Suci dan Farhan duduk berhadap-hadapan di ruang kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari lampu neon yang berkedip-kedip. Keheningan yang terasa berat di antara mereka seperti menyimpan ketegangan yang belum terungkap. Pikirannya berputar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja mereka alami di bab sebelumnya. "Cermin itu... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Farhan, suaranya nyaris berbisik, seolah takut jawabannya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan yang tidak bisa mereka hindari.Suci, dengan pandangan yang masih terpaku pada pecahan cermin di lantai, mencoba merangkai kata-kata. "Cermin itu bukan hanya sekadar menunjukkan kebohongan kita, tapi juga membuka jalan ke sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang selama ini kita coba hindari."Mereka baru saja selamat dari sebuah cermin misterius yang memaksa mereka menghadapi kebohongan terbesar mereka sendiri. Setiap pantulan di cermin itu mencerminkan kebenaran yang menyakitkan, kebenaran yang mereka simpan dalam hati
Malam itu, suasana di sekitar Suci dan Farhan dipenuhi dengan keheningan yang mencekam, seolah seluruh dunia sedang menunggu dengan tegang. Setelah mengatasi berbagai rintangan dan menyingkap banyak rahasia gelap, mereka tiba di sebuah tempat yang terasa seperti pengujian terakhir. Ruangan itu, yang terletak jauh di bawah tanah, tampak seperti labirin tak berujung dengan dinding berbatu kasar yang menempel pada langit-langit. Cahaya dari lampu senter mereka berpendar lembut, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seolah-olah hidup."Apakah kamu yakin ini tempatnya?" tanya Farhan, suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tenang.Suci hanya mengangguk, wajahnya menampilkan ekspresi kelelahan dan tekad. "Ini adalah satu-satunya petunjuk yang tersisa," jawabnya. "Kita tidak punya pilihan lain."Mereka berjalan perlahan, setiap langkah mereka terdengar berat di lorong-lorong sempit yang menuntun mereka semakin dalam ke dalam kegelapan. Bayangan-bayangan dari lamp
Dini hari itu, hutan di sekitar mereka tampak seperti lukisan suram dengan warna-warna yang tak hidup. Ranting-ranting pohon menjulang tinggi, menciptakan bayangan gelap yang mengerikan di bawah sinar bulan yang tertutup awan tebal. Suci dan Farhan, meskipun terluka dan lelah, terus melangkah dengan tekad yang kuat. Setiap napas yang mereka hirup terasa berat, dipenuhi oleh energi negatif yang semakin pekat seiring dengan semakin dalam mereka masuk ke dalam hutan tersebut."Suci, kita harus berhenti sebentar. Luka-lukamu butuh perawatan," ucap Farhan dengan suara yang nyaris putus asa, memecah kesunyian di antara mereka.Suci menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang berdenyut di tubuhnya. "Tidak bisa, Farhan. Kita tidak punya waktu. Bayangan itu sudah terlalu jauh. Kita harus mengejarnya sebelum terlambat."Mereka terus melangkah, melewati semak-semak yang tajam dan pohon-pohon yang tampak hidup dalam kegelapan. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang me
Hutan Kelam semakin gelap saat Suci dan Farhan meneruskan perjalanan mereka. Kabut tebal menyelimuti setiap langkah mereka, membuat setiap gerakan terasa seperti perjuangan melawan kegelapan yang tak terlihat. Suara gemericik daun yang tersentuh angin seolah menjadi nyanyian kesedihan, menambah suasana mencekam di sekitar mereka. Bayangan besar yang mereka temui sebelumnya telah meninggalkan jejak kegelapan yang lebih dalam, seolah-olah menghalangi jalan mereka.Setiap langkah di tanah yang lembap dan penuh akar terasa berat. Pohon-pohon tinggi menjulang ke atas, daun-daunnya yang lebat hampir menutup cahaya bulan yang tersisa. Hutan ini tampaknya hidup dengan kekuatan jahat yang belum sepenuhnya mereka pahami. Suci dan Farhan mengandalkan satu sama lain untuk menjaga keseimbangan dan tetap fokus pada jejak yang mereka ikuti.Suci memimpin, mata dan telinga terbuka lebar, sementara Farhan mengikuti di belakang, sesekali melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada ancaman mendekat
