannya Angga sedang tidak ada di rumah," gumam wanita bertubuh gempal itu. Baru saja Fauzia menuangkan air ke dalam gelas, tahu-tahu Andika sudah berdiri di sisinya. Tentu saja hal tersebut membuat wanita itu terkejut. "Kenapa kamu masuk? Bukannya saya suruh tunggu di depan." "Di luas panas, aku ngadem sebentar di sini." "Keluar! Aku ngga mau orang salah paham melihatmu masuk ke rumah. Apalagi tidak ada Kang Angga di rumah." Tanpa mempedulikan omelan Fauzia, Andika menyambar gelas lalu meneguk isinya sampai habis. Setelah minumannya habis, Andika segera keluar dari rumah. Wajahnya nampak sumringah ketika keluar dari rumah. Sudut matanya melirik tetangga Fauzia yang masih memperhatikannya. Andika mengeluarkan ponselnya, berpura-pura ada yang menghubunginya. Lalu pria itu sengaja melintas di depan tetangga Fauzia. "Iya, Uzi sayang. Nanti malam aku ke rumahmu lagi kalau suamimu sudah tidur." Senyum tipis tersungging di bibir Andika ketika tahu kalau wanita yang dilintasinya menguping pembicaraannya. Sepeninggal Andika, wanita itu bergegas mendekati rumah Fauzia. "Uzi.. Uzi.." panggilnya. "Eh Bu Sarni, ada apa?" "Kamu kenapa sembarangan masukin lelaki ke dalam rumah? Ingat Uzi, kamu itu wanita bersuami dan suamimu juga sedang tidak di rumah. Kamu mau ada hubungan dengan pria tadi atau ngga, saya ngga peduli. Tapi saya ngga suka kamu melakukannya di sini. Nanti kampung kita yang terkena imbasnya kalau ada yang berzina." Setelah melemparkan tuduhan sepihaknya, wanita bernama Sarni itu segera meninggalkan Fauzia. Ditinggal begitu saja tanpa bisa membela diri, Fauzia tentu saja kesal. Wanita itu memilih masuk ke dalam rumah. Dia segera menghubungi suaminya. * * * Malam harinya Angga dan Fauzia sedang berbincang di atas kasur. Hal biasa yang mereka lakukan sebelum tidur. Mereka kerap membicarakan apa saja yang dirasa perlu dibahas. Kali ini Fauzia mengeluarkan uneg-unegnya tentang Andika dan tuduhan Bu Sarni padanya. "Aku kesal banget sama Andika, Kang. Aku malas kerja lagi, aku mau resign aja." "Terserah kamu kalau mau resign. Nanti Akang akan temui Andika. Akang akan tegur dia. Beraninya dia mengganggu kamu," geram Angga. Rahang pria itu nampak mengeras. Pria mana yang tidak marah kalau istrinya diganggu pria lain. Fauzia menyadarkan kepalanya di dada Angga. "Tapi jangan pakai kekerasan, Kang. Aku takut Akang kenapa-kenapa nantinya." "Kamu tenang aja." "Terus soal Bu Sarni yang salah paham gimana?" "Biarkan saja. Toh kamu tidak ada hubungan apa-apa dengan Andika. Akang lebih percaya kamu." Sebuah kecupan diberikan Angga di kening istrinya. Kemudian pria itu membelai lembut punggung dan paha istrinya. Fauzia sudah paham apa yang diinginkan suaminya. "Neng, ayo kita usaha lagi. Siapa tahu yang sekarang membuahkan hasil." "Iya, Kang." Tidak ada penolakan dari Fauzia, malah wanita itu nampak bersemangat. Dia juga sudah merindukan sentuhan suaminya. Angga membaringkan Fauzia di kasur dan bersiap untuk mendayung nirwana bersama sang istri. * * * Dengan tergesa, Kokom, wanita yang terkenal paling suka bergosip di kampung ini berjalan mendekati kumpulan ibu-ibu. "Eh Bu Kokom mau kemana?" "Sengaja mau ke sini." "Wah jangan-jangan ada gosip terbaru ya," terka salah satu ibu. "Iya. Barusan aku lewat rumahnya Angga. Ngga sengaja aku lagi dengar mereka sedang bertengkar hebat " "Angga dan Uzi?" "Iya." "Masa sih? Bukannya pasangan itu selalu terlihat mesra." "Terlihat mesra di