Fauzia dan Krishna langsung menghambur ke arah Andika. Tubuh pria itu tidak bergerak lagi, hanya air liur saja yang terus keluar dari mulutnya. Krishna bergerak cepat memanggil petugas. Salah seorang petugas masuk dan memeriksa keadaan Andika. Dia lalu memerintahkan rekannya yang lain membawa Andika ke rumah sakit. Bersama Krishna, Fauzia mengikuti Andika yang dilarikan ke rumah sakit. Wanita itu masih belum mendapat jawaban dari Andika. Dia tidak rela kalau pria itu mati begitu saja, membawa misteri kematian suaminya. Sesampainya di IGD rumah sakit, dokter dan perawat langsung menangani Andika. Namun sayang, lima menit setelah pria itu datang, nyawanya tidak bisa diselamatkan. Fauzia terhenyak melihat suster menutupi tubuh Andika dengan kain putih. Dengan cepat dia mendekati sang dokter. "Dokter, kenapa dia bisa mati? Apa yang terjadi padanya? Tolong selamatkan nyawanya, ada yang ingin kukatakan padanya. Tolong dokter!" "Maaf, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Kondis
Kondisi Faisal sudah mulai stabil. Masa kritisnya sudah lewat, hanya tinggal menunggu pria itu bangun dari tidur panjangnya. Setelah berdiskusi dengan tim dokter, Faisal diperbolehkan pindah ke ruang perawatan biasa. Pria itu ditempatkan di ruang VVIP oleh Daffa. Fauzia duduk di sisi bed. Di atas bed, Faisal masih setia memejamkan matanya. Fauzia mengambil anting yang diberikan Kokom padanya. Pikirannya melayang, siapa pemilik anting ini? Apa dia dalang dibalik kematian suaminya? Ataukah dia yang sudah membunuh suaminya? Lamunan Fauzia buyar ketika sebuah tangan mengambil anting yang dipegangnya. Kepalanya terdongak, ternyata Daffa sudah berdiri di sampingnya. Tak lama kemudian Reza datang bergabung. Matanya langsung tertuju pada anting di tangan Daffa. "Anting siapa itu?" tanya Reza. "Itu anting yang diberikan Bu Kokom. Kata Bu Kokom, Andika yang memberikannya. Andika bilang kalau aku mau menemukan siapa pembunuh suamiku, aku harus tahu siapa pemilik anting ini." "Apa kamu p
"Perkenalkan, ini Fauzia. Keponakan kandung Pak Faisal Wiranata, dan juga istri dari mendiang Angga Wiguna, anak anda." Untuk sesaat Salim dan Rafi hanya terdiam. Kedua pria itu memandangi Fauzia yang berdiri di belakang Daffa dan Reza. Tidak disangka menantu yang tidak diinginkan ternyata keponakan dari Faisal Wiranata. Walau Faisal bukan pemilik Noble Group, namun posisinya di perusahaan besar itu bisa dianggap penting. Reza meminta Fauzia duduk di sampingnya. Suasana di dalam ruangan sejenak menjadi hening. Ada rasa enggan di hati Salim memenuhi keinginan Daffa. Di matanya Fauzia tetaplah orang yang sudah membunuh anaknya. Selain itu, karena Fauzia juga Angga pergi meninggalkan dirinya. "Bagaimana Pak Salim? Apa anda menerima tawaran saya?" Suara Daffa memecah lamunan Salim. Rafi menyenggol sang ayah, meminta pria itu segera mengambil keputusan. Salim memandangi Fauzia dengan tatapan tajam. Fauzia meremat dress yang dikenakannya. Pandangan Salim dirasakan begitu menusuk. Ta
"Apa maumu?" tanya Fauzia seraya meningkatkan kewaspadaan. "Aku menginginkanmu." Rafi semakin mendekatkan tubuhnya. Fauzia sampai menahan nafas karena jarak di antara mereka semakin terkikis. Rafi memandangi wajah cantik Fauzia dengan pandangan memuja. Wajah mantan Kakak iparnya ini ternyata lebih cantik dari tunangannya walau dia hanya memoles wajahnya dengan make up tipis. Tangan Fauzia menahan dada Rafi ketika pria itu berbuat mencium bibirnya. Matanya menatap tajam pada pria mesum di depannya. "Berani kamu menyentuhku, hanya dengan satu panggilan aku bisa membuat Wiguna Group hancur. Apa kamu lupa syarat yang diajukan Kakakku?" Menyadari itu, Rafi menarik tubuhnya menjauh dari Fauzia. Pria itu tertawa pelan sambil melihat pada Fauzia. Sesaat dia lupa kalau mantan iparnya berada di bawah perlindungan Noble Group. "Baiklah, maafkan aku Kakak ipar, aku sudah khilaf. Tapi kalau kamu datang sendiri padaku dan menyerahkan dirimu sendiri, itu tidak melanggar perjanjian bukan?
