"Angga!"
Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kalung cantik sebagai hadiah untuknya. Bahkan mereka berencana mendayung nirwana sebelum kantuk menyergap. Namun sekarang suami tercinta sudah tak bernyawa. Fauzia seperi mengalami mimpi buruk. "Kang Angga, bangun Kang. Tolong jangan bercanda seperti ini. Bangun, Kang!" Fauzia mengguncang-guncang tubuh Angga, namun suaminya itu bergeming. Kokom yang melihat dari meja makan hanya bersedih saja. Wanita itu seakan menyangsikan tangisan Fauzia. "Yang sabar Uzi," Bu RT mencoba menenangkan Fauzia. "Bangun, Kang. Tolong jangan tinggalkan aku seperti ini. Akang udah janji akan menemaniku seumur hidup. Kita sudah berencana punya anak. Akang.. jangan pergi. Aku ngga bisa hidup tanpa Akang. Bangun Akang.." Fauzia mengguncang tubuh Angga yang sudah kaku. Airmata mengalir deras dari kedua matanya. Orang-orang yang menyaksikan hanya bisa mengatupkan mulutnya. Merasa miris dan prihatin dengan keadaan Fauzia. Namun tidak dengan Kokom, wanita itu melihat dengan pandangan sinis. Tak lama kemudian Pak Bandi datang bersama dua orang petugas polisi. Pria itu terkejut melihat Angga yang sudah menjadi mayat. Di sisi pria itu nampak Fauzia tengah menangis tersedu. Dua petugas polisi mendekat. Mereka mengamati tubuh Angga yang terdapat luka tusukan di bagian perutnya. Jelas sekali kalau pria ini mati karena terbunuh. Salah satu petugas segera menghubungi ambulans dan yang lain menghubungi rekannya yang lain. Suasana desa Banjarsari langsung heboh ketika mayat Angga ditemukan. Petugas polisi berdatangan. Mereka langsung memasang garis kuning di seputar rumah Angga dan juga kebun pisang milik Pak Bondan. Polisi juga mengamankan barang bukti berupa pakaian Fauzia yang terdapat noda darah. Wanita itu dan beberapa orang yang menjadi saksi dibawa ke kantor polisi. Sementara jenazah Angga dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi. * * * Fauzia duduk melamun di dalam sel. Wanita itu ditahan karena ada bukti yang memberatkan. Walau wanita itu terus menyangkal, namun polisi tetap memasukkannya ke dalam sel. Ada bukti yang memberatkan wanita itu. Apalagi ditambah kesaksian Kokom yang memberatkannya. Polisi mulai bergerak menyisir TKP, mencoba mencari bukti tambahan. Tiga orang petugas menyisir kebun pisang milik Pak Bondan. Dengan menggunakan sarung tangan mereka mengais-ngais tanah tempat Angga ditemukan. Saat sedang mengais tanah, petugas tersebut mendapatkan sebuah cincin. Dia memasukkan cincin ke dalam kantong bening. Kemudian pria itu melanjutkan pencariannya. Tak jauh dari tempat Angga dikubur, petugas lain menemukan korek api gas berbentuk rokok. Hasil temuan itu kembali dimasukkan ke kantong bening. Sementara itu, di kediaman Angga, beberapa petugas juga tengah menggeledah rumah itu. Satu per satu ruangan di sana digeledah. Salah seorang petugas menuju halaman belakang. Hanya terdapat jemuran saja di belakang. Kemudian matanya melihat gundukan tanah yang mencurigakan. Menggunakan sendok semen, petugas polisi ini menggali gundukan tanah yang terlihat mencurigakan. Kemudian dia menemukan sebuah pisau yang berlumuran darah dibungkus plastik bening. Pria itu memasukkannya ke kantong bening khusus barang bukti. Garis kuning masih terpasang walau polisi sudah menemukan barang bukti. Semua petugas kembali ke kantor ketika sudah mendapatkan bukti. Bunyi sirine mobil polisi terdengar menjauh ketika kendaraan roda empat tersebut meninggalkan Desa Banjarsari. Kejadian yang menimpa Angga langsung menjadi buah bibir di masyarakat. Murid-murid Angga juga