depan aja kali Bu. Kan dalamnya rumah tangga mereka seperti apa, kita ngga tahu." "Memangnya mereka bertengkar karena apa?" salah satu Ibu nampak penasaran. "Aku ngga tahu pasti. Tapi tadi aku sempat dengar, Angga nyebut-nyebut nama Andika." "Andika yang warga baru itu?" "Iya." "Eh aku dengar dari Tuti, memang ada hubungan antara Uzi dan Andika. Uzi malah sampai kena tegur Pak Wahab." "Kok aku ngga percaya ya?" "Iya, rasanya ngga mungkin Uzi selingkuh." "Ya aku mana tahu. Kan cuma dengar selentingan aja." "Tapi bisa jadi. Kan selama nikah Angga dan Uzi belum dikaruniai anak, siapa tahu Uzi mulai goyah dan coba cari peruntungan berhubungan dengan Andika, hihihi..." Kokom mengakhiri gosipnya dengan mengeluarkan spekulasi yang semakin membuat situasi tak terkendali. Beberapa di antara mereka mulai ternakan gosip yang disebarkan Kokom, sebagian lagi tidak percaya. Sedang asik bergibah, tiba-tiba saja orang yang dibicarakan melintas tak jauh dari mereka. Andika berjalan santai melewati kumpulan ibu-ibu tersebut. "ANDIKA!" Baik Andika maupun ibu-ibu yang sedang berkumpul dikejutkan dengan suara teriakan seseorang. Nampak Angga berjalan tergesa menghampiri pria itu. Wajahnya terlihat tak bersahabat. Dia kesal karena Andika terus mengirimkan pesan cinta pada istrinya. Sesampainya di dekat Andika, tanpa banyak bicara, Angga langsung menghadiahi bogeman di wajah Andika. Pria itu kemudian menarik kerah kaos pria yang selalu saja menggoda istrinya. "Aku peringatkan padamu, jauhi Uzi!! Dia itu perempuan bersuami dan aku suaminya!" geram Angga. "Istrimu duluan yang mendekatiku dan mengirimkan pesan cinta padaku. Mau kubuktikan?" BUGH! Kembali sebuah bogeman mendarat di wajah Andika. Kali ini pukulannya cukup keras hingga melukai sudut bibir pria itu. Andika mengusap sudut bibirnya yang berdarah seraya membuang ludah ke tanah. "Jauhi Uzi!! Atau kamu akan merasakan lebih dari ini!" Setelah mengatakan itu, Angga segera meninggalkan Andika. Tak dipedulikannya tatapan orang-orang yang tadi melihat aksinya. Yang penting dia sudah melupakan amarahnya pada Andika yang terus saja mendekati dan menggoda Fauzia. * * * "Kang, ini tanganmu kenapa?" Fauzia melihat punggung tangan Angga yang sedikit lecet. Tidak ada jawaban dari Angga. Pria itu malah menarik sang istri ke dalam pelukannya. "Kenapa, Kang?" tanya Fauzia lagi. "Ngga apa-apa. Tadi akang baru menghajar Andika. Akang beri dia pelajaran supaya tidak terus-terusan mengganggumu." "Akang ngga pernah main fisik sebelumnya. Pasti ini sakit sekali. Aku obatin ya, Kang." "Ngga usah." Tanpa mempedulikan protesan Angga, Fauzia segera beranjak mengambil kotak P3K. Wanita itu membersihkan dulu luka Angga, baru kemudian memberinya Betadine. Fauzia meniup Betadine agar cepat kering. Angga tersenyum melihat perhatian sang istri yang begitu besar. "Sayang, Akang mau mengatakan sesuatu." "Soal apa, Kang?" "Akhir-akhir ini Papa menghubungi akang, menanyakan kapan Akang bergabung dengan perusahaan." "Akang mau mengurus perusahaan?" "Akang belum tahu. Akang masih betah tinggal di sini. Di sini sangat tenang dan Akang tidak perlu ikut bersaing mendapatkan perusahaan dengan Rafi atau Om Imron. Tapi Papa butuh bantuan Akang." "Jadi gimana, Kang?" "Entahlah. Akang masih menimbang. Kalau Akang memutuskan menerima tawaran Papa, kamu ngga keberatan kan?" "Ngga, Kang. Akang suamiku, sudah pasti aku harus mendukung apa yang dilakukan suamiku." "Tapi