"Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan.
Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu di mana keberadaan suaminya. Saat terbangun, wanita itu tidak mendapati sang suami berada di sisinya. "Masa? Kok saya ngga lihat Angga lewat tadi." Rumah Kokom memang tidak jauh dari rumah Fauzia. Dan kalau Angga berangkat kerja, pasti melewati depan rumah Kokom. "Mungkin Bu Kokom sedang di dalam waktu Kang Angga lewat. Sebenarnya Bu Kokom ke sini mau apa?" kesal Fauzia. "Saya cuma mau pinjam blender." "Sebentar." Fauzia bergegas menuju ke dapur. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa blender. Segera diserahkannya alat tersebut pada Kokom untuk mengusir wanita itu agar cepat pergi dari rumahnya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Kokom bermaksud hendak pergi, tapi wanita itu kembali lagi. "Uzi, kamu sedang ribut dengan Angga?" "Ngga. Bu Kokom jangan ngada-ngada ya." "Kemarin aku dengar kalian sedang bertengkar hebat." "Kapan?" Kening Fauzia nampak mengernyit karena memang tidak ada pertengkaran antara dirinya dengan Angga. Namun wajah Kokom nampak serius, sepertinya dia yakin sekali dengan yang didengarnya kemarin. "Kemarin. Kamu bertengkar gara-gara Andika." "Bu Kokom jangan nyebar gosip. Hubungan saya dan Kang Angga baik-baik saja. Dan saya juga tidak ada hubungan apa-apa dengan Andika. Suami saya sangat mencintai saya dan tolong jangan rusak rumah tangga saya hanya karena kecurigaan Bu Kokom. Saya lebih tahu rumah tangga saya dibanding orang lain. Silakan Bu Kokom pergi." Fauzia sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengusir Kokom. Wanita itu sudah mencampuri kehidupan rumah tangganya. Melihat wajah Fauzia yang sudah tidak ramah lagi, Kokom pun segera berlalu. Sepeninggal Kokom, Fauzia bergegas masuk ke dalam kamar. Dia membuka kembali bungkusan yang berisi pakaiannya. Diperhatikannya baju tidur miliknya yang terdapat noda darah di bagian dada dan juga bagian bawah. Wanita itu mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Seingatnya semalam Kokom datang memberikan bandrex untuknya dan juga Angga. Keduanya menghabiskan minuman tersebut lalu masuk ke dalam kamar. Setelah itu Fauzia tidak mengingat apa-apa lagi. Bahkan rencana mereka untuk bercinta pun tidak diingat lagi oleh Fauzia. "Ada apa denganku? Kenapa aku tidak ingat kejadian semalam?" Tak ingin terus kebingungan, Fauzia mencari ponselnya. Wanita itu segera menghubungi nomor Angga. Namun sampai deringan terakhir, suaminya itu tak juga menjawab panggilannya. "Mungkin Kang Angga sedang mengajar. Lebih baik aku ke koperasi sekarang. Nanti sepulang kerja, aku akan menanyakan pada Kang Angga." Fauzia memasukkan kembali pakaian miliknya ke dalam plastik hitam lalu menaruhnya ke dalam laci. Selanjutnya wanita itu segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. * * * Ketika sampai di koperasi, hampir semua temannya sudah datang. Pandangan Fauzia langsung tertuju pada meja Andika. Dia tidak bisa menemukan keberadaan lelaki itu di sana. "Andika tidak masuk kerja?" tanya Fauzia pada salah satu rekannya. "Sejak kemarin dia tidak kelihatan. Mungkin dia sudah pergi dari desa ini," jawab