"Farhan, aku merasakan sesuatu yang sangat aneh di sini," kata Suci dengan nada suara yang bergetar, matanya menatap sekeliling dengan waspada. Mereka berdua berdiri di tepi sebuah hutan tua yang jarang dijamah manusia. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, meskipun matahari masih bersinar di atas. Cahaya tampak enggan menembus rimbunnya pepohonan, seakan tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Farhan mengangguk, merasakan ketegangan yang sama. "Kita harus berhati-hati, Suci. Aku tidak suka perasaan ini." Mereka melangkah masuk ke dalam hutan, mengikuti petunjuk yang mereka dapatkan dari seorang pria tua yang tinggal di desa sekitar. Pria itu menyebutkan sebuah tempat yang dianggap terkutuk, tempat di mana banyak hal aneh terjadi dan tidak ada yang pernah kembali setelah pergi ke sana. Langkah mereka terdengar pelan, nyaris tak bergaung di tanah yang lembab. Pepohonan menjulang tinggi, membentuk kanopi gelap di atas kepala mereka, memisahkan mereka dari dunia luar. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah-olah sesuatu di bawah tanah menarik kaki mereka kembali. Farhan bisa merasakan dingin yang merayap dari tanah ke tubuhnya, menjalar hingga ke tulang. "Aku melihat sesuatu..." Suci berhenti sejenak, memejamkan mata. Kemampuan indra keenamnya mencoba menangkap petunjuk dari alam yang tersembunyi di sekitarnya. Perlahan, dia mulai merasakan kehadiran yang tidak bersahabat. Bayangan-bayangan gelap berputar di sekeliling mereka, mengintai dari balik pepohonan. Farhan meraih tangan Suci, mencoba memberikan dukungan meski dirinya pun mulai merasa gelisah. "Kita harus terus bergerak. Tempat itu pasti sudah dekat." Setelah berjalan beberapa waktu, mereka tiba di sebuah area terbuka yang terasa berbeda. Tanahnya lebih gersang, dan pepohonan di sekelilingnya tampak mati, batang-batang mereka pucat dan tak berdaun. Di tengah area itu, terdapat lingkaran batu-batu besar yang tersusun secara aneh, seolah-olah ditempatkan di sana dengan tujuan tertentu. Aura kegelapan begitu kuat di tempat itu, hampir terasa seperti beban fisik di dada mereka. "Ini dia... titik nol dari kegelapan yang selama ini kita cari," bisik Suci dengan mata terbelalak. Dia bisa merasakan energi jahat yang membumbung dari tanah, membuat udara di sekitarnya bergetar. "Ada sesuatu yang disembunyikan di sini." Mereka mendekati lingkaran batu itu, perlahan, dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran. Farhan mengamati setiap detail, mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa memberi mereka petunjuk. Tiba-tiba, dia melihat sebuah tanda yang tergores di salah satu batu, sebuah simbol kuno yang dia kenali dari penelitian mereka sebelumnya. "Suci, lihat ini," panggil Farhan, menunjuk ke arah simbol itu. "Ini adalah simbol yang sama dengan yang kita temukan di manuskrip tua itu. Ada sesuatu yang sangat penting di sini." Suci mendekat, merasakan simbol itu dengan ujung jarinya. Saat dia menyentuhnya, sebuah penglihatan mendadak muncul di pikirannya. Dia melihat bayangan masa lalu, orang-orang yang melakukan ritual di tempat ini, memanggil kekuatan gelap yang kuat. Ritual itu tampak tidak selesai, seolah-olah ada sesuatu yang menghentikannya di tengah jalan. "Tidak heran tempat ini terasa begitu kuat. Ritual mereka tidak pernah selesai... energi itu tetap terperangkap di sini," kata Suci dengan suara pelan, nyaris berbisik. "Mereka mencoba mengurung sesuatu, tapi tidak sepenuhnya berhasil." Farhan mengerutkan kening, merasakan kengerian yang sama. "Jika mereka tidak berhasil, maka tugas kita adalah menyelesaikannya. Tapi bagaimana caranya?" Sebelum Suci sempat