kamu tahu sendiri, keluargaku tidak menyukaimu. Akang takut mereka menyulitkanmu." "Ngga masalah. Asal Akang selalu ada untukku. Apa pun akan kuhadapi." "Terima kasih, sayang." Angga menarik Fauzia ke dekatnya. Pria itu kemudian menyatukan bibir mereka. Sebelah tangan Angga menahan tengkuk sang istri dan sebelahnya lagi memeluk pinggangnya erat. Keduanya terus menyalurkan cinta melalui ciuman yang begitu mesra dan lembut. Ciuman Angga berakhir ketika pria itu merasa pasokan oksigen di sekitar mereka semakin menipis. Jari Angga mengusap sisa saliva yang menempel di bibir istrinya. "Akang punya hadiah untukmu." "Hadiah apa, Kang?" "Sebentar, sayang." Angga bangun dari duduknya lalu masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian dia kembali sambil menggenggam sesuatu di tangannya. Dia kembali duduk di samping Fauzia seraya memperlihatkan sebuah kalung emas di tangannya. "Akang belikan ini untukmu." "Ya ampun bagus banget, Kang." Tangan Fauzia memegangi liontin berbentuk persegi panjang yang tidak terlalu besar. Bagian depannya terdapat tiga batu yang tersusun vertikal. "Akang pakaikan ya." Fauzia mengubah duduknya membelakangi suaminya seraya menyibakkan rambutnya. Angga segera memasangkan kalung ke leher istrinya. Mata Fauzia terus memperhatikan liontin yang bentuknya tidak biasa tersebut. Wanita itu terjengit ketika merasakan kecupan Angga di tengkuknya. Dia membiarkan saja ketika suaminya tak henti mengecup tengkuk dan lehernya. Dia malah menyandarkan kepalanya ke dada sang suami. "Neng, kita usaha lagi, yuk. Siapa tahu kali ini kita bisa mendapatkan anak." "Hayu, Kang." Udara malam ini memang begitu dingin. Cocok rasanya kalau menghangatkan badan dengan berolahraga di atas ranjang. Keduanya segera beranjak menuju kamar . Namun sebelum mereka masuk, lebih dulu terdengar ketukan di pintu. "Siapa yang datang malam-malam begini?" tanya Fauzia. "Ngga tahu. Sebentar Akang lihat dulu." Angga bergegas mendekati pintu lalu membukanya. Di depannya berdiri Kokom sambil membawa nampan di tangannya. Di atas nampan terdapat dua gelas berisi bandrex. "Bu Kokom." "Saya mengganggu ngga, Kang Angga?" "Ngga. Ada apa ya?" "Kebetulan saya buat bandrex. Ini buat Kang Angga dan Uzi." "Ya ampun, terima kasih Bu Kokom." "Sama-sama, Kang. Saya permisi dulu." Setelah Angga menerima bandrex buatannya, Kokom pun meninggalkan rumah pasangan tersebut. Angga mengunci dulu pintu, baru kemudian mendekati istrinya. "Bandrex dari siapa, Kang?" "Bu Kokom." "Tumben." "Iya. Nih minum dulu, mumpung masih hangat." Angga dan Fauzia menghabiskan dulu bandrex pemberian Kokom. Tubuh keduanya menjadi lebih hangat. Setelah mencuci gelas bekas bandrex, Fauzia mengajak Angga masuk ke dalam kamar. "Hoaaamm.." Tiba-tiba saja Fauzia merasakan kantuk datang menjemput. Padahal dia sudah berjanji akan mengarungi nirwana dahulu dengan suaminya. "Kenapa, sayang?" "Kok aku tiba-tiba ngantuk." "Kalau ngantuk, lebih baik kamu tidur. Akang juga mengantuk. Sehabis subuh aja kita mainnya." Kepala Fauzia mengangguk cepat. Wanita itu merangkak naik ke atas kasur dan segera membaringkan tubuh. Angga ikut berbaring di sampingnya. Pria itu memeluk tubuh sang istri dan tak lama kemudian mulai terlelap. * * * TOK TOK TOK "UZI!!!" TOK TOK TOK "UZI!!" Suara ketukan pintu dan panggilan untuk Fauzia terus terdengar. Kokom sudah berdiri di depan pintu rumah Angga. Dia terus mengetuk dan memanggil Fauzia. Perlahan