"Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan.
Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu di mana keberadaan suaminya. Saat terbangun, wanita itu tidak mendapati sang suami berada di sisinya. "Masa? Kok saya ngga lihat Angga lewat tadi." Rumah Kokom memang tidak jauh dari rumah Fauzia. Dan kalau Angga berangkat kerja, pasti melewati depan rumah Kokom. "Mungkin Bu Kokom sedang di dalam waktu Kang Angga lewat. Sebenarnya Bu Kokom ke sini mau apa?" kesal Fauzia. "Saya cuma mau pinjam blender." "Sebentar." Fauzia bergegas menuju ke dapur. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa blender. Segera diserahkannya alat tersebut pada Kokom untuk mengusir wanita itu agar cepat pergi dari rumahnya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Kokom bermaksud hendak pergi, tapi wanita itu kembali lagi. "Uzi, kamu sedang ribut dengan Angga?" "Ngga. Bu Kokom jangan ngada-ngada ya." "Kemarin aku dengar kalian sedang bertengkar hebat." "Kapan?" Kening Fauzia nampak mengernyit karena memang tidak ada pertengkaran antara dirinya dengan Angga. Namun wajah Kokom nampak serius, sepertinya dia yakin sekali dengan yang didengarnya kemarin. "Kemarin. Kamu bertengkar gara-gara Andika." "Bu Kokom jangan nyebar gosip. Hubungan saya dan Kang Angga baik-baik saja. Dan saya juga tidak ada hubungan apa-apa dengan Andika. Suami saya sangat mencintai saya dan tolong jangan rusak rumah tangga saya hanya karena kecurigaan Bu Kokom. Saya lebih tahu rumah tangga saya dibanding orang lain. Silakan Bu Kokom pergi." Fauzia sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengusir Kokom. Wanita itu sudah mencampuri kehidupan rumah tangganya. Melihat wajah Fauzia yang sudah tidak ramah lagi, Kokom pun segera berlalu. Sepeninggal Kokom, Fauzia bergegas masuk ke dalam kamar. Dia membuka kembali bungkusan yang berisi pakaiannya. Diperhatikannya baju tidur miliknya yang terdapat noda darah di bagian dada dan juga bagian bawah. Wanita itu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Seingatnya semalam Kokom datang memberikan bandrex untuknya dan juga Angga. Keduanya menghabiskan minuman tersebut lalu masuk ke dalam kamar. Setelah itu Fauzia tidak mengingat apa-apa lagi. Bahkan rencana mereka untuk bercinta pun tidak diingat lagi oleh Fauzia. "Ada apa denganku? Kenapa aku tidak ingat kejadian semalam?" Tak ingin terus kebingungan, Fauzia mencari ponselnya. Wanita itu segera menghubungi nomor Angga. Namun sampai deringan terakhir, suaminya itu tak juga menjawab panggilannya. "Mungkin Kang Angga sedang mengajar. Lebih baik aku ke koperasi sekarang. Nanti sepulang kerja, aku akan menanyakan pada Kang Angga." Fauzia memasukkan kembali pakaian miliknya ke dalam plastik hitam lalu menaruhnya ke dalam laci. Selanjutnya wanita itu segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. * * * Ketika sampai di koperasi, hampir semua temannya sudah datang. Pandangan Fauzia langsung tertuju pada meja Andika. Dia tidak bisa menemukan keberadaan lelaki itu di sana. "Andika tidak masuk kerja?" tanya Fauzia pada salah satu rekannya. "Sejak kemarin dia tidak kelihatan. Mungkin dia sudah pergi dari desa ini," jawab Murni. "Aku lihat Angga dan Andika sempat bersitegang. Apa itu gara-gara kamu, Uzi?" tanya Sari. "Aku?" "Iya, bukannya kamu selama ini menjalin hubungan diam-diam dengan Andika? Pasti perselingkuhan kalian sudah tercium oleh Angga. Kepergian Andika pasti ada hubungannya dengan Angga." "Astaghfirullah, kalian ngomong apa sih?" "Andika sudah menceritakannya padaku kalau kalian ada hubungan. Bahkan Bu Kokom melihat Andika keluar dari rumahmu. Kamu berani sekali, Zi." Fauzia memperhatikan semua rekan kerjanya. Pandangan semua orang dirasa sangat menghakiminya. Fauzia dituduh melakukan hal yang tidak dilakukannya sama sekali. Hanya Murni saja yang tidak terpengaruh oleh ucapan yang lain. "Apa kalian punya buktinya kalau Uzi berselingkuh dengan Andika?" tanya