tidak percaya dan merasa kehilangan. Karena di mata mereka, Angga adakah guru yang ramah dan mudah bergaul dengan anak didiknya. Pegawai di koperasi pun terkejut dengan ditangkapnya Fauzia sebagai tersangka pembunuhan suaminya sendiri. Banyak rekan kerja Fauzia yang menyudutkan wanita itu. "Aku mah masih belum percaya kalau Angga meninggal dengan tragis seperti itu." "Uzi kenapa sampai tega membunuh suaminya sendiri? Padahal kurang apa si Angga? Ganteng, sudah punya pekerjaan tetap, setia dan bertanggungjawab." "Kok aku curiga sama Andika. Dia tiba-tiba hilang sehari sebelum Angga meninggal. Apa mungkin dia dan Uzi yang merencanakan pembunuhan Angga?" "Bisa jadi." Pembicaraan seputar Angga, Fauzia dan Andika terus berlangsung. Hanya Murni saja yang tidak ikut menimbrung. Wanita itu yakin kalau Fauzia tidak bersalah. Dia pernah melihat Fauzia bertengkar dengan Andika. Dan setelah pertengkaran, Andika mengaku-ngaku kalau Fauzia baru saja merayunya pada yang lain. Anehnya semua rekan kerjanya percaya saja dengan apa yang dikatakan pria itu. "Murni.. kamu kenapa diam saja?" "Terus aku harus bilang apa?" "Kamu kan paling dekat dengan Uzi. Pasti dia pernah cerita padamu soal hubungannya dengan Andika." "Ya, Uzi banyak bercerita padaku soal Andika. Tapi ceritanya berbeda dari cerita kalian." "Berarti dia bohong sama kamu." "Aku percaya sama Uzi. Justru aku heran sama kalian. Kalian lebih lama mengenal Uzi, tapi kenapa kalian lebih percaya kata-kata Andika?" "Gimana ngga percaya kalau tingkah Uzi mencurigakan. Aku juga dapat kabar dari Bu Kokom, rumahnya kan dekat dengan rumah Uzi. Dia mendengar langsung kalau Uzi dan Angga sering bertengkar gara-gara Angga." "Dari dulu Bu Kokom ngga suka sama Uzi. Apa kalian lupa kalau dia bercerai dari suaminya karena suaminya kepergok mau melecehkan Uzi? Untung Angga datang tepat waktu, kalau ngga, mungkin mantan suaminya Bu Kokom sudah berhasil memperk*sa Uzi." Kejadian yang menimpa Fauzia saat suami Kokom berusaha melecehkannya sudah berlangsung lama. Waktu itu Angga dan Fauzia baru saja pindah. Tak terima istrinya hendak dilecehkan, Angga menghajar suami Kokom habis-habisan, kasusnya sampai dibawa ke RT. Karena malu, Kokom menceraikan suaminya. Sejak saat itu Kokom tidak pernah menyukai Fauzia dan Angga. Senyum manis dan keramahannya hanya hiasan belaka. "Lebih baik kalian kerja, daripada menggosip." Murni menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Sepkuang kerja nanti, dia berencana menjenguk Fauzia di sel. Tidak bisa dibayangkan penderitaan wanita itu. Sudah kehilangan suami tercinta, dia juga dituduh menghilangkan nyawa suaminya. * * * Fauzia duduk di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Di depannya ada sebuah meja dengan laptop di atasnya. Nampak seorang petugas polisi berada di belakang laptop. Keduanya sedang berada di ruang interogasi. Tatapan Fauzia nampak kosong. Wanita itu masih belum terlihat shock atas semua yang menimpanya. Sudah hampir lima menit mereka berada di dalam ruangan, namun Fauzia hanya diam membisu. "Saudari Uzi, apa anda mengenal Andika?" Kepala Fauzia hanya mengangguk saja. Pandangannya masih kosong, namun telinganya masih bisa mendengar dengan jelas pertanyaan yang diajukan untuknya. "Apa anda tahu di mana dia sekarang?" Kali ini kepala Fauzia menggeleng. Petugas tersebut menarik nafas panjang. Dia mengetuk meja beberapa kali, membuat Fauzia mengarahkan pandangan ke arahnya. "Apa hubungan anda dengan Andika?" "Kami hanya rekan kerja." "Menurut beberapa kesaksian warga, mereka sering melihat anda