Fauzia terbangun dari tidurnya. Telinganya bisa menangkap suara Kokom yang terus memanggilnya diiringi ketukan di pintu. "Iya, Bu. Sebentar!" teriak Fauzia dengan suara seraknya. Sejenak Fauzia terduduk di atas kasur mencoba mengumpulkan nyawanya. Diliriknya Angga sudah tidak ada di sampingnya. Baru saja dia hendak turun dari kasur, matanya melihat pada kedua telapak tangannya. Wanita itu terkejut melihat di telapak tangannya terdapat noda darah yang mengering. Dan yang lebih membuatnya terkejut, baju yang dikenakannya pun terdapat noda darah cukup banyak. "Ini darah apa?""Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan. Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia s
"Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
"Aku tidak punya keluarga. Hanya Kang Angga satu-satunya keluargaku." "Dia mengaku sebagai pamanmu."Kening Fauzia mengerut. Masih belum ada gambaran siapa yang sudah mengaku sebagai Pamannya. Setahunya sang ayah tidak memiliki saudara, begitu pula dengan Ibunya. Suara petugas membuyarkan lamunannya, mengajak wanita itu segera menuju ruangan yang diperuntukkan bagi tahanan untuk bertemu dengan penjenguknya.Ketika pintu ruangan terbuka, nampak dua pria tengah duduk menunggunya. Ini pertama kalinya Fauzia bertemu dengan kedua pria itu. Pelan-pelan Fauzia mendekati meja lalu menarik kursi di depannya. Matanya masih belum lepas dari dua orang di hadapannya."Kalian siapa?" tanya Fauzia setelah cukup lama mereka terdiam."Aku Pamanmu, namaku Daffa."Salah satu pria menjawab pertanyaan Fauzia. Dipandanginya wajah pria yang mengaku sebagai Pamannya. Usianya belum terlalu tua. Mungkin hanya berbeda lima sampai enam tahun saja dengannya."Aku tidak punya keluarga lagi setelah kedua orang tu
"Bagaimana Ibu bisa tahu Ibu Fauzia menyembunyikan pakaian yang berlumuran darah di kamarnya?" "Tentu saja karena saya mencarinya." "Kenapa Ibu yakin sekali akan menemukan sesuatu yang penting? Apa Ibu sudah mencurigai Fauzia sebelumnya?" "Saya sudah curiga ketika pagi-pagi saya datang ke rumahnya. Di sana tidak ada Angga dan Uzi lama sekali saat membuka pintu. Seperti ada yang sedang disembunyikannya." "Kenapa Ibu sampai habis berpikir kalau Fauzia sudah membunuh Angga? Bisa saja Angga tidak berada di rumah karena sudah berangkat kerja. Ibu hanya Ibu rumah tangga biasa, rasanya aneh saja kalau sampai Ibu punya kecurigaan seperti itu. Lalu apa hak Ibu menggeledah rumah Fauzia bahkan sampai masuk ke dalam kamarnya. Bahkan polisi saja membutuhkan surat ijin untuk menggeledah rumah tersangka." Cecaran pertanyaan Krishna langsung membungkam mulut Kokom. Wanita itu tidak tahu harus menjawab seperti apa. Krishna menatap padanya dengan pandangan curiga. "Saya hanya penasaran saja
"Mau saya antar lagi, Bu?" tawar Gunawan seraya menyunggingkan senyuman."Kamu masih di sini?" tanya Kokom dengan raut wajah terkejut."Iya, Bu. Saya lagi cari penumpang yang searah dengan jalan pulang. Lumayan buat tambahan bensin. Ibu mau saya antar kemana lagi?""Ngga usah! Saya mau keluar kota."Kepala Kokom menoleh ke kanan dan kiri. Wanita itu sedang berpikir hendak pergi kemana. Lalu dia melangkahkan kakinya menuju elf yang sedang mengetes. Tanpa pikir panjang, Kokom segera menaiki elf dengan tujuan Rancabuaya. Gunawan masih memperhatikan dari atas motornya. Setelah Kokom naik, pria itu menjalankan kendaraannya lalu berhenti di dekat elf yang sedang mengetem. Dia berbincang sejenak dengan supir elf tersebut. Penumpang elf memang baru Kokom seorang. Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang."Bu.. naik yang lain saja. Saya tidak jadi narik.""Kenapa, Mang?""Kepala saya mendadak pusing. Takut ada apa-apa di jalan. Jadi saya batalkan aja, saya mau pulang."Dengan perasaan dongk
