“Suci, apa kamu yakin ini tempatnya?” tanya Farhan dengan nada keraguan, mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah tua yang tampak semakin menyeramkan saat malam semakin larut.
Suci mengangguk pelan, matanya masih fokus pada catatan yang dia pegang. “Iya, ini alamat yang sama dengan yang disebut dalam buku itu. Aku yakin ada sesuatu di sini yang bisa membantu kita.” Keduanya berdiri di depan sebuah rumah tua yang tampaknya sudah lama tidak dihuni. Kayu-kayu jendela dan pintu yang mulai lapuk memberi kesan bahwa rumah itu hampir runtuh. Lampu mobil yang menerangi halaman depan rumah seolah tidak mampu mengusir gelap yang menyelimuti bangunan itu. Farhan menggigit bibirnya, merasakan dingin menyengat yang semakin menusuk. “Kalau ini tidak ada hubungannya dengan kasus kita, aku janji akan menuntut pengembalian uang bensin untuk semua perjalanan kita.” Suci hanya tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak mampu menghapus kekhawatiran di wajahnya. “Kalau kau yakin ini tidak penting, kenapa kau tetap ikut?” tanyanya, sambil mulai membuka pintu yang tampaknya sudah lama tidak dibuka. Dengan sebuah bunyi berderit yang memekakkan telinga, pintu terbuka. Bau apek menyambut mereka, dan debu yang beterbangan menciptakan bayangan tipis di udara. Suara langkah kaki mereka bergema di dalam rumah yang kosong, seolah mengirimkan eko ke dalam kegelapan. “Bagaimana kalau kita melakukan ini cepat? Aku tidak suka tempat ini,” kata Farhan sambil menyalakan senter yang dibawanya. Cahaya senter memotong kegelapan, menyoroti dinding-dinding yang penuh dengan sarang laba-laba dan kotoran. Suci melangkah ke dalam dengan hati-hati, mencari tanda-tanda apa pun yang bisa membantu mereka memahami misteri di balik buku yang mereka temukan. Setiap langkah mereka terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan mereka dari belakang. Hawa dingin semakin menusuk, dan Suci merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—sebuah perasaan bahwa mereka tidak sendirian. “Lihat ini,” kata Suci dengan suara berbisik, menunjuk ke arah sebuah kotak kayu tua yang terletak di sudut ruangan. Kotak itu tampaknya tidak tersentuh oleh waktu, masih dalam kondisi yang relatif baik dibandingkan dengan sisa-sisa rumah yang hancur. Farhan mendekat dengan hati-hati, matanya penuh dengan rasa ingin tahu. “Apa yang ada di dalamnya?” Suci membuka tutup kotak dengan perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah buku tua dengan sampul kulit yang rusak. Halaman-halamannya tampak kuning dan usang, dengan simbol-simbol aneh yang terukir di setiap halaman. Farhan memegang buku itu dengan hati-hati. “Kita sudah menemukan ini di tempat lain, tapi sepertinya ini adalah bagian dari cerita yang lebih besar.” Ketika mereka memeriksa buku lebih lanjut, lampu di ruangan tiba-tiba berkedip. Suasana menjadi lebih dingin, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekeliling mereka—seperti bisikan yang tidak bisa mereka pahami. “Apakah kamu mendengar itu?” tanya Farhan, terlihat gelisah. Suci mengangguk pelan. “Ya, sepertinya ada sesuatu di sini.” Ketika mereka mencoba untuk memahami lebih dalam tentang buku tersebut, sebuah bayangan putih samar bergerak di sudut mata Suci. Dia merasa seolah ada sesuatu yang melayang di dekatnya. “Farhan, ada sesuatu di sini,” katanya dengan suara bergetar. Farhan berusaha menyalakan lampu senter, tapi lampunya berkedip-kedip dan akhirnya padam. “Suci, aku tidak bisa melihat apa-apa.” Tiba-tiba, suhu di ruangan menjadi sangat dingin, dan sebuah suara halus mulai terdengar—seolah seseorang sedang menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur, namun dengan nada yang menakutkan. Suara itu bergema di telinga mereka, membuat darah mereka membeku. Suci merasakan kehadiran yang menekan dadanya, dan dia berbalik untuk melihat ke arah Farhan. “Kita harus pergi dari sini,” katanya, suaranya tidak lebih dari sebuah bisikan. Farhan mengangguk, dengan cepat bergerak menuju pintu. Namun, saat mereka mencoba keluar, lampu di ruangan tiba-tiba padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Suara langkah kaki terdengar mendekat, dan sebuah sosok kabur terlihat di ujung koridor. “Ada