berduaan dengan Andika. Apa anda memiliki hubungan khusus dengannya?" "Tidak." "Apa suami Anda mengenal Andika?" "Iya." "Apa dia tahu anda berselingkuh dengan Andika?" "Saya tidak berselingkuh dengannya. Itu fitnah!" Wajah Fauzia terlihat kesal. Semua orang menyudutkannya. Menuduhnya memiliki hubungan khusus dengan Andika. "Lalu pakaian yang ada noda darah, apakah milik anda?" "Iya." "Darah siapa itu?" "Saya tidak tahu." "Itu darah suami anda. Anda yang sudah menghabisi nyawanya." "Tidak. Saya tidak membunuh suami saya! Saya tidak membunuhnya!" "Kalau anda tidak membunuhnya, lalu kenapa anda menyembunyikan pakaian itu?" "Saya.. takut." "Takut karena anda sudah membunuh suami anda?" "Saya tidak membunuhnya!" "Lalu siapa yang membunuhnya?" "Saya tidak tahu. Mungkin saja Andika." "Mungkin saja Andika yang membunuh suami anda. Tapi itu semua karena suruhan anda, bukan?" "Tidak! Saya tidak membunuh suami saya! Harus berapa kali saya mengatakan kalau saya tidak membunuhnya! Saya tidak membunuhnya!! Harusnya kalian mencari pembunuh itu, bukan menahan saya di sini!!" Fauzia yang awalnya tenang, kini berubah histeris. Wanita itu berteriak sambil memukul-mukul meja di depannya. Pancaran matanya penuh dengan amarah. Petugas polisi itu memanggil anak buahnya dan memintanya membawa Fauzia kembali ke sel. Sepeninggal Fauzia, pimpinan unit Jatanras masuk ke dalam ruangan. Pria bernama Fajar itu menarik kursi di depan anak buahnya. "Bagaimana menurutmu?" tanya Fajar. "Kalau menurut bukti dan saksi, semua memang mengarah pada Fauzia. Tapi.. ini semua terlalu sempurna. Mayat dan bukti ditemukan dengan cepat. Begitu juga semua saksi kompak menuding Fauzia dan Andika melakukan affair. Menghilangnya Andika bertepatan dengan terbunuhnya Angga. Semuanya terasa begitu kebetulan." "Kamu benar. Apa sudah ada kabar dari tim forensik?" "Belum. Mereka masih mencari penyebab kematian Angga. Fauzia juga mengatakan kalau semalam sebelum Angga terbunuh, Kokom mengantarkan minuman untuk mereka. Setelah menghabiskan minuman, tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Aku sudah mengatakan pada tim forensik. Mereka aka menguji sample darah Angga." "Sebarkan anggota yang lain untuk mencari keberadaan Andika. Pria itu bisa menyibak misteri kematian Angga." "Baik, Pak." Di dalam sel, Fauzia hanya duduk termenung sambil menyandarkan punggung ke tembok dengan memeluk kedua lututnya. Dia tidak sendiri, melainkan ada dua tahanan lainnya. Keduanya melihat pada Fauzia dengan tatapan yang jauh dari kata ramah. Mereka sudah mendengar kasus yang menimpa teman satu selnya ini. "Lihatlah perempuan itu. Dia sudah berselingkuh, lalu membunuh suaminya." "Aku benci peselingkuh." Salah satu wanita itu mendekati Fauzia lalu berdiri di dekatnya. Dengan kakinya, dia menyenggol Fauzia, membuat wanita itu melihat padanya. "Heh pembunuh! Apa benar kalau kamu sudah berselingkuh dan membunuh suamimu?" "Bukan urusanmu," jawab Fauzia acuh tak acuh. "Brengsek!! Kamu tahu? Aku paling benci orang yang berselingkuh." Wanita itu berjongkok lalu mencengkeram rahang Fauzia dengan kencang. "Aku sudah membunuh suamiku yang berselingkuh. Membunuh satu lagi peselingkuh, rasanya tidak ada ruginya." "Bunuh saja kalau kamu mau. Lagi pula hidupku sudah tak berharga lagi." "Kamu pikir aku tidak sanggup melakukannya?" "Lakukan saja, lakukan!!! LAKUKAN!!" Suara pukulan di jeruji sel mengejutkan kedua wanita itu. Seorang petugas yang mendengar keributan langsung mendekat. "Jangan berisik!! Kamu!! Kembali ke tempatmu!" Mau tidak mau wanita itu kembali ke tempatnya