Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana.
Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari semua wanita yang mencoba mendekatinya. Namun pria itu akhirnya bisa juga mencicipi tubuh wanita ketika salah satu teman kerjanya dengan sukarela mengajaknya bercinta tanpa menuntut status. Tubuh Faisal mulai menegang ketika dirinya sudah sampai ke ujungnya. Pria itu mengerang panjang ketika senjata pusakanya memuntahkan lahar ke dalam rahim Kelana. Setelahnya pria itu melepaskan penyatuan mereka lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan sisa percintaan. Kelana sedikit terkejut. Biasanya setelah bercinta, Faidhan akan menciumnya dengan mesra, memeluk tubuhnya sebentar sebelum masuk ke kamar mandi. Apa yang dilakukan Faisal adalah kebiasaan yang dilakukannya jika selesai bercinta. Karena tidak ada rasa cinta di hatinya, maka pria itu tidak pernah memperlakukan pasangan bercintanya dengan manis. Perlahan Kelana bangun dari posisinya. Wajahnya sedikit memberengut ketika berpapasan dengan Faisal di dekat pintu kamar mandi. "Kenapa?" tanya Faisal bingung. "Ngga apa-apa." Kelana segera masuk ke dalam kamar mandi. Setelah membersihkan sisa percintaannya, wanita itu segera memakai pakaiannya lalu membaringkan tubuh di kasur. Faisal yang sudah merebahkan tubuh tidak melakukan apapun. Kesadarannya sudah kembali. Pria itu sadar kalau sudah melakukan kesalahan. "Kang Idhan aneh," ujar Kelana pelan. "Aneh kenapa?" "Biasanya Akang suka peluk aku, tapi sekarang boro-boro." Kelana membalikkan tubuhnya membelakangi Faisal. Sadar kalau sudah melakukan hal di luar kebiasaan Faidhan, Faisal pun mendekat lalu memeluk tubuh Kelana dari belakang. "Maaf, aku masih capek baru pulang dari luar kota," bisiknya. Kelana memang tidak pernah bisa marah terlalu lama pada suaminya. Wanita itu membalikkan tubuhnya lalu menyusup dalam pelukan Faisal. Tak butuh waktu lama, wanita itu mulai terlelap dalam pelukan pria yang bukan suaminya. *** Semalaman Faisal tidak bisa tidur nyenyak. Dia takut kalau tiba-tiba Faidhan datang dan memergoki dirinya sedang meniduri istrinya. Menjelang shubuh Faisal bangun dari tidurnya. Pelan-pelan dia melepaskan pelukan Kelana di tubuhnya. Pria itu segera keluar dari kamar lalu bergegas meninggalkan rumah. Tak lama setelah Faisal meninggalkan rumah, seorang pria berjalan mendekati rumah Kelana. Pria yang ternyata adalah Faidhan akhirnya tiba juga di kampung tempatnya tinggal. Kening pria itu mengernyit ketika mengetahui pintu rumah tidak terkunci. Tanpa merasa curiga, Faidhan masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Kelana masih tertidur. Pria itu segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah berganti pakaian, Faidhan naik ke kasur lalu memeluk tubuh istrinya. Kelana terjaga dari tidurnya. Kedua matanya langsung menangkap wajah Faidhan yang sedang memeluknya. "Akang udah mandi?" "Udah. Akang kangen kamu, sayang." Sebuah ciuman diberikan oleh Faidhan. Lama kelamaan, ciumannya berubah menjadi cumbuan. Kelana menahan suaminya yang hendak membuka pakaiannya. "Akang mau ngapain?" "Mau nengok dedek bayi." "Kan semalam udah. Masih kurang?" DEG! Jantung Faidhan serasa berhenti berdetak. Dipandanginya wajah sang istri lekat-lekat. Lalu pandangannya tertuju pada bercak merah di leher sang istri. "Lana, kamu.." "Kenapa? Akang lupa kalau semalam udah membuat aku mendesah?" tanya Kelana sambil tertawa kecil. Wanita itu bangun dari tidurnya lalu beranjak ke kamar mandi. Tinggalah Faidhan yang dilanda kebingungan. Pria itu segera keluar dari kamar. Perkataan Kelana terus terngiang di telinganya. Semalam dia masih di jalan, lalu siapa yang sudah bercinta dengan istrinya? Didorong perasaan bingung, Faidhan keluar dari rumah. Di depan rumah dia berpapasan dengan salah satu tetangganya. "Loh Kang Idhan sudah di rumah lagi? Barusan saya lihat masih ada di saung yang ada di sawah Pak Haji Dadang." Mendengar itu Faidhan bergerak cepat menuju sawah Haji Dadang yang jaraknya hanya dua ratus meter saja dari rumahnya. Dari kejauhan dia melihat seorang pria berdiri membelakanginya. Faidhan menambah kecepatan larinya. Begitu sampai di dekat pria itu, tanpa mengatakan