Murni. "Aku lihat Angga dan Andika sempat bersitegang. Apa itu gara-gara kamu, Uzi?" tanya Sari. "Aku?" "Iya, bukannya kamu selama ini menjalin hubungan diam-diam dengan Andika? Pasti perselingkuhan kalian sudah tercium oleh Angga. Kepergian Andika pasti ada hubungannya dengan Angga." "Astaghfirullah, kalian ngomong apa sih?" "Andika sudah menceritakannya padaku kalau kalian ada hubungan. Bahkan Bu Kokom melihat Andika keluar dari rumahmu. Kamu berani sekali, Zi." Fauzia memperhatikan semua rekan kerjanya. Pandangan semua orang dirasa sangat menghakiminya. Fauzia dituduh melakukan hal yang tidak dilakukannya sama sekali. Hanya Murni saja yang tidak terpengaruh oleh ucapan yang lain. "Apa kalian punya buktinya kalau Uzi berselingkuh dengan Andika?" tanya Murni. "Andika yang bilang padaku." "Bisa saja Andika yang berbohong. Sejak awal masuk dia memang sudah tertarik pada Uzi. Dan Uzi sendiri menyangkal soal perselingkuhan itu. Kalian lebih mempercayai Andika yang baru kita kenal satu bulan dibanding Uzi yang sudah bertahun-tahun?" Semua terdiam mendengar ucapan Murni. Wanita itu mendekati Fauzia lalu menepuk pundaknya pelan. Murni meminta Fauzia kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaan. Pikiran Fauzia tidak bisa tenang begitu saja. Dia merasa ada yang janggal soal Andika, entah apa. * * * Malam mulai beranjak turun, namun Angga masih belum pulang ke rumah. Fauzia mulai cemas, dia mencoba menghubungi suaminya, namun masih belum ada jawaban. Wanita itu mengambil cardigan untuk melapisi pakaiannya lalu bergegas menuju rumah Pak Didi, rekan Angga di sekolah. Tak sampai sepuluh menit, Fauzia sudah sampai di rumah pria itu. Dengan cepat Fauzia mengetuk seraya mengucapkan salam. Tak lama berselang terdengar orang menjawab salam dan pintu terbuka setelahnya. "Uzi.." panggil Didi. "Pak Didi, punten kalau Kang Angga kemana ya? Kok sampai sekarang belum pulang? Ada acara apa di sekolah? Saya hubungi hapenya juga tidak dijawab." "Loh, bukannya Angga ngga masuk hari ini? Justru saya yang mau tanya, Angga kemana sampai ngga masuk dan kasih kabar." "Hah? Kang Angga ngga ke sekolah?" Kecemasan langsung merayapi hati Fauzia. Apalagi dia tahu kalau hari ini Andika juga tidak masuk kerja. Apa menghilangnya Angga ada hubungannya dengan Andika? "Pak Didi, gimana ini? Di mana suami saya sebenarnya?" "Tenang dulu, Uzi. Lebih baik kamu masuk dulu." Fauzia mengikuti saran Didi. Wanita itu segera masuk ke dalam rumah. Didi meminta istrinya membuatkan minuman hangat untuk Fauzia. Tak lama kemudian istri Didi datang membawakan segelas teh manis hangat. "Diminum dulu Dek Uzi." "Terima kasih, Bu." Fauzia mengambil gelas berisi teh hangat kemudian menyesapnya pelan. Wanita itu kembali meletakkan gelas di atas meja. "Coba ceritakan apa yang terjadi sebelum Angga menghilang," ujar Didi. "Malam itu kami hanya berbincang saja. Kang Angga bahkan baru membelikan hadiah kalung untuk saya," Fauzia memperlihatkan kalung yang diberikan Angga kemarin malam. "Waktu kamu hendak masuk ke kamar, datang Bu Kokom mengantarkan bandrex untuk saya dan suami saya. Setelah menghabiskan bandrex, kami masuk ke kamar karena saya tiba-tiba