semula. Fauzia masih bergeming di tempatnya. Dia kembali melamun memikirkan suaminya yang sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya. * * * Seorang pria paruh baya nampak terhenyak ketika mendengar kabar yang dikirimkan anak buahnya. Wajahnya memucat dan kecemasan langsung meliputi hatinya. "Apa kamu yakin dengan kabar yang kamu bawa?" "Yakin, Pak." "Bagaimana keadaan Fauzia sekarang?" "Dia sudah ditahan di kantor polisi untuk penyelidikan." "Tolong tetap awasi. Aku akan datang untuk menemuinya. Jangan biarkan sesuatu terjadi pada keponakanku." "Baik, Pak." Panggilan segera berakhir. Pria paruh baya itu segera bersiap untuk pergi. Dia mencari-cari kunci mobil di meja kerjanya. Setelah mendapatkannya, pria itu segera keluar dari ruang kerjanya. Baru saja dia akan keluar rumah, pria itu berpapasan dengan seorang pria muda. "Papa mau kemana?" "Papa harus pergi. Adikmu dalam bahaya." "Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?""Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?" "Papa harus pergi sekarang." "Tapi sekarang sudah malam. Apa Papa ngga bisa menunggu besok? Lagipula di luar sedang hujan deras." "Fauzia membutuhkan Papa sekarang." "Kalau begitu aku ikut." "Kamu di sini saja. Takutnya Papa akan sibuk mengurus Fauzia. Kamu di sini gantikan Papa membantu Daffa." Reza hanya bisa menuruti apa kata Papanya. Dia mengantarkan Faisal menuju garasi. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan rumahnya. Cukup lama Reza berada di teras sepeninggal sang Papa. Sebenarnya dia cemas melepaskan Faisal pergi sendiri. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Pria itu buru-buru mengusir perasaan buruknya. Berharap semuanya akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Reza mengambil ponselnya, dia ingin mencari tahu kasus yang menimpa Fauzia. Siapa tahu kasus tersebut diberitakan ol
Sepasang insan tengah meleburkan diri bersama. Mencoba mencari kehangatan dari dinginnya malam. Faisal tidak bisa menolak tawaran manis yang diberikan Kelana padanya. Tak peduli apa yang dilakukannya melabrak norma agama, etika, sosial dan hukum. Bersenggama dengan istri dari Kakaknya adalah haram hukumnya secara agama. Dalam hukum pun akan terkena pasal perzinahan. Namun peduli setan, Faisal tetap memuaskan hasratnya, memacu tubuhnya di atas tubuh Kelana. Desahan dan lenguhan wanita itu semakin membuatnya bersemangat untuk terus memberikan kenikmatan pada wanita hamil tersebut. Tubuh Kelana terkulai lemas ketika Faisal berhasil mengantarkannya meraih puncak kenikmatan lebih dulu. Faisal sendiri tidak mengendurkan serangan. Dia terus memacu tubuhnya, mengejar kenikmatannya yang belum sampai. Punggung pria itu sudah lembab dengan keringat. Kelana bukanlah wanita pertama yang ditiduri olehnya. Sejak Kelana menikah dengan Kakak kembarnya, Faisal yang patah hati menutup diri dari s
"Aku tidak punya keluarga. Hanya Kang Angga satu-satunya keluargaku." "Dia mengaku sebagai pamanmu."Kening Fauzia mengerut. Masih belum ada gambaran siapa yang sudah mengaku sebagai Pamannya. Setahunya sang ayah tidak memiliki saudara, begitu pula dengan Ibunya. Suara petugas membuyarkan lamunannya, mengajak wanita itu segera menuju ruangan yang diperuntukkan bagi tahanan untuk bertemu dengan penjenguknya.Ketika pintu ruangan terbuka, nampak dua pria tengah duduk menunggunya. Ini pertama kalinya Fauzia bertemu dengan kedua pria itu. Pelan-pelan Fauzia mendekati meja lalu menarik kursi di depannya. Matanya masih belum lepas dari dua orang di hadapannya."Kalian siapa?" tanya Fauzia setelah cukup lama mereka terdiam."Aku Pamanmu, namaku Daffa."Salah satu pria menjawab pertanyaan Fauzia. Dipandanginya wajah pria yang mengaku sebagai Pamannya. Usianya belum terlalu tua. Mungkin hanya berbeda lima sampai enam tahun saja dengannya."Aku tidak punya keluarga lagi setelah kedua orang tu