sesuatu di sini!” teriak Farhan, suaranya penuh dengan kepanikan. Dia menggenggam senter yang mati dan mencoba menyalakannya lagi. Ketika lampu akhirnya menyala kembali, mereka melihat sesuatu yang mengejutkan. Di dinding, di tempat yang sebelumnya kosong, muncul tulisan darah merah yang berbunyi, “Jangan mencari lebih dalam.” Keduanya saling berpandangan dengan mata terbelalak, hati mereka berdebar kencang. “Kita harus mencari tahu apa yang sedang terjadi di sini,” kata Suci dengan tegas, berusaha menenangkan dirinya sendiri meski rasa takut masih menghantuinya. Mereka meninggalkan rumah tua itu dengan perasaan yang lebih berat daripada sebelumnya. Ketika mereka melangkah keluar, Suci merasakan sesuatu di belakangnya—sebuah sosok kabur yang tampaknya mengawasi mereka dari jendela yang retak. “Cepat, Farhan!” Suci menarik lengan Farhan dengan cepat. “Kita harus pergi dari sini sekarang juga.” Saat mereka berbalik untuk pergi, Farhan melihat sesuatu yang mengejutkan—sebuah pesan misterius yang terukir di tanah, “Kebenaran ada di balik kegelapan.” Ketika mereka melaju menjauh dari rumah itu, Suci merasa bahwa apa pun yang mereka hadapi baru saja dimulai. Kegelapan yang mengintai di balik setiap sudut tampaknya lebih menakutkan dari yang mereka bayangkan. Mereka tahu bahwa mereka telah mengungkap sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap, dan ancaman yang mereka hadapi baru saja mulai menunjukkan bentuknya. Ketika mobil mereka melaju meninggalkan lokasi, Suci memandang kembali ke arah rumah tua yang semakin menghilang dalam kegelapan malam. Ada sesuatu yang aneh di balik semua ini—sesuatu yang menunggu untuk diungkap, dan mereka hanya bisa berharap bahwa mereka bisa menghadapi apa yang akan datang."Suci, kita harus segera ke tempat ini," kata Farhan, sambil menunjukkan peta tua yang baru mereka temukan di kantor arsip tua. "Ini bisa jadi petunjuk penting."Suci memandangi peta yang mengungkapkan lokasi yang tampaknya terabaikan di pinggiran kota. "Apa ini? Sepertinya tempat yang sudah lama ditinggalkan," jawabnya, suaranya mengandung keraguan."Itu sebabnya kita harus memeriksanya. Bisa jadi tempat itu memiliki hubungan dengan kasus kita," ujar Farhan, matanya penuh dengan keyakinan. Mereka baru saja menemukan peta itu di antara dokumen-dokumen kuno di arsip yang belum pernah diperiksa sebelumnya."Tapi tempat ini sepertinya sudah lama tidak digunakan. Kita harus waspada," Suci menambahkan, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran."Tidak ada salahnya mencoba. Kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan," Farhan menegaskan. Keduanya memutuskan untuk segera berangkat menuju lokasi tersebut.Lokasi yang ditunjukkan di peta ternyata adalah sebuah rumah tua di pinggiran kota, dikelilingi
“Apakah kau yakin kita harus kembali ke rumah tua itu malam ini?” tanya Farhan, suara tegang di tengah kegelapan malam. Lampu senter yang mereka bawa memancarkan sinar lemah di sepanjang jalan setapak yang sempit.Suci memandang ke arah rumah tua yang tampak semakin menyeramkan dalam cahaya malam. “Kita tidak punya pilihan lain. Foto ini—” katanya sambil menunjukkan foto misterius di tangannya, “menunjukkan simbol yang tidak kita mengerti, dan aku rasa ini adalah kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.”Farhan menelan ludah, matanya menatap rumah yang sudah lama ditinggalkan itu dengan rasa takut yang tak tertahan. “Kita sudah memutuskan untuk melakukannya. Tapi kalau benar ini salah, bagaimana kita bisa menghadapinya?” Suaranya hampir seperti bisikan.Suci memberikan tatapan yang penuh tekad. “Kita harus berani menghadapi ini. Jika kita tidak melakukannya sekarang, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.”Mereka melangkah maju, memasuki r