mengantuk dan setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Besok paginya begitu bangun, Kang Angga sudah tidak ada. Saya pikir Kang Angga sudah berangkat ke sekolah karena saya bangun kesiangan." Kepala Didi mengangguk-angguk tanda mengerti. Hilangnya Angga secara tiba-tiba tentu saja meninggalkan pertanyaan dan kekhawatiran pada Fauzia. Wajah wanita itu nampak cemas. "Saya harus bagaimana Pak Didi? Saya harus tanya sama siapa?" "Lebih baik kita ke Pak RT dulu. Kita laporkan soal hilangnya Angga dan minta bantuan warga untuk mencarinya." "Baik, Pak." Bersama dengan Didi, Fauzia pergi ke rumah Pak Bandi, ketua RT tempatnya tinggal. Fauzia kembali menceritakan apa yang terjadi. Bandi memanggil beberapa warga dan mengajaknya mencari Angga. Hampir dua jam lamanya Fauzia dan warga lain berkeliling mencari keberadaan Angga. Namun pria itu tidak ditemukan sama sekali. Fauzia mulai menangis, dia takut sesuatu terjadi pada suaminya. "Uzi.. tenang dulu. Kamu jangan menangis. Lebih baik kamu pulang dan biarkan kami yang mencari Angga." Ditemani istri Didi, Fauzia kembali ke rumahnya. Kabar hilangnya Angga tentu saja menggegerkan tetangga Fauzia, termasuk Kokom. Dia bersama ibu yang lain mendatangi kediaman Fauzia. Di saat ibu yang lain menemani Fauzia di ruang tamu, Kokom diam-diam menyelinap masuk. Wanita itu menuju dapur, mencari-cari sesuatu entah apa. Kemudian dia mencari ke tempat lain, termasuk kamar mandi. Tapi masih belum menemukan apa yang dicarinya. Kini hanya tinggal kamar Fauzia saja yang belum digeledah. Sambil mengendap-endap Kokom menuju kamar Fauzia. Ketika perhatian yang lain tidak tertuju padanya, dengan cepat Kokom menyelinap masuk. Wanita itu mulai menggeledah kamar Fauzia. Dia membuka lemari pakaian dan melihat-lihat isi dalamnya. Kokom lalu membuka laci yang ada di bagian bawah. Matanya menangkap plastik hitam di sana. Dengan cepat dia mengambil plastik tersebut lalu mengeluarkan isinya. Wanita itu terkejut ketika melihat pakaian tidur Uzi yang terdapat noda darah. Buru-buru Kokom keluar sambil membawa baju tersebut. "Uzi.. ini apa?" Kepala Fauzia menoleh. Dia terkejut Kokom memegang pakaian miliknya yang terdapat noda darah. Wanita itu ingat betul kalau menyembunyikan pakaian tersebut di laci lemari. Berarti Kokom menggeledah kamarnya tanpa sepengetahuannya. "Bu Kokom ngapain di kamar saya?!" tanya Fauzia kesal. "Bu Kokom dapat itu dari mana?" tanya Bu RT. "Ini saya dapat dari kamar Uzi. Disembunyikan di laci lemari. Ini baju kamu kan? Terus ini darah siapa?" "Bu Kokom lancang! Untuk apa Bu Kokom menggeledah kamar saya?!" Wajah Fauzia memerah menunjukkan kemarahan dan kekesalannya. Bu RT mendekati Kokom lalu mengambil baju tersebut. Dia terkejut melihat pakaian tidur Fauzia yang terdapat noda darah. "Ini darah apa?" "Mungkin ini darah Angga! Saya curiga dia yang sudah membunuh Angga!" tangan Kokom menunjuk pada Fauzia. "Bu Kokom jangan asal tuduh! Mana mungkin saya membunuh suami saya sendiri?" "Bisa aja kalau kamu sudah kepincut laki-laki lain. Bukannya selama ini kamu berselingkuh dengan Andika." "Tutup mulut Bu Kokom. Justru saya curiga pada Bu Kokom, jangan-jangan Ibu yang sudah