"Bagaimana Ibu bisa tahu Ibu Fauzia menyembunyikan pakaian yang berlumuran darah di kamarnya?" "Tentu saja karena saya mencarinya." "Kenapa Ibu yakin sekali akan menemukan sesuatu yang penting? Apa Ibu sudah mencurigai Fauzia sebelumnya?" "Saya sudah curiga ketika pagi-pagi saya datang ke rumahnya. Di sana tidak ada Angga dan Uzi lama sekali saat membuka pintu. Seperti ada yang sedang disembunyikannya." "Kenapa Ibu sampai habis berpikir kalau Fauzia sudah membunuh Angga? Bisa saja Angga tidak berada di rumah karena sudah berangkat kerja. Ibu hanya Ibu rumah tangga biasa, rasanya aneh saja kalau sampai Ibu punya kecurigaan seperti itu. Lalu apa hak Ibu menggeledah rumah Fauzia bahkan sampai masuk ke dalam kamarnya. Bahkan polisi saja membutuhkan surat ijin untuk menggeledah rumah tersangka." Cecaran pertanyaan Krishna langsung membungkam mulut Kokom. Wanita itu tidak tahu harus menjawab seperti apa. Krishna menatap padanya dengan pandangan curiga. "Saya hanya penasaran saja
"Mau saya antar lagi, Bu?" tawar Gunawan seraya menyunggingkan senyuman."Kamu masih di sini?" tanya Kokom dengan raut wajah terkejut."Iya, Bu. Saya lagi cari penumpang yang searah dengan jalan pulang. Lumayan buat tambahan bensin. Ibu mau saya antar kemana lagi?""Ngga usah! Saya mau keluar kota."Kepala Kokom menoleh ke kanan dan kiri. Wanita itu sedang berpikir hendak pergi kemana. Lalu dia melangkahkan kakinya menuju elf yang sedang mengetes. Tanpa pikir panjang, Kokom segera menaiki elf dengan tujuan Rancabuaya. Gunawan masih memperhatikan dari atas motornya. Setelah Kokom naik, pria itu menjalankan kendaraannya lalu berhenti di dekat elf yang sedang mengetem. Dia berbincang sejenak dengan supir elf tersebut. Penumpang elf memang baru Kokom seorang. Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang."Bu.. naik yang lain saja. Saya tidak jadi narik.""Kenapa, Mang?""Kepala saya mendadak pusing. Takut ada apa-apa di jalan. Jadi saya batalkan aja, saya mau pulang."Dengan perasaan dongk
"PERGI!!" teriak Anita kencang. Fauzia masih belum bangun dari posisinya. Luka benturan yang dialaminya tadi membuat kepalanya pusing. Salah seorang pelajar mendekat lalu membantu Fauzia berdiri. Melihat apa yang terjadi pada Dita, Krishna segera mendekat. "Kenapa kamu bisa bebas? Kamu harusnya tetap berada di penjara! Dasar pembunuh!" maki Salim. "Tolong percaya padaku, Pa. Aku tidak membunuh Kang Angga, aku sangat mencintainya." "Berhenti menyebut nama anakku!" hardik Anita dengan suara kencang. Suasana pemakaman yang semula berlangsung khidmat kini berangsur tegang. Fauzia masih terus berusaha meyakinkan kedua mertuanya kalau apa yang dituduhkan padanya tidak benar. "Tolong percaya padaku," ujar Fauzia dengan wajah bersimbah airmata. "Suatu kesalahan membiarkan Angga menikahimu. Aku akan pastikan kamu membusuk di penjara!" "Ibu Fauzia tidak bersalah. Dia sudah dibebaskan oleh polisi. Pembunuh sebenarnya sudah tertangkap," Krisha datang menyela pembicaraan. "Siapa