apapun, Faidhan membalik tubuh pria itu lalu memukulnya dengan kencang. BUGH! Pria yang ternyata adalah Faisal langsung terjatuh setelah mendapat bogem mentah dari Kakak kembarnya. Mata Faidhan menatap nyalang pada Faisal yang tengah bangun sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Brengsek kamu, Sal! Apa yang sudah kamu lakukan pada Lana!" bentak Faidhan. Pria itu yakin sekali kalau yang sudah bercinta dengan istrinya semalam adalah adik kembarnya. "Maaf." "Maaf? Semudah itu kamu bilang minta maaf? Lana adalah istriku, dia iparmu! Tapi kamu mengambil keuntungan dari kemiripan wajah kita. Kamu menidurinya!! Brengsek!!" Kembali dua buah bogeman mendarat di wajah Faisal. Pria itu tidak melakukan perlawanan. Dia membiarkan Faidhan memukulinya sampai puas. "Kenapa, Sal? Kenapa?!" "Karena aku mencintainya." "Apa?" "Apa kamu ingat waktu aku pernah bilang kalau sedang jatuh cinta dengan seseorang. orang itu adalah Lana. Aku sempat bingung bagaimana caranya berkenalan dengannya dan mengatakan perasaanku, sampai akhirnya aku mendapat pekerjaan di luar kota. Saat aku tahu kamu menikahi Lana, apa kamu tahu betapa hancurnya hatiku?" "Itu bukan alasan untuk membenarkan perbuatanmu!" "Aku tahu. Alasan apapun yang kupunya tetap tidak membenarkan apa yang sudah kulakukan. Tapi kasalahan ini bukan hanya kesalahanku. Kamu juga turut andil di dalamnya. Andai kamu mengatakan siapa aku pada Lana, mungkin ini tidak akan terjadi." Faidhan langsung terdiam. Dia memang belum mengatakan pada istrinya kalau memiliki saudara kembar. Tak lama setelah menikah, terjadi bencana alam di desanya. Semua foto dirinya dan Faisal hilang terbawa tanah longsor. Faidhan bermaksud mengenalkan Faisal ketika adiknya itu berkunjung dan memberikan kejutan pada istrinya. Tidak disangka, ternyata dirinya sendiri yang dibuat terkejut. "Aku tidak akan mengatakan pada Lana kalau kamu yang sudah menyentuhnya semalam. Bisa gila dia kalau tahu sudah bercinta dengan orang lain. Biarlah itu menjadi rahasia kita berdua. Jangan pernah temui aku lagi. Hubungan kita putus sampai di sini. Anggap kamu tidak pernah memiliki saudara kembar, begitu juga aku. Jalani hidup kita masing-masing dan tidak usah saling ganggu." Setelah mengatakan itu, Faidhan meninggalkan Faisal begitu saja. Faisal langsung menyetujui ucapan Kakak kembarnya itu. Hari itu juga dia langsung pergi dan tidak pernah memperlihatkan wajahnya lagi di depan Faidhan. "Setelah hari itu, Papa tidak pernah bertemu dengan Om Idhan lagi. Tapi sepuluh tahun yang lalu, Papa mulai mencari tahu soal saudara kembarnya. Ternyata Om Idhan dan Tante Kelana sudah meninggal dunia karena kecelakaan. Mereka meninggalkan seorang anak perempuan yang hidup sebatang kara. Ketika Papa datang, ternyata Fauzia diurus oleh tetangganya. Fauzia menganggap wanita yang mengurusnya sebagai neneknya sendiri. Papa terus mencari keberadaan Fauzia sampai akhirnya menemukannya. Secara diam-diam Papa terus memantau kehidupan Fauzia. Papa juga mengirimkan bantuan untuknya lewat perantara orang lain," Reza mengakhiri ceritanya. Daffa menghela nafas panjang mendengar kisah tentang Faisal, pria selama ini setia mendampingi Papanya. Ketika Rizal memutuskan mundur dari perusahaan dan menikmati hidup dengan berkeliling dunia bersama istrinya, Faisal lebih banyak membantunya mengurus pekerjaan kantor. "Fauzia, dia terkena kasus apa?" "Dia dituduh berselingkuh dan membunuh suaminya sendiri." "Apa? Lalu bagaimana? Di mana dia sekarang?" "Dia sudah ditahan di kantor polisi. Aku mohon kamu mau membantunya, Daf. Papa sekarang sedang terbaring di rumah sakit. Tolong wakilkan Papa untuk membantunya. Aku yakin kalau Fauzia tidak bersalah. Dia tidak mungkin membunuh suaminya. Dia sangat mencintai Angga." "Baiklah. Hubungi Pak Krishna dan Pak Gunawan. Minta mereka bertemu denganku." Kepala Reza mengangguk cepat. Pria itu langsung menghubungi Krishna, pengacara keluarga Daffa dan juga Gunawan, detektif swasta yang sering diminta bantuannya oleh Rizal ataupun Daffa. Selesai menelpon, pintu ruang operasi terbuka. Dokter yang mengoperasi Faisal keluar dari ruangan. Daffa dan Reza segera mendekat. "Bagaimana operasinya, dok?" "Operasinya