kasih obat tidur ke minuman saya!" Suasana antara Fauzia dan Kokom semakin tegang. Mereka jadi bertanya-tanya tentang hilangnya Angga. Benarkah sesuai dengan tuduhan Kokom? Apalagi ada bukti kuat di tangannya. Bu RT meminta salah satu warga mencari suaminya. Masalah pelik seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Lima belas menit kemudian Pak RT datang bersama warga yang lain. Bu RT segera menjelaskan duduk persoalan yang terjadi. Pak RT mengambil baju di tangan Kokom. "Pak Usep, segera hubungi Polisi. Sepertinya kita butuh bantuan Polisi ingin kasus ini. Dan jaga Uzi, jangan sampai dia melarikan diri." "Pak! Saya tidak membunuh suami saya! Saya tidak bersalah!" teriak Fauzia. "Kamu membunuh atau tidak, biar polisi yang menyelidikinya. Sampai sekarang Angga belum bisa ditemukan. Pak Darman, tolong ajak warga yang lain untuk terus mencari keberadaan Angga. Kita harus menemukannya hidup atau mati." Fauzia hanya bisa menangis mendengar ucapan Pak RT. Sudah suaminya menghilang, sekarang dirinya dituduh membunuh sang suami. Ingin rasanya Fauzia berteriak kencang dan menangis sejadinya. Namun dia tahu kalau itu bukanlah solusi. Usai menghubungi Polisi, Usep segera bergabung dengan warga yang lain untuk mencari keberadaan Angga. Bersama dengan empat orang pemuda, Usep menuju kebun pisang milik Pak Bondan. Dengan menggunakan senter, dia mencari guru sekolah itu di setiap sudut. Tiba-tiba senter Usep mengarah pada sebuah pohon pisang. Betul pohon pisang tersebut mencurigakan, seperti baru ditanam kembali. Dia mengajak empat orang yang bersamanya untuk menggali pohon pisang tersebut. Dugaannya benar, pohon pisang ditancapkan asal oleh seseorang. Kelima pria itu terus menggali sampai akhirnya mereka menemukan sesuatu yang terbungkus plastik sampah hitam. Usep dan yang lain menarik plastik sampah tersebut. Ketika Usep membuat pengikat plastik, pria itu terpekik begitu melihat isinya. "Angga!""Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
"Aku tidak punya keluarga. Hanya Kang Angga satu-satunya keluargaku." "Dia mengaku sebagai pamanmu."Kening Fauzia mengerut. Masih belum ada gambaran siapa yang sudah mengaku sebagai Pamannya. Setahunya sang ayah tidak memiliki saudara, begitu pula dengan Ibunya. Suara petugas membuyarkan lamunannya, mengajak wanita itu segera menuju ruangan yang diperuntukkan bagi tahanan untuk bertemu dengan penjenguknya.Ketika pintu ruangan terbuka, nampak dua pria tengah duduk menunggunya. Ini pertama kalinya Fauzia bertemu dengan kedua pria itu. Pelan-pelan Fauzia mendekati meja lalu menarik kursi di depannya. Matanya masih belum lepas dari dua orang di hadapannya."Kalian siapa?" tanya Fauzia setelah cukup lama mereka terdiam."Aku Pamanmu, namaku Daffa."Salah satu pria menjawab pertanyaan Fauzia. Dipandanginya wajah pria yang mengaku sebagai Pamannya. Usianya belum terlalu tua. Mungkin hanya berbeda lima sampai enam tahun saja dengannya."Aku tidak punya keluarga lagi setelah kedua orang tu