CEKLEK Fauzia hanya mampu terpaku di tempatnya ketika melihat handle pintu bergerak. Baru saja Anita hendak mendorong pintu, Bi Ipah datang menghampirinya. "Maaf Bu, pesanan yang Ibu minta sudah selesai dibuat. Apa Ibu mau melihatnya dulu?" "Sudah selesai?" "Sudah, Bu. Masih di dapur. Baiknya Ibu lihat dulu, baru nanti saya pindahkan." Anita mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar. Wanita itu mengikuti langkah asisten rumah tangganya ke dapur. Bi Ipah bernafas lega Anita mau menjauh dari kamar sebentar. Dia tahu kalau Fauzia belum keluar dari kamar majikannya itu. Dengan cepat Fauzia membereskan kotak perhiasan lalu memasukkannya kembali ke dalam laci. Pelan-pelan dia membuka pintu lalu bergegas meninggalkan kamar Anita dan langsung kembali ke kamarnya. Wanita itu duduk termenung di sisi ranjang sesampainya di kamar. Setelah mencari ke kamar Anita, Tamara dan Vania, dia tetap tidak menemukan anting yang serupa. Lamunan Fauzia buyar ketika mendengar ponselnya berderi
Setelah mendapat laporan dari Nano, Daffa segera menghubungi Gunawan. Dia meminta pria itu mengirimkan anak buahnya untuk menolong Fauzia. Usai menghubungi Gunawan, Daffa bergegas meninggalkan rumah sakit. Tujuannya tentu saja kediaman Salim. Pria itu mencemaskan keadaan Fauzia. Dengan kecepatan tinggi, Daffa memacu kendaraannya. Mobilnya meliuk menyalip kendaraan di depannya. Terkadang dia menekan klakson untuk menghalau kendaraan yang ada di depannya. Sepuluh menit kemudian pria itu sudah sampai di kediaman Salim. Keadaan rumah nampak sepi. Daffa bergegas membuka pintu pagar lalu berlari menuju pintu depan. Sementara di dalam kamar, Fauzia terpaku di tempatnya ketika melihat pria yang menyerangnya mendekat dengan pisau di tangannya. Wanita menahan nafasnya seraya memejamkan matanya. Dirinya sudah pasrah jika memang nyawanya melayang malam ini. BRUK! Fauzia membuka matanya ketika mendengar suara cukup keras. Pria yang menyerangnya sudah jatuh tersungkur. Kemudian dia melihat
"Soal Uzi. Sebentar lagi masa iddahnya selesai. Om mau kamu menikahi Uzi." Daffa sontak langsung terdiam. Dia sama sekali tidak menyangka Faisal meminta hal yang tidak pernah terpikirkan dalam benaknya. Setelah kepergian Melati, Daffa masih belum ingin menikah lagi. Hatinya masih penuhi kenangan akan mendiang istrinya. "Kenapa harus aku, Om? Kenapa bukan Reza?" "Reza itu Kakaknya Uzi." "Tapi mereka bukan saudara kandung." "Sejak Om cerita soal Uzi, sejak saat itu dia sudah menganggap Uzi seperti adiknya sendiri. Semalam pun Om sempat menanyakan soal ini padanya dan dia menolak. Dia malah menyarankan kamu yang menikahi Uzi dan Om setuju dengan pendapatnya." Terdengar decakan dari Daffa. Ternyata sang sahabat sekaligus asistennya yang memberikan usulan konyol ini pada Faisal. "Entah mengapa Om merasa kalau hidup Uzi tidak aman. Kamu tahu sendiri bagaimana kematian suaminya. Ditambah pembunuh Angga masih belum diketahui, membuat Om semakin was-was. Om akan tenang kalau dia menikah