"Suci, kamu pasti merasakan ini juga, kan?" Farhan bertanya, suaranya bergetar meskipun ia berusaha tetap tenang.Suci memandang sekeliling ruangan yang gelap, matanya mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan. Udara terasa dingin dan berat, hampir seperti ada sesuatu yang menekan dari semua arah. "Ya, aku merasakannya. Ada sesuatu di sini yang tidak benar."Farhan mengangguk, sementara matanya tetap waspada. Mereka baru saja memasuki rumah tua yang selama ini hanya mereka amati dari luar. Sekarang, setelah banyaknya kejadian aneh yang terjadi di sekitar mereka, mereka merasa bahwa sudah waktunya untuk menyelidiki lebih dalam.Rumah ini adalah bangunan tua dengan struktur yang sudah mulai rapuh. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan jamur, dan lantainya berderit setiap kali mereka melangkah. Tapi yang paling mencolok adalah suasana dingin yang meresap ke dalam tulang. Rasanya seperti rumah ini telah menyimpan banyak rahasia yang tidak ingin diungkapkan.Ketika mereka melangkah lebih dal
“Apa kita benar-benar harus pergi ke tempat itu lagi?” tanya Farhan dengan nada tidak yakin, memandang Suci dari balik meja yang dipenuhi catatan dan foto-foto tua.Suci menghela napas, menatap Farhan dengan tatapan tegas. “Farhan, kita harus. Semakin lama kita menunggu, semakin besar kemungkinan sesuatu yang buruk akan terjadi. Kita sudah mendapatkan beberapa petunjuk dari penyelidikan kemarin. Ini adalah kesempatan kita untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.”Keduanya baru saja pulang dari kunjungan ke rumah tua yang telah menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Kegelapan malam telah menyelimuti kota, dan suara angin malam di luar jendela membuat suasana semakin mencekam. Suci menyeduh secangkir teh untuk menenangkan sarafnya, sementara Farhan mencoba mengatur foto-foto dan catatan yang mereka kumpulkan.“Kalau begitu, mari kita mulai. Aku sudah menghubungi ahli yang mungkin bisa membantu kita. Dia bisa memberitahu kita lebih banyak tentang bayangan itu,” kata F
"Suci, cepat! Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres," kata Farhan dengan suara bergetar, mengamati pintu yang bergetar lembut seolah tertekan oleh kekuatan tak terlihat.Suci menatap catatan yang baru ditemukan dengan ekspresi serius. Ruangan yang mereka tempati, sebuah kamar gelap di lantai atas rumah tua yang misterius, terasa semakin berat dan sesak. Lampu kuning yang berkedip-kedip menambah suasana menakutkan, memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding."Farhan, aku menemukan sesuatu yang penting di sini," jawab Suci, suaranya tegas meskipun ada nada cemas yang jelas terasa. Dia menggelar catatan tersebut di meja yang berdebu, memperlihatkan tulisan tangan yang cepat dan tidak teratur.Farhan melangkah mendekat, matanya terfokus pada catatan. "Apa itu? Sepertinya ada sesuatu yang mengancam."Suci membaca keras-keras, “... Ritual kuno yang dikenal sebagai ‘Pembersihan Kegelapan’. Untuk membebaskan diri dari kutukan, kamu harus mengumpulkan komponen tertentu dan melaksanakan ri
"Farhan, aku merasakan sesuatu yang sangat aneh di sini," kata Suci dengan nada suara yang bergetar, matanya menatap sekeliling dengan waspada. Mereka berdua berdiri di tepi sebuah hutan tua yang jarang dijamah manusia. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, meskipun matahari masih bersinar di atas. Cahaya tampak enggan menembus rimbunnya pepohonan, seakan tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.Farhan mengangguk, merasakan ketegangan yang sama. "Kita harus berhati-hati, Suci. Aku tidak suka perasaan ini." Mereka melangkah masuk ke dalam hutan, mengikuti petunjuk yang mereka dapatkan dari seorang pria tua yang tinggal di desa sekitar. Pria itu menyebutkan sebuah tempat yang dianggap terkutuk, tempat di mana banyak hal aneh terjadi dan tidak ada yang pernah kembali setelah pergi ke sana.Langkah mereka terdengar pelan, nyaris tak bergaung di tanah yang lembab. Pepohonan menjulang tinggi, membentuk kanopi gelap di atas kepala mereka, memisahkan mereka dari dunia luar. Setiap lang
"Suci, kau mendengar itu?" Farhan berdiri tegak, matanya memandang lurus ke kegelapan di depan mereka. Suara angin yang menderu terdengar di sekitar mereka, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang lebih menakutkan, lebih dalam. "Suara apa, Han?" Suci menjawab, meski dalam hati, dia sudah tahu apa yang dimaksud Farhan. Bisikan-bisikan aneh yang muncul sejak pertemuan mereka dengan bayangan itu terus menghantuinya, terutama di malam hari seperti ini."Kedengarannya seperti... bisikan, tapi aku tidak yakin dari mana asalnya," Farhan menjelaskan sambil melangkah maju. Suara itu seolah mengelilingi mereka, membuatnya sulit untuk menentukan sumbernya. Semakin mereka mencoba mendengarkan, semakin bisikan itu seperti menyatu dengan angin.Suci merasakan udara di sekitar mereka mulai berubah, menjadi lebih dingin dan lebih menekan. Tubuhnya bergetar bukan hanya karena suhu, tapi juga karena rasa takut yang mulai merayapi dirinya. Dia mengusap peluh yang mulai mengalir di dahinya