"PERGI!!" teriak Anita kencang. Fauzia masih belum bangun dari posisinya. Luka benturan yang dialaminya tadi membuat kepalanya pusing. Salah seorang pelajar mendekat lalu membantu Fauzia berdiri. Melihat apa yang terjadi pada Dita, Krishna segera mendekat. "Kenapa kamu bisa bebas? Kamu harusnya tetap berada di penjara! Dasar pembunuh!" maki Salim. "Tolong percaya padaku, Pa. Aku tidak membunuh Kang Angga, aku sangat mencintainya." "Berhenti menyebut nama anakku!" hardik Anita dengan suara kencang. Suasana pemakaman yang semula berlangsung khidmat kini berangsur tegang. Fauzia masih terus berusaha meyakinkan kedua mertuanya kalau apa yang dituduhkan padanya tidak benar. "Tolong percaya padaku," ujar Fauzia dengan wajah bersimbah airmata. "Suatu kesalahan membiarkan Angga menikahimu. Aku akan pastikan kamu membusuk di penjara!" "Ibu Fauzia tidak bersalah. Dia sudah dibebaskan oleh polisi. Pembunuh sebenarnya sudah tertangkap," Krisha datang menyela pembicaraan. "Siapa
"Warna merah ini sepertinya bercak darah," ujar Beni seraya menunjuk noda merah tersebut.Gunawan mengambil cotton bud yang sedikit dibasahi agar lembab, kemudian dia menggosokkan cotton bud tersebut ke noda merah yang sudah mengering. Kemudian dimasukkan cotton bud tersebut ke dalam plastik ziplock."Aku akan langsung pergi menemui Fajar untuk menguji ini. Kalau benar ini adalah noda darah dan cocok dengan darah Angga, maka bisa dipastikan di sinilah TKP pembunuhan Angga. Kamu terus awasi Badri, jangan sampai dia masuk ke sini lagi.""Siap, Bang."Gunawan segera bersiap. Pria itu mengambil kunci mobil lalu melajukannya. Sepeninggal Gunawan, Beni membuat kopi lalu membawanya keluar rumah. Dia duduk santai di teras sambil melihat lalu lalang orang di depan rumahnya.Tak lama kemudian terdengar suara wanita yang menjual jajanan pasar melintas menggunakan sepeda ontel. Dari arah rumah Kokom, Badri keluar kemudian memanggil penjual tersebut. Beni ikut mendekati sang penjual sambil berpur
Atas permintaan Daffa, Gunawan terus menyelidiki kasus kematian Angga. Sampai sejauh ini mereka belum menemukan apa-apa. Semuanya terhenti sampai kematian Andika. Pihak kepolisian juga menemukan jalan buntu. Untuk sementara mereka menyimpulkan kalau Andika adalah pembunuh Angga. Selama menyelidiki kasus Angga, Gunawan tetap berkoordinasi dengan temannya yang bertugas menyelidiki kasus tersebut. Jika ada informasi baru, keduanya kerap berbagi informasi. Temannya itu menjanjikan jika ada perkembangan baru, dia akan membuka kasus Angga lagi. Bersama dengan anak buahnya, Gunawan kembali ke tempat awal kasus bermula. Gunawan dan Beni pergi ke Desa Banjarsari menggunakan mobil. Mereka memutuskan kembali ke sana, untuk menyelesaikan penyelidikan dari awal. Siapa tahu mereka bisa mendapatkan petunjuk baru. Setelah memarkirkan kendaraan di dekat lapangan bola, Gunawan dan Beni berjalan menuju warung kopi yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari lapangan. Mereka sengaja menuju ke sana. Beb