"Kamu siapa?" "Aku kakakmu." Sejenak Fauzia dibuat terbengong. Dia memandangi Reza dan Daffa bergantian. Kepalanya tiba-tiba saja terasa pusing. Pertama Daffa datang mengaku sebagai Pamannya, dan sekarang Reza mengaku sebagai Kakaknya. "Tidak usah terkejut. Aku adalah anak angkat Pamanmu," lanjut Reza yang melihat Fauzia terkejut. "Anak angkat? Tapi usia kalian seperti sepantaran. Daripada menjadi anak angkat, bukankah kalian lebih cocok menjadi saudara angkat?" Reza melihat pada Daffa sambil berdecak. Semua karena pengakuan pria itu yang mengatakan dirinya adalah Paman Fauzia. Reza menarik kursi ke dekat bed lalu mendudukkan diri di sana. "Uzi.. dengarkan aku. Kamu memang memiliki seorang Paman, tapi bukan dia," Reza menunjuk pada Daffa. "Maksudnya?" Fauzia terlihat semakin bingung saja. "Daffa adalah anak dari atasan Pamanmu, dia juga atasanku. Tapi hubungan kami sangat dekat, sudah seperti sahabat. Sedang Pamanmu bernama Faisal. Dia adalah adik kembar Papamu." "
Fauzia dan Krishna langsung menghambur ke arah Andika. Tubuh pria itu tidak bergerak lagi, hanya air liur saja yang terus keluar dari mulutnya. Krishna bergerak cepat memanggil petugas. Salah seorang petugas masuk dan memeriksa keadaan Andika. Dia lalu memerintahkan rekannya yang lain membawa Andika ke rumah sakit. Bersama Krishna, Fauzia mengikuti Andika yang dilarikan ke rumah sakit. Wanita itu masih belum mendapat jawaban dari Andika. Dia tidak rela kalau pria itu mati begitu saja, membawa misteri kematian suaminya. Sesampainya di IGD rumah sakit, dokter dan perawat langsung menangani Andika. Namun sayang, lima menit setelah pria itu datang, nyawanya tidak bisa diselamatkan. Fauzia terhenyak melihat suster menutupi tubuh Andika dengan kain putih. Dengan cepat dia mendekati sang dokter. "Dokter, kenapa dia bisa mati? Apa yang terjadi padanya? Tolong selamatkan nyawanya, ada yang ingin kukatakan padanya. Tolong dokter!" "Maaf, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Kondis
"Warna merah ini sepertinya bercak darah," ujar Beni seraya menunjuk noda merah tersebut.Gunawan mengambil cotton bud yang sedikit dibasahi agar lembab, kemudian dia menggosokkan cotton bud tersebut ke noda merah yang sudah mengering. Kemudian dimasukkan cotton bud tersebut ke dalam plastik ziplock."Aku akan langsung pergi menemui Fajar untuk menguji ini. Kalau benar ini adalah noda darah dan cocok dengan darah Angga, maka bisa dipastikan di sinilah TKP pembunuhan Angga. Kamu terus awasi Badri, jangan sampai dia masuk ke sini lagi.""Siap, Bang."Gunawan segera bersiap. Pria itu mengambil kunci mobil lalu melajukannya. Sepeninggal Gunawan, Beni membuat kopi lalu membawanya keluar rumah. Dia duduk santai di teras sambil melihat lalu lalang orang di depan rumahnya.Tak lama kemudian terdengar suara wanita yang menjual jajanan pasar melintas menggunakan sepeda ontel. Dari arah rumah Kokom, Badri keluar kemudian memanggil penjual tersebut. Beni ikut mendekati sang penjual sambil berpur
Atas permintaan Daffa, Gunawan terus menyelidiki kasus kematian Angga. Sampai sejauh ini mereka belum menemukan apa-apa. Semuanya terhenti sampai kematian Andika. Pihak kepolisian juga menemukan jalan buntu. Untuk sementara mereka menyimpulkan kalau Andika adalah pembunuh Angga. Selama menyelidiki kasus Angga, Gunawan tetap berkoordinasi dengan temannya yang bertugas menyelidiki kasus tersebut. Jika ada informasi baru, keduanya kerap berbagi informasi. Temannya itu menjanjikan jika ada perkembangan baru, dia akan membuka kasus Angga lagi. Bersama dengan anak buahnya, Gunawan kembali ke tempat awal kasus bermula. Gunawan dan Beni pergi ke Desa Banjarsari menggunakan mobil. Mereka memutuskan kembali ke sana, untuk menyelesaikan penyelidikan dari awal. Siapa tahu mereka bisa mendapatkan petunjuk baru. Setelah memarkirkan kendaraan di dekat lapangan bola, Gunawan dan Beni berjalan menuju warung kopi yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari lapangan. Mereka sengaja menuju ke sana. Beb