Murni. "Andika yang bilang padaku." "Bisa saja Andika yang berbohong. Sejak awal masuk dia memang sudah tertarik pada Uzi. Dan Uzi sendiri menyangkal soal perselingkuhan itu. Kalian lebih mempercayai Andika yang baru kita kenal satu bulan dibanding Uzi yang sudah bertahun-tahun?" Semua terdiam mendengar ucapan Murni. Wanita itu mendekati Fauzia lalu menepuk pundaknya pelan. Murni meminta Fauzia kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaan. Pikiran Fauzia tidak bisa tenang begitu saja. Dia merasa ada yang janggal soal Andika, entah apa. * * * Malam mulai beranjak turun, namun Angga masih belum pulang ke rumah. Fauzia mulai cemas, dia mencoba menghubungi suaminya, namun masih belum ada jawaban. Wanita itu mengambil cardigan untuk melapisi pakaiannya lalu bergegas menuju rumah Pak Didi, rekan Angga di sekolah. Tak sampai sepuluh menit, Fauzia sudah sampai di rumah pria itu. Dengan cepat Fauzia mengetuk seraya mengucapkan salam. Tak lama berselang terdengar orang menjawab salam dan pintu terbuka setelahnya. "Uzi.." panggil Didi. "Pak Didi, punten kalau Kang Angga kemana ya? Kok sampai sekarang belum pulang? Ada acara apa di sekolah? Saya hubungi hapenya juga tidak dijawab." "Loh, bukannya Angga ngga masuk hari ini? Justru saya yang mau tanya, Angga kemana sampai ngga masuk dan kasih kabar." "Hah? Kang Angga ngga ke sekolah?" Kecemasan langsung merayapi hati Fauzia. Apalagi dia tahu kalau hari ini Andika juga tidak masuk kerja. Apa menghilangnya Angga ada hubungannya dengan Andika? "Pak Didi, gimana ini? Di mana suami saya sebenarnya?" "Tenang dulu, Uzi. Lebih baik kamu masuk dulu." Fauzia mengikuti saran Didi. Wanita itu segera masuk ke dalam rumah. Didi meminta istrinya membuatkan minuman hangat untuk Fauzia. Tak lama kemudian istri Didi datang membawakan segelas teh manis hangat. "Diminum dulu Dek Uzi." "Terima kasih, Bu." Fauzia mengambil gelas berisi teh hangat kemudian menyesapnya pelan. Wanita itu kembali meletakkan gelas di atas meja. "Coba ceritakan apa yang terjadi sebelum Angga menghilang," ujar Didi. "Malam itu kami hanya berbincang saja. Kang Angga bahkan baru membelikan hadiah kalung untuk saya," Fauzia memperlihatkan kalung yang diberikan Angga kemarin malam. "Waktu kamu hendak masuk ke kamar, datang Bu Kokom mengantarkan bandrex untuk saya dan suami saya. Setelah menghabiskan bandrex, kami masuk ke kamar karena saya tiba-tiba mengantuk dan setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Besok paginya begitu bangun, Kang Angga sudah tidak ada. Saya pikir Kang Angga sudah berangkat ke sekolah karena saya bangun kesiangan." Kepala Didi mengangguk-angguk tanda mengerti. Hilangnya Angga secara tiba-tiba tentu saja meninggalkan pertanyaan dan kekhawatiran pada Fauzia. Wajah wanita itu nampak cemas. "Saya harus bagaimana Pak Didi? Saya harus tanya sama siapa?" "Lebih baik kita ke Pak RT dulu. Kita laporkan soal hilangnya Angga dan minta bantuan warga untuk mencarinya." "Baik, Pak." Bersama dengan Didi, Fauzia pergi ke rumah Pak Bandi, ketua RT tempatnya tinggal. Fauzia kembali menceritakan apa yang terjadi. Bandi memanggil beberapa warga dan mengajaknya mencari Angga. Hampir dua jam lamanya Fauzia dan warga lain berkeliling mencari keberadaan Angga. Namun pria itu tidak ditemukan sama sekali. Fauzia mulai menangis, dia takut sesuatu terjadi pada suaminya. "Uzi.. tenang dulu. Kamu jangan menangis. Lebih baik kamu pulang dan biarkan kami yang mencari Angga." Ditemani istri Didi, Fauzia kembali ke rumahnya. Kabar hilangnya Angga tentu saja menggegerkan tetangga Fauzia, termasuk Kokom. Dia bersama ibu yang lain mendatangi kediaman Fauzia. Di saat ibu yang lain menemani Fauzia di ruang tamu, Kokom diam-diam menyelinap masuk. Wanita itu menuju dapur, mencari-cari sesuatu entah apa. Kemudian dia mencari ke tempat lain, termasuk kamar mandi. Tapi masih belum menemukan apa yang dicarinya. Kini hanya tinggal kamar Fauzia saja yang belum digeledah. Sambil