"Soal yang kulakukan padamu beberapa hari yang lalu. Maaf aku sudah menamparmu. Aku terbawa emosi waktu itu." Tidak ada jawaban dari Daffa. Pria itu tiba-tiba saja mendorong tubuh Fauzia sampai punggung wanita itu merapat ke tembok. Lalu tanpa diduga, dia langsung membenamkan bibirnya ke bibir ranum Fauzia. "Mas.." Lamunan Daffa buyar ketika mendengar panggilan Fauzia. Pria itu berdehem untuk menghilangkan kegugupannya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Sepertinya Daffa masih ingin mencicipi bibir Fauzia lagi. "Apa katamu tadi?" "Aku minta maaf karena sudah menamparmu. Aku.. aku hanya terbawa emosi. Maaf Mas." "Tidak apa, lupakan saja. Apa kedatanganmu hanya untuk mengatakan ini?" "Tidak juga. Sebenarnya ada hal lain yang mau kubicarakan." "Ayo duduklah." Daffa mengajak Fauzia menuju sofa yang ada di ruang kerjanya. Keduanya duduk berhadapan. Fauzia kemudian menceritakan tentang saham Angga yang sekarang sudah dialihkan atas namanya. "Jujur aja Mas, sebenarnya
Begitu pintu terbuka, Fauzia terkejut melihat Daffa yang hanya mengenakan handuk yang dililit di bagian pinggang, sementara bagian atasnya dibiarkan terbuka. Tetesan air yang membasahi dadanya membuat pria itu terlihat semakin seksi. Jantung Fauzia berdetak lebih kencang melihat penampilan Daffa. Wanita itu meneguk ludahnya kelat. Untuk sesaat dia hanya terbengong saja. "Ada apa?" suara Daffa membangunkan Fauzia dari lamunannya. "Makan malam sudah siap, Mas." "Aku pakai baju dulu." Fauzia bergegas meninggalkan Daffa. Wanita itu heran sendiri kenapa dia sering terlibat dengan situasi canggung bersama Daffa. Fauzia kembali ke meja makan. Di sana Faisal sudah duduk untuk menikmati makan malam. Terdengar dering ponsel Fauzia dari arah kamar. Wanita itu bangun dari duduknya kemudian menuju kamar. Fauzia mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Dia langsung menjawab panggilan yang berasal dari Murni. "Halo." "Halo Uzi, bagaimana kabarmu?" "Baik. Teteh sendiri gimana?" "Baik
Karena tidak menemukan Fauzia di lantai dasar, Daffa pun menuju lantai dua. Pandangannya langsung mengedar ke setiap sudut ruangan di sana. Kemudian dia menangkap Fauzia berdiri di dekat ruangan yang dibatasi oleh tirai.Ketika Daffa mendekat, matanya menangkap langkah kaki mendekati tirai. Salah seorang yang berada dalam ruangan, bermaksud keluar. Sementara Fauzia semakin mendekatkan tubuhnya untuk mencuri dengar lebih jelas.Dengan cepat Daffa menghambur pada Fauzia. Ditariknya tubuh wanita itu sedikit menjauh dari tirai lalu mendorongnya hingga punggung Fauzia menyentuh tembok di belakangnya. Masih terkejut dengan tindakan Daffa, tiba-tiba saja bibir pria itu sudah menempel di bibirnya.Untuk sejenak Fauzia terdiam. Kesadarannya berhamburan ketika Daffa memagut bibirnya dengan lembut. Ketika kesadarannya kembali, wanita itu bermaksud untuk melepaskan diri, namun dia melihat ada yang keluar dari ruangan. Tak ingin ketahan tengah menguping, Fauzia pun urung mendorong tubuh Daffa. Bah
Salim segera dilarikan ke rumah sakit setelah jatuh pingsan. Dokter segera memberikan pertolongan cepat. Dari gejalanya, pria itu disinyalir mengalami keracunan tetrodotoksin. Itu adalah jenis racun yang terdapat dalam ikan buntal. Karena mendapat penanganan yang tepat, nyawa Salim bisa diselamatkan namun pria itu harus menjalani perawatan dan pemantauan serius dari pihak medis. Anita dan Imron memilih menyembunyikan kasus ini dan tidak melaporkannya pada polisi. Namun Rafi bersikeras untuk melaporkan hal tersebut. Setahunya sang ayah tidak pernah mengkonsumsi ikan buntal. Polisi segera datang ke rumah sakit untuk penyelidikan. Mereka juga datang ke rumah. Makanan dan alat makan yang digunkan Salim terakhir kali tidak diperbolehkan untuk dibuang, dibersihkan atau disentuh. Petugas polisi itu membawa semuanya untuk diperiksa. "Kenapa kamu melaporkan hal ini ke polisi?" tanya Anita pada Rafi. "Coba Mama pikir, kapan Papa pernah memakan ikan buntal? Selama ini juga Papa selalu menjag