"Soal yang kulakukan padamu beberapa hari yang lalu. Maaf aku sudah menamparmu. Aku terbawa emosi waktu itu." Tidak ada jawaban dari Daffa. Pria itu tiba-tiba saja mendorong tubuh Fauzia sampai punggung wanita itu merapat ke tembok. Lalu tanpa diduga, dia langsung membenamkan bibirnya ke bibir ranum Fauzia. "Mas.." Lamunan Daffa buyar ketika mendengar panggilan Fauzia. Pria itu berdehem untuk menghilangkan kegugupannya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Sepertinya Daffa masih ingin mencicipi bibir Fauzia lagi. "Apa katamu tadi?" "Aku minta maaf karena sudah menamparmu. Aku.. aku hanya terbawa emosi. Maaf Mas." "Tidak apa, lupakan saja. Apa kedatanganmu hanya untuk mengatakan ini?" "Tidak juga. Sebenarnya ada hal lain yang mau kubicarakan." "Ayo duduklah." Daffa mengajak Fauzia menuju sofa yang ada di ruang kerjanya. Keduanya duduk berhadapan. Fauzia kemudian menceritakan tentang saham Angga yang sekarang sudah dialihkan atas namanya. "Jujur aja Mas, sebenarnya
Begitu pintu terbuka, Fauzia terkejut melihat Daffa yang hanya mengenakan handuk yang dililit di bagian pinggang, sementara bagian atasnya dibiarkan terbuka. Tetesan air yang membasahi dadanya membuat pria itu terlihat semakin seksi. Jantung Fauzia berdetak lebih kencang melihat penampilan Daffa. Wanita itu meneguk ludahnya kelat. Untuk sesaat dia hanya terbengong saja. "Ada apa?" suara Daffa membangunkan Fauzia dari lamunannya. "Makan malam sudah siap, Mas." "Aku pakai baju dulu." Fauzia bergegas meninggalkan Daffa. Wanita itu heran sendiri kenapa dia sering terlibat dengan situasi canggung bersama Daffa. Fauzia kembali ke meja makan. Di sana Faisal sudah duduk untuk menikmati makan malam. Terdengar dering ponsel Fauzia dari arah kamar. Wanita itu bangun dari duduknya kemudian menuju kamar. Fauzia mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Dia langsung menjawab panggilan yang berasal dari Murni. "Halo." "Halo Uzi, bagaimana kabarmu?" "Baik. Teteh sendiri gimana?" "Baik
Karena tidak menemukan Fauzia di lantai dasar, Daffa pun menuju lantai dua. Pandangannya langsung mengedar ke setiap sudut ruangan di sana. Kemudian dia menangkap Fauzia berdiri di dekat ruangan yang dibatasi oleh tirai.Ketika Daffa mendekat, matanya menangkap langkah kaki mendekati tirai. Salah seorang yang berada dalam ruangan, bermaksud keluar. Sementara Fauzia semakin mendekatkan tubuhnya untuk mencuri dengar lebih jelas.Dengan cepat Daffa menghambur pada Fauzia. Ditariknya tubuh wanita itu sedikit menjauh dari tirai lalu mendorongnya hingga punggung Fauzia menyentuh tembok di belakangnya. Masih terkejut dengan tindakan Daffa, tiba-tiba saja bibir pria itu sudah menempel di bibirnya.Untuk sejenak Fauzia terdiam. Kesadarannya berhamburan ketika Daffa memagut bibirnya dengan lembut. Ketika kesadarannya kembali, wanita itu bermaksud untuk melepaskan diri, namun dia melihat ada yang keluar dari ruangan. Tak ingin ketahan tengah menguping, Fauzia pun urung mendorong tubuh Daffa. Bah