menjawab, sebuah suara aneh terdengar dari belakang mereka, suara seperti langkah kaki yang menginjak dedaunan kering. Keduanya berbalik dengan cepat, hanya untuk melihat bayangan samar yang bergerak cepat di antara pepohonan. Sosok itu tinggi dan kurus, dengan mata yang bersinar merah dalam kegelapan. Suci merasakan napasnya tertahan. "Farhan... kita tidak sendirian di sini." Bayangan itu mendekat, tapi setiap kali mereka mencoba melihatnya dengan jelas, sosok itu tampak menghilang, seolah-olah hanya bagian dari ilusi. Tapi Suci tahu, itu bukan ilusi. Dia bisa merasakan kehadiran nyata dari entitas ini, dan semakin lama mereka di sini, semakin kuat kekuatannya. Farhan meraih senter dari dalam tasnya, mencoba menerangi bayangan itu. Tapi cahaya dari senter tidak cukup kuat untuk menembus kegelapan yang tampak hidup. "Suci, kita harus keluar dari sini sekarang," katanya dengan tegas, meski ada ketakutan di suaranya. Namun, sebelum mereka sempat melarikan diri, tanah di bawah kaki mereka bergetar, seolah-olah sesuatu dari bawah permukaan tanah sedang berusaha muncul ke atas. Batu-batu di sekeliling mereka mulai bersinar dengan cahaya merah yang menakutkan, memancarkan energi yang semakin kuat. Suci merasakan kekuatan gelap yang menahan mereka di tempat itu, seperti jaring yang tidak terlihat, menarik mereka lebih dalam ke dalam misteri yang belum terungkap. Tiba-tiba, dari dalam kegelapan, terdengar suara gemuruh yang dalam, hampir seperti suara bumi yang bergerak. Bayangan itu menjadi lebih jelas, memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Tingginya lebih dari dua meter, dengan tubuh yang hampir transparan, tapi tetap menunjukkan bentuk manusia yang cacat. Wajahnya tidak berbentuk, hanya ada lubang besar di tempat mata seharusnya berada, memancarkan kegelapan yang begitu dalam. "Suci... apa itu?" suara Farhan pecah oleh ketakutan, matanya membelalak ngeri melihat sosok yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Suci mencoba menenangkan dirinya, meskipun kengerian menggenggam hatinya erat. "Itu... itu adalah sisa dari kekuatan yang terperangkap di sini. Bayangan dari masa lalu, entitas yang tidak pernah bisa pergi." Bayangan itu bergerak mendekati mereka, dan mereka bisa merasakan suhu udara yang menurun drastis, hampir membekukan. Farhan mundur, menarik Suci bersamanya, tapi mereka tahu bahwa lari tidak akan menyelesaikan masalah ini. Mereka harus menghadapi kegelapan ini, apa pun risikonya. Suci yang melihat sesuatu di tanah, sesuatu yang tampaknya adalah kunci untuk menghentikan semua ini. Tapi sebelum dia sempat mengambilnya, sosok bayangan itu menerjang ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa, mengakhiri bab ini dengan ketegangan yang memuncak, meninggalkan pembaca dengan rasa penasaran yang mendalam."Suci, kau mendengar itu?" Farhan berdiri tegak, matanya memandang lurus ke kegelapan di depan mereka. Suara angin yang menderu terdengar di sekitar mereka, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang lebih menakutkan, lebih dalam. "Suara apa, Han?" Suci menjawab, meski dalam hati, dia sudah tahu apa yang dimaksud Farhan. Bisikan-bisikan aneh yang muncul sejak pertemuan mereka dengan bayangan itu terus menghantuinya, terutama di malam hari seperti ini."Kedengarannya seperti... bisikan, tapi aku tidak yakin dari mana asalnya," Farhan menjelaskan sambil melangkah maju. Suara itu seolah mengelilingi mereka, membuatnya sulit untuk menentukan sumbernya. Semakin mereka mencoba mendengarkan, semakin bisikan itu seperti menyatu dengan angin.Suci merasakan udara di sekitar mereka mulai berubah, menjadi lebih dingin dan lebih menekan. Tubuhnya bergetar bukan hanya karena suhu, tapi juga karena rasa takut yang mulai merayapi dirinya. Dia mengusap peluh yang mulai mengalir di dahinya