Suasana di ruang perawatan Faisal sesaat menjadi sunyi. Fauzia masih belum menanggapi cerita Faisal tentang masa lalu dirinya bersama Faidhan, saudara kembar sekaligus ayah dari Fauzia."Om tahu, kamu pasti membenci Om. Tapi tolong jangan pergi. Biarkan Om menebus kesalahan Om dengan menjagamu. Kamu satu-satunya keluarga yang Om miliki selain Reza. Kamu anak Faidhan dan Kelana, sudah kewajiban Om untuk menjagamu."Wajah Faisal nampak sendu ketika mengatakan itu semua. Walau waktu sudah berlalu lebih dari 25 tahun, namun kesalahan yang dulu dilakukan olehnya masih membekas sampai sekarang. Perasaan menyesal terus menggelayuti dirinya. Bahkan pria itu tidak ada keinginan untuk berumah tangga dan hanya fokus merawat Reza saja.Fauzia bangun dari duduknya, kemudian dia mendekati ranjang Faisal. Mendudukkan diri di sisi ranjang, kemudian meraih tangan pria itu. Tatapan matanya begitu lembut dan menenangkan. Sebuah senyuman diberikan olehnya."Apa yang Om katakan, itu hanyalah cerita masa l
"Apa kamu menemui Salim dan mengakui identitasmu yang sebenarnya?" Pertanyaan Faisal tidak bisa langsung dijawab oleh Reza. Pria itu nampak berpikir sejenak. Kenyataan soal identitas yang baru diketahuinya, tak ayal membuat pria itu sedikit shock. Selama ini Reza menang tidak mencari tahu keberadaan orang tua kandungnya. Menurut Melly, sejak lahir dia sudah berada di panti. Itu artinya kedua orang tuanya memang tak menginginkan dirinya. Namun kebenaran ternyata tak sesuai pikirannya. Dia harus dipaksa percaya kalau dirinya adalah anak tunggal Salim dengan Mitha. Itu artinya dia masih sepupu dari Angga, mendiang suami Fauzia, adik angkatnya. "Aku ngga tahu, Pa. Aku masih perlu waktu untuk memikirkan semuanya." "Papa tahu jni semua pasti mengejutkan untukmu. Pikiran baik-baik. Apapun keputusanmu, Papa akan mendukungnya." "Setelah Papa tahu semua kenyataan ini, apa Papa masih menganggap ku anak? Apa Papa akan tetap menyayangiku?" Faisal memandangi Reza tanpa berkedip. Dia bingung s
"Siapa orang tuaku, Bu?" "Nama Ibumu adalah Mita dan ayahmu adalah Salim.""Mita," gumam Fauzia pelan.Nama Mita sama dengan nama Ibu dari Angga. Begitu pula dengan nama ayah yang disebutkan Melly. Mendengar nama yang disebut terdengar familiar, Fauzia pun penasaran."Apa nama lengkapnya Salim Wiguna?" tanya Fauzia sambil menatap dalam pada Melly."Iya, dari mana kamu tahu?"Jawaban Melly membuat Fauzia tersentak. Bukan hanya wanita itu, tapi Daffa, Faisal bahkan Reza sendiri ikut terkejut. "Ibu Mita dan Pak Salim adalah orang tua dari Kang Angga. Mereka hanya punya satu anak, bagaimana mungkin kalau Bang Reza anak mereka.""Kamu mengenal Angga?" kali ini giliran Melly yang terkejut."Angga ada mendiang suami Uzi," jawab Reza."Apa? Kenapa bisa ada kebetulan seperti ini," gumam Melly tak percaya."Ibu.. saya minta tolong ceritakan dengan jelas. Apa benar Reza adalah anak Pak Salim? Lalu bagaimana dengan Angga?" Daffa yang sedari tadi diam, tak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sepasang pengantin baru masih terbaring di atas kasur berukuran king size. Tubuh polos keduanya hanya tertutup selimut saja. Sehabis shubuh tadi, keduanya kembali mengulang percintaan panas mereka. Daffa seolah tengah memuaskan rasa dahaganya, pria itu langsung tancap gas melampiaskan hasratnya yang sudah lama tertahan. Terhitung sudah tiga kali dia menggarap tubuh istrinya. Kelopak mata Fauzia bergerak-gerak, sesaat kemudian kedua matanya mulai