Salim segera dilarikan ke rumah sakit setelah jatuh pingsan. Dokter segera memberikan pertolongan cepat. Dari gejalanya, pria itu disinyalir mengalami keracunan tetrodotoksin. Itu adalah jenis racun yang terdapat dalam ikan buntal. Karena mendapat penanganan yang tepat, nyawa Salim bisa diselamatkan namun pria itu harus menjalani perawatan dan pemantauan serius dari pihak medis. Anita dan Imron memilih menyembunyikan kasus ini dan tidak melaporkannya pada polisi. Namun Rafi bersikeras untuk melaporkan hal tersebut. Setahunya sang ayah tidak pernah mengkonsumsi ikan buntal. Polisi segera datang ke rumah sakit untuk penyelidikan. Mereka juga datang ke rumah. Makanan dan alat makan yang digunkan Salim terakhir kali tidak diperbolehkan untuk dibuang, dibersihkan atau disentuh. Petugas polisi itu membawa semuanya untuk diperiksa. "Kenapa kamu melaporkan hal ini ke polisi?" tanya Anita pada Rafi. "Coba Mama pikir, kapan Papa pernah memakan ikan buntal? Selama ini juga Papa selalu menjag
"Selama aku menguraikan kode ini, bisakan kamu bawakan makan siang untukku?" Daffa menolehkan kepalanya, melihat pada Fauzia. Menunggu persetujuan wanita itu agar mau melakukan permintaannya. Jujur saja, Daffa sudah candu dengan rasa masakan Fauzia yang lezat. "Tidak masalah. Mas mau makan apa? Nanti aku masakan." "Terserah kamu saja. Aku bukan orang pemilih. Aku juga suka pedas." "Ehm.. baiklah. Besok aku akan membawakanmu makan siang. Tapi tolong katakan pada sekretarismu kalau akan datang untuk mengantarkan makan siang. Dia sepertinya tidak menyukaiku." "Feli?" "Iya. Sepertinya dia menyukaimu." "Jangan membuat gosip." "Siapa yang membuat gosip? Aku ini perempuan, tentu saja aku tahu kalau perempuan itu menyukaimu." Daffa tidak mempedulikan ucapan Fauzia. Di matanya Felicia tidak lebih hanyalah seorang sekretaris saja. Selama pekerjaannya baik, dia akan tetap mempertahankan wanita itu. "Kalau begitu, aku pulang dulu." "Tunggu, biar aku antar. Kebetulan aku ada meeting di
"Kang Angga.." Mata Fauzia nampak berkaca-kaca saat melihat wajah suaminya di layar laptop. Wanita itu terus melihat ke layar laptop tanpa berkedip. "Hai sayang.. kalau kamu lihat video ini, berarti aku sudah tidak bersamamu lagi." Airmata Fauzia jatuh menetes mendengar kata-kata pertama yang diucapkan dalam video. Faisal merengkuh bahu keponakannya itu lalu merangkulnya. "Maafkan aku, sayang. Maaf kalau aku tidak bisa menemanimu lagi. Inginku bisa terus bersamamu sampai menua bersama. Tapi satu hal yang aku syukuri, aku beruntung memilikimu sebagai istri. Terima kasih sudah menemaniku selama ini. Mungkin alasan Tuhan belum memiliki keturunan, agar kita mempunyai waktu bersama lebih lama lagi." Nampak Angga menjeda ucapannya. Pria itu menghapus buliran bening yang membasahi pipinya. Airmata Fauzia semakin deras bercucuran. "Waktu Papa meminta bantuanku mengaudit perusahaan, sejak saat itu aku mulai merasakan kalau aku berada dalam bahaya. Aku merasa seperti ada yang tenga
Suasana di ruang perawatan Faisal sesaat menjadi sunyi. Fauzia masih belum menanggapi cerita Faisal tentang masa lalu dirinya bersama Faidhan, saudara kembar sekaligus ayah dari Fauzia."Om tahu, kamu pasti membenci Om. Tapi tolong jangan pergi. Biarkan Om menebus kesalahan Om dengan menjagamu. Kamu satu-satunya keluarga yang Om miliki selain Reza. Kamu anak Faidhan dan Kelana, sudah kewajiban Om untuk menjagamu."Wajah Faisal nampak sendu ketika mengatakan itu semua. Walau waktu sudah berlalu lebih dari 25 tahun, namun kesalahan yang dulu dilakukan olehnya masih membekas sampai sekarang. Perasaan menyesal terus menggelayuti dirinya. Bahkan pria itu tidak ada keinginan untuk berumah tangga dan hanya fokus merawat Reza saja.Fauzia bangun dari duduknya, kemudian dia mendekati ranjang Faisal. Mendudukkan diri di sisi ranjang, kemudian meraih tangan pria itu. Tatapan matanya begitu lembut dan menenangkan. Sebuah senyuman diberikan olehnya."Apa yang Om katakan, itu hanyalah cerita masa l