"Suci, kamu nggak apa-apa?" tanya Farhan, nadanya penuh kekhawatiran. Mereka baru saja tiba di rumah setelah perjalanan yang melelahkan dari hutan. Meskipun rasa lega sempat muncul ketika mereka akhirnya meninggalkan tempat itu, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Suci.Suci memaksa tersenyum, "Aku baik-baik saja, Han. Cuma capek."Farhan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Matanya masih memancarkan bayangan gelap yang membuat Suci tak nyaman. Namun, dia memilih untuk tidak membahasnya, setidaknya untuk saat ini.Malam itu, setelah mandi dan mencoba untuk tidur, Suci merasa resah. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan-bayangan dari hutan itu kembali menghantui pikirannya. Bisikan yang samar dan tak henti-henti seolah-olah mengintai dari sudut-sudut gelap kamarnya. Namun, yang paling mengganggu adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang aneh dengan Farhan.Selama ini, Suci tahu Farhan sebagai orang yang rasional dan tak pernah percaya pada hal-hal gaib. Tetapi sejak
Suci dan Farhan melangkah memasuki ruangan yang tersembunyi di balik pintu yang baru saja mereka buka. Suasana di dalamnya sangat berbeda dari ruangan sebelumnya. Cahaya remang-remang dari lampu gantung tua menerangi ruangan dengan pendar kekuningan yang menambah suasana mencekam. Dinding-dindingnya penuh dengan lukisan dan foto-foto lama yang terlihat sudah pudar oleh waktu. Namun, ada sesuatu yang aneh dengan foto-foto tersebut semuanya menunjukkan orang-orang dengan wajah yang terdistorsi, seolah-olah mereka berusaha menyembunyikan sesuatu.Suci merasakan getaran yang tidak nyaman di tubuhnya. Dia mendekati salah satu foto dan tertegun saat melihat wajah yang mirip dengan seseorang yang pernah dia kenal. "Farhan, lihat ini," katanya dengan suara bergetar. "Ini... ini wajahnya."Farhan mendekat dan melihat foto tersebut. "Kau kenal orang ini?" tanyanya."Sepertinya," jawab Suci. "Tapi aku tidak bisa mengingat siapa dia. Wajahnya terlihat familiar, tapi aku tidak bisa mengingat di ma
Suci dan Farhan melangkah hati-hati memasuki ruangan yang tampaknya terbuat dari batu hitam pekat. Suasana di dalamnya sangat dingin dan menekan, terasa seperti udara di luar jangkauan waktu dan ruang. Di tengah ruangan, sebuah cermin besar berdiri tegak di atas podium, dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah lama padam. Cahaya dari lampu senter mereka bergetar di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari.“Jadi, ini cermin yang kau maksudkan?” tanya Farhan, suaranya bergetar oleh ketegangan.Suci mengangguk, menatap cermin yang tampaknya mengandung lebih banyak dari sekadar refleksi. “Ya. Kata orang yang memberi tahu kita tentang tempat ini, cermin ini dapat mengungkapkan kebenaran tersembunyi.”Farhan mengelilingi cermin itu dengan hati-hati. “Bagaimana cara kerjanya?”Suci tidak bisa menjawab langsung. Ia hanya berdiri di depan cermin, matanya terfokus pada permukaannya yang gelap. Ia bisa merasakan aura dingin yang memancar dari cermin itu, seolah-olah cermin itu sendiri memi