mengendap-endap Kokom menuju kamar Fauzia. Ketika perhatian yang lain tidak tertuju padanya, dengan cepat Kokom menyelinap masuk. Wanita itu mulai menggeledah kamar Fauzia. Dia membuka lemari pakaian dan melihat-lihat isi dalamnya. Kokom lalu membuka laci yang ada di bagian bawah. Matanya menangkap plastik hitam di sana. Dengan cepat dia mengambil plastik tersebut lalu mengeluarkan isinya. Wanita itu terkejut ketika melihat pakaian tidur Uzi yang terdapat noda darah. Buru-buru Kokom keluar sambil membawa baju tersebut. "Uzi.. ini apa?" Kepala Fauzia menoleh. Dia terkejut Kokom memegang pakaian miliknya yang terdapat noda darah. Wanita itu ingat betul kalau menyembunyikan pakaian tersebut di laci lemari. Berarti Kokom menggeledah kamarnya tanpa sepengetahuannya. "Bu Kokom ngapain di kamar saya?!" tanya Fauzia kesal. "Bu Kokom dapat itu dari mana?" tanya Bu RT. "Ini saya dapat dari kamar Uzi. Disembunyikan di laci lemari. Ini baju kamu kan? Terus ini darah siapa?" "Bu Kokom lancang! Untuk apa Bu Kokom menggeledah kamar saya?!" Wajah Fauzia memerah menunjukkan kemarahan dan kekesalannya. Bu RT mendekati Kokom lalu mengambil baju tersebut. Dia terkejut melihat pakaian tidur Fauzia yang terdapat noda darah. "Ini darah apa?" "Mungkin ini darah Angga! Saya curiga dia yang sudah membunuh Angga!" tangan Kokom menunjuk pada Fauzia. "Bu Kokom jangan asal tuduh! Mana mungkin saya membunuh suami saya sendiri?" "Bisa aja kalau kamu sudah kepincut laki-laki lain. Bukannya selama ini kamu berselingkuh dengan Andika." "Tutup mulut Bu Kokom. Justru saya curiga pada Bu Kokom, jangan-jangan Ibu yang sudah kasih obat tidur ke minuman saya!" Suasana antara Fauzia dan Kokom semakin tegang. Mereka jadi bertanya-tanya tentang hilangnya Angga. Benarkah sesuai dengan tuduhan Kokom? Apalagi ada bukti kuat di tangannya. Bu RT meminta salah satu warga mencari suaminya. Masalah pelik seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Lima belas menit kemudian Pak RT datang bersama warga yang lain. Bu RT segera menjelaskan duduk persoalan yang terjadi. Pak RT mengambil baju di tangan Kokom. "Pak Usep, segera hubungi Polisi. Sepertinya kita butuh bantuan Polisi ingin kasus ini. Dan jaga Uzi, jangan sampai dia melarikan diri." "Pak! Saya tidak membunuh suami saya! Saya tidak bersalah!" teriak Fauzia. "Kamu membunuh atau tidak, biar polisi yang menyelidikinya. Sampai sekarang Angga belum bisa ditemukan. Pak Darman, tolong ajak warga yang lain untuk terus mencari keberadaan Angga. Kita harus menemukannya hidup atau mati." Fauzia hanya bisa menangis mendengar ucapan Pak RT. Sudah suaminya menghilang, sekarang dirinya dituduh membunuh sang suami. Ingin rasanya Fauzia berteriak kencang dan menangis sejadinya. Namun dia tahu kalau itu bukanlah solusi. Usai menghubungi Polisi, Usep segera bergabung dengan warga yang lain untuk mencari keberadaan Angga. Bersama dengan empat orang pemuda, Usep menuju kebun pisang milik Pak Bondan. Dengan menggunakan senter, dia mencari guru sekolah itu di setiap sudut. Tiba-tiba senter Usep mengarah pada sebuah pohon pisang. Betul pohon pisang tersebut mencurigakan, seperti baru ditanam kembali. Dia mengajak empat orang yang bersamanya untuk menggali pohon pisang tersebut. Dugaannya benar, pohon pisang ditancapkan asal oleh seseorang. Kelima pria itu terus menggali sampai akhirnya mereka menemukan sesuatu yang terbungkus plastik sampah hitam. Usep dan yang lain menarik plastik sampah tersebut. Ketika Usep membuat pengikat plastik, pria itu terpekik begitu melihat isinya. "Angga!""Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