terbuka. Wajah tampan Daffa langsung menyapa indra penglihatannya. Fauzia terus menelusuri wajah pria yang saat ini masih terlelap dalam tidurnya. Pipi Fauzia merona ketika mengingat malam panas mereka dan percintaan mereka tadi shubuh. Ternyata Daffa yang kerap bersikap dingin, begitu panas di ranjang. Saat ini memang masih belum ada perasaan cinta di hati Fauzia. Namun wanita itu berusaha menjalankan perannya sebagai seorang istri, termasuk memberikan pelayanan ranjang pada suaminya. Tapi rasa
"Saya terima nikah dan kawinnya Fauzia Safarina binti Ahmad Faidhan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan logam mulia seberat 500 gram dibayar tunai!" "Bagaimana saksi?" "SAH!!" Semua yang menyaksikan akad tersebut langsung mengucapkan hamdalah. Tanda syukur kalau akad nikah sudah berlangsung lancar tanpa hambatan berarti. Daffa melirik Fauzia yang duduk di sampingnya. Segurat senyum tercetak di wajah Daffa. Kebahagiaan begitu terasa ketika akhirnya dia membayar tunai wanita yang perlahan memasuki dan menempati ruang tersendiri di hatinya. Lamunan Daffa terhenti ketika Reza memberikan kotak beludru berisi cincin pernikahan mereka. Daffa mengambil sebuah cincin putih bertahtakan berlian lalu memasangkannya di jari manis Fauzia. Wanita itu pun melakukan hal sama, memasangkan cincin dengan bahan berbeda ke jari manis suaminya. Kemudian Fauzia mencium punggung tangan Daffa dengan takzim. Hati Daffa bergetar mendapatkan ciuman tanda bakti seorang istri pada suami. Sud
"Pak Imron, Bu Anita, maafkan saya. Saya terpaksa membuka mulut karena kalian yang sudah melanggar perjanjian lebih dulu," ujar Badri tenang. Belajar dari pengalaman terdahulu, begitu Badri dan Yayat tertangkap, Fajar meminta anak buahnya untuk mengawasi dengan ketat kedua orang tersebut. Mereka tidak ingin kejadian kematian Andika kembali terulang. Dugaan Fajar benar, Anita dan Imron kembali mencoba membungkam mulut Badri serta Yayat. Imron menyuruh seseorang untuk memberi racun pada Badri dan Yayat. Racun ditaruh di minuman bukan makanan. Namun sebelum sempat minuman beracun tersebut sampai ke tangan Badri dan Yayat, mereka berhasil mencegahnya. Demi keberhasilan penyelidikan, Badri dan Yayat sengaja dibuat mengalami keracunan dan dilarikan ke rumah sakit. Oknum polisi yang membantu Anita dan Imron pun segera diamankan. Sesampainya di rumah sakit, kedua orang tersebut langsung mengakui perbuatannya dan menyebutkan siapa yang sudah meminta mereka menghabisi nyawa Angga. "Apa
"BERHENTI!!" Seketika suara Rafi yang sedang mengucapkan kalimat kabul terhenti begitu mendengar suara kencang seorang laki-laki. Daffa masuk ke dalam vila dengan tergesa. Pria itu menarik baju yang dikenakan Rafi hingga berdiri lalu melayangkan tinjunya. Anak buah Rafi yang melihat itu berniat membantu, namun pergerakan mereka langsung dihalangi oleh Reza, Gunawan, Fajar dan beberapa anak buahnya yang sudah datang. Mereka lansung dibekuk dan siap dibawa ke kantor polisi. Faisal mendekati Fauzia yang masih terpaku di tempatnya. Namun begitu kelegaan terlihat di wajahnya. Dia segera berdiri begitu Faisal mendekat. Ditariknya tubuh Fauzia ke dalam pelukannya. "Kamu ngga apa-apa, sayang?" "Aku baik, Om." "Ada apa ini?" tanya sang penghulu bingung. Apalagi dia baru saja melihat kekerasan yang terjadi pada Rafi. Dengan cepat Daffa menarik kembali tubuh pria yang sudah menculik calon istrinya hingga berdiri. "Laki-laki ini adalah seorang penculik. Dan wanita yang akan dinikahi