lancar. Tapi kondisinya masih belum lewat dari masa kritis. Kami masih harus tetap memantaunya." Tak lama kemudian, suster keluar mendorong bed Faisal. Daffa dan Reza mengikuti suster tersebut yang tengah mendorong bed Faisal menuju ruang ICU. *** "Bagaimana pencarian terhadap Andika?" tanya Fajar pada kedua anak buahnya. "Kami masih belum bisa menemukannya." "Luaskan area pencarian. Dia harus segera ditemukan. Dia adalah saksi kunci sekaligus tersangka dalam kasus ini." "Baik, Pak." Pintu ruangan Fajar terketuk, salah satu anak buahnya masuk ke dalam. Petugas itu mengatakan kalau keluarga Angga meminta bertemu. Fajar bergegas keluar dari ruangan diikuti kedua bawahannya. Fajar segera menyalami seorang pria paruh baya yang menunggunya. Dia datang bersama anak dan istrinya. "Kapan saya bisa mengambil jenazah anak saya?" tanya Salim Wiguna, ayah dari Angga. Dia adalah seorang pengusaha terkenal yang sudah berkecimpung dalam bisnis sejak lama. "Kami masih membutuhkan jasadnya untuk kepentingan penyelidikan. Jenazahnya masih belum selesai diotopsi." Anita menangis mendengar ucapan Fajar. Walau bukan Ibu kandung, namun Anita sangat menyayangi Angga seperti anaknya sendiri. Setelah Angga meninggal secara tidak wajar, fisiknya masih harus mengalami penyiksaan demi kepentingan penyelidikan. Rafi mendekati Mamanya lalu memeluk sang Mama dengan erat. Dia memang sering berselisih dengan Angga, bahkan membencinya. Namun kehilangan saudara dengan cara tragis, tak ayal membuatnya bersedih juga. "Di mana pembunuh itu?" tanya Salim dengan mata penuh kemarahan. "Apa Bapak mau bertemu?" "Iya." Fajar memerintahkan anak buahnya untuk menjemput Fauzia. Lima menit kemudian Fauzia datang didampingi petugas. Melihat keluarga Angga, wanita itu langsung mendekat. "Mama.. Papa.." "Jangan panggil aku Papa!! Dasar pembunuh!" hardik Salim. "Aku tidak membunuhnya, Pa. Aku tidak membunuhnya." PLAK!! Anita yang sudah tidak bisa menahan emosinya segera menampar kencang pipi Fauzia. Kemudian dia menarik pakaian yang dikenakan Fauzia. "Kembalikan anakku!! Kembalikan!!! Dasar pembunuh!!!" PLAK!! Tidak ada perlawanan dari Fauzia ketika Anita menampar wajahnya lagi. Wanita itu mendorong tubuh Fauzia dengan kencang hingga terjerembab ke lantai. Seorang petugas langsung membantu Fauzia berdiri dan mengahangi Anita yang hendak menyakiti Fauzia lagi. "Harap Ibu tidak melakukan kekerasan lagi. Serahkan semuanya pada kami. Jika benar Ibu Fauzia yang sudah membunuh suaminya sendiri, dia akan mendapatkan hukuman yang setimpal." Rafi berusaha menenangkan Mamanya. Dia juga membawa Papanya pergi meninggalkan kantor polisi. Petugas yang tadi menjemput Fauzia langsung mengantar wanita itu kembali ke sel. Belum sempat Fauzia memasuki selnya, petugas lain datang dan menahan wanita itu. "Ibu Fauzia, keluarga anda datang dan ingin bertemu dengan anda." "Aku tidak punya keluarga. Hanya Kang Angga satu-satunya keluargaku." "Dia mengaku sebagai pamanmu."Udara di sore hari terasa lebih sejuk. Panasnya terik matahari yang terus menunjukkan keganasannya sejak siang tadi kini perlahan mulai meredup seiring dengan sang fajar yang beranjak menuju peraduannya. Seorang wanita keluar dari sebuah bangunan yang dijadikan kantor . Di depan bangunan terdapat plang nama bertuliskan KOPERASI SUMBER MAKMUR. Wanita bernama Fauzia itu adalah salah satu pegawai di sana. Sudah dua tahun lamanya dia bekerja di sana sebagai staf keuangan. Dengan tas bahunya wanita itu berjalan menyusuri jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan dan persawahan. Sudah tiga tahun ini dia tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Mencari ketenangan dan kenyamanan hidup. "Uzi!" Kepalanya menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Senyum mengembang di wajahnya melihat seorang pria berjalan mendekatinya. Dia adalah Angga, suami sekaligus lelaki yang paling dicintainya di dunia ini. Fauzia dan Angga menikah sejak tiga tahun lalu. Setelah menikah, An