Udara di sore hari terasa lebih sejuk. Panasnya terik matahari yang terus menunjukkan keganasannya sejak siang tadi kini perlahan mulai meredup seiring dengan sang fajar yang beranjak menuju peraduannya. Seorang wanita keluar dari sebuah bangunan yang dijadikan kantor . Di depan bangunan terdapat plang nama bertuliskan KOPERASI SUMBER MAKMUR. Wanita bernama Fauzia itu adalah salah satu pegawai di sana. Sudah dua tahun lamanya dia bekerja di sana sebagai staf keuangan. Dengan tas bahunya wanita itu berjalan menyusuri jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan dan persawahan. Sudah tiga tahun ini dia tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Mencari ketenangan dan kenyamanan hidup. "Uzi!" Kepalanya menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Senyum mengembang di wajahnya melihat seorang pria berjalan mendekatinya. Dia adalah Angga, suami sekaligus lelaki yang paling dicintainya di dunia ini. Fauzia dan Angga menikah sejak tiga tahun lalu. Setelah menikah, An
"Uzi.. aku boleh minta minum?" Fauzia yang sedang menyiram tanaman dikejutkan dengan suara seorang lelaki. Tiba-tiba saja Andika sudah berada di belakangnya. Tanpa mempedulikan permintaan Andika, Fauzia melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah malas menanggapi Andika. Terkadang pria itu bersikap aneh dan membuat beberapa rekan kerja Fauzia salah paham padanya. Pernah satu kali atasan Fauzia menegurnya. Menurut sang atasan sikap Fauzia kurang pantas karena selalu memberi respon pada Andika. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah bersuami. Tentu saja Fauzia dibuat bingung. Selama ini dia merasa tidak pernah menanggapi Andika namun kenapa semua orang bersikap seolah-olah dirinya bermain api dengan Andika. "Uzi.. aku haus. Masa minta minum saja tidak boleh." Fauzia menghela nafasnya lalu melihat pada Andika. Wajah pria itu berkeringat dan nampak lelah. Entah apa yang sudah dilakukannya. "Tunggu di sini." Karena tak tega, akhirnya Fauzia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minuma
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
"Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan. Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia s
"Uzi.. aku boleh minta minum?" Fauzia yang sedang menyiram tanaman dikejutkan dengan suara seorang lelaki. Tiba-tiba saja Andika sudah berada di belakangnya. Tanpa mempedulikan permintaan Andika, Fauzia melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah malas menanggapi Andika. Terkadang pria itu bersikap aneh dan membuat beberapa rekan kerja Fauzia salah paham padanya. Pernah satu kali atasan Fauzia menegurnya. Menurut sang atasan sikap Fauzia kurang pantas karena selalu memberi respon pada Andika. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah bersuami. Tentu saja Fauzia dibuat bingung. Selama ini dia merasa tidak pernah menanggapi Andika namun kenapa semua orang bersikap seolah-olah dirinya bermain api dengan Andika. "Uzi.. aku haus. Masa minta minum saja tidak boleh." Fauzia menghela nafasnya lalu melihat pada Andika. Wajah pria itu berkeringat dan nampak lelah. Entah apa yang sudah dilakukannya. "Tunggu di sini." Karena tak tega, akhirnya Fauzia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minuma
Udara di sore hari terasa lebih sejuk. Panasnya terik matahari yang terus menunjukkan keganasannya sejak siang tadi kini perlahan mulai meredup seiring dengan sang fajar yang beranjak menuju peraduannya. Seorang wanita keluar dari sebuah bangunan yang dijadikan kantor . Di depan bangunan terdapat plang nama bertuliskan KOPERASI SUMBER MAKMUR. Wanita bernama Fauzia itu adalah salah satu pegawai di sana. Sudah dua tahun lamanya dia bekerja di sana sebagai staf keuangan. Dengan tas bahunya wanita itu berjalan menyusuri jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan dan persawahan. Sudah tiga tahun ini dia tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Mencari ketenangan dan kenyamanan hidup. "Uzi!" Kepalanya menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Senyum mengembang di wajahnya melihat seorang pria berjalan mendekatinya. Dia adalah Angga, suami sekaligus lelaki yang paling dicintainya di dunia ini. Fauzia dan Angga menikah sejak tiga tahun lalu. Setelah menikah, An