Perlahan Fauzia membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar. Kemudian pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Fauzia menegakkan tubuhnya lalu beranjak dari ranjang. Dia berjalan menuju pintu yang tertutup rapat. Digerakannya handle pintu namun ternyata terkunci. Wanita itu segera menggedor pintu. "Buka!!!" "BUKA!!!" Tak berapa lama pintu terbuka. Dari arah luar masuk Rafi. Pria itu melemparkan senyumnya begitu melihat wajah cantik Fauzia. Dia masuk ke dalam kamar, membuat Fauzia refleks berjalan mundur. "Mau apa kamu?" tanya Fauzia waspada. "Bukankah kamu yang berteriak meminta dibukakan pintu?" "Kenapa kamu bawa aku ke sini? Aku mau pulang!" "Tenanglah, aku pasti membawamu pulang. Tapi.. setelah kita menikah." "Dasar gila! Aku tidak akan pernah menikah denganmu! Apa kamu lupa kalau Mas Daffa adalah calon suamiku? Dia pasti tidak akan melepaskan mu." "Tapi tidak ada yang bisa Daffa lakukan sekarang. Kamu sepenuhnya ada dalam kendaliku. M
"Apa yang kamu lakukan?!" tegur Beni membuat Badri terkejut setengah mati. Suara Beni mengejutkan Badri yang baru saja mengambil barang bukti. Sontak pisau di tangannya terjatuh. Pria itu bermaksud kabur, namun dengan cepat Beni meringkusnya. Yayat yang menunggu di luar, mengintip dari jendela. Pria itu terkejut melihat temannya sudah dibekuk oleh Beni. Dia pun bermaksud kabur, tapi sayang Fajar bersama anak buahnya sudah lebih dulu datang meringkus. Badri hanya bisa pasrah ketika Beni menangkapnya. Pria itu membawa Badri keluar bersama barang bukti. Ketika pria itu digiring keluar, ada beberapa warga yang melintas di depan rumah, memilih berhenti untuk melihat apa yang terjadi. Mereka cukup terkejut melihat Badri digiring keluar oleh Beni. Pandangan mereka tertuju pada bungkusan bening berisi pisau yang terdapat noda darah di tangan Beni. "Itu si Badri kenapa?" "Ngga tahu." "Kenapa ada pisau?" "Ngapain dia di rumah Angga?" Berbagai pertanyaan muncul di benak warga. Mere
"Warna merah ini sepertinya bercak darah," ujar Beni seraya menunjuk noda merah tersebut.Gunawan mengambil cotton bud yang sedikit dibasahi agar lembab, kemudian dia menggosokkan cotton bud tersebut ke noda merah yang sudah mengering. Kemudian dimasukkan cotton bud tersebut ke dalam plastik ziplock."Aku akan langsung pergi menemui Fajar untuk menguji ini. Kalau benar ini adalah noda darah dan cocok dengan darah Angga, maka bisa dipastikan di sinilah TKP pembunuhan Angga. Kamu terus awasi Badri, jangan sampai dia masuk ke sini lagi.""Siap, Bang."Gunawan segera bersiap. Pria itu mengambil kunci mobil lalu melajukannya. Sepeninggal Gunawan, Beni membuat kopi lalu membawanya keluar rumah. Dia duduk santai di teras sambil melihat lalu lalang orang di depan rumahnya.Tak lama kemudian terdengar suara wanita yang menjual jajanan pasar melintas menggunakan sepeda ontel. Dari arah rumah Kokom, Badri keluar kemudian memanggil penjual tersebut. Beni ikut mendekati sang penjual sambil berpur