"Selama aku menguraikan kode ini, bisakan kamu bawakan makan siang untukku?" Daffa menolehkan kepalanya, melihat pada Fauzia. Menunggu persetujuan wanita itu agar mau melakukan permintaannya. Jujur saja, Daffa sudah candu dengan rasa masakan Fauzia yang lezat. "Tidak masalah. Mas mau makan apa? Nanti aku masakan." "Terserah kamu saja. Aku bukan orang pemilih. Aku juga suka pedas." "Ehm.. baiklah. Besok aku akan membawakanmu makan siang. Tapi tolong katakan pada sekretarismu kalau akan datang untuk mengantarkan makan siang. Dia sepertinya tidak menyukaiku." "Feli?" "Iya. Sepertinya dia menyukaimu." "Jangan membuat gosip." "Siapa yang membuat gosip? Aku ini perempuan, tentu saja aku tahu kalau perempuan itu menyukaimu." Daffa tidak mempedulikan ucapan Fauzia. Di matanya Felicia tidak lebih hanyalah seorang sekretaris saja. Selama pekerjaannya baik, dia akan tetap mempertahankan wanita itu. "Kalau begitu, aku pulang dulu." "Tunggu, biar aku antar. Kebetulan aku ada meeting di
"Kang Angga.." Mata Fauzia nampak berkaca-kaca saat melihat wajah suaminya di layar laptop. Wanita itu terus melihat ke layar laptop tanpa berkedip. "Hai sayang.. kalau kamu lihat video ini, berarti aku sudah tidak bersamamu lagi." Airmata Fauzia jatuh menetes mendengar kata-kata pertama yang diucapkan dalam video. Faisal merengkuh bahu keponakannya itu lalu merangkulnya. "Maafkan aku, sayang. Maaf kalau aku tidak bisa menemanimu lagi. Inginku bisa terus bersamamu sampai menua bersama. Tapi satu hal yang aku syukuri, aku beruntung memilikimu sebagai istri. Terima kasih sudah menemaniku selama ini. Mungkin alasan Tuhan belum memiliki keturunan, agar kita mempunyai waktu bersama lebih lama lagi." Nampak Angga menjeda ucapannya. Pria itu menghapus buliran bening yang membasahi pipinya. Airmata Fauzia semakin deras bercucuran. "Waktu Papa meminta bantuanku mengaudit perusahaan, sejak saat itu aku mulai merasakan kalau aku berada dalam bahaya. Aku merasa seperti ada yang tenga
Suasana di ruang perawatan Faisal sesaat menjadi sunyi. Fauzia masih belum menanggapi cerita Faisal tentang masa lalu dirinya bersama Faidhan, saudara kembar sekaligus ayah dari Fauzia."Om tahu, kamu pasti membenci Om. Tapi tolong jangan pergi. Biarkan Om menebus kesalahan Om dengan menjagamu. Kamu satu-satunya keluarga yang Om miliki selain Reza. Kamu anak Faidhan dan Kelana, sudah kewajiban Om untuk menjagamu."Wajah Faisal nampak sendu ketika mengatakan itu semua. Walau waktu sudah berlalu lebih dari 25 tahun, namun kesalahan yang dulu dilakukan olehnya masih membekas sampai sekarang. Perasaan menyesal terus menggelayuti dirinya. Bahkan pria itu tidak ada keinginan untuk berumah tangga dan hanya fokus merawat Reza saja.Fauzia bangun dari duduknya, kemudian dia mendekati ranjang Faisal. Mendudukkan diri di sisi ranjang, kemudian meraih tangan pria itu. Tatapan matanya begitu lembut dan menenangkan. Sebuah senyuman diberikan olehnya."Apa yang Om katakan, itu hanyalah cerita masa l