"Suci, kita sudah mencarinya berhari-hari," kata Farhan, suaranya serak karena kelelahan. "Tidak ada satu petunjuk pun yang tersisa. Kita hampir kehabisan waktu."Suci menggenggam peta tua yang mulai pudar, tatapannya tajam dan penuh tekad. "Kita tidak bisa berhenti sekarang. Ini satu-satunya petunjuk yang tersisa. Kita harus menemukan sesuatu di sini."Mereka berada di sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan, terletak di pinggir kota yang penuh dengan kenangan suram dan terabaikan. Rumah ini, yang dulu menjadi rumah bagi keluarga Suci, kini berdiri seperti rahasia yang terabaikan, tertutup debu dan kehampaan. Setiap langkah mereka menimbulkan suara berderak di lantai kayu yang lapuk.Rumah ini memiliki suasana yang suram dan menekan. Langit di luar gelap dengan awan mendung, memantulkan suasana hati mereka yang penuh kecemasan. Cahaya lampu senter mereka menciptakan bayangan yang bergerak-gerak, membuat setiap sudut ruangan tampak lebih misterius dan menakutkan. Dinding-dinding
“Temukan titik terang, Farhan,” bisik Suci, suaranya bergetar di tengah keheningan yang memenjarakan mereka di dalam rumah tua itu. “Kita harus segera keluar dari sini sebelum terlambat.”Farhan mengangguk, meski wajahnya menunjukkan betapa ketakutannya. Mereka berdiri di ambang pintu masuk ruang bawah tanah, di mana udara terasa dingin dan menekan. Keheningan yang menyelimuti tempat itu seperti selimut tebal, membungkus mereka dengan rasa takut yang mendalam. Lampu-lampu yang dipasang di langit-langit bergetar pelan, menambah suasana menakutkan di sekeliling mereka. Suara langkah kaki mereka bergema di dalam ruangan yang gelap dan berdebu.Di dalam ruangan, setiap langkah mereka disertai oleh suara creak dari lantai kayu tua yang sudah lapuk. Lantai di bawah mereka tampak rapuh dan hampir tak bisa menahan beban mereka. Suara berderit yang berasal dari struktur rumah yang tua semakin menambah ketegangan. Suara-suara aneh dari jauh, seperti bisikan dan jeritan yang tak jelas sumbernya,
“Suci, kamu melihat ini?” Farhan bertanya, nada suaranya bergetar penuh rasa ingin tahu dan sedikit kekhawatiran.Suci, yang baru saja memeriksa simbol-simbol di dinding dengan senter, mengangguk. “Ya, Farhan. Ini adalah simbol-simbol kuno. Ada sesuatu yang sangat aneh di sini.” Dia menyentuh salah satu simbol dengan hati-hati, merasakan tekstur dingin dan kasar dari ukiran di dinding.Farhan mendekat, senter di tangannya menerangi tanda-tanda yang lebih dalam. “Aku pernah melihat simbol-simbol ini di buku kuno yang kita temukan sebelumnya. Mereka mirip, tapi tidak persis sama. Ada sesuatu yang lebih besar di sini.”Suci memeriksa pola-pola tersebut dengan seksama, merenungkan setiap detail. “Sepertinya simbol-simbol ini membentuk sebuah pola. Kita mungkin bisa menemukan sesuatu yang sangat penting jika kita bisa menguraikannya.”“Kita harus bergerak cepat,” kata Farhan, matanya tidak lepas dari simbol-simbol yang bersinar samar. “Kita tidak tahu seberapa lama kita punya waktu sebelum
“Farhan, kita harus segera keluar dari sini!” Suara Suci bergetar, sukar menahan kepanikan yang merambat di seluruh tubuhnya. Mereka berdiri di dalam ruang bawah tanah yang semakin gelap, dikelilingi oleh dinding yang bersinar dengan simbol-simbol kuno yang mereka temukan sebelumnya. Setiap simbol tampaknya bergetar dengan energi gelap, dan bayangan di dinding bergerak seperti ular yang merayap dalam gelap. Ruang yang semula tampak sebagai labirin dingin dan keras, kini terasa seperti tempat di mana ketakutan mereka terwujud. Farhan meraih tangan Suci dengan erat. "Kita tidak bisa panik sekarang. Kita harus menghadapi ini." Di luar dinding yang terbuat dari batu, suara-suara menakutkan mulai bergema, menciptakan gema yang seolah berasal dari kedalaman neraka. Suara itu bukan hanya sekedar bisikan; itu adalah teriakan marah dan raungan kesedihan yang meresap ke dalam jiwa mereka. **Penampakan Bayangan** Suci mengalihkan pandangannya ke dinding di hadapannya. Bayangan-bayangan
“Jadi, ini semua hanya permainan, kan?” Suara Suci bergetar, seolah tak percaya pada apa yang ia baru saja dengar. Ruangan itu sunyi, hanya diselimuti aroma dingin dan tajam dari udara yang merembes masuk melalui celah jendela tua. Farhan, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan kosong, memandangi sebuah cermin besar yang sudah pecah sebagian. “Tidak ada yang seperti yang kita kira. Semua petunjuk, semua yang kita temukan… ternyata sudah diatur sejak awal.” Suci menelan ludah, masih memproses kata-kata itu. “Siapa yang mengatur semua ini? Apakah… mereka?” Tatapannya beralih ke cermin di sudut ruangan, bekas luka dari teror yang baru saja mereka hadapi masih segar dalam pikirannya. Farhan berbalik, matanya memancarkan rasa putus asa yang belum pernah Suci lihat sebelumnya. “Bukan hanya mereka, Suci. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar ‘mereka’. Semua ini dimulai dari sebelum kita terlibat. Bahkan sebelum aku tahu siapa aku seben
“Suci, kau yakin ini jalan yang tepat?” tanya Farhan, suaranya bergetar dalam gelap malam. Di depannya, cahaya senter yang redup menerangi jejak kaki mereka di tanah lembab. Suci mengangguk, menatap jauh ke dalam kegelapan yang seolah menelan setiap suara di sekitar mereka.“Aku bisa merasakannya, Farhan. Kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan,” jawab Suci, dengan nada tegas namun penuh keraguan. Sejak kejadian di cermin, dia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa. Kegelapan itu seolah mengawasi setiap langkah mereka, berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang berani menyelam ke dalam misteri.“Ini sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi,” kata Farhan, berusaha mengingatkan Suci. Dia tahu, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risikonya. Namun, Suci sudah terjebak dalam perburuan kebenaran, dan rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa takutnya.Merek
"Apakah kau yakin kita harus masuk ke dalam?" suara Farhan terdengar cemas, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana malam itu. Suci menatap cermin yang tergores di depan mereka, memantulkan cahaya lampu neon dari luar, menciptakan bayangan gelap di sekelilingnya."Aku merasakannya, Farhan. Di balik cermin ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan," jawab Suci dengan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. Indra keenamnya bergetar, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang menunggu mereka di sisi lain.Suci melangkah maju, menatap cermin yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Lalu, dengan nafas dalam, ia menyentuh permukaan dingin cermin. Sejenak, cermin itu bergetar, dan gambarnya mulai kabur. Di dalam kabut itu, Suci melihat bayangan samar seorang wanita, wajahnya terdistorsi, seolah mengalami kepedihan yang mendalam."Siapa dia?" Farhan bertanya, suaranya bergetar. Suci menggelengkan kepala, tak mampu mengucapkan apa pun. Dala
“Farhan, ada yang aneh,” suara Suci mengiris keheningan malam yang dipenuhi dengan aroma hujan. Ia berdiri di depan jendela kantor penyidik, menatap ke luar ke arah jalanan yang basah. “Aku merasa... seolah ada yang mengikuti kita.” Farhan mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang menunjukkan berbagai data kasus ke arah Suci. “Apa maksudmu? Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dari semua ini,” jawabnya, suaranya tegas meskipun ada nada ketidakpastian yang terlintas. “Aku tahu, tapi ini bukan soal menjaga jarak,” Suci menjelaskan, tangannya bergetar. “Ini lebih dalam daripada itu. Seolah ada bayangan yang terus mengikuti setiap langkah kita.” Farhan mengerutkan kening, memikirkan kata-kata Suci. “Kau yakin ini bukan hanya perasaanmu? Dengan semua yang kita hadapi, wajar jika kita merasa tertekan.” “Bukan hanya perasaan, Farhan,” Suci menekankan. “Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
"Suci, apakah kau mendengarnya?" Farhan tiba-tiba berbisik, memecah keheningan yang menyesakkan. Suara desau angin yang aneh, seperti rintihan yang menyusup dari segala arah, semakin jelas di telinga mereka.Suci memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya," gumamnya pelan, "tapi suara itu bukan dari sini… ini berasal dari sesuatu yang lain." Tatapan Suci menyapu tempat itu, dimensi yang asing dan penuh kehampaan. Tidak ada apa pun di sini, selain kegelapan yang terus bergerak, seolah hidup.Farhan menarik napas dalam-dalam, matanya terpaku pada bayangan-bayangan yang bergerak di kejauhan. "Kita tidak bisa diam di sini. Tempat ini… semakin terasa seperti jebakan."Suci mengangguk, langkahnya goyah saat mereka mulai bergerak, menyusuri dataran retak yang entah menuju ke mana. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka menyedot energi yang tersisa. Meski Suci memiliki kemampuan khusus, di tempat ini, kekuatanny
“Farhan, kita harus pergi sekarang!” Suci menarik tangan Farhan dengan panik, suaranya bergetar. “Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya!”Farhan menoleh dengan cepat, matanya masih terpaku pada sosok ayah dan ibu Suci yang tidak mungkin nyata, namun mereka berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi dingin. Ruangan yang semula tampak lapang kini terasa menyempit, dinding-dindingnya seperti bergerak, menekan mereka perlahan namun pasti.“Aku tak percaya ini,” gumam Farhan, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Ini mustahil… Mereka sudah mati, Suci. Kau bilang mereka sudah mati!”Suci menatap Farhan, matanya memancarkan rasa takut yang mendalam. “Aku tahu… Tapi kita tak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Entah bagaimana, mereka… mereka di sini. Tapi ini tidak nyata, Farhan. Kita sedang dijebak oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilusi.”“Ilusi? Kau menyebut ini ilusi?” Farhan tertawa kecut, ekspresinya diwarnai oleh kepanikan yang mulai
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus, Suci," suara Farhan terdengar rendah, hampir berbisik, namun ketegangan di dalamnya jelas. "Cermin itu… apa pun yang kita lihat tadi, bukan hal yang normal."Suci tetap diam, pandangannya tajam menembus kegelapan rumah tua yang sekarang terasa lebih dingin dan suram. Cermin yang baru saja pecah kini berserakan di lantai, tetapi setiap pecahan seolah tetap hidup, memantulkan potongan-potongan bayangan masa lalu yang mengerikan. Suci tidak bisa melepaskan pikirannya dari sosok ibunya yang muncul di balik cermin itu."Ada sesuatu yang belum kita pahami," jawab Suci akhirnya, suaranya terdengar jauh, seperti dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri daripada kepada Farhan. "Ibu… dia mencoba memberi tahuku sesuatu. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Tidak setelah semua yang aku lihat."Farhan melangkah mendekat, menyentuh lengan Suci dengan lembut. "Tapi kita bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar ibumu. Bisa saja itu han
"Apa yang kau temukan?" suara Farhan bergetar pelan, memecah kesunyian yang tegang di antara mereka.Suci duduk diam di kursi tua yang terletak di pojok ruangan, jari-jarinya bermain di atas permukaan meja kayu yang dingin dan berdebu. Matanya menatap kosong, seolah mencoba memahami sesuatu yang tak terjangkau. Dia tidak segera menjawab, mengabaikan pertanyaan Farhan sejenak."Suci," Farhan mendekat, nadanya memaksa kali ini. "Kau tahu lebih dari yang kau katakan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah kau ingat?"Suci mengangkat pandangannya perlahan, matanya kini dipenuhi dengan kebingungan yang lebih dalam, namun di balik itu ada ketakutan yang sulit disembunyikan. "Aku tidak yakin, Farhan," bisiknya. "Ini... lebih dari sekadar ingatan. Ada sesuatu yang... salah. Sesuatu yang selalu bersembunyi di balik setiap langkahku."Farhan menelan ludah, mengamati perubahan ekspresi Suci. Dia tahu betul bahwa wanita ini adalah yang terkuat dari mereka berdua, d
"Apa maksudmu dengan 'kegelapan itu ada di dalam dirimu'?" suara Farhan pecah di antara hening, gemetar dengan kepanikan yang sulit ia sembunyikan. Tangannya terulur, mencoba meraih Suci, namun sesuatu yang tak terlihat menahannya—sesuatu yang dingin dan kelam, seolah udara di antara mereka menjadi penghalang.Suci menoleh perlahan, pandangan matanya berubah. Tidak ada lagi kelembutan atau ketegasan yang biasa Farhan lihat. Mata Suci kini gelap, kosong, seperti cermin yang memantulkan kegelapan. "Aku tidak tahu, Farhan," suaranya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain di sana. "Mungkin ini bukan hanya tentang mereka. Mungkin... ini selalu tentang aku."Farhan terdiam, pikirannya berputar. “Suci, kita bisa keluar dari sini. Kau harus melawan ini. Ini semua manipulasi—mereka mencoba memecahmu, membuatmu percaya sesuatu yang tidak benar.""Manipulasi?" Suci tersenyum tipis, hampir sinis. "Bagaimana kalau kebenarannya memang tidak seperti yan