"Bagaimana Ibu bisa tahu Ibu Fauzia menyembunyikan pakaian yang berlumuran darah di kamarnya?" "Tentu saja karena saya mencarinya." "Kenapa Ibu yakin sekali akan menemukan sesuatu yang penting? Apa Ibu sudah mencurigai Fauzia sebelumnya?" "Saya sudah curiga ketika pagi-pagi saya datang ke rumahnya. Di sana tidak ada Angga dan Uzi lama sekali saat membuka pintu. Seperti ada yang sedang disembunyikannya." "Kenapa Ibu sampai habis berpikir kalau Fauzia sudah membunuh Angga? Bisa saja Angga tidak berada di rumah karena sudah berangkat kerja. Ibu hanya Ibu rumah tangga biasa, rasanya aneh saja kalau sampai Ibu punya kecurigaan seperti itu. Lalu apa hak Ibu menggeledah rumah Fauzia bahkan sampai masuk ke dalam kamarnya. Bahkan polisi saja membutuhkan surat ijin untuk menggeledah rumah tersangka." Cecaran pertanyaan Krishna langsung membungkam mulut Kokom. Wanita itu tidak tahu harus menjawab seperti apa. Krishna menatap padanya dengan pandangan curiga. "Saya hanya penasaran saja
"Mau saya antar lagi, Bu?" tawar Gunawan seraya menyunggingkan senyuman."Kamu masih di sini?" tanya Kokom dengan raut wajah terkejut."Iya, Bu. Saya lagi cari penumpang yang searah dengan jalan pulang. Lumayan buat tambahan bensin. Ibu mau saya antar kemana lagi?""Ngga usah! Saya mau keluar kota."Kepala Kokom menoleh ke kanan dan kiri. Wanita itu sedang berpikir hendak pergi kemana. Lalu dia melangkahkan kakinya menuju elf yang sedang mengetes. Tanpa pikir panjang, Kokom segera menaiki elf dengan tujuan Rancabuaya. Gunawan masih memperhatikan dari atas motornya. Setelah Kokom naik, pria itu menjalankan kendaraannya lalu berhenti di dekat elf yang sedang mengetem. Dia berbincang sejenak dengan supir elf tersebut. Penumpang elf memang baru Kokom seorang. Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang."Bu.. naik yang lain saja. Saya tidak jadi narik.""Kenapa, Mang?""Kepala saya mendadak pusing. Takut ada apa-apa di jalan. Jadi saya batalkan aja, saya mau pulang."Dengan perasaan dongk
"PERGI!!" teriak Anita kencang. Fauzia masih belum bangun dari posisinya. Luka benturan yang dialaminya tadi membuat kepalanya pusing. Salah seorang pelajar mendekat lalu membantu Fauzia berdiri. Melihat apa yang terjadi pada Dita, Krishna segera mendekat. "Kenapa kamu bisa bebas? Kamu harusnya tetap berada di penjara! Dasar pembunuh!" maki Salim. "Tolong percaya padaku, Pa. Aku tidak membunuh Kang Angga, aku sangat mencintainya." "Berhenti menyebut nama anakku!" hardik Anita dengan suara kencang. Suasana pemakaman yang semula berlangsung khidmat kini berangsur tegang. Fauzia masih terus berusaha meyakinkan kedua mertuanya kalau apa yang dituduhkan padanya tidak benar. "Tolong percaya padaku," ujar Fauzia dengan wajah bersimbah airmata. "Suatu kesalahan membiarkan Angga menikahimu. Aku akan pastikan kamu membusuk di penjara!" "Ibu Fauzia tidak bersalah. Dia sudah dibebaskan oleh polisi. Pembunuh sebenarnya sudah tertangkap," Krisha datang menyela pembicaraan. "Siapa