Suci dan Farhan duduk berhadap-hadapan di ruang kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari lampu neon yang berkedip-kedip. Keheningan yang terasa berat di antara mereka seperti menyimpan ketegangan yang belum terungkap. Pikirannya berputar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja mereka alami di bab sebelumnya. "Cermin itu... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Farhan, suaranya nyaris berbisik, seolah takut jawabannya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan yang tidak bisa mereka hindari.Suci, dengan pandangan yang masih terpaku pada pecahan cermin di lantai, mencoba merangkai kata-kata. "Cermin itu bukan hanya sekadar menunjukkan kebohongan kita, tapi juga membuka jalan ke sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang selama ini kita coba hindari."Mereka baru saja selamat dari sebuah cermin misterius yang memaksa mereka menghadapi kebohongan terbesar mereka sendiri. Setiap pantulan di cermin itu mencerminkan kebenaran yang menyakitkan, kebenaran yang mereka simpan dalam hati
Malam itu, suasana di sekitar Suci dan Farhan dipenuhi dengan keheningan yang mencekam, seolah seluruh dunia sedang menunggu dengan tegang. Setelah mengatasi berbagai rintangan dan menyingkap banyak rahasia gelap, mereka tiba di sebuah tempat yang terasa seperti pengujian terakhir. Ruangan itu, yang terletak jauh di bawah tanah, tampak seperti labirin tak berujung dengan dinding berbatu kasar yang menempel pada langit-langit. Cahaya dari lampu senter mereka berpendar lembut, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seolah-olah hidup."Apakah kamu yakin ini tempatnya?" tanya Farhan, suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tenang.Suci hanya mengangguk, wajahnya menampilkan ekspresi kelelahan dan tekad. "Ini adalah satu-satunya petunjuk yang tersisa," jawabnya. "Kita tidak punya pilihan lain."Mereka berjalan perlahan, setiap langkah mereka terdengar berat di lorong-lorong sempit yang menuntun mereka semakin dalam ke dalam kegelapan. Bayangan-bayangan dari lamp
Dini hari itu, hutan di sekitar mereka tampak seperti lukisan suram dengan warna-warna yang tak hidup. Ranting-ranting pohon menjulang tinggi, menciptakan bayangan gelap yang mengerikan di bawah sinar bulan yang tertutup awan tebal. Suci dan Farhan, meskipun terluka dan lelah, terus melangkah dengan tekad yang kuat. Setiap napas yang mereka hirup terasa berat, dipenuhi oleh energi negatif yang semakin pekat seiring dengan semakin dalam mereka masuk ke dalam hutan tersebut."Suci, kita harus berhenti sebentar. Luka-lukamu butuh perawatan," ucap Farhan dengan suara yang nyaris putus asa, memecah kesunyian di antara mereka.Suci menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang berdenyut di tubuhnya. "Tidak bisa, Farhan. Kita tidak punya waktu. Bayangan itu sudah terlalu jauh. Kita harus mengejarnya sebelum terlambat."Mereka terus melangkah, melewati semak-semak yang tajam dan pohon-pohon yang tampak hidup dalam kegelapan. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang me
Hutan Kelam semakin gelap saat Suci dan Farhan meneruskan perjalanan mereka. Kabut tebal menyelimuti setiap langkah mereka, membuat setiap gerakan terasa seperti perjuangan melawan kegelapan yang tak terlihat. Suara gemericik daun yang tersentuh angin seolah menjadi nyanyian kesedihan, menambah suasana mencekam di sekitar mereka. Bayangan besar yang mereka temui sebelumnya telah meninggalkan jejak kegelapan yang lebih dalam, seolah-olah menghalangi jalan mereka.Setiap langkah di tanah yang lembap dan penuh akar terasa berat. Pohon-pohon tinggi menjulang ke atas, daun-daunnya yang lebat hampir menutup cahaya bulan yang tersisa. Hutan ini tampaknya hidup dengan kekuatan jahat yang belum sepenuhnya mereka pahami. Suci dan Farhan mengandalkan satu sama lain untuk menjaga keseimbangan dan tetap fokus pada jejak yang mereka ikuti.Suci memimpin, mata dan telinga terbuka lebar, sementara Farhan mengikuti di belakang, sesekali melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada ancaman mendekat