"Suci, kamu nggak apa-apa?" tanya Farhan, nadanya penuh kekhawatiran. Mereka baru saja tiba di rumah setelah perjalanan yang melelahkan dari hutan. Meskipun rasa lega sempat muncul ketika mereka akhirnya meninggalkan tempat itu, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Suci.Suci memaksa tersenyum, "Aku baik-baik saja, Han. Cuma capek."Farhan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Matanya masih memancarkan bayangan gelap yang membuat Suci tak nyaman. Namun, dia memilih untuk tidak membahasnya, setidaknya untuk saat ini.Malam itu, setelah mandi dan mencoba untuk tidur, Suci merasa resah. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan-bayangan dari hutan itu kembali menghantui pikirannya. Bisikan yang samar dan tak henti-henti seolah-olah mengintai dari sudut-sudut gelap kamarnya. Namun, yang paling mengganggu adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang aneh dengan Farhan.Selama ini, Suci tahu Farhan sebagai orang yang rasional dan tak pernah percaya pada hal-hal gaib. Tetapi sejak
“Jadi, ini semua hanya permainan, kan?” Suara Suci bergetar, seolah tak percaya pada apa yang ia baru saja dengar. Ruangan itu sunyi, hanya diselimuti aroma dingin dan tajam dari udara yang merembes masuk melalui celah jendela tua. Farhan, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan kosong, memandangi sebuah cermin besar yang sudah pecah sebagian. “Tidak ada yang seperti yang kita kira. Semua petunjuk, semua yang kita temukan… ternyata sudah diatur sejak awal.” Suci menelan ludah, masih memproses kata-kata itu. “Siapa yang mengatur semua ini? Apakah… mereka?” Tatapannya beralih ke cermin di sudut ruangan, bekas luka dari teror yang baru saja mereka hadapi masih segar dalam pikirannya. Farhan berbalik, matanya memancarkan rasa putus asa yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. “Bukan hanya mereka, Suci. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ‘mereka’. Semua ini dimulai dari sebelum kita terlibat. Bahkan sebelum aku tahu siapa aku seben
“Suci, kau yakin ini jalan yang tepat?” tanya Farhan, suaranya bergetar dalam gelap malam. Di depannya, cahaya senter yang redup menerangi jejak kaki mereka di tanah lembab. Suci mengangguk, menatap jauh ke dalam kegelapan yang seolah menelan setiap suara di sekitar mereka.“Aku bisa merasakannya, Farhan. Kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan,” jawab Suci, dengan nada tegas namun penuh keraguan. Sejak kejadian di cermin, dia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa. Kegelapan itu seolah mengawasi setiap langkah mereka, berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang berani menyelam ke dalam misteri.“Ini sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi,” kata Farhan, berusaha mengingatkan Suci. Dia tahu, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risikonya. Namun, Suci sudah terjebak dalam perburuan kebenaran, dan rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takutnya.Merek
"Apakah kau yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan terdengar cemas, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana malam itu. Suci menatap cermin yang tergores di depan mereka, memantulkan cahaya lampu neon dari luar, menciptakan bayangan gelap di sekelilingnya."Aku merasakannya, Farhan. Di balik cermin ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan," jawab Suci dengan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Indra keenamnya bergetar, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang menunggu mereka di sisi lain.Suci melangkah maju, menatap cermin yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Lalu, dengan nafas dalam, ia menyentuh permukaan dingin cermin. Sejenak, cermin itu bergetar, dan gambarnya mulai kabur. Di dalam kabut itu, Suci melihat bayangan samar seorang wanita, wajahnya terdistorsi, seolah mengalami kepedihan yang mendalam."Siapa dia?" Farhan bertanya, suaranya bergetar. Suci menggelengkan kepala, tak mampu mengucapkan apa pun. Dala