"Kamu siapa?" "Aku kakakmu." Sejenak Fauzia dibuat terbengong. Dia memandangi Reza dan Daffa bergantian. Kepalanya tiba-tiba saja terasa pusing. Pertama Daffa datang mengaku sebagai Pamannya, dan sekarang Reza mengaku sebagai Kakaknya. "Tidak usah terkejut. Aku adalah anak angkat Pamanmu," lanjut Reza yang melihat Fauzia terkejut. "Anak angkat? Tapi usia kalian seperti sepantaran. Daripada menjadi anak angkat, bukankah kalian lebih cocok menjadi saudara angkat?" Reza melihat pada Daffa sambil berdecak. Semua karena pengakuan pria itu yang mengatakan dirinya adalah Paman Fauzia. Reza menarik kursi ke dekat bed lalu mendudukkan diri di sana. "Uzi.. dengarkan aku. Kamu memang memiliki seorang Paman, tapi bukan dia," Reza menunjuk pada Daffa. "Maksudnya?" Fauzia terlihat semakin bingung saja. "Daffa adalah anak dari atasan Pamanmu, dia juga atasanku. Tapi hubungan kami sangat dekat, sudah seperti sahabat. Sedang Pamanmu bernama Faisal. Dia adalah adik kembar Papamu." "
"Apa kamu menemui Salim dan mengakui identitasmu yang sebenarnya?" Pertanyaan Faisal tidak bisa langsung dijawab oleh Reza. Pria itu nampak berpikir sejenak. Kenyataan soal identitas yang baru diketahuinya, tak ayal membuat pria itu sedikit shock. Selama ini Reza menang tidak mencari tahu keberadaan orang tua kandungnya. Menurut Melly, sejak lahir dia sudah berada di panti. Itu artinya kedua orang tuanya memang tak menginginkan dirinya. Namun kebenaran ternyata tak sesuai pikirannya. Dia harus dipaksa percaya kalau dirinya adalah anak tunggal Salim dengan Mitha. Itu artinya dia masih sepupu dari Angga, mendiang suami Fauzia, adik angkatnya. "Aku ngga tahu, Pa. Aku masih perlu waktu untuk memikirkan semuanya." "Papa tahu jni semua pasti mengejutkan untukmu. Pikiran baik-baik. Apapun keputusanmu, Papa akan mendukungnya." "Setelah Papa tahu semua kenyataan ini, apa Papa masih menganggap ku anak? Apa Papa akan tetap menyayangiku?" Faisal memandangi Reza tanpa berkedip. Dia bingung s
"Siapa orang tuaku, Bu?" "Nama Ibumu adalah Mita dan ayahmu adalah Salim.""Mita," gumam Fauzia pelan.Nama Mita sama dengan nama Ibu dari Angga. Begitu pula dengan nama ayah yang disebutkan Melly. Mendengar nama yang disebut terdengar familiar, Fauzia pun penasaran."Apa nama lengkapnya Salim Wiguna?" tanya Fauzia sambil menatap dalam pada Melly."Iya, dari mana kamu tahu?"Jawaban Melly membuat Fauzia tersentak. Bukan hanya wanita itu, tapi Daffa, Faisal bahkan Reza sendiri ikut terkejut. "Ibu Mita dan Pak Salim adalah orang tua dari Kang Angga. Mereka hanya punya satu anak, bagaimana mungkin kalau Bang Reza anak mereka.""Kamu mengenal Angga?" kali ini giliran Melly yang terkejut."Angga ada mendiang suami Uzi," jawab Reza."Apa? Kenapa bisa ada kebetulan seperti ini," gumam Melly tak percaya."Ibu.. saya minta tolong ceritakan dengan jelas. Apa benar Reza adalah anak Pak Salim? Lalu bagaimana dengan Angga?" Daffa yang sedari tadi diam, tak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sepasang pengantin baru masih terbaring di atas kasur berukuran king size. Tubuh polos keduanya hanya tertutup selimut saja. Sehabis shubuh tadi, keduanya kembali mengulang percintaan panas mereka. Daffa seolah tengah memuaskan rasa dahaganya, pria itu langsung tancap gas melampiaskan hasratnya yang sudah lama tertahan. Terhitung sudah tiga kali dia menggarap tubuh istrinya. Kelopak mata Fauzia bergerak-gerak, sesaat kemudian kedua matanya mulai terbuka. Wajah tampan Daffa langsung menyapa indra penglihatannya. Fauzia terus menelusuri wajah pria yang saat ini masih terlelap dalam tidurnya. Pipi Fauzia merona ketika mengingat malam panas mereka dan percintaan mereka tadi shubuh. Ternyata Daffa yang kerap bersikap dingin, begitu panas di ranjang. Saat ini memang masih belum ada perasaan cinta di hati Fauzia. Namun wanita itu berusaha menjalankan perannya sebagai seorang istri, termasuk memberikan pelayanan ranjang pada suaminya. Tapi rasa
"Saya terima nikah dan kawinnya Fauzia Safarina binti Ahmad Faidhan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan logam mulia seberat 500 gram dibayar tunai!" "Bagaimana saksi?" "SAH!!" Semua yang menyaksikan akad tersebut langsung mengucapkan hamdalah. Tanda syukur kalau akad nikah sudah berlangsung lancar tanpa hambatan berarti. Daffa melirik Fauzia yang duduk di sampingnya. Segurat senyum tercetak di wajah Daffa. Kebahagiaan begitu terasa ketika akhirnya dia membayar tunai wanita yang perlahan memasuki dan menempati ruang tersendiri di hatinya. Lamunan Daffa terhenti ketika Reza memberikan kotak beludru berisi cincin pernikahan mereka. Daffa mengambil sebuah cincin putih bertahtakan berlian lalu memasangkannya di jari manis Fauzia. Wanita itu pun melakukan hal sama, memasangkan cincin dengan bahan berbeda ke jari manis suaminya. Kemudian Fauzia mencium punggung tangan Daffa dengan takzim. Hati Daffa bergetar mendapatkan ciuman tanda bakti seorang istri pada suami. Sud
"Pak Imron, Bu Anita, maafkan saya. Saya terpaksa membuka mulut karena kalian yang sudah melanggar perjanjian lebih dulu," ujar Badri tenang. Belajar dari pengalaman terdahulu, begitu Badri dan Yayat tertangkap, Fajar meminta anak buahnya untuk mengawasi dengan ketat kedua orang tersebut. Mereka tidak ingin kejadian kematian Andika kembali terulang. Dugaan Fajar benar, Anita dan Imron kembali mencoba membungkam mulut Badri serta Yayat. Imron menyuruh seseorang untuk memberi racun pada Badri dan Yayat. Racun ditaruh di minuman bukan makanan. Namun sebelum sempat minuman beracun tersebut sampai ke tangan Badri dan Yayat, mereka berhasil mencegahnya. Demi keberhasilan penyelidikan, Badri dan Yayat sengaja dibuat mengalami keracunan dan dilarikan ke rumah sakit. Oknum polisi yang membantu Anita dan Imron pun segera diamankan. Sesampainya di rumah sakit, kedua orang tersebut langsung mengakui perbuatannya dan menyebutkan siapa yang sudah meminta mereka menghabisi nyawa Angga. "Apa
"BERHENTI!!" Seketika suara Rafi yang sedang mengucapkan kalimat kabul terhenti begitu mendengar suara kencang seorang laki-laki. Daffa masuk ke dalam vila dengan tergesa. Pria itu menarik baju yang dikenakan Rafi hingga berdiri lalu melayangkan tinjunya. Anak buah Rafi yang melihat itu berniat membantu, namun pergerakan mereka langsung dihalangi oleh Reza, Gunawan, Fajar dan beberapa anak buahnya yang sudah datang. Mereka lansung dibekuk dan siap dibawa ke kantor polisi. Faisal mendekati Fauzia yang masih terpaku di tempatnya. Namun begitu kelegaan terlihat di wajahnya. Dia segera berdiri begitu Faisal mendekat. Ditariknya tubuh Fauzia ke dalam pelukannya. "Kamu ngga apa-apa, sayang?" "Aku baik, Om." "Ada apa ini?" tanya sang penghulu bingung. Apalagi dia baru saja melihat kekerasan yang terjadi pada Rafi. Dengan cepat Daffa menarik kembali tubuh pria yang sudah menculik calon istrinya hingga berdiri. "Laki-laki ini adalah seorang penculik. Dan wanita yang akan dinikahi
Perlahan Fauzia membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar. Kemudian pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Fauzia menegakkan tubuhnya lalu beranjak dari ranjang. Dia berjalan menuju pintu yang tertutup rapat. Digerakannya handle pintu namun ternyata terkunci. Wanita itu segera menggedor pintu. "Buka!!!" "BUKA!!!" Tak berapa lama pintu terbuka. Dari arah luar masuk Rafi. Pria itu melemparkan senyumnya begitu melihat wajah cantik Fauzia. Dia masuk ke dalam kamar, membuat Fauzia refleks berjalan mundur. "Mau apa kamu?" tanya Fauzia waspada. "Bukankah kamu yang berteriak meminta dibukakan pintu?" "Kenapa kamu bawa aku ke sini? Aku mau pulang!" "Tenanglah, aku pasti membawamu pulang. Tapi.. setelah kita menikah." "Dasar gila! Aku tidak akan pernah menikah denganmu! Apa kamu lupa kalau Mas Daffa adalah calon suamiku? Dia pasti tidak akan melepaskan mu." "Tapi tidak ada yang bisa Daffa lakukan sekarang. Kamu sepenuhnya ada dalam kendaliku. M
"Apa yang kamu lakukan?!" tegur Beni membuat Badri terkejut setengah mati. Suara Beni mengejutkan Badri yang baru saja mengambil barang bukti. Sontak pisau di tangannya terjatuh. Pria itu bermaksud kabur, namun dengan cepat Beni meringkusnya. Yayat yang menunggu di luar, mengintip dari jendela. Pria itu terkejut melihat temannya sudah dibekuk oleh Beni. Dia pun bermaksud kabur, tapi sayang Fajar bersama anak buahnya sudah lebih dulu datang meringkus. Badri hanya bisa pasrah ketika Beni menangkapnya. Pria itu membawa Badri keluar bersama barang bukti. Ketika pria itu digiring keluar, ada beberapa warga yang melintas di depan rumah, memilih berhenti untuk melihat apa yang terjadi. Mereka cukup terkejut melihat Badri digiring keluar oleh Beni. Pandangan mereka tertuju pada bungkusan bening berisi pisau yang terdapat noda darah di tangan Beni. "Itu si Badri kenapa?" "Ngga tahu." "Kenapa ada pisau?" "Ngapain dia di rumah Angga?" Berbagai pertanyaan muncul di benak warga. Mere
"Warna merah ini sepertinya bercak darah," ujar Beni seraya menunjuk noda merah tersebut.Gunawan mengambil cotton bud yang sedikit dibasahi agar lembab, kemudian dia menggosokkan cotton bud tersebut ke noda merah yang sudah mengering. Kemudian dimasukkan cotton bud tersebut ke dalam plastik ziplock."Aku akan langsung pergi menemui Fajar untuk menguji ini. Kalau benar ini adalah noda darah dan cocok dengan darah Angga, maka bisa dipastikan di sinilah TKP pembunuhan Angga. Kamu terus awasi Badri, jangan sampai dia masuk ke sini lagi.""Siap, Bang."Gunawan segera bersiap. Pria itu mengambil kunci mobil lalu melajukannya. Sepeninggal Gunawan, Beni membuat kopi lalu membawanya keluar rumah. Dia duduk santai di teras sambil melihat lalu lalang orang di depan rumahnya.Tak lama kemudian terdengar suara wanita yang menjual jajanan pasar melintas menggunakan sepeda ontel. Dari arah rumah Kokom, Badri keluar kemudian memanggil penjual tersebut. Beni ikut mendekati sang penjual sambil berpur