"Uzi.. aku boleh minta minum?" Fauzia yang sedang menyiram tanaman dikejutkan dengan suara seorang lelaki. Tiba-tiba saja Andika sudah berada di belakangnya. Tanpa mempedulikan permintaan Andika, Fauzia melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah malas menanggapi Andika. Terkadang pria itu bersikap aneh dan membuat beberapa rekan kerja Fauzia salah paham padanya. Pernah satu kali atasan Fauzia menegurnya. Menurut sang atasan sikap Fauzia kurang pantas karena selalu memberi respon pada Andika. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah bersuami. Tentu saja Fauzia dibuat bingung. Selama ini dia merasa tidak pernah menanggapi Andika namun kenapa semua orang bersikap seolah-olah dirinya bermain api dengan Andika. "Uzi.. aku haus. Masa minta minum saja tidak boleh." Fauzia menghela nafasnya lalu melihat pada Andika. Wajah pria itu berkeringat dan nampak lelah. Entah apa yang sudah dilakukannya. "Tunggu di sini." Karena tak tega, akhirnya Fauzia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minuma
"Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan. Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia s
"Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
"Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
"Angga!" Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kal
"Ini darah apa?" gumam Fauzia pelan. Untuk sesaat wanita itu masih terlihat bingung sampai teriakan Kokom kembali terdengar, mengembalikan kesadaran Fauzia pada tempatnya. "Uzi!!!" TOK TOK TOK "Iya, Bu! Sebentar!!" Fauzia bergegas beranjak dari kasur. Dia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bersih tangannya dari noda darah. Kemudian mengganti pakaiannya. Dimasukkannya pakaian yang terdapat noda darah tersebut ke dalam plastik hitam kemudian menyembunyikannya di laci lemari. Wanita itu merapihkan penampilannya sebentar sebelum membukakan pintu. Nampak Kokom berdiri di depan pintu. Matanya langsung menelisik ke dalam rumah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. "Bu Kokom ada apa ke sini pagi-pagi?" tegur Fauzia yang merasa keberatan dengan kedatangan tetangganya itu. "Angga mana?" Fauzia lebih dulu melihat jam yang tergantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. "Kang Angga sudah berangkat ke sekolah," bohong Fauzia. Sebenarnya dia s
"Uzi.. aku boleh minta minum?" Fauzia yang sedang menyiram tanaman dikejutkan dengan suara seorang lelaki. Tiba-tiba saja Andika sudah berada di belakangnya. Tanpa mempedulikan permintaan Andika, Fauzia melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah malas menanggapi Andika. Terkadang pria itu bersikap aneh dan membuat beberapa rekan kerja Fauzia salah paham padanya. Pernah satu kali atasan Fauzia menegurnya. Menurut sang atasan sikap Fauzia kurang pantas karena selalu memberi respon pada Andika. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah bersuami. Tentu saja Fauzia dibuat bingung. Selama ini dia merasa tidak pernah menanggapi Andika namun kenapa semua orang bersikap seolah-olah dirinya bermain api dengan Andika. "Uzi.. aku haus. Masa minta minum saja tidak boleh." Fauzia menghela nafasnya lalu melihat pada Andika. Wajah pria itu berkeringat dan nampak lelah. Entah apa yang sudah dilakukannya. "Tunggu di sini." Karena tak tega, akhirnya Fauzia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan minuma
Udara di sore hari terasa lebih sejuk. Panasnya terik matahari yang terus menunjukkan keganasannya sejak siang tadi kini perlahan mulai meredup seiring dengan sang fajar yang beranjak menuju peraduannya. Seorang wanita keluar dari sebuah bangunan yang dijadikan kantor . Di depan bangunan terdapat plang nama bertuliskan KOPERASI SUMBER MAKMUR. Wanita bernama Fauzia itu adalah salah satu pegawai di sana. Sudah dua tahun lamanya dia bekerja di sana sebagai staf keuangan. Dengan tas bahunya wanita itu berjalan menyusuri jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan dan persawahan. Sudah tiga tahun ini dia tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Mencari ketenangan dan kenyamanan hidup. "Uzi!" Kepalanya menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Senyum mengembang di wajahnya melihat seorang pria berjalan mendekatinya. Dia adalah Angga, suami sekaligus lelaki yang paling dicintainya di dunia ini. Fauzia dan Angga menikah sejak tiga tahun lalu. Setelah menikah, An