“Farhan, ada yang aneh,” suara Suci mengiris keheningan malam yang dipenuhi dengan aroma hujan. Ia berdiri di depan jendela kantor penyidik, menatap ke luar ke arah jalanan yang basah. “Aku merasa... seolah ada yang mengikuti kita.” Farhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang menunjukkan berbagai data kasus ke arah Suci. “Apa maksudmu? Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dari semua ini,” jawabnya, suaranya tegas meskipun ada nada ketidakpastian yang terlintas. “Aku tahu, tapi ini bukan soal menjaga jarak,” Suci menjelaskan, tangannya bergetar. “Ini lebih dalam daripada itu. Seolah ada bayangan yang terus mengikuti setiap langkah kita.” Farhan mengerutkan kening, memikirkan kata-kata Suci. “Kau yakin ini bukan hanya perasaanmu? Dengan semua yang kita hadapi, wajar jika kita merasa tertekan.” “Bukan hanya perasaan, Farhan,” Suci menekankan. “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
"Suci, apakah kau mendengarnya?" Farhan tiba-tiba berbisik, memecah keheningan yang menyesakkan. Suara desau angin yang aneh, seperti rintihan yang menyusup dari segala arah, semakin jelas di telinga mereka.Suci memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya," gumamnya pelan, "tapi suara itu bukan dari sini… ini berasal dari sesuatu yang lain." Tatapan Suci menyapu tempat itu, dimensi yang asing dan penuh kehampaan. Tidak ada apa pun di sini, selain kegelapan yang terus bergerak, seolah hidup.Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya terpaku pada bayangan-bayangan yang bergerak di kejauhan. "Kita tidak bisa diam di sini. Tempat ini… semakin terasa seperti jebakan."Suci mengangguk, langkahnya goyah saat mereka mulai bergerak, menyusuri dataran retak yang entah menuju ke mana. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka menyedot energi yang tersisa. Meski Suci memiliki kemampuan khusus, di tempat ini, kekuatanny
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus, Suci," suara Farhan terdengar rendah, hampir berbisik, namun ketegangan di dalamnya jelas. "Cermin itu… apa pun yang kita lihat tadi, bukan hal yang normal."Suci tetap diam, pandangannya tajam menembus kegelapan rumah tua yang sekarang terasa lebih dingin dan suram. Cermin yang baru saja pecah kini berserakan di lantai, tetapi setiap pecahan seolah tetap hidup, memantulkan potongan-potongan bayangan masa lalu yang mengerikan. Suci tidak bisa melepaskan pikirannya dari sosok ibunya yang muncul di balik cermin itu."Ada sesuatu yang belum kita pahami," jawab Suci akhirnya, suaranya terdengar jauh, seperti dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan. "Ibu… dia mencoba memberi tahuku sesuatu. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Tidak setelah semua yang aku lihat."Farhan melangkah mendekat, menyentuh lengan Suci dengan lembut. "Tapi kita bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ibumu. Bisa saja itu han
"Apa yang kau temukan?" suara Farhan bergetar pelan, memecah kesunyian yang tegang di antara mereka.Suci duduk diam di kursi tua yang terletak di pojok ruangan, jari-jarinya bermain di atas permukaan meja kayu yang dingin dan berdebu. Matanya menatap kosong, seolah mencoba memahami sesuatu yang tak terjangkau. Dia tidak segera menjawab, mengabaikan pertanyaan Farhan sejenak."Suci," Farhan mendekat, nadanya memaksa kali ini. "Kau tahu lebih dari yang kau katakan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kau ingat?"Suci mengangkat pandangannya perlahan, matanya kini dipenuhi dengan kebingungan yang lebih dalam, namun di balik itu ada ketakutan yang sulit disembunyikan. "Aku tidak yakin, Farhan," bisiknya. "Ini... lebih dari sekadar ingatan. Ada sesuatu yang... salah. Sesuatu yang selalu bersembunyi di balik setiap langkahku."Farhan menelan ludah, mengamati perubahan ekspresi Suci. Dia tahu betul bahwa wanita ini adalah yang terkuat dari mereka berdua, d
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan