"Suci, cepat! Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres," kata Farhan dengan suara bergetar, mengamati pintu yang bergetar lembut seolah tertekan oleh kekuatan tak terlihat.
Suci menatap catatan yang baru ditemukan dengan ekspresi serius. Ruangan yang mereka tempati, sebuah kamar gelap di lantai atas rumah tua yang misterius, terasa semakin berat dan sesak. Lampu kuning yang berkedip-kedip menambah suasana menakutkan, memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding. "Farhan, aku menemukan sesuatu yang penting di sini," jawab Suci, suaranya tegas meskipun ada nada cemas yang jelas terasa. Dia menggelar catatan tersebut di meja yang berdebu, memperlihatkan tulisan tangan yang cepat dan tidak teratur. Farhan melangkah mendekat, matanya terfokus pada catatan. "Apa itu? Sepertinya ada sesuatu yang mengancam." Suci membaca keras-keras, “... Ritual kuno yang dikenal sebagai ‘Pembersihan Kegelapan’. Untuk membebaskan diri dari kutukan, kamu harus mengumpulkan komponen tertentu dan melaksanakan ritual di bawah cahaya bulan purnama...” Farhan menelan ludah. “Dan kita harus melakukannya malam ini? Di sini?” “Ya,” kata Suci, memeriksa catatan dengan cermat. “Ada beberapa komponen yang disebutkan di sini, dan salah satunya adalah ‘tanah dari makam yang terlupakan’. Tapi tidak ada petunjuk tentang di mana mencarikannya.” Ketika mereka berusaha mengidentifikasi lebih lanjut, lampu tiba-tiba berkedip lebih cepat, seolah merespons ketegangan yang meningkat. Suara berderak keras dari luar kamar membuat mereka terlonjak. Farhan menatap Suci dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. “Dengar,” kata Suci sambil mendekatkan telinganya pada pintu. “Aku mendengar sesuatu di luar. Mungkin kita tidak sendirian.” Farhan mengangguk, menggerakkan kursi di dekat meja untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata. Dia meraih lampu senter tua yang tergeletak di pojok ruangan dan mengarahkan cahayanya ke arah pintu. “Apa yang harus kita lakukan? Apa yang kita cari?” Suci menatap catatan itu lagi. “Kita perlu menemukan seseorang yang tahu tentang ritual ini. Katanya ada seorang individu bernama Nyai Ratu yang tinggal di desa terdekat. Mungkin dia bisa membantu kita.” Namun, saat mereka berusaha mengumpulkan barang-barang mereka, entitas yang menakutkan muncul di hadapan mereka. Sebuah bayangan gelap, tak berwujud namun jelas terasa, merayap dari sudut ruangan. Bayangan itu tampak melayang, bergerak tanpa suara namun sangat mengganggu. “Dia di sini,” bisik Suci, suaranya hampir tak terdengar. “Entitas itu...” Farhan memegang tangan Suci, menggenggamnya erat. “Apa yang harus kita lakukan? Dia semakin mendekat!” Bayangan itu mulai membentuk sosok samar, sebuah bentuk humanoid yang tidak sepenuhnya jelas. Mata yang menyala dalam gelap menatap mereka dengan kebencian, seolah bisa menembus jiwa mereka. Suara bisikan lembut namun tajam memenuhi ruangan, membuat kulit mereka merinding. “Aku akan mencoba berbicara dengannya,” kata Suci, berusaha menenangkan diri. “Kau tetap di sini dan jaga jarak.” Suci melangkah maju dengan hati-hati, mencoba berkomunikasi dengan entitas yang muncul. “Apa yang kau inginkan dari kami? Kami hanya mencoba untuk membebaskan diri dari kutukan ini.” Bayangan itu membalas dengan suara dingin, “Kalian tidak memahami apa yang telah kalian mulai. Hanya akan ada penderitaan jika kalian melanjutkan.” Farhan menyeringai, ketegangan di wajahnya jelas terlihat. “Apa maksudnya? Kenapa dia mengatakan bahwa kita tidak memahami?” Suci merasa ketidakpastian. “Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari apa yang kita ketahui. Mungkin ada sesuatu yang mengikatnya dengan ritual ini.” Ketika bayangan itu bergerak mendekat, Farhan dan Suci berusaha untuk tetap tenang, tetapi ketegangan semakin meningkat. Suara bisikan yang mengancam semakin kencang, mengisi ruang dengan aura kematian. Entitas tampaknya semakin terjaga dan penuh kemarahan. Tiba-tiba, lampu mulai berkedip lebih cepat, dan dinding seolah bergetar. Farhan meraih senter dan menyorotkan cahayanya ke bayangan, berharap bisa mengusirnya. Tetapi cahaya itu hanya membuat bayangan menjadi lebih kuat, lebih gelap. “Ini tidak berhasil,” kata Farhan, suara paniknya semakin jelas. “Kita harus melakukan sesuatu yang lebih.” Suci meraih catatan lagi dan membaca dengan cepat. “Ada bagian lain di sini. Sebuah petunjuk... ada tempat di desa yang disebut ‘Sumber Kegelapan’. Mungkin kita bisa menemukan jawaban di sana.” Farhan mengangguk dan menyiapkan peralatan mereka. “Ayo pergi dari sini sebelum entitas itu semakin kuat.” Mereka mengumpulkan barang-barang mereka dengan tergesa-gesa dan berlari keluar dari kamar, meninggalkan bayangan gelap yang masih mengintai di ruang tersebut. Namun, saat mereka menuju pintu keluar, suara teriakan keras terdengar dari belakang mereka. “Jangan pergi!” teriak entitas dengan suara yang menggema. “Kalian akan menyesal!” Dengan napas yang terengah-engah, Suci dan Farhan berlari menuruni tangga, keluar dari rumah tua yang semakin terasa menekan. Saat mereka berlari ke luar, suara gemuruh yang menakutkan mengikuti mereka, dan suasana malam terasa semakin mencekam. Di luar rumah, Suci dan Farhan berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan napas mereka dan menenangkan pikiran yang kacau. Suci menatap Farhan dengan mata penuh tekad. “Kita harus menemukan Sumber Kegelapan dan mengungkap semua rahasia yang ada. Ini satu-satunya cara untuk menghentikan semuanya.” Farhan mengangguk dengan penuh rasa takut. “Aku siap, tapi kita harus hati-hati. Ada sesuatu yang sangat salah di sini.” Saat mereka berjalan menuju desa terdekat, suasana malam semakin gelap dan tenang, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih mengerikan. Di kejauhan, mereka bisa melihat siluet rumah tua yang mereka tinggalkan, semakin kecil namun tetap menakutkan di bawah cahaya bulan. Sementara mereka melangkah maju, perasaan tidak nyaman semakin menyelimuti mereka, seperti ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakan mereka. Farhan meraih senter dengan tangan gemetar, dan Suci memeriksa catatan dengan penuh perhatian. “Kita harus cepat,” kata Suci, “Sumber Kegelapan bisa jadi sangat berbahaya.” Namun, saat mereka mendekati desa, langkah kaki misterius terdengar mengikuti mereka dari belakang, membuat ketegangan di hati mereka semakin meningkat. Suara langkah-langkah itu semakin mendekat, membuat mereka berbalik dengan rasa cemas yang mendalam. Di ujung jalan yang gelap, mereka melihat bayangan samar bergerak di antara pepohonan, membuat darah mereka berdesir ketakutan. Bayangan itu sepertinya mengikuti mereka, seolah siap untuk menelan mereka dalam kegelapan yang mencekam."Farhan, aku merasakan sesuatu yang sangat aneh di sini," kata Suci dengan nada suara yang bergetar, matanya menatap sekeliling dengan waspada. Mereka berdua berdiri di tepi sebuah hutan tua yang jarang dijamah manusia. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, meskipun matahari masih bersinar di atas. Cahaya tampak enggan menembus rimbunnya pepohonan, seakan tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.Farhan mengangguk, merasakan ketegangan yang sama. "Kita harus berhati-hati, Suci. Aku tidak suka perasaan ini." Mereka melangkah masuk ke dalam hutan, mengikuti petunjuk yang mereka dapatkan dari seorang pria tua yang tinggal di desa sekitar. Pria itu menyebutkan sebuah tempat yang dianggap terkutuk, tempat di mana banyak hal aneh terjadi dan tidak ada yang pernah kembali setelah pergi ke sana.Langkah mereka terdengar pelan, nyaris tak bergaung di tanah yang lembab. Pepohonan menjulang tinggi, membentuk kanopi gelap di atas kepala mereka, memisahkan mereka dari dunia luar. Setiap lang
"Suci, kau mendengar itu?" Farhan berdiri tegak, matanya memandang lurus ke kegelapan di depan mereka. Suara angin yang menderu terdengar di sekitar mereka, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang lebih menakutkan, lebih dalam. "Suara apa, Han?" Suci menjawab, meski dalam hati, dia sudah tahu apa yang dimaksud Farhan. Bisikan-bisikan aneh yang muncul sejak pertemuan mereka dengan bayangan itu terus menghantuinya, terutama di malam hari seperti ini."Kedengarannya seperti... bisikan, tapi aku tidak yakin dari mana asalnya," Farhan menjelaskan sambil melangkah maju. Suara itu seolah mengelilingi mereka, membuatnya sulit untuk menentukan sumbernya. Semakin mereka mencoba mendengarkan, semakin bisikan itu seperti menyatu dengan angin.Suci merasakan udara di sekitar mereka mulai berubah, menjadi lebih dingin dan lebih menekan. Tubuhnya bergetar bukan hanya karena suhu, tapi juga karena rasa takut yang mulai merayapi dirinya. Dia mengusap peluh yang mulai mengalir di dahinya
"Suci, kamu nggak apa-apa?" tanya Farhan, nadanya penuh kekhawatiran. Mereka baru saja tiba di rumah setelah perjalanan yang melelahkan dari hutan. Meskipun rasa lega sempat muncul ketika mereka akhirnya meninggalkan tempat itu, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Suci.Suci memaksa tersenyum, "Aku baik-baik saja, Han. Cuma capek."Farhan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Matanya masih memancarkan bayangan gelap yang membuat Suci tak nyaman. Namun, dia memilih untuk tidak membahasnya, setidaknya untuk saat ini.Malam itu, setelah mandi dan mencoba untuk tidur, Suci merasa resah. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan-bayangan dari hutan itu kembali menghantui pikirannya. Bisikan yang samar dan tak henti-henti seolah-olah mengintai dari sudut-sudut gelap kamarnya. Namun, yang paling mengganggu adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang aneh dengan Farhan.Selama ini, Suci tahu Farhan sebagai orang yang rasional dan tak pernah percaya pada hal-hal gaib. Tetapi sejak
Suci dan Farhan melangkah memasuki ruangan yang tersembunyi di balik pintu yang baru saja mereka buka. Suasana di dalamnya sangat berbeda dari ruangan sebelumnya. Cahaya remang-remang dari lampu gantung tua menerangi ruangan dengan pendar kekuningan yang menambah suasana mencekam. Dinding-dindingnya penuh dengan lukisan dan foto-foto lama yang terlihat sudah pudar oleh waktu. Namun, ada sesuatu yang aneh dengan foto-foto tersebut semuanya menunjukkan orang-orang dengan wajah yang terdistorsi, seolah-olah mereka berusaha menyembunyikan sesuatu.Suci merasakan getaran yang tidak nyaman di tubuhnya. Dia mendekati salah satu foto dan tertegun saat melihat wajah yang mirip dengan seseorang yang pernah dia kenal. "Farhan, lihat ini," katanya dengan suara bergetar. "Ini... ini wajahnya."Farhan mendekat dan melihat foto tersebut. "Kau kenal orang ini?" tanyanya."Sepertinya," jawab Suci. "Tapi aku tidak bisa mengingat siapa dia. Wajahnya terlihat familiar, tapi aku tidak bisa mengingat di ma
Suci dan Farhan melangkah hati-hati memasuki ruangan yang tampaknya terbuat dari batu hitam pekat. Suasana di dalamnya sangat dingin dan menekan, terasa seperti udara di luar jangkauan waktu dan ruang. Di tengah ruangan, sebuah cermin besar berdiri tegak di atas podium, dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah lama padam. Cahaya dari lampu senter mereka bergetar di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari.“Jadi, ini cermin yang kau maksudkan?” tanya Farhan, suaranya bergetar oleh ketegangan.Suci mengangguk, menatap cermin yang tampaknya mengandung lebih banyak dari sekadar refleksi. “Ya. Kata orang yang memberi tahu kita tentang tempat ini, cermin ini dapat mengungkapkan kebenaran tersembunyi.”Farhan mengelilingi cermin itu dengan hati-hati. “Bagaimana cara kerjanya?”Suci tidak bisa menjawab langsung. Ia hanya berdiri di depan cermin, matanya terfokus pada permukaannya yang gelap. Ia bisa merasakan aura dingin yang memancar dari cermin itu, seolah-olah cermin itu sendiri memi
Suci dan Farhan duduk berhadap-hadapan di ruang kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari lampu neon yang berkedip-kedip. Keheningan yang terasa berat di antara mereka seperti menyimpan ketegangan yang belum terungkap. Pikirannya berputar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja mereka alami di bab sebelumnya. "Cermin itu... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Farhan, suaranya nyaris berbisik, seolah takut jawabannya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan yang tidak bisa mereka hindari.Suci, dengan pandangan yang masih terpaku pada pecahan cermin di lantai, mencoba merangkai kata-kata. "Cermin itu bukan hanya sekadar menunjukkan kebohongan kita, tapi juga membuka jalan ke sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang selama ini kita coba hindari."Mereka baru saja selamat dari sebuah cermin misterius yang memaksa mereka menghadapi kebohongan terbesar mereka sendiri. Setiap pantulan di cermin itu mencerminkan kebenaran yang menyakitkan, kebenaran yang mereka simpan dalam hati
Malam itu, suasana di sekitar Suci dan Farhan dipenuhi dengan keheningan yang mencekam, seolah seluruh dunia sedang menunggu dengan tegang. Setelah mengatasi berbagai rintangan dan menyingkap banyak rahasia gelap, mereka tiba di sebuah tempat yang terasa seperti pengujian terakhir. Ruangan itu, yang terletak jauh di bawah tanah, tampak seperti labirin tak berujung dengan dinding berbatu kasar yang menempel pada langit-langit. Cahaya dari lampu senter mereka berpendar lembut, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seolah-olah hidup."Apakah kamu yakin ini tempatnya?" tanya Farhan, suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tenang.Suci hanya mengangguk, wajahnya menampilkan ekspresi kelelahan dan tekad. "Ini adalah satu-satunya petunjuk yang tersisa," jawabnya. "Kita tidak punya pilihan lain."Mereka berjalan perlahan, setiap langkah mereka terdengar berat di lorong-lorong sempit yang menuntun mereka semakin dalam ke dalam kegelapan. Bayangan-bayangan dari lamp
Dini hari itu, hutan di sekitar mereka tampak seperti lukisan suram dengan warna-warna yang tak hidup. Ranting-ranting pohon menjulang tinggi, menciptakan bayangan gelap yang mengerikan di bawah sinar bulan yang tertutup awan tebal. Suci dan Farhan, meskipun terluka dan lelah, terus melangkah dengan tekad yang kuat. Setiap napas yang mereka hirup terasa berat, dipenuhi oleh energi negatif yang semakin pekat seiring dengan semakin dalam mereka masuk ke dalam hutan tersebut."Suci, kita harus berhenti sebentar. Luka-lukamu butuh perawatan," ucap Farhan dengan suara yang nyaris putus asa, memecah kesunyian di antara mereka.Suci menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang berdenyut di tubuhnya. "Tidak bisa, Farhan. Kita tidak punya waktu. Bayangan itu sudah terlalu jauh. Kita harus mengejarnya sebelum terlambat."Mereka terus melangkah, melewati semak-semak yang tajam dan pohon-pohon yang tampak hidup dalam kegelapan. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang me